Dilaporkan menghilang semenjak 2019, jasad Angela Herdianti pun ditemukan dalam kondisi termutilasi di sebuah kamar kos di Bekasi pada simpulan Desember 2022. Perempuan 54 tahun ini disangka dibunuh pada 2021, lalu disimpan dalam boks selama sekitar 13 bulan.
Kasus Angela menambah deret masalah pembunuhan plus mutilasi korban selain mutilasi di Ungaran, Bali, Papua, dan Bekasi. Ada pula masalah mutilasi lalu disusul dengan mempeRabukan korban seperti perkara pembunuhan di Depok.
Di samping itu, pelaku pembunuhan pun masih dalam lingkar terdekat korban. Di Lombok, seorang perempuan digantung oleh suami, mertua dan iparnya. Kemudian ada masalah anak di Magelang yang meracuni ayah, ibu dan kakaknya. Kasus di Sukabumi dan Cibinong, pelaku pembunuhan merupakan kekasih korban.
Kenapa membunuh dan bukan cara lain?
Kriminolog Universitas Indonesia Ardi Putra Prasetya mengungkapkan berdasar tren juga data, menghilangkan nyawa seseorang yaitu cara terbaik atau opsi terbaik. Terlebih dalam hal pembunuhan terpola, cara ini dinilai cukup efektif dalam menuntaskan dilema atau pertentangan.
Dia pun menyelidiki perkara percobaan pembunuhan seorang istri anggota TNI di Semarang, Jawa Tengah.
“Muslimin, untuk mampu hidup bareng selingkuhan, ia menyewa eksekutor. Itu kan yang paling praktis, dibunuh saja, daripada mesti urus cerai,” kata Ardi ketika berbincang dengan CNNIndonesia.com, Sabtu, 7 Januari 2023.
Cara-cara ‘kreatif’ pun dikerahkan baik dalam hal cara membunuh maupun memperlakukan jasad korban pembunuhan. Hal ini dilakukan bukan tanpa argumentasi. Dalam ranah Kriminologi, lanjut Ardi, terdapat rational choice theory atau teori pilihan rasional.
Seorang pelaku pembunuhan melaksanakan pembunuhan dengan cara tertentu, secara sadar dan memperhitungkan untung-rugi. Dengan kata lain, seorang yang melaksanakan pembunuhan rata-rata telah memperhitungkan untung-rugi opsi tindakannya.
Dalam perkara pembunuhan keluarga di Magelang, pelaku menggunakan racun. Dari sisi biaya, racun dinilai murah dan efektif akhirnya.
Mutilasi juga tergolong ‘kreativitas’ yang dilaksanakan pelaku pembunuhan. Mutilasi spesifik bertujuan untuk mempermudah menetralisir jejak pembunuhan.
“Pelaku mencampakkan, menyembunyikan, dan menghilangkan identitas korban. Itulah mengapa orang mutilasi selaku cara basuh tangan. Kasus mutilasi banyak tidak terungkap. Beda jika dibuang berupa mayit begitu saja, kemungkinan bisa dimengerti,” katanya.
Meski terlihat beragam, bantu-membantu tren perkara pembunuhan mayoritas alasannya faktor ekonomi. Menurut Ardi, motif ekonomi ini masih terbilang tinggi dan itu tidak bisa lepas dari keadaan perekonomian masyarakat.
Saat dilihat lebih luas lagi, kasus pembunuhan ini mampu dikaitkan dengan pandemi Covid-19. Dalam situasi pandemi, orang kehilangan mata pencaharian, hilang keinginan, tertekan dan keadaan psikologis lain.
“Awalnya tiap hari ke kantor, kemudian tiap hari di rumah. [Depresi] lalu muncul domestic case, ternyata ia stres menghadapi istri. Muncul pembunuhan terencana. Lalu penggunaan media umum, muncul perselingkuhan, [memicu masalah pembunuhan sebab cemburu],” tuturnya.
Selain motif ekonomi, pembunuhan apalagi dengan cara-cara ‘kreatif’ mampu timbul alasannya adalah terinspirasi dari persidangan kasus secara terbuka. Dalam sidang, biasanya cara-cara pembunuhan dijabarkan dengan detail.
Tontonan, serial atau film pun mampu menumbuhkan ide cara membunuh. Orang terpengaruh secara psikologis berkat tontonan bertemakekejaman, pembunuhan atau sesuatu yang mengerikan. Beruntung sekarang tontonan dipilah berdasar usia.
“Pembunuhan itu enggak cuma single factor. Ada pengaruh atau eksposur hal lain. Ada juga pembunuhan untuk menghidupkan pertentangan mirip perkara mutilasi di Poso pada 2006. Itu faktor dendam, provokasi,” katanya.