OPINI
Istiqomah
BANYAK PIHAK mengatakan, guru yang mempunyai sifat istiqomah, diibaratkan sebagai batu karang yang berada di tengah-tengah lautan, tidak bergeser sedikit pun walau dihantam gelombang yang besar.
Guru dihadapkan dengan berbagai persoalan ‘eksternal’ yang turut mempengaruhi dinamika pembelajaran di ruang kelas: pandemi covid-19, aturan tentang PTM terbatas, pergantian kurikulum, berubah dan bergantinya aturan tentang pendidikan, fasilitas pendidikan yang belum merata, masalah kompetensi guru, dll.
Kita memerlukan ‘guru yang istiqomah’. Guru ini ‘tegak lurus’ (Merdeka.com) membelajarkan siswanya tidak peduli apa pun yang terjadi di luar pembelajaran. Guru yang istiqomah dengan lisan, sikap bertahan dengan ‘mengeluarkan’ bahasa dan tuturan ‘yang enak didengar’ oleh siswa. Dia juga istiqomah dengan hati (Ibnu Abbas), apa pun yang terjadi dia tetap berniat jujur dalam pembelajaran. Dan yang paling penting, dia istiqomah dengan jiwa, dia mendidik dengan niat beribadah bukti ketaatan kepada Allah.
Dengan menerapkan istiqomah, guru akan merasa lebih ringan dalam menjalan tugas dan fungsinya: 1) melaksanakan tugas dengan meluruskan niat hanya untuk Allah SWT; 2) menjalan tugas bukan karena ‘tupoksinya’ tapi karena rindu dengan siswanya; 3) niatnya hanya untuk membelajarkan siswa walaupun caranya berbeda dengan cara cara yang biasa; 4) selalu ‘memburu’ informasi untuk ‘menyamankan diri’ dalam menjalankan tugasnya;
Kemudian, 5) selalu meningkatkan kompetensi diri, rendah diri untuk selalu menerima kritik, tidak pernah cepat puas dengan hasil yang dicapai dan selalu belajar hal baru; 6) ‘sekuat tenaga’ memotivasi siswa untuk melanjutkan pendidikan ke yang lebih tinggi, dalam konteks tertentu, siswa ‘dipaksa’ untuk melanjutkan pendidikan; 7) mencari cara ‘mempermudah’ pembelajaran bukan sebaliknya; 8) selalu mendoakan siswa untuk lapang dan terang hatinya dalam belajar.
Bagi guru, selain istiqomah, keteladanan dan moralitas guru juga menjadi prioritas. Tidak ada artinya ‘guru hebat’, bila tidak bisa memperlihatkan dan mencontohkan etika dan moral yang baik. Guru yang istiqomah bukan hanya ‘piawai’ dalam mengelola pembelajaran tapi juga menjadi contoh dan teladan bagi siswanya. Dia tidak membuat contoh, atau memberi contoh tapi mencontohkan sendiri hal hal yang positif.
Dengan menjaga istiqomah, guru tidak mudah ‘tergoda’: mencari ‘jalan pintas’ dalam merencanakan pembelajaran, ‘menyepelekan’ pembelajaran berkualitas, ‘mempermudah’ membuat penilaian, atau ‘membiarkan’ siswa tidak melanjutkan pendidikannya. Semuanya ini akan ’menggerogoti’ sendi-sendi pembelajaran di ruang kelas, dan kalau ini dibiarkan maka siswa akan keluar kelas seperti orang yang tidak belajar.
Harus disadari bahwa istiqomah bukan berarti keras kepala, tinggi hati, mau menang sendiri atau tidak mau mendengar masukan orang lain. Tapi, figur yang memiliki keyakinan kokoh dan memiliki arah hidup yang lurus, selalu ingin belajar, terbuka berdiskusi dengan siapa saja, ingin belajar dengan siapa saja, di mana saja dan kapan saja. Tidak malu harus belajar dengan siswanya, dengan orang yang lebih muda, dll.
Diyakini bahwa istiqomah bukan hal yang mudah dilakukan walaupun mudah diucapkan. Sifat ini bukan datang begitu saja, tapi dilandasi oleh banyak hal (diadopsi dari Abu Muslih): pertama, sabar adalah sifat dasar guru dalam pembelajaran. Tanpa ada kesabaran, bisa dipastikan guru tidak akan pernah ‘betah’ berada di kelas.
Kata ‘sabar’ inilah yang akan membuat guru memotivasi dirinya untuk selalu belajar, berinovasi dalam pemilihan strategi dan metode pembelajaran. Kata ‘sabar’ ini pula akan menghindarkan guru untuk tidak ‘bermain main’ terhadap kompetensi siswa.
Kedua, keteguhan hati, ini adalah ‘perasaan gembira’ terhadap permasalahan pembelajaran. Tidak goyah terhadap apa pun yang bisa mengganggu guru dalam pembelajaran. Apa pun problem yang muncul, tugas guru tetap membuat siswa belajar, dia akan mencari ‘akal’ agar siswa tetap menikmati proses pembelajaran.
Dia memiliki banyak alternatif dan pilihan agar siswa nyaman belajar dalam kelas. Tidak pernah menyerah dengan keadaan tapi akan ‘merekayasa’ keadaan agar berpihak pada siswa. Tidak boleh ada siswa yang mengeluh, apalagi ‘menderita’ saat pembelajaran. Semua siswa harus ‘direkayasa’ agar bahagia selama pembelajaran.
Keteguhan hati seorang guru disibukkan dengan kecintaan dan kerinduan untuk meningkatkan kompetensi siswa, guru tidak akan pernah merasakan sakit atau kecewa atas permasalahan yang muncul dalam pembelajaran, justru, permasalahan itulah penyemangat dirinya untuk ‘beribadah’, untuk berpikir dan belajar menyelesaikan masalah. Semakin banyak masalah yang muncul, semakin ‘bahagia’ dia, karena masalah adalah ‘pintu masuk’ untuk belajar dan berpikir, kemudian diniatkan untuk beribadah kepada-Nya
Ketiga, keberanian, bentuk dari tawakal guru karena kekuatan dan ilmunya dalam menghadapi permasalahan pembelajaran. Dipastikan, tidak ada pembelajaran yang luput dari problem. Dengan istqomah, guru mampu menegakkan kebenaran tanpa ada rasa takut, guru mampu mencari solusi dari permasalahan tersebut.
Solusi yang ditawarkan ‘win-win solution’, tidak ada pihak yang dirugikan oleh solusi tersebut. Semua pihak antusias untuk menjalan solusi yang ditawarkan guru. Oleh karena itu, guru meyakini bahwa keberanian melalui tawakal tidak akan pernah terwujud kecuali diiringi dengan kekuatan hati dan pikiran dan keyakinan terhadap wujud pertolongan Allah.
Keempat, penyucian diri, ketika hati dan jiwa ‘sepakat’ untuk melakukan yang terbaik untuk siswa dengan menjalan semua aturan yang sudah ditetapkan, maka langkah yang diambil dalam penyucian jiwa ini selalu muraqabah (merasa selalu diawasi oleh Allah SWT.), bukan merasa diawasi dan dicatat oleh perangkat teknologi (baca- aplikasi presensi online)
Kemudian, memperhatikannya dengan kritis dan penuh perhitungan ketika melaksanakan pembelajaran, semua langkah yang dikerja terukur dan bisa dipertanggungjawabkan karena seandainya jiwa dibiarkan ‘kosong’, maka guru akan melaksanakan tugas ‘seenaknya’, datang ke kelas, ‘ceramah sebentar, memberi tugas dan selesai. Kewajiban sudah terpenuhi dan langsung ‘mengisi laporan kinerja’.
Jadi, guru yang berjiwa istiqamah akan senantiasa berbuat kebajikan, nasihat-menasihati dan tidak mudah berputus asa serta sabar dalam melaksanakan pembelajaran dan berusaha mengarahkan hati untuk berjuang melawan tuntunan nafsu dan sifat malas yang merupakan ‘penyakit paling mematikan’ dalam proses pembelajaran. Semoga!
*) Penulis adalah Pendidik di Madrasah
OPINI
Politik Hukum dalam Pembentukan Undang-Undang: Meneguhkan Prinsip Negara Hukum atau Menegaskan Dominasi Kekuasaan?
Oleh: Juwika Pasaribu (P2B125067)*
DALAM idealitas konstitusi, hukum berada di atas kekuasaan. Namun dalam praktik politik hukum Indonesia, garis itu kerap kabur. Legislasi yang seharusnya menjadi wujud kehendak rakyat justru sering berubah menjadi instrumen politik kekuasaan. Pertanyaan mendasarnya pun muncul: apakah politik hukum Indonesia hari ini meneguhkan prinsip negara hukum atau justru menegaskan dominasi kekuasaan?
Secara konseptual, politik hukum adalah arah kebijakan hukum nasional yang menentukan bagaimana hukum dibentuk, diterapkan, dan ditegakkan dalam suatu negara. Mahfud MD (2009) mendefinisikannya sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan untuk mencapai citacita bangsa. Dengan kata lain, politik hukum adalah kompas yang seharusnya menuntun pembentukan undang-undang agar selaras dengan nilai-nilai konstitusi, bukan sekadar kepentingan penguasa.
Namun, praktik politik hukum Indonesia belakangan menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Contoh konkretnya dalam Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), pengesahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja hingga pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara memperlihatkan kecenderungan kuat bahwa politik hukum lebih banyak diarahkan untuk memperkuat struktur kekuasaan ketimbang mewujudkan keadilan sosial dan aspirasi masyarakat.
Revisi Undang-Undang KPK pada penerapannya dinilai akan melemahkan independensi lembaga antikorupsi, Undang-Undang Cipta Kerja disahkan secara tergesa tanpa partisipasi publik yang memadai dan bahkan dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, sementara UU IKN dinilai terburu-buru dan lebih mencerminkan kehendak politik pemerintah pusat daripada aspirasi rakyat.
Asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 hanya dijalankan sebatas formalitas administratif tanpa makna substantif. Publik memang diundang dalam forum konsultasi, tetapi ruang partisipasinya terbatas dan tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil akhir. Proses legislasi seperti ini menggeser makna hukum dari instrumen keadilan menjadi alat legitimasi kebijakan yang pada akhirnya rakyat hanya menjadi penonton dalam drama hukum yang disutradarai oleh kekuasaan.
Kondisi ini mengikis prinsip dasar negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Negara hukum mensyaratkan supremasi hukum atas kekuasaan, perlindungan hak asasi, serta adanya partisipasi publik dalam proses legislasi. Ketika proses pembentukan undangundang lebih menonjolkan kepentingan politik jangka pendek, maka prinsip negara hukum terdegradasi menjadi sekadar slogan konstitusional. Pemerintah dan DPR kerap berdalih bahwa percepatan legislasi dibutuhkan untuk kepastian hukum dan efisiensi kebijakan.
Namun, kepastian hukum yang tidak dilandasi legitimasi publik justru menimbulkan ketidakpastian sosial. Kepastian hukum yang dibangun di atas dominasi politik adalah kepastian semu, stabil di permukaan tetapi rapuh di dasar. Padahal, menurut Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya mengandung dimensi moral dan sosial yang berpihak pada keadilan, bukan sekadar mengabdi pada logika kekuasaan formal.
Dalam pandangan teori responsive law yang dikemukakan oleh Philip Nonet dan Philip Selznick, hukum ideal adalah hukum yang peka terhadap nilai-nilai masyarakat dan mampu beradaptasi terhadap tuntutan keadilan sosial. Artinya, pembentukan hukum harus partisipatif dan terbuka agar produk hukum tidak hanya sah secara formal, tetapi juga sah secara moral dan sosial. Karena itu, tantangan politik hukum Indonesia ke depan bukan hanya soal memperbanyak produk legislasi, tetapi menata kembali orientasinya. Hukum harus kembali menjadi instrumen moral untuk menegakkan keadilan, bukan alat taktis kekuasaan. Pemerintah dan DPR perlu mengembalikan fungsi legislasi sebagai ruang deliberatif yang mengutamakan dialog, transparansi, dan akuntabilitas.
Partisipasi publik harus dihidupkan kembali secara bermakna, bukan sekadar diundang dalam dengar pendapat, tetapi benar-benar dilibatkan dalam penyusunan kebijakan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi. Asas keterbukaan tidak boleh berhenti di meja administratif, melainkan menjadi ukuran kualitas demokrasi hukum. Tanpa pembenahan arah politik hukum, Indonesia berisiko terus melahirkan undang-undang yang sah secara formal namun kehilangan legitimasi sosial.
Ketika legitimasi publik hilang, hukum tidak lagi menjadi pemandu kehidupan bernegara, melainkan hanya pelengkap formal dari kehendak kekuasaan. Pada akhirnya, ukuran kemajuan negara hukum bukan terletak pada banyaknya undang-undang yang dihasilkan, melainkan pada sejauh mana hukum benarbenar menjadi penuntun bagi kekuasaan, bukan pelayannya
*Penulis merupakan mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.
OPINI
Politik Hukum dalam UU Cipta Kerja: Ekonomi dan Keadilan Konstitusional
Oleh: Okto Simangunsong, S.H*
POLITIK hukum pada hakikatnya merupakan kebijakan dasar yang menentukan arah pembentukan dan penegakan hukum suatu negara. Mahfud MD mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku untuk mencapai tujuan negara.
Definisi tersebut menegaskan bahwa hukum tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan merupakan hasil interaksi antara nilai, kekuasaan, dan kepentingan sosial-politik.
Dalam konteks Indonesia, politik hukum sering kali menjadi arena tarik-menarik antara tujuan pembangunan ekonomi dan prinsip keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. UU Cipta Kerja menjadi contoh konkret bagaimana arah politik hukum dapat bergeser menuju orientasi efisiensi ekonomi dengan mengorbankan partisipasi publik serta kualitas legislasi.
Metode omnibus law yang digunakan dalam pembentukan UU Cipta Kerja memang dimaksudkan untuk merapikan tumpang tindih regulasi dan mempercepat investasi. Namun, cara dan hasilnya menimbulkan kritik luas karena dinilai mengabaikan asas keterbukaan dan partisipasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dasar Teoretis dan Kerangka Regulasi
Secara teoretis, politik hukum merupakan wujud nyata dari policy oriented law making, di mana pembentukan hukum diarahkan oleh agenda politik negara. Menurut Padmo Wahyono (1986), politik hukum adalah kebijakan dasar dalam bidang hukum yang menjadi pedoman bagi pembentukan hukum untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Dengan demikian, politik hukum memiliki dua dimensi yakni normatif dan politis.
Dalam kerangka konstitusional, pengawasan terhadap produk politik hukum dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui kewenangan judicial review sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Mekanisme ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa setiap undang-undang selaras dengan prinsip konstitusi, terutama dalam hal keadilan, keterbukaan, dan penghormatan terhadap hak-hak warga negara.
UU Cipta Kerja dan revisinya melalui UU Nomor 6 Tahun 2023 menjadi ujian nyata bagi kedua aspek tersebut, apakah politik hukum pembentukannya masih berada dalam koridor konstitusi, dan sejauh mana MK berperan menjaga keseimbangan antara kekuasaan politik dan supremasi hukum.
Analisis Politik Hukum dalam UU Cipta Kerja
UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa politik hukum Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif. Pemerintah, dengan dukungan mayoritas politik di DPR, berhasil mendorong lahirnya undang-undang yang mengubah lebih dari 70 undang-undang sektoral sekaligus. Proses legislasi yang cepat, tertutup, dan minim partisipasi publik memperlihatkan bahwa hukum telah dijadikan instrumen kebijakan pembangunan ekonomi.
Kondisi ini memperlihatkan gejala instrumentalization of law hukum tidak lagi menjadi alat kontrol terhadap kekuasaan, melainkan alat legitimasi kekuasaan itu sendiri. Dalam konteks ini, efisiensi prosedural digunakan sebagai alasan untuk mengesampingkan nilai-nilai demokrasi substantif.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat merupakan wujud dari pengawasan konstitusional yang efektif. MK menegaskan bahwa pembentukan undang-undang harus memenuhi asas partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) sebagai bagian dari prinsip negara hukum.
Namun, tindak lanjut pemerintah melalui penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023, memperlihatkan kecenderungan resistensi terhadap koreksi yudisial. Alih-alih memperbaiki proses legislasi, pemerintah justru mengulangi pendekatan serupa dengan dalih mendesak kebutuhan ekonomi nasional. Fenomena ini memperlihatkan bahwa politik hukum di Indonesia masih belum sepenuhnya menghormati prinsip checks and balances.
Secara filosofis, politik hukum seharusnya berorientasi pada rule of law, yakni menempatkan hukum di atas kekuasaan. Namun praktik dalam pembentukan dan perubahan UU Cipta Kerja justru mencerminkan rule by law, yaitu penggunaan hukum sebagai instrumen legitimasi kebijakan politik.
Ketika hukum dikendalikan oleh kekuasaan politik, maka fungsi normatifnya sebagai pelindung keadilan sosial dan lingkungan hidup melemah. Akibatnya, hukum kehilangan legitimasi moral di mata publik.
Politik hukum pembentukan UU Cipta Kerja menunjukkan dua wajah. Di satu sisi, hukum berfungsi sebagai sarana untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan investasi. Namun di sisi lain, hukum kehilangan fungsi sosialnya sebagai instrumen keadilan. Keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan substantif menjadi terdistorsi.
Partisipasi publik yang minim dan pengabaian terhadap asas keterbukaan telah menimbulkan defisit legitimasi dalam politik hukum nasional. Ketika hukum tidak lagi dipersepsikan sebagai milik bersama, melainkan sebagai produk elit politik, maka kepercayaan publik terhadap negara hukum pun melemah.
Penutup
UU Cipta Kerja menjadi cermin nyata bagaimana politik hukum dapat bergeser dari orientasi keadilan menuju pragmatisme ekonomi. Dominasi eksekutif, lemahnya partisipasi publik, dan resistensi terhadap pengawasan yudisial menandakan bahwa sistem hukum Indonesia masih rentan terhadap politisasi.
Untuk membangun politik hukum yang konstitusional, dibutuhkan komitmen pada tiga hal pokok; (1). Menegakkan asas partisipasi publik yang bermakna dalam setiap proses legislasi. (2). Menghormati putusan Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk kontrol konstitusional, bukan sekadar formalitas hukum. (3). Menempatkan hukum sebagai sarana keadilan sosial, bukan alat legitimasi kebijakan ekonomi.
Hukum yang baik bukanlah hukum yang paling efisien, tetapi hukum yang paling adil. Politik hukum yang berorientasi pada keadilan konstitusional akan memastikan bahwa pembangunan ekonomi tidak mengorbankan hak rakyat dan prinsip negara hukum.
*Penulis merupakan Advokad dan mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.
PERNYATAAN Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini layak diapresiasi tinggi oleh rakyat. Dalam arahannya, Presiden menegaskan agar aparat penegak hukum tidak berbuat dzalim terhadap rakyat kecil dan tidak menjadikan hukum sebagai alat penindasan.
“Saya ingatkan terus kejaksaan, kepolisian, jangan kriminalisasi sesuatu yang tidak ada. Hukum jangan tumpul ke atas, tajam ke bawah,” ujar Prabowo di kantor Kejaksaan Agung usai menyaksikan penyerahan uang pengganti kerugian kasus CPO di Jakarta pada Senin, 20 Oktober 2025.
Pernyataan tersebut bukanlah basa-basi politik, melainkan tamparan moral bagi institusi penegak hukum yang selama ini dinilai gagal menjaga rasa keadilan publik. Kalimat Prabowo menyentuh inti luka sosial bangsa dan “ketimpangan penegakan hukum”.
Kita tidak menutup mata: hukum di Indonesia masih sering berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan. Rakyat kecil bisa dijerat karena perkara sepele, ada seorang ibu rumah tangga ditahan karena mencuri kayu bakar, seorang petani dipenjara karena bersengketa dengan perusahaan besar, seorang anak sekolah diseret ke pengadilan karena mencuri ayam.
Namun di sisi lain, pelanggaran besar oleh korporasi perusak lingkungan, pengemplang pajak, atau pelaku korupsi kerap “diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan”.
Inilah wajah hukum yang menakutkan bagi yang lemah, tapi lembek terhadap yang kuat.
Hukum yang tidak lagi menjadi pelindung keadilan, melainkan alat kekuasaan.
Kriminalisasi rakyat kecil bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah kemanusiaan. Banyak kasus bukan lahir dari niat jahat, tetapi dari kemiskinan yang sistemik. Petani yang menggarap tanah turun-temurun dianggap menyerobot lahan perusahaan; nelayan kecil yang mencari ikan dianggap melanggar izin laut; warga miskin kota yang berdagang di trotoar ditertibkan tanpa solusi.
Inilah bentuk nyata kriminalisasi kemiskinan, ketika hidup sederhana dianggap pelanggaran, dan perjuangan bertahan hidup dianggap kejahatan.
Pesan Presiden Prabowo seharusnya membuka mata para penegak hukum bahwa keadilan tidak bisa diukur dari seberapa banyak orang ditangkap, tetapi diukur seberapa adil hukum ditegakkan.
Kini saatnya aparat hukum membuktikan diri: apakah pesan Presiden hanya akan menjadi hiasan berita, atau benar-benar dijalankan di lapangan. Polisi, jaksa, dan hakim harus mulai bekerja dengan nurani. Karena hukum tanpa empati adalah kezaliman yang dilegalkan.
Bila rakyat kecil bisa diproses cepat, maka pelaku besar juga harus diproses lebih cepat. Bila rakyat miskin bisa diseret ke pengadilan, maka pengusaha dan pejabat yang korup juga harus diseret, tanpa pandang bulu.
Rakyat kecil kini menaruh harapan baru pada Presiden Prabowo. Namun harapan itu hanya akan hidup bila aparat hukum menindaklanjuti pesan beliau dengan tindakan nyata. Karena rakyat sudah terlalu sering mendengar janji keadilan, tapi jarang merasakannya.
Bila hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka rakyat akan terus kehilangan kepercayaan. Dan bila kepercayaan rakyat telah hilang, maka hukum kehilangan wibawa, dan negara kehilangan jiwanya.
*Humas DPD Gerindra Jambi

