SEBAGAI negara kepulauan yang terhubung dengan pasar global, Indonesia menjadi tempat pertemuan bagi barang-barang dari berbagai negara. Tak heran lagi bahwa jutaan barang impor masuk ke Indonesia setiap harinya. Terlebih lagi, Indonesia masih bergantung terhadap kegiatan impor untuk memenuhi segala kebutuhan yang masih belum tercukupi jika mengharapkan sumber daya yang ada di dalam negeri. Maka dari itu, peran Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) sangat dibutuhkan untuk menyusun regulasi mengenai kepabeanan yang baik. Meskipun tak dapat dipungkiri, praktik-praktik impor ilegal masih marak terjadi dan menjadi masalah yang mengakar dalam proses importasi barang.
Praktik impor ilegal di Indonesia ibarat bayangan gelap yang menyelinap di balik terang benderangnya perdagangan internasional. Praktik ini sangatlah berdampak buruk bagi negara khususnya industri-industri lokal bahkan pedagang-pedagang kecil yang juga kerap mengeluhkan adanya praktik impor ilegal yang terjadi di Indonesia. Barang-barang yang diimpor secara ilegal pun beragam seperti halnya kosmetik, elektronik, dan yang paling banyak adalah barang-barang tekstil seperti pakaian.
Banyaknya praktik impor ilegal ini pula didukung dengan pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Perdagangan era kepemimpinan Presiden Jokowi pada bulan Juli 2024, yang mengatakan bahwa besaran nilai barang impor pakaian jadi menurut Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 116 juta dolar AS, sedangkan dari negara asal mencapai 356 juta dolar AS. Hal ini mengindikasikan bahwa impor ilegal yang masuk ke Indonesia hampir dua kali lipat dari data resmi yang tercatat.
Lalu pada tahun 2023, Data dari Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) menunjukkan perbedaan besar antara catatan ekspor Cina ke Indonesia dengan data impor BPS yaitu ekspor pakaian jadi dari Cina tercatat 269,57 juta dolar AS di ITC namun hanya 118,87 juta dolar AS menurut BPS. Pada 2022, selisih data mencapai 160%, sementara pada 2021 mencapai 112%. Secara total untuk semua komoditas, data ITC mencatat barang dari Cina yang masuk ke Indonesia bernilai 1,2 miliar dolar AS pada 2022, sedangkan BPS hanya mencatat lebih dari 400 juta dolar AS.
Bahkan yang baru saja terjadi akhir-akhir ini barang impor ilegal berupa produk tekstil kain gulungan sebanyak 90.000 rol yang menimbulkan potensi kerugian negara mencapai 90 miliar yang ditemukan di Kawasan Pergudangan Kamal Muara, Penjaringan, Jakarta Utara.
Alasan atau motif pelaku memilih untuk melakukan impor secara ilegal semata-mata untuk mengurangi biaya-biaya seperti biaya bea masuk, PPh 22 impor, PPN, serta pungutan-pungutan yang berkaitan dengan impor lainnya. Sehingga, harga produk yang dijual ke dalam negeri akan lebih murah dibandingkan dengan harga normalnya. Hal ini akan menimbulkan potensi kerusakan pasar dan sangat merugikan negara karena kehilangan potensi penerimaan negara.
Tak hanya di Indonesia, negara tetangga kita yakni Singapura tidak lepas dari permasalahan impor ilegal. Padahal, Singapura sering kali dianggap sebagai salah satu negara dengan sistem hukum yang paling ketat di dunia. Singapura menerapkan regulasi yang ketat terhadap barang yang diimpor. Setiap barang harus mematuhi peraturan dalam Undang-Undang Bea Cukai dan memerlukan izin impor sebelum tiba di negara tersebut. Barang-barang tertentu yang dianggap berisiko tinggi memerlukan izin khusus dari otoritas terkait. Negara ini memiliki undang-undang yang ketat terkait dengan perjudian, narkotika, vandalisme, dan kejahatan lainnya termasuk impor ilegal. Terdapat beberapa barang yang dilarang keras untuk diimpor seperti petasan, tanduk badak, peralatan telekomunikasi tertentu, obat terkontrol dan berbagai bahan berbahaya lainnya. Beberapa barang juga memerlukan izin khusus sebelum diimpor termasuk senjata dan bahan peledak, hewan dan produk hewan, bahan kimia dan zat berbahaya makanan (dengan pembatasan tertentu) dan perangkat elektronik tertentu.
Singapura memperkuat pengawasan di pelabuhan untuk mendeteksi dan mencegah masuknya barang ilegal. Proses pemeriksaan yang menyeluruh dilakukan untuk memastikan semua barang memenuhi standar keselamatan dan kualitas yang ditetapkan. Singapura juga aktif menjalin kerja sama dengan negara-negara lain termasuk Indonesia untuk mencegah penyelundupan barang. Seperti dalam kasus penyelundupan mobil mewah. Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani, telah meminta bantuan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Singapura untuk mengungkap kasus penyelundupan mobil mewah. Kerja sama ini mencakup pertukaran data dan informasi yang mencurigakan terkait pengiriman barang.
Jika dibandingkan dengan Indonesia, proses impor di Indonesia sering kali lebih birokratis yang dimana memerlukan beberapa izin dari berbagai lembaga. Proses ini bisa berlangsung lama karena melibatkan inspeksi dan persetujuan dari berbagai kementerian yang dapat memperumit perdagangan dibandingkan dengan sistem Singapura yang lebih efisien. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan 161/PMK.4/2007 Jo PMK 224/PMK.4/2015, barang lartas adalah barang yang dilarang atau dibatasi pemasukan atau pengeluarannya ke dalam maupun dari daerah pabean. Pemberlakuan ketentuan barang lartas tersebut ialah untuk melindungi kepentingan nasional.
Berbicara mengenai hukum regulasi kepabeanan di Indonesia, definisi penyelundupan barang impor ilegal dijelaskan secara implisit di dalam Pasal 7A dan 102A UU No 17 Tahun 2006 s.t.d.t.d UU No. 10 tentang Kepabeanan. Namun, yang menjadi sorotan dalam regulasi tersebut adalah adanya ketidakefektifan dalam frasa yang digunakan dalam Pasal 3 Ayat 3 dimana dalam pasal tersebut dituliskan bahwa “Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara selektif”. Frasa “selektif” disini mengartikan bahwa adanya proses pemilihan atau pemrosesan sebelum melakukan pemeriksaan kepabeanan. Hal ini tentu memicu timbulnya sebuah skeptis dalam masyarakat seperti akan terjadi permainan yang negatif antara petugas kepabeanan dengan pelaku impor ilegal. Dalam salah satu penelitian juga mengatakan bahwa frasa tersebut dapat diganti dengan frasa “komprehensif dan teliti” (Rahmadina, 2022). Hal ini pula juga dapat menjadi penyebab maraknya praktik ilegal di Indonesia.
Untuk memitigasi praktik impor ilegal yang sudah menjadi permasalahan yang mengakar di Indonesia, perlu adanya tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan. Seperti saat ini, Pemerintah telah memiliki satuan tugas (satgas) pengawasan barang tertentu untuk tata niaga impor untuk masa kerja sampai Desember 2024. Pembentukan satgas ini disebabkan karena banyaknya laporan dari pengusaha industri tekstil yang terkena dampak atas terjadinya impor ilegal yang menyebabkan perusahaan tersebut gulung tikar. Satgas tersebut bertugas untuk mengawasi importir-importir atau distributor-distributor serta grosir dengan skala besar atau pelaku usaha hulu.
Selain itu, Digitalisasi memiliki peran penting dalam memberikan solusi terhadap praktik impor ilegal di Indonesia. Teknologi modern yang didukung digitalisasi memungkinkan proses pengawasan, pelaporan, dan penindakan terhadap aktivitas impor ilegal menjadi lebih efisien, transparan, dan akurat. (*)
*Mahasiswi Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia
Discussion about this post