Connect with us

OPINI

Gen Z, Stop Overthinking Soal Jurusan Kuliah

Oleh: Puteri Nazwa Layla

DETAIL.ID

Published

on

Ilustrasi
Ilustrasi

Tidak sedikit dari kita, para Gen Z, yang masih bingung soal masa depan. Mikirin jurusan kuliah, kerja nanti mau jadi apa, atau jalan hidup mana yang paling tepat. Aku pun pernah ada di posisi itu, dan jujur aja, penuh drama.

Dulu aku pengen banget jadi arsitek. Bayangin deh, bikin desain bangunan keren, terus bisa lihat hasil karyaku berdiri megah di tengah kota. Keren banget, kan?

Tapi ternyata hidup punya arah lain. Pas kuliah, aku malah masuk jurusan Mass Communication. Awalnya agak kecewa juga sih, tapi ternyata ini justru salah satu keputusan terbaik yang pernah aku ambil.

Kalau dipikir-pikir, mungkin aku bakal stres berat kalau beneran masuk arsitektur. Ngerjain struktur bangunan, mikirin faktor keamanan, dan tanggung jawab gede? Bisa-bisa tiap malam nggak bisa tidur. Ternyata Mass Comm jauh lebih cocok buat aku.

Dari Hobi Doang, Jadi Serius

Aku dari kecil udah suka banget sama yang namanya bikin konten. Dulu pernah iseng bikin konten gaming di YouTube, vlog santai dan edit video-video, waktu itu sih nggak kepikiran bisa jadi kerjaan beneran. Tapi sejak masuk kuliah, aku baru sadar dunia komunikasi itu luas banget. Ada broadcasting, PR, digital media, advertising, dan banyak lagi. Dan sekarang, bikin konten udah jadi profesi yang nyata banget.

Apalagi pas lihat temen-temen mulai bikin proyek sendiri, mulai dari short movie, vlog, sampai podcast mahasiswa. Itu bikin aku makin semangat. Aku mulai ikutan bikin juga, walaupun masih kecil-kecilan. Tapi rasanya seru, dan di situ aku mulai ngerasa, “Kayaknya ini deh passion ku.”

Saat Merasa Ketinggalan

Tapi namanya juga manusia, kadang overthinking itu datang lagi. Scroll TikTok, lihat temen-temen views-nya ratusan ribu. Buka YouTube, nemu kreator baru yang udah punya jutaan subscriber. IG story temen? Isinya endorse-an semua.

Terus aku mikir, “Kok aku masih gini-gini aja ya?” Padahal aku juga udah coba bikin konten, belajar editing, ngerjain proyek. Tapi tetap aja ngerasa belum cukup. Ditambah lagi kadang ada yang nanya, “Nanti lulus mau jadi wartawan ya?”

Seakan-akan lulusan Mass Comm cuma bisa kerja di media konvensional, padahal sekarang pilihan kariernya banyak banget.

Timeline Tiap Orang Beda-Beda

Sampai akhirnya aku sadar juga, kenapa sih harus selalu ngebandingin diriku sama orang lain? Ada yang sukses di umur 18, ada yang baru nemu jalannya di umur 25.

Yang penting itu bukan siapa yang paling cepat, tapi siapa yang konsisten terus belajar dan berkembang. Sejak itu, aku mulai fokus ke proses. Setiap tugas kampus, vlog, atau video promosi yang aku kerjain, aku anggap latihan. Aku belajar hal baru, coba gaya baru, dan ngembangin skill-ku pelan-pelan.

Dan yang paling penting: aku mulai menikmati prosesnya. Aku berhenti mikir kapan bakal sukses, dan lebih fokus nikmatin tiap langkahnya.

Passion vs Prospek? Kenapa Nggak Dua-Duanya

Dulu aku mikir harus pilih salah satu: passion atau prospek. Ternyata, nggak harus gitu. Kuliah di Mass Comm ngasih aku banyak bekal. Aku ngerti gimana komunikasi yang efektif, gimana cara bangun hubungan sama audiens, dan gimana strategi media itu jalan. Itu semua kepake banget buat dunia konten sekarang.

Aku bisa kerja di digital agency, sambil tetap bangun personal brand-ku sendiri atau jadi freelance videographer, sambil bikin konten yang aku suka. Bahkan bisa mulai dari content writer, sambil belajar podcast-an pas weekend. Intinya? Aku bisa punya “kerjaan aman” dan tetap ngejar mimpi.

Mulai dari Sekarang, Bukan Nanti

Buat kamu yang masih galau, jangan tunggu semuanya sempurna dulu. Mulai aja dari yang kamu punya. Punya HP? Bikin konten.Punya laptop? Belajar editing. Punya ide? Tulis, rekam, dan bagikan.

Yang penting itu konsisten, bukan sempurna. Dan terakhir, jangan bandingin hidupmu sama orang lain. Setiap orang punya timing masing-masing, dan kamu juga pasti bakal nemu jalurmu sendiri.

Aku nggak nyangka, dari yang awalnya pengin jadi arsitek, aku malah nemu passion sejati di dunia konten. Hidup emang penuh kejutan. Tapi selama kita siap, terbuka, dan mau jalanin prosesnya, semuanya bakal jadi cerita yang keren.

Karier itu bukan tentang siapa yang paling cepat sampai, tapi siapa yang paling tahan jalanin proses. Jadi daripada sibuk ngebandingin diri sama orang lain, mending fokus aja sama versi terbaik dari dirimu sendiri. Karena mungkin, jurusan yang awalnya kamu anggap “jalan kedua” justru jadi pintu utama menuju hidup yang kamu impikan.

Penulis: Puteri Nazwa Layla, Mass of Communication Student, BINUS UNIVERSITY

OPINI

Warisan Alam dan Budaya Jambi Butuh Ekosistem, Bukan Sekadar Event

Oleh: Yulfi Alfikri Noer S. IP., M. AP

DETAIL.ID

Published

on

Akademisi UIN STS Jambi

Pariwisata tidak lagi dapat dipandang sebagai sektor pelengkap dalam pembangunan daerah, melainkan telah bertransformasi menjadi salah satu pengungkit utama pertumbuhan ekonomi, pelestarian budaya, dan penciptaan lapangan kerja. Secara nasional, arah kebijakan pembangunan pariwisata Indonesia menekankan pentingnya experience-based economy, ekonomi berbasis pengalaman dengan menjadikan kekayaan budaya dan alam sebagai fondasi utama pengembangan sektor unggulan. Namun, pertanyaannya, sejauh mana Provinsi Jambi, dengan segala kekayaan sejarah, keunikan budaya, dan pesona alamnya, telah mengelola potensi pariwisata secara strategis, terencana, dan berkelanjutan?

Potensi Wisata Jambi: Alam, Budaya, dan Identitas Lokal

Potensi pariwisata Jambi sesungguhnya luar biasa. Dari situs purbakala Candi Muaro Jambi yang disebut sebagai kompleks percandian Buddha terluas di Asia Tenggara dan telah masuk daftar tentatif warisan dunia UNESCO hingga kawasan ekowisata seperti Danau Kerinci dan Gunung Kerinci yang menjadi primadona wisata alam Sumatra, Jambi memiliki kekayaan destinasi yang khas dan autentik.

Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), yang merupakan habitat Harimau Sumatra dan bagian dari kawasan konservasi dunia, turut memperkuat posisi Jambi sebagai destinasi ekowisata berkelas internasional. Fenomena alam Bukit Khayangan yang menyajikan panorama “negeri di atas awan”, serta Desa Wisata Lempur yang berhasil memadukan kekayaan budaya lokal dengan ekowisata berbasis masyarakat, merupakan contoh konkret bagaimana kearifan lokal dapat menjadi kekuatan pariwisata berkelanjutan.

Jambi juga memiliki Geopark Merangin, yang menyimpan jejak fosil tertua di Asia Tenggara dan menyajikan potensi geowisata bernilai tinggi. Tak kalah penting, terdapat Taman Nasional Bukit Duabelas, kawasan seluas 605 km² yang menjadi benteng terakhir hutan hujan tropis dataran rendah di Jambi sekaligus wilayah hidup komunitas adat Orang Rimba. Kawasan ini bukan hanya penting bagi konservasi biodiversitas, tetapi juga menyimpan nilai sosial dan budaya yang tak ternilai suatu daya tarik otentik yang langka dalam peta wisata nasional.

Namun demikian, seluruh potensi tersebut belum sepenuhnya diterjemahkan menjadi kekuatan ekonomi yang inklusif maupun sebagai instrumen diplomasi budaya yang strategis. Persoalannya bukan semata pada minimnya promosi atau keterbatasan infrastruktur, tetapi justru lebih mendasar, menyangkut lemahnya ekosistem pariwisata dari hulu hingga hilir. Mulai dari aspek perencanaan, kapasitas SDM, sinergi antar pemangku kepentingan, hingga integrasi pengalaman wisata yang utuh dan bermakna semuanya masih memerlukan pembenahan serius dan terstruktur.

Hingga tahun 2023, jumlah tenaga kerja pariwisata di Jambi yang telah tersertifikasi baru mencapai 1.075 orang. Sementara itu, program pelatihan peningkatan kapasitas hanya menjangkau sekitar 3.033 peserta per tahun (Bapperida Provinsi Jambi, dikutip dari Antara Jambi, 2023). Angka ini tentu belum sebanding dengan ragam dan luasnya destinasi wisata yang tersebar di provinsi ini. Yang menjadi catatan, Jambi hingga kini belum memiliki perguruan tinggi khusus kepariwisataan, meski Gubernur Al Haris sempat mengusulkan pendirian Akademi Pariwisata sebagai langkah penguatan ekosistem pendidikan lokal (Pemerintah Provinsi Jambi). Akibatnya, kualitas pemandu wisata dan pelaku industri pariwisata masih rendah. Bahkan hanya 29–30 pemandu wisata yang tersertifikasi resmi secara nasional hingga 2023 (Antara News). Tanpa peningkatan literasi budaya dan kompetensi profesional, promosi wisata hanya akan menjadi aktivitas spasial yang dangkal dan mudah terlupakan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Thamrin Bachri, mantan Dirjen Pemasaran Pariwisata dan Kerjasama Luar Negeri, terdapat sejumlah isu strategis yang harus menjadi perhatian serius. Ketika dikaitkan dengan realitas Jambi, isu-isu ini menggambarkan tantangan mendasar dari sisi hulu hingga hilir:

1. Mengutamakan peran dan kepemilikan masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata (Community First Philosophy)

Desa wisata seperti Lempur (Kerinci) dan Lubuk Beringin (Bungo) menjadi contoh keberhasilan berbasis masyarakat. Namun, jika SDM lokal tak dibekali kecakapan, partisipasi mereka hanya simbolik. “Tanpa SDM lokal yang berdaya, pariwisata akan menjadi asing di tanah sendiri,” tegas Thamrin. Maka, community-based tourism bukan sekadar melibatkan warga, tapi memastikan mereka memiliki kecakapan dan kendali atas ruang hidup dan warisan budaya mereka sendiri.

2. Pendapatan meningkat tapi objek wisata rusak atau terabaikan (Healthy Revenues vs Dying Object)

Jumlah kunjungan meningkat, tetapi objek rusak. Candi Muaro Jambi kerap mengalami degradasi: kerusakan akses, minim pengamanan, dan tak ada pembatasan kunjungan. Danau Kerinci mengalami sedimentasi, sementara TNKS menghadapi tekanan dari ekspansi wisata alam yang tidak dilandasi kajian lingkungan yang ketat.Menurut Laporan IDSPD Kemenparekraf 2022, Jambi unggul dalam atraksi, tapi lemah dalam sustainability management dan konservasi destinasi. Ini menunjukkan bahwa pendapatan jangka pendek dari wisatawan bisa jadi justru mempercepat kerusakan jika tidak diimbangi perlindungan dari hulu, baik dalam tata kelola ruang, peraturan pengunjung, maupun edukasi pelaku wisata. Objek wisata yang tidak dilindungi dari akarnya, hanya akan jadi latar foto, bukan warisan untuk generasi.

3. Fokus pada keuntungan materi jangka pendek (Materialism + Short-termism)

Pariwisata Jambi sering terjebak dalam pola “gebrakan tanpa pondasi” menggelar event besar, membangun spot foto viral, atau menggandeng selebgram demi angka kunjungan sesaat. Namun di balik gemerlap itu, identitas budaya tidak dibina, dan SDM lokal tidak disiapkan. Akibatnya, promosi hanya menjadi kosmetik digital, sementara nilai otentik daerah memudar, maka daya saing akan selalu bergantung pada impresi jangka pendek, bukan kualitas layanan. Pernyataan ini sejalan dengan pandangan Thamrin Bachri, yang menegaskan bahwa, Pariwisata bukan soal kejar tayang, tapi membangun makna dan kapasitas yang bertahan puluhan tahun. Tanpa investasi jangka panjang di sektor pendidikan pariwisata, Jambi hanya akan jadi penonton di panggung pariwisata nasional ramai sesaat, redup selamanya. Promosi instan tanpa membina SDM dan identitas budaya hanya akan memicu pariwisata putih-benang-putus. Investasi pendidikan profesional lebih abadi daripada event semata.

4. Membedakan antara fasilitas estetika dengan kebutuhan dasar (Nice to Have vs Need to Have)

Pembangunan pariwisata di Jambi kerap terjebak pada estetika semu: taman swafoto, panggung tanpa pertunjukan, atau landmark tanpa narasi budaya. Padahal yang paling dibutuhkan wisatawan justru sering diabaikan: akses jalan memadai, toilet bersih, air bersih, serta pemandu yang kompeten dan jujur. Laporan Indeks Daya Saing Pariwisata Daerah (IDSPD) 2022 dari Kemenparekraf RI mencatat bahwa Jambi masih lemah dalam aspek infrastruktur dasar dan kualitas layanan dibandingkan provinsi lain di Sumatera. Tanpa pemetaan kebutuhan nyata di lapangan, investasi pariwisata justru rawan mubazir menghasilkan fasilitas yang indah di proposal, sunyi di lapangan.

5. Kerusakan akibat kelebihan beban penggunaan (Wear and Tear)

Banyak destinasi wisata di Jambi mengalami kelelahan fisik dan sosial akibat pengelolaan yang tidak berbasis kapasitas tampung. Candi Muaro Jambi, Danau Kaco, Air Terjun Telun Berasap, dan Bukit Khayangan menjadi contoh lokasi yang mulai terdampak oleh keramaian tanpa kontrol. Minimnya sistem zonasi, tidak adanya batasan kunjungan harian, serta kurangnya edukasi wisatawan membuat ekosistem lokal terancam rusak. Hal ini sejalan dengan peringatan UNESCO yang mendorong agar kawasan situs sejarah dan konservasi seperti Muaro Jambi dan TNKS dikelola dengan prinsip carrying capacity dan konservasi berkelanjutan. Tanpa regulasi ketat, destinasi justru bisa “mati karena terlalu laku”.

6. Ketergantungan ekonomi yang berlebihan pada sektor pariwisata. (Overdependence on Tourism)

Pariwisata Jambi terlalu disandarkan sebagai single engine of growth, padahal sektor ini rawan terhadap fluktuasi tren, bencana, bahkan gejolak ekonomi global. Ketika pandemi melanda, hampir seluruh desa wisata dan pelaku UMKM wisata mengalami stagnasi total.

Alih-alih fokus pada kuantitas pengunjung, pendekatan yang lebih resilien adalah mengintegrasikan pariwisata dengan sektor ekonomi kreatif, pertanian berkelanjutan, dan pendidikan budaya lokal. Desa seperti Lempur dan Rantau Kermas telah menunjukkan potensi ini menyatukan wisata dengan konservasi alam dan budaya. Thamrin Bachri menegaskan, pariwisata yang berdiri sendiri itu rapuh. Ia harus menopang dan ditopang oleh sektor lain agar bertahan dalam segala cuaca.

7. Kebersihan, ketertiban, dan kejujuran sebagai standar pelayanan wisata (Clean, Order & Honest)

Bukan sekadar slogan kebersihan dan keramahan, prinsip ini mencerminkan integritas pelayanan yang harus dirasakan langsung oleh wisatawan. Faktanya, di Jambi saat ini hanya tersedia sekitar 29–30 pemandu wisata bersertifikat, sementara wisatawan terutama mancanegara semakin selektif terhadap kualitas informasi dan pelayanan. Pertanyaan yang kerap muncul dari wisatawan asing tentang kredibilitas pemandu menjadi cermin bahwa kita belum sepenuhnya siap secara profesional. Ini bukan hanya soal jumlah, tapi soal urgensi meningkatkan standar etik, komunikasi, dan kompetensi SDM lokal agar Jambi tidak sekadar jadi tujuan, tapi benar-benar berkesan.

8. Mengemas potensi lokal (budaya, kuliner, seni, alam) menjadi pengalaman wisata yang utuh dan menarik (Opportunity Packaging & Collaboration)

Jambi memiliki kekayaan budaya yang luar biasa, mulai dari tradisi lisan Orang Rimba, irama khas musik melayu, ragam tarian daerah, hingga kuliner berbasis rempah yang otentik. Sayangnya, seluruh elemen ini masih berdiri sendiri terpisah antara satu dengan lainnya, tanpa alur naratif yang kuat maupun koneksi dengan pengalaman wisata yang terintegrasi.

Belum ada paket wisata tematik yang mampu menggabungkan pengalaman lintas indrawi menyentuh rasa, suara, visual, dan cerita ke dalam satu kesatuan yang menggugah. Jambi butuh pendekatan story-driven tourism, di mana setiap destinasi bukan hanya menjadi tempat singgah, melainkan ruang yang menghidupkan kisah, karakter, dan nilai-nilai lokal.

9. Desentralisasi dan pemberdayaan pengelolaan ke tingkat komunitas (Subvision)

Pengelolaan pariwisata tak bisa sentralistik. Desa seperti Rantau Kermas berhasil karena diberi kewenangan dan rasa memiliki. Namun, ini harus dibarengi pelatihan, pembiayaan, dan regulasi berpihak agar komunitas bukan sekadar pelengkap administratif.

10. Sinergi Lintas Pihak (Collaboration)

Pariwisata adalah ekosistem, bukan program sektoral. Kolaborasi multipihak bukan sekadar pelengkap, melainkan jantung dari keberhasilan pembangunan wisata. Kegagalan proyek-proyek pariwisata kerap terjadi karena pendekatan silo dan top-down. Sukses Kajanglako Art Center (KAC), misalnya, lahir dari dialog berkelanjutan antara seniman, pemerintah, akademisi, dan masyarakat. Model semacam ini perlu direplikasi dalam skala lebih luas, mulai dari perencanaan, hingga pengelolaan destinasi berbasis komitmen kolektif.

Pariwisata berkelanjutan di Jambi tidak cukup dimaknai sebagai upaya menambah angka kunjungan semata, melainkan sebagai proses penataan ulang ekosistem secara menyeluruh dari hulu yang masih rapuh menuju hilir yang kokoh dan berdaya saing. Data dan dinamika yang telah dipaparkan memperlihatkan secara gamblang bahwa ketimpangan antara investasi infrastruktur fisik dan pembangunan kapasitas manusia merupakan tantangan mendasar yang belum tertangani secara sistemik. Untuk itu, diperlukan tata kelola yang kolaboratif berbasis data, penguatan institusi pendidikan vokasional pariwisata, serta desentralisasi pengelolaan kepada komunitas lokal yang telah terbukti mampu menjaga warisan budaya sekaligus merawat daya tarik destinasi.

Kini saatnya Jambi meninggalkan strategi sektoral yang serba instan dan beralih ke arah transformasi struktural yang membangun ketahanan sosial, ekonomi, dan budaya secara simultan. Dengan identitas dan integritas sebagai fondasi, pariwisata Jambi tak hanya bisa bertahan di tengah dinamika zaman, tetapi tumbuh menjadi sektor unggulan yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Dan sebelum kita terus menggemakan promosi dan memburu pasar, pertanyaan mendasar yang harus kita ajukan adalah, sudahkah hulu pariwisata kita benar-benar siap?

Continue Reading

OPINI

Pilihan Jalan atau Hanya Berpetualang

DETAIL.ID

Published

on

USAI sudah Pilgub Jambi 2024. Usai sudah penghitungan. Baik penghitungan lembaga survey, quick count maupun penetapan resmi dari KPU. Baik berjenjang dari KPU Kabupaten maupun penetapan akhir KPU Provinsi Jambi. Hasilnya tidak jauh berubah. Kemenangan telak diraih oleh Al Haris-Sani. Sang incumbent yang mantap dengan peraihan 60%. Jauh dari perkiraan para ahli yang banyak meramalkan hanya mampu meraih 52%-26%.

Namun apapun hasil kemenangan Pilgub, cerita dibalik pilkada yang berlangsung selama setahun terakhir banyak memberikan pelajaran. Sekaligus cerita yang bisa ditorehkan. Sekaligus diceritakan kepada generasi muda.

Pertama. Memilih Gubernur/Wakil Gubernur Jambi tentu saja tidak memilih yang terbaik. Tentu saja banyak putra-putra terbaik di Jambi.

Berbagai teori ilmu politik maupun sebagian aliran pemikiran, memilih pemimpin bak memilih seperti kaum Sofi. Kaum yang memang dilahirkan manusia suci dan mempunyai pemikiran yang sangat bijaksana.

Bahkan banyak sekali aliran agama yang menempatkan Pemimpin politik bak memilih seperti ulama. Lengkap pengetahuan dunia, pengetahuan agama dan perilaku yang terpuji.

Maqom ini sering digunakan untuk menangkis terhadap calon-calon yang populer. Sekaligus membentengi diri dan melindungi kandidatnya.

Sebagai pemikiran, ajaran ataupun strategi, cara-cara ini sah saja digunakan.

Namun ditengah perkembangan zaman yang begitu pesat, strategi kampanye yang setiap Pilgub yang berbeda-beda, saya memilih dengan ukuran yang paling sederhana.

Memilih pemimpin ketika dia mau mendengarkan. Mau melaksanakan janji-janjinya yang sederhana. Sekaligus dia mau mendengarkan ketika saya mengumpat, memaki bahkan menghardik kinerja.

Dia lebih banyak mendengarkan. Dia sama sekali tidak memberikan klarifikasi ataupun bantahan terhadap apa yang saya sampaikan.

Apakah terlalu sederhana itu ? Ya. Cukup sederhana.

Di dalam berbagai kesempatan, ukuran realistis yang paling mudah dijangkau, apakah dia mau mengurusi pendidikan, kesehatan dan infrastruktur jalan.

Selama itu bisa dijangkau dengan ukuran obyektif selama itu saya tetap didalam barisan. Termasuk juga kalaupun banyak yang berlarian meninggalkannya, mungkin saya orang terakhir meninggalkannya.

Sebagai manusia, tentu saja kadangkala sering dongkol, kecewa bahkan kesal. Namun ketika seseorang mau mendengarkan gerutukkan saya, lebih banyak diam ketika saya umbarkan kemarahan, itulah kemewahan saya sebagai rakyat.

Dan ketika satu persatu pertimbangan, nasihat ataupun saran kemudian diikuti, bagiku itulah seseorang pemimpin. Menjawab dengan tindakan. Bukan sekadar janji.

Kedua. Di tengah Pilgub Jambi 2024, tentu saja ada sebagian kemudian memilih berbeda barisan. Memilih kemudian berbeda bagiku tidak terlalu mengganggu pemikiran.

Namun yang menarik pemikiran tentu saja alasan kemudian ketika pernah bersama-sama kemudian memilih berbeda barisan.

Selama memilih dengan alasan prinsip dan mendasar, tentu saja respek selalu kuhargai.

Namun ketika alasan memilih bukanlah prinsip dan mendasar dan lebih mengutamakan emosi, baper, tentu saja bagiku itu kekanak-kanakan.

Padahal kutahu sang pengabar mempunyai literatur bacaan yang kuat. Sikap dan prinsip yang selama ini sempat kukagumi. Bahkan cara penyampaian yang begitu tajam tidak salah kemudian kutempatkan sebagai tokoh panutan.

Namun ketika kutahu sang tokoh kemudian meninggalkan barisan dengan alasan (mungkin bagiku konyol) seketika respekku hilang. Berganti dengan nada sentimentil yang mendayu-dayu. Persis kayak anak ABG yang lagi galau. Ketika cuma SMS, telp ataupun WA sama sekali tidak dibalas.

Padahal di ujung telepon, sang pacar malah sibuk dengan pekerjaan rutinitas yang memang memaksa tidak memegang HP.

Yang kadangkala bikin geli, selevel tokoh (kata orang bijak sering “hatinya harus jember”), yang mewarisi sikap keteladanan bersikap kekanak-kanakan justru menjadi hiburan tersendiri. Kalaupun bukan pelajaran pahit yang menjadi perjalanan hidup.

Namun apapun yang terjadi dibalik Pilgub Jambi 2024, seleksi alam begitu kejam. Hanya orang mampu menghadapi perubahan zaman yang akan bertahan.

Selain itu mereka akan tergilas dengan kehadiran generasi milenial bahkan generasi Gen Z yang tidak kenal ampun. Melumat orang-orang cengeng di kancah politik.

Dan saya kemudian memilih. Bergabung dengan generasi milenial dan generasi Gen Z untuk menertawakan “kecengengan” kaum tua yang ketika berbicara selalu menepuk-nepuk dada.

Pilgub Jambi 2024 juga mengajarkan. Kemenangan Pilgub ketika menguasai generasi millenial dan Generasi Z.

Selamat datang, Era baru. Selamat datang generasi baru. (***)

*Direktur Media Publikasi Tim Pemenangan Al Haris-Sani

Continue Reading

OPINI

Kebijakan Pajak 12%: Selektivitas untuk Barang Mewah, Strategi atau Tantangan?

DETAIL.ID

Published

on

PEMERINTAH Indonesia telah mengumumkan bahwa mereka berencana untuk menerapkan tarif PPN sebesar 12%. Rencana ini akan dimulai per 1 Januari 2025, sesuai dengan mandat yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Namun, telah diputuskan bahwa kebijakan ini hanya akan berlaku untuk barang mewah. Banyak orang melihat kebijakan ini sebagai cara untuk meningkatkan pendapatan negara dan menghalangi daya beli industri dan masyarakat tertentu.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Barang Mewah mengatur mekanisme pemungutan pajak atas barang-barang yang dikategorikan sebagai barang mewah. Menurut pasal 1 ayat (1) UU tersebut, barang mewah adalah barang yang dalam penggunaannya tidak memberikan manfaat langsung terhadap kelangsungan hidup atau kehidupan manusia, yang menyebabkan pengenaan pajak untuk membatasi kontribusi kelangsungan hidup atau kehidupan manusia. Oleh karena itu, pengenaan pajak 12% ini dimaksudkan untuk membatasi konsumsi barang tersebut.

Pandangan Pemangku Kebijakan

Presiden Prabowo Subianto menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk meminimalisir konsumsi barang mewah yang tidak bersifat esensial bagi masyarakat umum. Ia menegaskan pentingnya melindungi rakyat kecil melalui pengecualian PPN untuk barang kebutuhan pokok.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menilai kebijakan ini sebagai langkah yang menyesuaikan tren global dalam perpajakan dengan pelaksanaan cukup diatur melalui PMK. Ia memastikan bahwa pelaksanaannya dirancang agar tidak merugikan ekonomi rakyat.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk mencerminkan asas keadilan. “Kami ingin memastikan barang-barang yang memiliki kontribusi lebih besar terhadap pendapatan pajak adalah barang-barang yang memang hanya dikonsumsi oleh kelompok masyarakat tertentu yang memiliki daya beli tinggi,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers pada awal November 2024.

Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: Suara Surabaya)

Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: Suara Surabaya)

Namun, Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Mukhamad Misbakhun, mengatakan kelompok barang yang akan dikenai PPN 12 persen tersebut masih akan diseleksi. Khususnya untuk objek barang yang selama ini tergolong dalam kategori Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Perspektif Pemerintah: Ini adalah Pendekatan yang Mempertimbangkan untuk Meningkatkan Pendapatan Negara

Kebijakan ini tentu tidak mengabaikan pandangan beberapa menteri yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Seperti yang dijelaskan oleh Sri Mulyani, Menteri Keuangan, kebijakan ini merupakan tindakan yang lebih strategis yang bertujuan untuk memastikan keseimbangan dalam pendapatan negara dan pada saat yang sama mengatur konsumsi barang-barang mewah.

Ada kalanya Sri Mulyani menguraikan masalah ini: “Pengenaan cukai dengan tarif 12 persen pada barang-barang mewah bertujuan untuk mencegah konsumsi berlebihan barang-barang mewah dan mengarahkan konsumsi pada barang-barang yang akan produktif bagi ekonomi, selain tentu saja untuk meningkatkan pendapatan negara yang akan digunakan untuk pembangunan.”

Pendapatan yang diperoleh dari pajak barang-barang mewah dimaksudkan untuk digunakan dalam meningkatkan fasilitas publik, kesehatan, dan pendidikan, serta untuk meningkatkan kebijakan fiskal yang lebih luas yang melindungi proses pemulihan pasca-covid.

Tantangan yang Dihadapi

Tetapi kebijakan ini menghadapi beberapa masalah seperti berdampak pada daya beli konsumen. Ekonom bernama Bhima Yudhistira mengatakan bahwa pengenaan pajak lebih tinggi pada barang tertentu dapat berdampak pada penurunan konsumsi, terutama untuk industri yang bergantung pada penjualan barang premium.

Potensi Kebijakan Tidak Efektif: Beberapa pengamat mengkhawatirkan pengalihan konsumsi masyarakat ke pasar gelap atau pembelian langsung di luar negeri untuk menghindari pajak tinggi.

Kompleksitas Administrasi: Penetapan barang mewah dalam kategori dapat menjadi kontroversial, terutama bagi bisnis yang menganggap kebijakan ini terlalu luas.

Pengaruh terhadap Sektor dan Lingkungan Sosial

Akan tetapi, ada juga dampak negatif dari kebijakan ini, terutama untuk industri yang langsung berhubungan dengan barang-barang mewah. Menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, kebijakan tersebut perlu diikuti oleh kebijakan lain yang lebih memperhatikan industri dalam negeri. Dalam pernyataan tersebut, beliau menekankan: “Kita harus memastikan bahwa dampak dari kebijakan berbasis pajak tidak merugikan industri lokal.” Ini menunjukkan bahwa ada kekhawatiran besar terkait apa yang terjadi pada berbagai sektor, terutama yang paling berisiko tidak bisa bersaing di level global.

Secara khusus pada barang mewah yang dihasilkan di Negara kita Indonesia seperti otomotif, elektronik, atau barang fashion, maka kebijakan pajak akan mengurangi daya beli masyarakat dan juga akan memperlambat laju pertumbuhan industri yang bersangkutan.

Secara keseluruhan, pemerintah menggunakan kebijakan pajak 12% pada barang mewah untuk mengontrol konsumsi barang mewah sekaligus meningkatkan pendapatan negara.

Namun, kebijakan ini menghadirkan beberapa kesulitan, baik dari segi bagaimana ia diterapkan di lapangan maupun bagaimana hal itu berdampak pada sektor industri tertentu. Kebijakan ini mungkin memiliki dampak negatif yang lebih besar, terutama dalam jangka panjang, jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang mendukung industri dalam negeri dan melindungi daya beli masyarakat.

*Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI)

Continue Reading
Advertisement ads ads
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs