PERKARA
Mantan Bupati Safrial Bersaksi di Kasus Korupsi PT PSJ, Tak Pernah Ada Verifikasi Atas Izin Lokasi PT PSJ

DETAIL.ID, Jambi – Mantan Bupati Tanjungjabung Barat 2 periode, Syafrial kembali mendatangi Pengadilan Negeri Jambi guna memberi kesaksian atas perkara korupsi penggunaan kawasan hutan sebagai perkebunan sawit PT Produk Sawitindo Jambi pada Senin, 2 Juni 2025.
Safrial tak hadir sendiri. Dia ditemani oleh mantan Kadis Perkebunan dan Kehutanan Tanjungjabung Barat masa jabatan 2002 – 2008 Dadang Suhendar, serta Melam Bangun mantan Kadis Perkebunan periode 2010 – 2021 yang sebelumnya juga menjabat Kabid Perkebunan pada 2007 – 2009. Mereka bertiga menjadi saksi penuntut umum di persidangan.
Safrial dalam kesaksiannya bilang bahwa secara garis besar, sebagai Bupati dia berwenang mengeluarkan Izin Prinsip dan Izin Lokasi. Di masa kepemimpinannya, kala itu PT PSJ masih disebut sebagai Makin Group.
Dia pun mengaku sama sekali tidak mengetahui bahwa terdapat kebun sawit PT PSJ yang berada di dalam kawasan. Namun di daerah Batang Asam, salah satu lokasi kebun PSJ berdiri, dia mengaku kalau dulunya banyak lahan berstatus Hutan Produksi.
Ditanya jaksa, apakah pada 2005 dirinya pernah mengeluarkan Izin Lokasi pada PT PSJ, Syafrial tak menjawab konkret, dia mengaku lupa. Ditanya, apakah PSJ pernah mengajukan pelepasan kawasan. Dia juga mengaku tidak tahu.
“Kewenangan saya izin prinsip dan izin lokasi, dengan catatan ada tanah yang tidak terurus. Atau kalau ada tanah dalam kawasan dibebaskan dulu. Setelah itu dia datang kedua, berapa yang klir. Nah itu yang kita kasih izin lokasi,” kata Syafrial.
Jaksa kembali bertanya, apakah pihaknya pernah melakukan kroscek atas izin lokasi yang diterbitkan, mantan Bupati Tanjabbar 2 periode tersebut mengaku bahwa terdapat tim verifikasi yang berada di bawah Sekda dan OPD terkait.
“Itu ada saudara Sekda untuk tindaklanjuti sesuai aturan,” ujarnya.
Sementara itu saksi Dadang juga mengaku tidak tahu bahwa PSJ ada melakukan usaha perkebunan dalam kawasan. Padahal mantan Kadisbunhut itu jelas menyebut fungsi pengawasan hutan atas pembalakan liar dan karhutla berada pada tupoksinya.
Dalih Dadang, masalahnya tidak pernah ada laporan resmi yang diterima pihaknya soal penyerobotan kawasan hutan tersebut.
Penuntut Umum kembali mencecar soal perjanjian kerja sama antara PSJ dengan sejumlah Kelembagaan Petani pada rentang tahun 2010. Atas kebun sawit dalam kawasan hutan yang bahkan sudah dibangun jauh-jauh sebelumnya pada 2003, sebelum PSJ mengantongi izin lokasi dari Bupati.
Soal ini saksi Melam Bangun menyebut jika dirinya hanya mengetahui soal adanya perjanjian kemitraan dengan skema 70:30 antara perusahaan dengan petani. Sementara untuk lokasi persis kebun yang dikerjasamakan. Dia mengaku tidak tahu.
Usai sidang, Syafrial bilang bahwa dirinya hanya memberikan keterangan soal izin apa yang dikeluarkan. Menurutnya pihaknya tidak ada melanggar regulasi yang berlaku. Sekalipun terungkap di persidangan bahwa pihaknya tak pernah melakukan kroscek verifikasi atas lahan yang diberikan izin lokasi.
“Itu sesuai aturan. Yang jelas kita tidak melanggar dari aturan tersebut,” katanya.
Disinggung soal dasar pemberian Izin Lokasi bagi PSJ yang mencaplok kawasan hutan serta lahan peruntukan bagi warga Transmigrasi Swakarta Mandiri, tanpa disertai verifikasi oleh pihaknya kala itu. Dia kembali berdalih bahwa verifikasi atau kroscek berada pada domain jajarannya.
“Kan ada tim teknis kami, kalau bupati tidak banyak tahu. Yang jelas, saya selalu perintahkan untuk tidak boleh mengeluarkan izin lokasi di dalam kawasan,” katanya.
Sebelumnya perkara korupsi penggunaan kawasan hutan oleh PT PSJ, menyeret mantan Direktur sekaligus Komisaris PT PSJ Sony Setiabudi Tjandrahusada dan Mantan Dirut PT PSJ Ferdinan Christosmus Ramba. Keduanya didakwa telah merugikan negara sebesar Rp 126 miliar lewat aksi penyerobotan kawasan hutan demi perkebunan sawit yang berlangsung sejak 2003 hingga 2021.
Reporter: Juan Ambarita
PERKARA
Arief Efendi Terdakwa Korupsi di Kasus Bank Jambi Akui Perbuatannya, Minta Keringanan Hukum

DETAIL.ID, Jambi – Arief Efendi, salah satu terdakwa perkara korupsi gagal bayar Medium Term Note (MTN) Bank Jambi dengan PT SNP masih menghadapi serangkaian persidangan di Pengadilan Tipikor Jambi.
Sosok terdakwa yang sempat buron kemudian ditangkap tim Pidsus Kejati Jambi pada 13 Desember 2024 lalu itu kini menjalani sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa pada Selasa, 1 Juli 2025.
Di persidangan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Syafrizal Fakhmi, terdakwa mengakui perbuatannya. Ia juga mengaku menyesal. Dirinya juga mengaku telah menyerahkan nilai kerugian negara sebesar Rp 1,7 miliar pada penyidik.
“Saya mengakui yang mulia (semua isi BAP). Uang Rp 1,7 miliar juga sudah saya kembalikan,” ujar terdakwa Arief di persidangan.
Dalam pernyataannya pada JPU. Arief pun tampak mengeluarkan air mata seraya memohon keringanan hukum atas perbuatannya.
“Banyak peristiwa yang sudah saya alami. Saya mohon keringanan,” ujarnya.
Usai sidang, JPU Suryadi dikonfirmasi mengakui bahwa sudah ada penitipan uang kerugian negara dari terdakwa sebesar Rp 1,7 miliar. Nilai itu disebut berasal dari fee (kutipan) tidak resmi yang dilakukan terdakwa dalam proses pencairan MTN PT SNP pada Bank Jambi tahun 2017 – 2018. Adapun duit itu kini berada di rekening penitipan Kejari Jambi.
“Pada intinya, si terdakwa mengakui terkait apa yang diperbuatnya. Sementara uang tersebut dititip di rekening kejaksaan,” ujar Suryadi.
Dengan pengakuan dan segala fakta persidangan yang didapati sejauh ini, JPU mengaku bakal jadi pertimbangan dalam tuntutan yang bakal bergulir dua pekan ke depan.
Sementara penasihat hukum terdakwa Azuri Nasution berharap ada keringanan hukum bagi kliennya lantaran sikap kooperatif dan pengembalian kerugian juga sudah dilakukan.
Dalam kasus ini, Arif, mantan Kepala Divisi Fixed Income PT MNC Sekuritas didakwa secara bersama-sama dengan terpidana Yunsak El Halcon yang telah divonis penjara selama 13 tahun, Dadang Suryanto (divonis 9 tahun) dan Andri Irvandi (divonis 13 tahun), serta terdakwa Leo Darwin (tahap kasasi).
Telah melakukan tindak pidana korupsi terkait gagal bayar pembelian Medium Term Note (MTN) PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) pada tahun 2017–2018 yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 310.118.271.000.
Reporter: Juan Ambarita
PERKARA
Hasil TPPU, BPN Ungkap Tek Hui Punya Tanah 2.857 Meter Persegi di Muarojambi

DETAIL.ID, Jambi – Terdakwa perkara narkotika Dedi Susanto alias Tek Hui kembali menjalani sidang dengan agenda pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri Jambi pada Selasa, 1 Juli 2025.
Kali ini sidang Tek Hui kedatangan saksi dari BPN Muarojambi yakni Muhammad Andri. Dirinya menyebut bahwa terdakwa Tek Hui memiliki tanah di Desa Lopak Alai, Kecamatan Kumpeh Ulu seluas 2.857 meter persegi.
“Dibeli milik Haireni pada tanggal 19 Juli 2024,” ujar Andri di persidangan.
Aset tanah tersebut menurut saksi lengkap dengan SHM. Dan telah dilakukan balik nama atas nama Dedi Susanto. Dia pun sudah punya sertifikat elektronik atas aset tanah yang didakwa sebagai hasil TPPU. Dia mengurus aset tanah tersebut dengan menggunakan surat kuasa pada orang lain.
“Dia (Tek Hui) beli Rp 200 juta,” katanya.
Penuntut umum kembali mencecar soal kepemilikan tanah atas nama Haireni sebelum dijual pada Tek Hui. Soal ini, Andri bilang, Haireni sebelumnya membeli tanah tersebut dari orang lain pada rentang 2017.
“Kalau pemilik sebelumnya, tidak tahu,” katanya.
Adapun aset tanah dengan nomor SHM 00430 atas nama Dedi Susanto tersebut kini jadi salah satu bukti dalam perkara TPPU yang dilakukan oleh Tek Hui.
Reporter: Juan Ambarita
PERKARA
Masyarakat Transmigrasi Mengaku Lahannya Dicaplok PT Makin Alias PSJ, Kakantah BPN Klaim HGU Aman dari Kawasan

DETAIL.ID, Jambi – Perkara korupsi penggunaan kawasan hutan dalam perkebunan PT Produk Jambi Sawitindo (PSJ) masih terus bergulir dengan agenda pemeriksaan saksi di Pengadilan Tipikor Jambi pada Selasa, 1 Juli 2025.
Kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan 3 warga Batangasam, Tanjungjabung Barat yakni Sairan, Suratin, dan Untung Basuki. Ketiganya merupakan masyarakat transmigran asal Jawa yang ditempatkan di Jambi dalam program transmigrasi 1994.
Di persidangan, ketiga warga transmigrasi tersebut mengaku bahwa mereka hanya dapat lahan untuk pekarangan (LU1) dari pemerintah. Total 50 KK masyarakat transmigrasi disebut tak pernah mendapatkan lahan untuk usaha pertanian atau perkebunan (LU2) yang diperuntukkan bagi mereka. Dari seharusnya 50 KK tersebut dapat masing-masing 1 hektare.
“Lahannya dikuasai Makin (PSJ), Pak. Enggak ada dapat hasilnya. Mulai tahun 2002 kalau enggak salah. 2005 mulai panen, yang memanen pihak PSJ,” ujar Sairan, dibenarkan oleh saksi lainnya di persidangan.
Menurut saksi, saat itu Kepala Desa Mereka di Dusun Kebun yakni Syafii pernah menawarkan kepada warga agar lahan peruntukan transmigrasi tersebut dimitrakan. Mereka pun menyetujui, namun tak pernah menerima hasilnya.
Ketua Majelis Hakim, Syafrizal Fakhmi lantas menanyakan apa upaya para warga transmigrasi untuk memperoleh kembali lahan yang memang diperuntukkan bagi mereka.
“Kami mengajukan ke Kades. Alhamdulilah tahun 2008 ada BPN masuk ngukur, cuma sampai sekarang enggak ada (hasil). Cuma dulu itu katanya akan diselesaikan. Tapi sampai sekarang tidak ada (penyelesaian),” ujarnya.
Selain itu para warga juga mengaku telah membawa permasalahan itu kepada Timdu Kabupaten Tanjungjabung Barat pada 2019. Namun tidak ada hasil konkret hingga saat ini.
Dalam persidangan JPU juga menghadirkan Kepala BPN Tanjungjabung Barat periode 2023 hingga saat ini yakni Idian Huspida. Hakim lantas mencecar apakah terdapat Izin Lokasi yang diterbitkan pada rentang 2005?
Idian mengaku dia tidak tahu jelas, lantaran kala itu dia baru pindah ke BPN Tanjungjabung Barat.
Di persidangan pun terungkap bahwa HGU PT PSJ baru terbit pada 2015. Terdapat 2 HGU yang diterbitkan berdasarkan izin lokasi dari Bupati Tanjungjabung Barat. Dari izin lokasi yang disetujui mencapai 20 ribu hektare, terbit HGU PT PSJ yakni HGU Nomor 50 dan 51 dengan luasan 1.044 hektare dan 200 hektare.
Majelis Hakim kembali bertanya, apakah Idian selaku Kakantah BPN Tanjungjabung Barat pernah dilibatkan dalam rapat-rapat penyelesaian konflik PT PSJ dengan Koperasi Harapan Maju, KUD Payung Sakti dan masyarakat transmigrasi? Soal ini, Idian mengaku belum pernah.
Bahkan ia mengaku baru mengetahui permasalahan tersebut saat pemeriksaan kasus ini bergulir oleh Kejari Tanjungjabung Barat. Dia juga mengklaim bahwa 2 HGU PT PSJ yang terbit pada 2015 aman, alias tidak menyerobot kawasan hutan. Lantaran telah dilakukan overlay atas peta kawasan.
Sementara untuk lahan peruntukan transmigrasi seluas 50 hektare yang disebut-sebut berada dalam HGU PT PSJ. Menurut Idian, hal itu menjadi kewenangan kabupaten dalam artian subjek menjadi kewenangan Pemkab kemudian pihaknya melakukan identifikasi atas surat dan objeknya. Ketika ada permohonan baru diterbitkan sertifikat.
“Selama belum ada permohonan, BPN tidak akan menerbitkan sertifikat,” ujar Idian.
Hakim kembali mencecar bagaimana memastikan bahwa pada HGU yang diterbitkan atas nama PSJ tidak mencaplok kawasan hutan terlebih lagi lahan peruntukan masyarakat. Soal ini Kakantah BPN Tanjungjabung Barat tersebut tidak dapat memberi penjelasan rinci, dia hanya berdalih bahwa telah dilakukan olverlay kawasan bersama Dinas Kehutanan untuk verifikasi.
“Siapa yang bisa memastikan. Bapak bilang tidak, Bapak kan saksi fakta. Kalau kita mau cari fakta, harus bisa dibuktikan bahwa itu memang tidak masuk kawasan hutan atah lahan trans. Ada titik koordinatnya, lengkap,” ujar hakim.
Usai sidang, Idian ketika hendak dikonfirmasi lebih lanjut tampak mengelak. Dia tidak mau direkam. Namun dia yakin bahwa HGU yang terbit pada 2015 atas nama PJS tersebut berada di luar kawasan hutan dan di luar lahan peruntukan masyarakat transmigrasi.
Terkait kesaksian warga yang mengaku lahannya dikuasai oleh Koperasi Harapan Maju dengan PSJ, Idian menyebut bahwa objek lahan masyarakat transmigrasi masih akan dicari keberadaannya oleh pihaknya.
Reporter: Juan Ambarita