Connect with us
Advertisement

LINGKUNGAN

PT MISI Terbukti Langgar UU, DLH Muarojambi Dituding Kebiri Penegakan Hukum Lingkungan

DETAIL.ID

Published

on

Pabrik PT MISI (DETAIL/Jorgi)

DETAIL.ID, Jambi – PT Makmur Indah Semarak Internasional (PT MISI) kembali disorot tajam setelah terungkap dugaan pelanggaran berat terkait pengelolaan limbah dan kepatuhan terhadap regulasi lingkungan hidup. Pabrik yang awal pengurusan izinnya untuk memproduksi minyak goreng kemasan ini malah menjadi pabrik kelapa sawit (PKS) yang menghasilkan minyak mentah kelapa sawit (HA CPO), namun perubahan ini diduga tidak sesuai dengan izin yang dikeluarkan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan menimbulkan kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap lingkungan.

Hary Irawan dari Lembaga Pengawasan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LP2LH) mengungkapkan bahwa PT MISI diduga tidak memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang memadai, dan alih-alih mengelola limbah secara benar, mereka justru memindahkan limbah ke desa lain.

“Ini jelas pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” ujarnya pada Selasa, 3 September 2024.

Pasal 20 Ayat 1 UU tersebut mewajibkan setiap perusahaan untuk mengelola limbahnya agar tidak mencemari lingkungan, namun PT MISI diduga telah mengabaikan ketentuan ini.

DLH telah menerapkan sanksi administratif kepada PT MISI, namun Hary menegaskan bahwa sanksi tersebut masih jauh dari cukup. “Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 mengatur bahwa pelanggaran lingkungan dapat dikenakan sanksi administratif, sanksi pidana, dan denda,” ujarnya.

Pasal 76 Ayat 1 UU PPLH menyatakan bahwa “Setiap orang yang melanggar ketentuan mengenai baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dan/atau standar baku mutu lingkungan hidup lainnya dapat dikenakan sanksi administratif.”

Namun, hingga kini, sanksi pidana dan denda yang diatur dalam UU tersebut belum diterapkan oleh DLH, seolah-olah UU tersebut dikebiri demi kepentingan tertentu.

Pasal 82 UU PPLH juga menegaskan bahwa pelanggaran terhadap peraturan lingkungan dapat dikenakan sanksi denda. “Setiap orang yang melakukan pelanggaran yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 3 miliar,” bunyi Pasal 82 Ayat 1 UU PPLH. Namun, meski peraturan ini jelas, DLH hanya menerapkan sanksi administratif, mengabaikan sanksi pidana dan denda yang seharusnya diberlakukan.

“Apa maunya Evi Syahrul, Kepala DLH Muarojambi? Mengapa sanksi hukum yang lebih tegas tidak diterapkan?” tanya Hary dengan nada tajam, mempertanyakan keberpihakan dan integritas DLH dalam menangani kasus ini.

Selain itu, PT MISI juga diduga tidak memiliki izin mobilisasi yang sah untuk pengangkutan limbah, serta mengabaikan Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam proses tersebut. “Ini bukan hanya soal administrasi, tetapi juga ancaman serius bagi lingkungan dan masyarakat sekitar,” kata Hary.

Dia menambahkan bahwa tanpa penegakan sanksi pidana dan denda yang tegas, pelanggaran ini berpotensi terulang kembali, memperlihatkan betapa lemahnya penegakan hukum lingkungan di daerah ini.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Muarojambi, Evi Syahrul, menjadi sorotan karena dianggap tidak mengambil langkah tegas dalam menindak pelanggaran ini. “Sanksi administratif saja tidak cukup. Ada ketentuan hukum yang mengharuskan tindakan lebih lanjut, termasuk sanksi pidana dan denda, namun itu belum dilakukan,” ucap Hary.

Pertanyaan mengenai mengapa sanksi penuh belum diterapkan semakin memperkuat kecurigaan bahwa hukum sedang dikebiri.

Kasus ini juga belum sampai ke Penegakan Hukum (Gakum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menambah kecurigaan bahwa ada upaya untuk menghindari tanggung jawab hukum yang lebih serius. “Mengapa pelanggaran serius ini belum ditindak oleh Gakum? Apakah ada tekanan tertentu yang menghalangi penegakan hukum?” tanya Hary, menggarisbawahi pentingnya tindakan segera sebelum kerusakan lingkungan semakin parah.

PT MISI terancam menghadapi konsekuensi hukum yang berat jika dugaan ini terbukti benar. Pasal 76 dan Pasal 82 UU No. 32/2009 menyatakan bahwa pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup dapat dikenakan sanksi pidana, termasuk penjara dan denda yang besar. “Tindakan setengah hati hanya akan memperburuk masalah dan memberikan preseden buruk bagi penegakan hukum lingkungan di masa depan,” kata Hary.

Reporter: Jorgi Pasaribu

Advertisement Advertisement

LINGKUNGAN

Izin Belum Lengkap, DLH Hentikan Sementara Operasional Stockpile Batu Bara PT GSB

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Aktivitas stockpile batu bara PT Gelora Sukses Bersama (GSB) di Tenam, Batanghari ditutup sementara oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jambi. Penutupan sementara disebut ikhwal perizinan yang belum lengkap oleh PT GSB.

Menurut Kabid Penaatan DLH Provinsi Jambi, Budi Hermanto, awalnya pihaknya mendapati laporan masyatakat soal keberadaan stockpile yang belum dilengkapi oleh perizinan lingkungan tersebut. Tim PPNS PPLH lantas turun ke stockpile PT GSB dan melakukan penutupan pada Rabu, 17 Desember 2025.

Menurutnya sanksi penutupan sementara sejalan dengan amanat UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah No 21 tahun 2022 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Ada informasi, pengaduanlah. Setelah kita verifikasi ke lapangan ternyata memang ada stockpile. Kita turun ke situ PPNS PPLH, ternyata mereka belum bisa menunjukkan dokumen, intinya dokumen persetujuan lingkungan dan dokumen pengelolaan air limbah,” ujar Budi pada Jumat, 19 Desember 2025.

Budi juga mengkhawatirkan bahwa aktifitas stockpile PT GSB bakal berujung pada pencemaran lingkungan sekitar. Hal tersebut kemudian berujung pada penutupan sementara stockpile PT GSB.

Artinya, kata Budi, perusahaan perlu menyelesaikan dulu segala perizinan lingkungan untuk kemudian bisa kembali beroperasi secara legal.

“Kalau cepat mereka menyelesaiakan perizinannya, ya cepat (operasional diizinkan). Cuman ini akan tetap dilakukan sanksi penindakan administratif,” katanya.

Reporter: Juan Ambarita

Continue Reading

LINGKUNGAN

Bocor! Minyak dari Gudang BBM Ilegal PT Kerinci Toba Abadi Cemari Lingkungan Sekitar

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Gudang BBM ilegal di Kota Jambi lagi-lagi menuai sorotan. Kali BBM meluber dari gudang BBM PT Kerinci Toba Abadi (KTA) yang terletak di kawasan Rt 10, Pal Merah pada Senin, 15 Desember 2025 sekira pukul 00.00 WIB.

Entah bagaimana ceritanya BBM yang bersumber dari gudang ilegal tersebut mengalir ke saluran drainase sekitar, beruntung tidak terjadi kebakaran. Pantauan awak media di lokasi pada Senin siang, 15 Desember 2025, bau solar menyengat di sekitaran gudang.

Tim kepolisian tampak sudah memasangi garis polisi di sekitar gudang. Sementara kondisi gudang tampak sepi, tanpa aktivitas.

Soal insiden di gudang BBM Ilegal PT KTA tersebut, Kasat Reskrim Polresta Jambi Kompol Hendra Manurung dikonfirmasi lewat pesan WhatsApp belum ada respons.

Sementara Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Jambi, Mahruzar mengaku bahwa pihaknya telah mengambil sampel dari BBM yang meluber tersebut.

“Tadi pagi kita bersama pihak Polresta sudah ambil sampel, cuma kalau untuk hasilnya belum keluar,” ujar Mahruzar.

Reporter: Juan Ambarita

Continue Reading

LINGKUNGAN

Sarat Masalah Pengelolaan Ekosistem Gambut

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Sejumlah persoalan dalam kebijakan dan implementasi pengelolaan ekosistem gambut di Provinsi Jambi kembali mengemuka. Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (Warsi) Rudi Syaff, mengungkap eksploitasi besar-besaran terhadap ekosistem gambut berdampak sangat signifikan tergadap perubahan iklim.

Secara sederhana dia menguraikan bahwa kenaikan suhu global berbanding lurus dengan kenaikan permukaan air laut. Gambut di daerah sekitar pesisir pun lebih cepat kering, dan ketika terbakar melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar. Sementara 2023 lalu, Indonesia menyatakan komitmen untuk menahan tingkat emisi diangka 29% secara mandiri.

“Kalau kita mau mempertahankan emisinya. Artinya mempertahankan hutannya dan mempertahankan muka air. Supaya gambut tidak kering dan emisi lepas. Bagaimama mempertahankan gambut, itu yang sangat penting,” kata Rudi Syaf, dalam dialog media Integrated Management of Peatland Lanscape in Indonesia (IMPLI), Kamis 23 Oktober 2025.

50 Persen Gambut Sudah Disulap

KKI Warsi mencatat, terdapat setidaknya 617 ribu hektar Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) di Provinsi Jambi. Namun 50% diantaranya sudah dikonversi menjadi perkebunan sawit maupun Hutan Tanaman Industri (HTI).

Padahal Undang Undang sudah melarang agar lahan gambut dengan kedalaman 3 Meter lebih tidak boleh dikelola untuk perkebunan alias berstatus hutan lindung gambut. Namun dilapangan, kriteria tersebut nyatanya dilabrak oleh pihak-pihak tak bertanggungjwab.

“Karna dia gambut dalam, Undang Undang bilang gambut diatas 3 meter itu (statusnya) lindung. Tapi prakteknya sudah berubah jadi kebun. Ada inkonsistensi kebijakan. Padahal berfungsi sangat penting bagi kehidupan,” ujarnya.

Padahal menurut Direktur KKI Warsi tersebut, lahan gambut Jambi dengan potensi kandungan karbon yang sangat tinggi sejatinya punya nilai ekonomi tinggi bagi Jambi maupun Indonesia jika dimanfaatkan dengan baik sebagaimana skema perdagangan karbon.

Oleh karena itu, ia pun mendorong peran aktif negara hingga penguatan peran masyatakat dalam menjaga dan merestorasi kawasan gambut. Menjaga gambut, kata Rudi, itu menjaga kehidupan, kunci keberhasilan kolaborasi, kebijakan yang berpihak hingga ekonomi lestari.

Penanganan Karhutla Belum Berfokus Pencegahan

Sementara itu Rektor Universitas Jambi Prof. Dr. Helmi yang juga merupakan pakar hukum lingkungan mengungkap persoalan krusial dalam paradigma penanggulangan karhutla yang belum sepenuhnya berfokus pada pencegahan. Prof Helmi, bahkan menilai terdapat politik anggaran yang ‘represif’ dalam hal karhutla.

“Ketika suatu kawasan ditetapkan masuk bencana, baru anggaran penanggulangan dicairkan. Karna (menggunakan) paradigma api dan asap, maka anggaran juga bukan angaran (untuk) mencegah atau mengatasi penyebab,” ujar Helmi.

Rektor Universitas Jambi tersebut berpandangan bahwa setidaknya terdapat beberapa penyebab yang sangat mendasar, mulai dari tata kelola lahan hingga sistem perizinan. Dia kembali mengungkit soal ketentuan perundang-undangan yang mengklasifikasikan gambut dengan kedalaman 3 meter lebih tidak boleh diusahakan lantaran masuk kawasan lindung. Namun pada prakteknya rawan pelanggaran dan minim penertiban.

“Trus apa yang harus dilakukan? Bagaimana kemudian memantau ini secara berkepanjangan? Cabut izinnya jika terjadi karhutla,” katanya.

Berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku, karhutla yang terjadi dalam areal konsesi atau HTI suatu badan usaha, sangsinya jelas yakni berupa pencabutan izin usaha atau administratif.

Namun pada prakteknya, kasus-kasus karhutla masih bergulir panjang pada proses pembuktian di persidangan. Padahal UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah menegaskan soal Strict Liability (Tanggungjawab Mutlak).

Dimana pada prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), perusahaan atau pihak pemegang izin usaha dapat dimintai tanggung jawab hukum atas terjadinya kebakaran di arealnya, tanpa perlu dibuktikan adanya unsur kesalahan atau kelalaian.

“Jadi tidak pas menurut saya, tanggungjawab mutlak itu jelas sangsinya administratif, langsung saja dicabut izinnya,” katanya.

Ditengah tantangan pemulihan, konsistensi kebijakan, tekanan konversi, dan minimnya insentif. Restorasi gambut lewat pengelolaan berkelanjutan FOLU Net Sink atau pemanfaatan hutan dan lahan dengan netral dinilai menjadi kunci. Hal itu demi menjaga kelestarian ekosistem gambut, hingga menekan laju naiknya suhu dan muka air laut.

Reporter: Juan Ambarita

Continue Reading
Advertisement Advertisement
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs