BAGAIKAN sebuah penyakit yang tak kunjung sembuh. Meski banyak solusi, namun tak mampu teratasi.
Kenyataannya, hingga kini penyakit itu masih kita rasakan. Meninggalkan luka, ketakutan serta kekhawatiran.
Tragedi truk batu bara selalu melekat dalam ingatan. Pecah kepala, putus leher hingga dada terlindas jelas tak akan terlupakan.
Pada waktu yang berdekatan, kecelakaan akibat padatnya mobil truk batu bara di jalanan menyebabkan lebih dari 5 orang menjadi korban dalam sepekan.
Sejak 2017 hingga 2022, sudah ada 116 korban akibat kecelakaan truk batu bara. Sudah lima tahun berlalu hanya ada solusinya satu, membangun sebuah jalan, yaitu jalan alternatif.
Mobilitas truk batu bara. Penyakit jalanan yang kini jadi ancaman, berkendara di jalanan berisiko jadi korban.
Wacana jalan alternatif ditawarkan jadi sebuah solusi. Hingga kini tak kunjung terealisasi. Tiada antisipasi jika macet masih terjadi, padahal truk batu bara masih beroperasi.
Dana sebesar Rp 50 miliar disediakan untuk membangun jalan alternatif. Tapi, hingga saat ini masih bukan solusi yang efektif.
Terlalu fokus membangun jalan, hingga lupa dengan kemacetan. Solusi jangka panjang diutamakan, solusi jangka pendek dilupakan.
Macet masih sering terjadi, hingga jalan alternatif siap jadi.
Apa guna jalan alternatif bila selama proses pembangunan masih terjebak dalam kemacetan, bahkan jika memakan korban siapakah yang harus disalahkan?
Jalan alternatif harusnya jadi solusi yang efektif, namun akan lebih efektif jika selama proses pembangunan mengatasi kemacetan terlebih dahulu untuk mengurangi tragedi yang memakan korban.
Entah proyek jalan alternatif akan segera diselesaikan atau hanya setengah jalan. Yang jelas masyarakat hanya ingin berkendara dengan nyaman tanpa ada kekhawatiran dan tak ada lagi yang jadi korban.
*Wartawan dan tinggal di Jambi