DALAM beberapa tahun terakhir, rokok elektrik telah menjadi tren yang semakin popular di kalangan masyarakat, terutama di kalangan anak muda. Rokok elektrik pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 2010 dan dengan cepat mendapat perhatian luas. Banyak orang menganggapnya sebagai alternatif yang lebih aman dibandingkan rokok konvensional karena tidak menghasilkan tar. Namun, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa rokok elektrik tetap memiliki risiko kesehatan, terutama akibat kandungan nikotin dan zat kimia lain dalam cairannya.
Rokok, baik dalam bentuk konvensional maupun elektrik, menyimpan ancaman serius terhadap kesehatan. Menurut data Kementerian Kesehatan, lebih dari 100 senyawa dalam asap rokok dapat memicu kanker, mutasi, dan penyakit lainnya. Dalam beberapa tahun terakhir, popularitas rokok elektrik tidak hanya menimbulkan perdebatan mengenai dampaknya, tetapi juga memunculkan tantangan bagi pemerintah dalam mengatur konsumsi produk ini, salah satunya melalui kenaikan tarif cukai.
Perlu diketahui, rokok elektrik termasuk dalam kategori barang yang dikenakan cukai sesuai dengan ketentuan dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang mengatur bahwa cukai dikenakan pada barang kena cukai, salah satunya adalah hasil tembakau, seperti sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, rokok elektrik, dan produk olahan tembakau lainnya (HPTL).
Data dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2021 mengungkapkan bahwa 19,2 persen pelajar Indonesia berusia 13-15 tahun adalah perokok aktif. Sementara itu, penggunaan rokok elektronik di kalangan remaja melonjak 10 kali lipat dalam satu dekade terakhir. Sejak pengenaan cukai pertama kali pada tahun 2018, pemerintah Indonesia telah beberapa kali menaikkan tarif cukai rokok elektrik. Awalnya tarif cukai rokok elektrik menggunakan sistem ad-valorem dengan tarif sebesar 57% dari harga jual eceran minimum.
Namun, sejak tahun 2022, pemerintah beralih ke sistem tarif spesifik, yang dinilai lebih efektif dalam menekan konsumsi karena kenaikan harga yang lebih signifikan dan variasi harga yang lebih rendah. Kenaikan ini bertujuan untuk mengurangi daya tarik produk tersebut, khususnya bagi generasi muda, sekaligus meningkatkan penerimaan negara.
Pada acara Media Gathering Kementrian Keuangan, Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, menyatakan bahwa kebijakan ini mempertimbangkan empat aspek penting: pengendalian konsumsi untuk kesehatan, keberlanjutan tenaga kerja di industri tembakau, peningkatan penerimaan negara, dan pengawasan rokok ilegal.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192/PMK.010/2022, tarif cukai rokok elektrik pada 2024 ditetapkan sebesar Rp3.074 per gram untuk rokok elektrik padat, Rp636 per mililiter untuk sistem cair terbuka, dan Rp6.776 per mililiter untuk sistem cair tertutup. Tarif ini jauh lebih tinggi dibandingkan tarif awal sebesar Rp666/ml pada 2019 untuk cairan rokok elektrik.
Namun, efektivitas kebijakan ini belum sepenuhnya tercapai. Meski pendapatan negara dari cukai hasil tembakau terus meningkat setiap tahun, konsumsi rokok elektrik tidak menunjukkan penurunan yang signifikan. Sebaliknya, popularitas produk ini terus melonjak, terutama di kalangan generasi muda.
Data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi pengguna rokok elektrik di DKI Jakarta mencapai 5,9%, lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional sebesar 2,8%. Menurut data Global Adult Tobacco Survey (GATS), jumlah pengguna rokok elektrik di Indonesia meningkat sepuluh kali lipat dalam satu dekade terakhir, dari 0,3% pada 2011 menjadi 3,1% pada 2021. Hal ini menunjukkan bahwa daya beli dan daya tarik rokok elektrik tetap tinggi meskipun ada kenaikan harga.
Beberapa faktor utama membuat rokok elektrik tetap diminati, bahkan ketika harganya terus meningkat. Salah satunya adalah variasi rasa yang ditawarkan, mulai dari rasa buah hingga rasa unik lainnya, yang menarik minat pengguna, terutama generasi muda. Selain itu, rokok elektrik sering kali dianggap lebih “keren” dibandingkan rokok konvensional, sehingga banyak pengguna menggunakannya sebagai bagian dari gaya hidup.
Adapun juga persepsi bahwa rokok elektrik lebih aman dibandingkan rokok biasa. Meski klaim ini sering digunakan dalam pemasaran, penelitian menunjukkan bahwa cairan rokok elektrik mengandung nikotin, formaldehida, dan logam berat yang dapat menyebabkan penyakit paru-paru, jantung, hingga kanker. Persepsi keliru ini menjadi tantangan besar dalam mengedukasi masyarakat mengenai bahaya rokok elektrik.
Kemudahan akses melalui penjualan daring turut mendukung popularitas rokok elektrik. Meskipun ada pembatasan usia, pengawasan yang kurang ketat membuat produk ini tetap mudah diakses oleh generasi muda.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran, karena kelompok usia muda lebih rentan terhadap adiksi nikotin. “Industri rokok terus mencari celah untuk menargetkan anak muda dengan promosi agresif. Ini harus dihentikan” ujar Manik Marganamahendra, Ketua Umum Youth Council for Tactical Changes (IYCTC). Oleh karena itu, pengendalian konsumsi rokok elektrik menjadi sangat penting dalam mengatasi meningkatnya pravalensi perokok muda dan mencegah krisis kesehatan di masa depan.
Kenaikan tarif cukai rokok elektrik jelas memengaruhi dinamika pasar, tetapi apakah produk ini akan tetap laris atau tidak bergantung pada respons konsumen terhadap perubahan harga. Bagi sebagian pengguna, rokok elektrik telah menjadi bagian dari gaya hidup atau dianggap sebagai alternatif untuk berhenti merokok, sehingga daya tariknya sulit untuk sepenuhnya dihilangkan. Meskipun demikian, kebijakan kenaikan cukai dapat menjadi langkah awal yang signifikan dalam mengendalikan konsumsi, terutama jika didukung dengan edukasi publik yang intensif dan pengawasan distribusi yang lebih ketat.
Dengan pendekatan yang menyeluruh, diharapkan penggunaan rokok elektrik dapat ditekan, melindungi generasi muda dari risiko adiksi nikotin dan dampak buruk kesehatan lainnya demi menyelamatkan generasi muda untuk menyongsong Indonesia Emas pada tahun 2045 nanti.
*Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia.
Discussion about this post