OPINI
Catatan Daun
“Nak, bawa ini dan larung ke dalam sungai sebab purnama ke kita belum melarung sesaji ke Sungai Merah itu,” ujar ibuku.
Kubawa sesaji di dalam besek bambu yang berisi kembang tujuh rupa, harum bau bunga kantil menyengat hidungku. Jalanan terjal berbatu ku tempuh dengan sangat hati-hati. Apalagi suara deras air sungai merah,membuat nyaliku sedikit takut. Apalagi suara binatang seperti tongeret nyaring terdengar dari tepi sungai.
Perlahan namun pasti, aku menyusuri pinggiran Sungai Merah dengan cukup hati-hati. Sesekali tanganku berpegangan pada sisi dinding batu sungai, sambil menjaga keseimbangan tubuhku agar aku tidak tergelincir dan langsung terjun ke Sungai Merah, yang menurut cerita ibuku pernah ada pertarungan antara bujang seratus dan gadis seratus.
Pikiran-pikiran takut dan juga membayangkan cerita ibuku, semakin membuat aku takut untuk sekadar menoleh ke belakang saja. Tapi dengan membawa sesaji yang dipesankan ibuku untuk menaruh di dekat Air Terjun Mengkaring, membuat sedikit menimbulkan keberanian di dadaku.
Tonjolan batu-batu besar yang menyerupai pohon tua. Tak sedikit membuatku bisa menghilangkan rasa ketakutan pada diriku. Kicau burung makin sering terdengar dan membuatku sedikit nyaman, apalagi sepoi-sepoi angin begitu lembut sehingga membuat diriku makin mantap terus melangkah untuk bisa sampai ke dekat air terjun dimana ibu menyuruhku mendekatkan sesuai sebagai bentuk penghormatan pada penjaga air terjun.
Ini kesekian kalinya aku mengantar sesuai di dekat Air Terjun Mengkaring, yang menurutku begitu indah dan banyak didatangi orang, apalagi suasana alamnya masih asri, dan tidak ada tangan tangan jahil yang merusak alam di sekitar air terjun, apalagi dengan legenda yang ditinggalkan di Air Terjun Mengkaring menjadi cerita turun temurun bagi warga desaku. Begitu juga dengan cerita-cerita mengenai Sungai Merah yang dikelilingi pohon-pohon yang membatu, daun pakis yang membatu, kerang dan juga banyak binatang lain yang sudah membatu, sehingga cerita turun temurun soal desanya yang dulunya adalah lautan bisa menjadi cerita sendiri bagiku.
Rasa lelah setelah meletakkan cukup hati-hati, sesaji yang dimasukan dalam besek bambu, ku letakkan di atas batu yang airnya mengalir lebih sedikit, sehingga besek berisi sesaji masih bisa aman untuk beberapa hari.
Usai sudah tugas mengantarkan sesaji di Air Terjun mengkaring, kini waktunya aku untuk mengerjakan tugas mencari rumput untuk kambing peliharaan peninggalan ayahku.
Dua ekor kambing besar dengan sepasang anaknya, menjadi tanggung jawabku untuk mencarikan rumput di dekat ladang milik almarhum ayahku.
Ya, ini tahun ketiga bagiku dan ibuku, ditinggalkan ayah menghadap Ilahi, namun kami tidak mau larut dengan kesedihan terus menerus, sehingga ibuku yang sudah tua tidak begitu sedih memikirkan kepergian ayahku, apalagi aku sendiri sudah beranjak dewasa.
Pakan kambing cukup tersedia di ladang ayahku, sebab lokasi ladang tak jauh dari pemukiman desa dan juga dekat dengan kebun durian peninggalan kakekku.
Waktu beranjak sore, pakan rumput yang ku kumpulkan sudah banyak dan waktunya aku pulang ke rumah untuk memberi pakan dua kambing dan dua anaknya.
Malam bergeser, usai saat magrib, ku beranikan diri menanyakan ibuku, soal besek yang sering diletakkan di Air Terjun Mengkaring, dan apa tujuannya padahal ayahku adalah tetua desa yang saran dan petuahnya selalu didengar warga.
“Besek yang setiap purnama ibu kirim ke Air Terjun Mengkaring, apakah ada dampaknya terhadap kehidupan keluarga kita, Bu,” tanyaku penuh penasaran.
“Sesaji yang sering Ibu minta antar ke air terjun, bukanlah salah satu kewajiban pada keluarga kita, nak, sebab Air Terjun Mengkaring tidak boleh diagungkan, apalagi hanya benda mati,” ucap ibuku.
“Tapi perlakuan kita memberi sesaji, sejatinya hanyalah untuk menjaga dan melestarikan, agar air terjun tidak dirusak oleh orang lain. Harapan Ayah dan Ibu dengan kita meletakkan sesaji maka orang yang berkunjung dan menikmati alam di sana, sedikit menjadi takut untuk merusak sebab ada sesaji yang diletakkan di sana,” ujar ibuku sambil membetulkan posisi duduknya.
“Jika kita tidak bisa melarang agar orang tidak merusak, setidaknya dengan adanya sesaji maka mereka menjadi sedikit takut dan tidak berbuat macam-macam di sana, dan akhirnya lokasi itu tetap asri dan terus terjaga dengan sendirinya,” ungkap ibuku penuh makna.
Rasa penasaran yang mengganjal di dadaku, sedikit mulai terbuka, dan aku juga masih penasaran dengan cerita Sungai Merah, yang memiliki cerita turun temurun dan pernah terjadi pertempuran bujang seratus gadis seratus, rasa ingin tahuku makin menyeruak, sebenarnya ada misteri apa yang disimpan oleh para tetua desaku, sehingga sampai saat ini tidak ada satu orangpun yang berani menuba ikan di sana bahkan sekadar memindahkan batu fosil sedikit saja.
“Itulah, Nak, bujang seratus dan gadis seratus mereka sebenarnya tidaklah bertempur, tetapi dahulunya ada tradisi nenek moyang kita, bahwa bergotong royong membersihkan sungai dan merawat desa setiap tahunnya dilaksanakan sehingga tidak ada warga yang berniat merusak alam termasuk hewan air yang hidup di Sungai Merah ini,” katanya dengan penuh kelembutan.
“Apalah yang bisa ditinggalkan para leluhur kita, jika mereka tidak menceritakan bahwa ada pertempuran bujang seratus gadis seratus, maka hari ini kita tidak bisa menikmati beningnya air Sungai Merah yang selalu memberikan airnya ke setiap sumur-sumur warga, dan belum lagi ikan-ikan yang menghuni lubuk-lubuk, setiap hari masih bisa ditangkap warga desa kita untuk kebutuhan protein keluarganya,” ujar ibu lagi.
“Kami bisa bayangkan jika tidak kita ceritakan dan terus diceritakan dari generasi ke generasi, maka Ibu yakin bahwa semua kekayaan alam yang ada di desa kita cepat rusak dan mudah punah. Itulah sebabnya besek berisi sesaji sebenarnya hanya cara kami menjaga aset desa kita anakku,” ucap ibu.
Suara jangkrik, makin jelas terdengar sementara malam terus berlalu, rembulan mengintip malu-malu, waktu berlalu dengan sendu, ibuku masuk ke dalam bilik kamarnya untuk beristirahat, sementara aku masih sibuk mencerna apa yang diceritakan ibuku.
Kokok ayam penanda pagi datang, bergegas aku bangun untuk ambil air wudhu di belakang rumah. Ibu terlihat tengah memasak air dan makanan untuk sarapan kami.
Senyum manis ibuku seperti menyapa, jagalah dirimu dan alami agar engkau bisa bertutur pada generasimu kelak.
Sanggar Imaji, Pamenang 31 Juli 2023
OPINI
Politik Hukum dalam Pembentukan Undang-Undang: Meneguhkan Prinsip Negara Hukum atau Menegaskan Dominasi Kekuasaan?
Oleh: Juwika Pasaribu (P2B125067)*
DALAM idealitas konstitusi, hukum berada di atas kekuasaan. Namun dalam praktik politik hukum Indonesia, garis itu kerap kabur. Legislasi yang seharusnya menjadi wujud kehendak rakyat justru sering berubah menjadi instrumen politik kekuasaan. Pertanyaan mendasarnya pun muncul: apakah politik hukum Indonesia hari ini meneguhkan prinsip negara hukum atau justru menegaskan dominasi kekuasaan?
Secara konseptual, politik hukum adalah arah kebijakan hukum nasional yang menentukan bagaimana hukum dibentuk, diterapkan, dan ditegakkan dalam suatu negara. Mahfud MD (2009) mendefinisikannya sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan untuk mencapai citacita bangsa. Dengan kata lain, politik hukum adalah kompas yang seharusnya menuntun pembentukan undang-undang agar selaras dengan nilai-nilai konstitusi, bukan sekadar kepentingan penguasa.
Namun, praktik politik hukum Indonesia belakangan menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Contoh konkretnya dalam Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), pengesahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja hingga pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara memperlihatkan kecenderungan kuat bahwa politik hukum lebih banyak diarahkan untuk memperkuat struktur kekuasaan ketimbang mewujudkan keadilan sosial dan aspirasi masyarakat.
Revisi Undang-Undang KPK pada penerapannya dinilai akan melemahkan independensi lembaga antikorupsi, Undang-Undang Cipta Kerja disahkan secara tergesa tanpa partisipasi publik yang memadai dan bahkan dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, sementara UU IKN dinilai terburu-buru dan lebih mencerminkan kehendak politik pemerintah pusat daripada aspirasi rakyat.
Asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 hanya dijalankan sebatas formalitas administratif tanpa makna substantif. Publik memang diundang dalam forum konsultasi, tetapi ruang partisipasinya terbatas dan tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil akhir. Proses legislasi seperti ini menggeser makna hukum dari instrumen keadilan menjadi alat legitimasi kebijakan yang pada akhirnya rakyat hanya menjadi penonton dalam drama hukum yang disutradarai oleh kekuasaan.
Kondisi ini mengikis prinsip dasar negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Negara hukum mensyaratkan supremasi hukum atas kekuasaan, perlindungan hak asasi, serta adanya partisipasi publik dalam proses legislasi. Ketika proses pembentukan undangundang lebih menonjolkan kepentingan politik jangka pendek, maka prinsip negara hukum terdegradasi menjadi sekadar slogan konstitusional. Pemerintah dan DPR kerap berdalih bahwa percepatan legislasi dibutuhkan untuk kepastian hukum dan efisiensi kebijakan.
Namun, kepastian hukum yang tidak dilandasi legitimasi publik justru menimbulkan ketidakpastian sosial. Kepastian hukum yang dibangun di atas dominasi politik adalah kepastian semu, stabil di permukaan tetapi rapuh di dasar. Padahal, menurut Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya mengandung dimensi moral dan sosial yang berpihak pada keadilan, bukan sekadar mengabdi pada logika kekuasaan formal.
Dalam pandangan teori responsive law yang dikemukakan oleh Philip Nonet dan Philip Selznick, hukum ideal adalah hukum yang peka terhadap nilai-nilai masyarakat dan mampu beradaptasi terhadap tuntutan keadilan sosial. Artinya, pembentukan hukum harus partisipatif dan terbuka agar produk hukum tidak hanya sah secara formal, tetapi juga sah secara moral dan sosial. Karena itu, tantangan politik hukum Indonesia ke depan bukan hanya soal memperbanyak produk legislasi, tetapi menata kembali orientasinya. Hukum harus kembali menjadi instrumen moral untuk menegakkan keadilan, bukan alat taktis kekuasaan. Pemerintah dan DPR perlu mengembalikan fungsi legislasi sebagai ruang deliberatif yang mengutamakan dialog, transparansi, dan akuntabilitas.
Partisipasi publik harus dihidupkan kembali secara bermakna, bukan sekadar diundang dalam dengar pendapat, tetapi benar-benar dilibatkan dalam penyusunan kebijakan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi. Asas keterbukaan tidak boleh berhenti di meja administratif, melainkan menjadi ukuran kualitas demokrasi hukum. Tanpa pembenahan arah politik hukum, Indonesia berisiko terus melahirkan undang-undang yang sah secara formal namun kehilangan legitimasi sosial.
Ketika legitimasi publik hilang, hukum tidak lagi menjadi pemandu kehidupan bernegara, melainkan hanya pelengkap formal dari kehendak kekuasaan. Pada akhirnya, ukuran kemajuan negara hukum bukan terletak pada banyaknya undang-undang yang dihasilkan, melainkan pada sejauh mana hukum benarbenar menjadi penuntun bagi kekuasaan, bukan pelayannya
*Penulis merupakan mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.
OPINI
Politik Hukum dalam UU Cipta Kerja: Ekonomi dan Keadilan Konstitusional
Oleh: Okto Simangunsong, S.H*
POLITIK hukum pada hakikatnya merupakan kebijakan dasar yang menentukan arah pembentukan dan penegakan hukum suatu negara. Mahfud MD mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku untuk mencapai tujuan negara.
Definisi tersebut menegaskan bahwa hukum tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan merupakan hasil interaksi antara nilai, kekuasaan, dan kepentingan sosial-politik.
Dalam konteks Indonesia, politik hukum sering kali menjadi arena tarik-menarik antara tujuan pembangunan ekonomi dan prinsip keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. UU Cipta Kerja menjadi contoh konkret bagaimana arah politik hukum dapat bergeser menuju orientasi efisiensi ekonomi dengan mengorbankan partisipasi publik serta kualitas legislasi.
Metode omnibus law yang digunakan dalam pembentukan UU Cipta Kerja memang dimaksudkan untuk merapikan tumpang tindih regulasi dan mempercepat investasi. Namun, cara dan hasilnya menimbulkan kritik luas karena dinilai mengabaikan asas keterbukaan dan partisipasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dasar Teoretis dan Kerangka Regulasi
Secara teoretis, politik hukum merupakan wujud nyata dari policy oriented law making, di mana pembentukan hukum diarahkan oleh agenda politik negara. Menurut Padmo Wahyono (1986), politik hukum adalah kebijakan dasar dalam bidang hukum yang menjadi pedoman bagi pembentukan hukum untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Dengan demikian, politik hukum memiliki dua dimensi yakni normatif dan politis.
Dalam kerangka konstitusional, pengawasan terhadap produk politik hukum dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui kewenangan judicial review sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Mekanisme ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa setiap undang-undang selaras dengan prinsip konstitusi, terutama dalam hal keadilan, keterbukaan, dan penghormatan terhadap hak-hak warga negara.
UU Cipta Kerja dan revisinya melalui UU Nomor 6 Tahun 2023 menjadi ujian nyata bagi kedua aspek tersebut, apakah politik hukum pembentukannya masih berada dalam koridor konstitusi, dan sejauh mana MK berperan menjaga keseimbangan antara kekuasaan politik dan supremasi hukum.
Analisis Politik Hukum dalam UU Cipta Kerja
UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa politik hukum Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif. Pemerintah, dengan dukungan mayoritas politik di DPR, berhasil mendorong lahirnya undang-undang yang mengubah lebih dari 70 undang-undang sektoral sekaligus. Proses legislasi yang cepat, tertutup, dan minim partisipasi publik memperlihatkan bahwa hukum telah dijadikan instrumen kebijakan pembangunan ekonomi.
Kondisi ini memperlihatkan gejala instrumentalization of law hukum tidak lagi menjadi alat kontrol terhadap kekuasaan, melainkan alat legitimasi kekuasaan itu sendiri. Dalam konteks ini, efisiensi prosedural digunakan sebagai alasan untuk mengesampingkan nilai-nilai demokrasi substantif.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat merupakan wujud dari pengawasan konstitusional yang efektif. MK menegaskan bahwa pembentukan undang-undang harus memenuhi asas partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) sebagai bagian dari prinsip negara hukum.
Namun, tindak lanjut pemerintah melalui penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023, memperlihatkan kecenderungan resistensi terhadap koreksi yudisial. Alih-alih memperbaiki proses legislasi, pemerintah justru mengulangi pendekatan serupa dengan dalih mendesak kebutuhan ekonomi nasional. Fenomena ini memperlihatkan bahwa politik hukum di Indonesia masih belum sepenuhnya menghormati prinsip checks and balances.
Secara filosofis, politik hukum seharusnya berorientasi pada rule of law, yakni menempatkan hukum di atas kekuasaan. Namun praktik dalam pembentukan dan perubahan UU Cipta Kerja justru mencerminkan rule by law, yaitu penggunaan hukum sebagai instrumen legitimasi kebijakan politik.
Ketika hukum dikendalikan oleh kekuasaan politik, maka fungsi normatifnya sebagai pelindung keadilan sosial dan lingkungan hidup melemah. Akibatnya, hukum kehilangan legitimasi moral di mata publik.
Politik hukum pembentukan UU Cipta Kerja menunjukkan dua wajah. Di satu sisi, hukum berfungsi sebagai sarana untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan investasi. Namun di sisi lain, hukum kehilangan fungsi sosialnya sebagai instrumen keadilan. Keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan substantif menjadi terdistorsi.
Partisipasi publik yang minim dan pengabaian terhadap asas keterbukaan telah menimbulkan defisit legitimasi dalam politik hukum nasional. Ketika hukum tidak lagi dipersepsikan sebagai milik bersama, melainkan sebagai produk elit politik, maka kepercayaan publik terhadap negara hukum pun melemah.
Penutup
UU Cipta Kerja menjadi cermin nyata bagaimana politik hukum dapat bergeser dari orientasi keadilan menuju pragmatisme ekonomi. Dominasi eksekutif, lemahnya partisipasi publik, dan resistensi terhadap pengawasan yudisial menandakan bahwa sistem hukum Indonesia masih rentan terhadap politisasi.
Untuk membangun politik hukum yang konstitusional, dibutuhkan komitmen pada tiga hal pokok; (1). Menegakkan asas partisipasi publik yang bermakna dalam setiap proses legislasi. (2). Menghormati putusan Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk kontrol konstitusional, bukan sekadar formalitas hukum. (3). Menempatkan hukum sebagai sarana keadilan sosial, bukan alat legitimasi kebijakan ekonomi.
Hukum yang baik bukanlah hukum yang paling efisien, tetapi hukum yang paling adil. Politik hukum yang berorientasi pada keadilan konstitusional akan memastikan bahwa pembangunan ekonomi tidak mengorbankan hak rakyat dan prinsip negara hukum.
*Penulis merupakan Advokad dan mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.
PERNYATAAN Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini layak diapresiasi tinggi oleh rakyat. Dalam arahannya, Presiden menegaskan agar aparat penegak hukum tidak berbuat dzalim terhadap rakyat kecil dan tidak menjadikan hukum sebagai alat penindasan.
“Saya ingatkan terus kejaksaan, kepolisian, jangan kriminalisasi sesuatu yang tidak ada. Hukum jangan tumpul ke atas, tajam ke bawah,” ujar Prabowo di kantor Kejaksaan Agung usai menyaksikan penyerahan uang pengganti kerugian kasus CPO di Jakarta pada Senin, 20 Oktober 2025.
Pernyataan tersebut bukanlah basa-basi politik, melainkan tamparan moral bagi institusi penegak hukum yang selama ini dinilai gagal menjaga rasa keadilan publik. Kalimat Prabowo menyentuh inti luka sosial bangsa dan “ketimpangan penegakan hukum”.
Kita tidak menutup mata: hukum di Indonesia masih sering berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan. Rakyat kecil bisa dijerat karena perkara sepele, ada seorang ibu rumah tangga ditahan karena mencuri kayu bakar, seorang petani dipenjara karena bersengketa dengan perusahaan besar, seorang anak sekolah diseret ke pengadilan karena mencuri ayam.
Namun di sisi lain, pelanggaran besar oleh korporasi perusak lingkungan, pengemplang pajak, atau pelaku korupsi kerap “diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan”.
Inilah wajah hukum yang menakutkan bagi yang lemah, tapi lembek terhadap yang kuat.
Hukum yang tidak lagi menjadi pelindung keadilan, melainkan alat kekuasaan.
Kriminalisasi rakyat kecil bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah kemanusiaan. Banyak kasus bukan lahir dari niat jahat, tetapi dari kemiskinan yang sistemik. Petani yang menggarap tanah turun-temurun dianggap menyerobot lahan perusahaan; nelayan kecil yang mencari ikan dianggap melanggar izin laut; warga miskin kota yang berdagang di trotoar ditertibkan tanpa solusi.
Inilah bentuk nyata kriminalisasi kemiskinan, ketika hidup sederhana dianggap pelanggaran, dan perjuangan bertahan hidup dianggap kejahatan.
Pesan Presiden Prabowo seharusnya membuka mata para penegak hukum bahwa keadilan tidak bisa diukur dari seberapa banyak orang ditangkap, tetapi diukur seberapa adil hukum ditegakkan.
Kini saatnya aparat hukum membuktikan diri: apakah pesan Presiden hanya akan menjadi hiasan berita, atau benar-benar dijalankan di lapangan. Polisi, jaksa, dan hakim harus mulai bekerja dengan nurani. Karena hukum tanpa empati adalah kezaliman yang dilegalkan.
Bila rakyat kecil bisa diproses cepat, maka pelaku besar juga harus diproses lebih cepat. Bila rakyat miskin bisa diseret ke pengadilan, maka pengusaha dan pejabat yang korup juga harus diseret, tanpa pandang bulu.
Rakyat kecil kini menaruh harapan baru pada Presiden Prabowo. Namun harapan itu hanya akan hidup bila aparat hukum menindaklanjuti pesan beliau dengan tindakan nyata. Karena rakyat sudah terlalu sering mendengar janji keadilan, tapi jarang merasakannya.
Bila hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka rakyat akan terus kehilangan kepercayaan. Dan bila kepercayaan rakyat telah hilang, maka hukum kehilangan wibawa, dan negara kehilangan jiwanya.
*Humas DPD Gerindra Jambi

