DETAIL.ID, Medan -Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Sumut, Khairul Mahalli, membeberkan penyebab kinerja ekspor Sumut menurun di bulan Juni 2024, baik secara bulanan atau month to month (mtm) pada Mei 2024 maupun secara tahunan atau year on year (yoy) Juni 2023.
“Cost logistic kita, ongkos di pelabuhan kita di Sumut, sudah kemahalan, Dan terus terang, ini terjadi di semua pelabuhan kita,” ujar pengusaha yang juga menjadi Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Sumut ini.
Kata dia, jangankan dibanding dengan negara di tingkat Asia maupun dunia, bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN saja, cost logistic di pelabuhan yang ada di Indonesia bisa lebih mahal 10 sampai 15 persen.
Yang membuat ia semakin prihatin adalah kebijakan Kementerian Perhubungan yang menegaskan biaya kepelabuhan akan ditinjau ulang sekali dalam dua tahun.
“Tahu enggak arti tinjau ulang yang disebut dalam peraturan pihak Kementerian Perhubungan? Itu artinya biaya kepelabuhan dinaikan,” ucap Khairul Mahalli kepada DETAIL.ID pada Sabtu, 3 Agustus 2024.
“Beda banget, misalnya, dengan Malaysia, yang peraturan tentang biaya kepelabuhan nya bisa tidak naik selama 10 atau 15 tahun, tanpa meninggalkan kualitas pelayanan ekspor,” ucap Khairul.
Ia mengatakan, cost logistic yang mahal akan mematikan potensi ekspor Sumut. Ia lalu mencontohkan untuk produk buah-buahan yang saat ini justru dikuasai produk impor.
“Coba gini aja deh, lihat ada enggak jeruk Berastagi yang diekspor secara masif ke luar negeri? Enggak ada kan? Di Sumut sendiri kita bisa lihat, justru buah-buahan impor banyak masuk ke Sumut,” ucapnya.
Disinggung tentang ekspor komoditas minyak nabati atau hewani yang tetap naik, Khairul mengingatkan bahwa sepanjang negara-negara lain belum mampu memproduksi minyak sawit atau produk komoditas lainnya, maka ekspor komoditas asal Indonesia tetap stabil.
Tetapi, kata dia, lain hal kalau pihak asing sudah mampu memproduksi produk sejenis untuk kebutuhan dalam negeri mereka.
Ia mencontohkan produk ban yang selama ini berasal dari karet, ternyata saat ini sudah bisa diproduksi karet sintetik di luar negeri.
“Karet itu cuma dari tiga negara, Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Perkebunan karet bisa selamat, masih bisa hidup, karena ada industri otomotif,” katanya.
“Iya, untuk saja ada industri otomotif skala global, termasuk di Indonesia, yang membuat dunia tetap membutuhkan ban dari karet alam, dan tidak melulu menggunakan karet sintetik,” ucapnya.
Ia meminta Pemerintah untuk benar-benar memperhatikan soal cost logistic yang dinilai mahal. Apalagi, ujarnya, pengelolaan pelabuhan di Indonesia bersifat monopoli, tidak ada persaingan, seharusnya cost logistik bisa lebih kompetitif.
Reporter: Heno
Discussion about this post