DI TENGAH booming ekspor komoditas Indonesia, ada fenomena eksportir membawa kabur Devisa Hasil Ekspor (DHE) dalam bentuk dolar AS ke luar negeri dan menyimpannya di bank luar negeri.
Pertanyaanya, kenapa dollar bisa lari dari dalam negeri, padahal dolar itu bayaran yang diterima dari penjualan komoditi kita sendiri?
Jawabannya, kaburnya valuta asing termasuk dolar ini disebabkan oleh aturan dan Undang-Undang (UU) kita sendiri yang memperbolehkan eksportir membawa dolar ke luar negeri setelah pencatatan, tanpa ada kewajiban konversi ke rupiah.
Selain itu alasan pengusaha enggan menyimpan Devisa Hasil Ekspor (DHE) ke Indonesia, salah satunya karena kelangkaan instrumen dolar AS di pasar keuangan Indonesia adalah penyebabnya.
Pengusaha bidang eksportir tanah air lebih memilih menyimpan dolar hasil ekspor di luar negeri. Hal ini dikarenakan kurang kompetitif bunga deposito valas di Indonesia.
Hal ini bisa menjadi indikasi faktor bahwa banyak orang lebih memilih untuk menyimpan dana hasil ekspor di Singapura.
Bank di Negeri Jiran tersebut menawarkan lebih dari 3% setahun untuk dolar AS yang ditempatkan di deposito berjangka. Jauh lebih tinggi dibandingkan di dalam negeri yang hanya rata-rata 0,38 persen.
Akibatnya, tak bisa dipungkiri banyak pendapatan ekspor Indonesia disimpan di bank-bank Singapura di tengah-tengah fenomena penguatan dolar AS. Semakin banyak dolar hasil ekspor disimpan di luar negeri, maka mengganggu stabilitas rupiah.
Namun, dibalik ini alasannya adalah fakta sebagian para pemain eksport komoditi adalah pihak atau perusahaan asing, bukan pemain dalam negeri. Seperti batu bara misalnya. Sebagian pemilik tambang batu bara ataupun pihak pengeksport adalah asing. Jadi ketika mereka menerima uang, tak aneh uang yang mereka terima mereka bawa ke negara mereka, khususnya China dan India.
Fenomena ini membuat Indonesia rugi besar, terlebih lagi ketika booming komoditas yang menopang kinerja ekspor pada tahun 2022. Dua tahun ini komoditi batu bara, nikel, timah, minyak gas dan lainnya meningkat amat pesat, namun ironinya, tak semua uang itu beredar di Indonesia.
Data Bea dan Cukai (DJBC), sejak 2021 hingga 2022 terdapat 216 eksportir yang tidak menempatkan Dana Hasil Ekspor (DHE) SDA di rekening khusus di dalam negeri. Dari jumlah tersebut, eksportir hasil tambang mendominasi.
Sektor pertambangan menjadi salah penyumbang terbesar dari total pengenaan sanksi DHE SDA 2021-2022, di mana nilainya mencapai Rp 53 miliar.
Dalam kaidah ekonomi, kalau devisa tidak masuk disebut ekonomi bocor. Hal ini bukan mengurangi cadangan devisa sekaligus juga mengurangi kemampuan penambahan uang beredar.
Karena, jika eksportir menaruh DHE di dalam negeri dalam kurun waktu tertentu, cadangan devisa dan fundamental Indonesia semakin kuat.
Tambahan uang beredar itu akan sangat langsung pada perputaran ekonomi, penyaluran kredit perbankan meningkat, ekonomi akan membesar dan tumbuh akibat valuta asing yang masuk, akibat ekspor-impor.
Pada tahun 2022 lalu, Indonesia sukses membukukan ekspor senilai US$ 291,98 miliar. Angka ini adalah nilai ekspor tertinggi dalam sejarah. Namun ironisnya, cadangan devisa (cadev) justru menurun US$ 7,7 miliar sepanjang tahun lalu, dibandingkan posisi US$ 144,91 miliar pada Desember 2021.
Sebagai catatan, nilai ekspor sepanjang 2022 meningkat 26,07 persen dibandingkan 2021. Secara nominal, ekspor 2022 lebih tinggi US$ 60,37 miliar dibandingkan kumulatif ekspor pada 2021 yang tercatat US$ 231,61 miliar.
Dengan demikian ada gap besar dari pencatatan cadangan devisa dengan hasil ekspor yang fantastis selama 2022. Fenomena ini disebut sebagai ekonomi Indonesia bocor.
Catatan Bank Indonesia, semua ekspor yang masuk devisanya hanya 80 persen sampai 81 persen. Ada sekitar 19 persen- 20 persen tidak masuk ke dalam negeri. Apesnya lagi dari 20 persen ini yang ditukar ke rupiah, hanya 15 persen.
Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap pasokan dollar di Indonesia. Buktinya, pada September 2022, pertumbuhan penghimpunan DPK valas hanya mencapai 8,4 persen.
Padahal, surplus neraca perdagangan Januari-September 2022 kemarin mencapai US$ 39,87 miliar atau tumbuh sebesar 58,83 persen.
Langkah BI pun dinilai kurang strategis. Pasalnya, meski BI menaikkan suku bunga sebesar 125 basis points sejak Agustus hingga Oktober 2022, keputusan untuk mempertahankan pembelian obligasi di pasar primer dan sekunder justru menyebabkan berlebihnya likuditas.
Kelebihan rasio likuiditas ini salah satunya terlihat dari rendahnya loan-to-deposit ratio, dan pada akhirnya mengurangi insentif diantara perbankan untuk mengikuti BI dan menaikkan suku bunga.
Pada praktIknya, jika suku bunga deposito rupiah belum naik, maka instrumen lain termasuk deposito dolar juga tidak akan naik. Pada akhirnya perbedaan suku bunga Indonesia dengan luar negeri tetap lebar.
Tentu saja Bank Indonesia (BI) dan Pemerintah perlu memberlakukan sanksi untuk eksportir yang tidak menempatkan devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri. Kebijakan ini akan berdampak positif terhadap penguatan cadangan devisa (cadev) nasional. Karena kita tahu tak ada nasionalisme pada dolar hasil ekspor yang dimiliki asing.
* Pengamat Perbankan
Discussion about this post