Connect with us
Advertisement

OPINI

Menangkal Politik Primordial dalam Potret Demokrasi

DETAIL.ID

Published

on

POROS PEREALISASIAN pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada bulan Juni mendatang terasa masih jauh terjangkau waktu, tetapi tanda-tanda nuansa politik yang ketat dan memanas sudah mulai tampak. Setelah gong pesta demokrasi didengungkan, politik sontak menjadi tema tunggal yang mendominasi ruang diskursus publik.

Bagi orang yang punya interest politik yang tinggi, ketinggalan berita seputar politik pada umumnya dan pilkada serentak pada khususnya sudah menjadi sebuah persoalan serius. Tidak berlebihan. Sebab, politik bagi masyarakat modern bukan merupakan hal yang misterius dan tabu untuk diwacanakan.

Sebaliknya, politik telah menjadi bagian tak terabaikan dalam eksistensi manusia masa kini. Tanda peradaban. Kita patut mengapresiasi hal tersebut, terlepas dari fakta bahwa kadar pemahaman masing-masing orang tentang politik tentu berbeda. Bahwa “ber-politik” sudah menjadi agenda kehidupan berbangsa dan bernegara, terbukti dengan meningkatnya animo masyarakat terhadapnya.

Akan tetapi, sebuah realitas pelik yang patut didiskusikan, sebagaimana dipentaskan dalam panggung perpolitikan Indonesia, baik pada level nasional maupun lokal ialah buramnya wajah demokrasi sebagai ekses dari fenomena “politik primordialisme” yang tumbuh kian subur. Fenomena ini terstruktur secara sangat rapi mulai dari komponen supra-struktur (elite politik) hingga akar rumputnya (rakyat).

Inilah yang menjadi catatan penting sekaligus tantangan utama bagi perhelatan pilkada serentak dalam tahun politik ini.

Secuil tentang Politik Primordialisme

Makna politik primordialisme berbenturan dengan makna demokrasi. Demokrasi merupakan term yang memiliki makna yang luas. Meskipun demikian, baik logika sederhana kita, maupun titik simpul dari aneka pemahaman para ahli tentang demokrasi sama-sama merujuk pada pemahaman ini: demokrasi adalah “pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat”.

Dalam pengertian ini, independensi rakyat dalam mengatur negara diakui dan dijunjung tinggi. Tidak hanya itu, demokrasi pada galibnya juga menempatkan setiap pribadi tanpa kecuali dalam wadah kesetaraan dan keseimbangan tanpa benturan dan disparitas mayoritas-minoritas. Hal ini diformulasikan dengan jelas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Demokrasi adalah gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara (bdk. KBBI edisi keempat, hlm. 310). Sedangkan primordialisme ialah pandangan yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di lingkungan pertama (Ibid, hlm. 1102). Indikasi kecacatan primordialisme terletak pada spiritualitas utamanya, kemauan teguh untuk menempatkan diri secara ekstrem dalam bingkai identitas asali.

Primordialisme tentu diawali oleh kemauan teguh untuk mempertahankan hal-hal asali. Ini merupakan gerbang menuju sikap eksklusif dan cinta diri yang eksesif (berlebihan) dan pada akhirnya mencapai ranah fanatisme sehingga yang lain pun tidak diakui eksistensinya.

Dalam ranah politik (khususnya politik praktis), sikap primordialistis ditandai oleh tendensi membentuk golongan politik yang tertutup terhadap orang lain. Di sana terdapat keengganan untuk bergabung dengan kelompok politik lain dan mau menang sendiri. Ini tentu sudah melenceng jauh dari koridor demokrasi.

Potret Demokrasi yang Buram (Fenomena Politik primordialisme) di Indonesia

Pembahasan bagian ini terkesan sedikit ganjil, sebab pelabelan term “buram” (KBBI: tidak bercahaya atau tidak bening) bagi actus democratus ala Indonesia hanya diteropong dari sisi tunggal, praktisasi “politik primordialisme”. Akan tetapi -tanpa mengabaikan faktor-faktor lain yang juga tidak kalah merebak di Indonesia seperti masalah korupsi dan lainnya- merunut pengalaman sejauh ini, masalah yang satu ini sudah amat sering didengungkan di Indonesia.

Dalam hal ini, adalah suatu kewajaran bila kita menduga bahwa politik Indonesia selama ini ditempatkan dalam bingkai yang buram, tidak memancarkan cahaya demokrasi yang sesungguhnya.

Mari kita lihat. Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945 bahkan pada saat-saat sebelum proklamasi, sudah tampak pembedaan antara agama yang satu dengan yang lain. Baik adanya.

Akan tetapi, yang disayangkan adalah bahwa pada saat yang sama, agama yang satu ditempatkan pada posisi yang unggul atas agama lain oleh karena tendensi primitif, mau menang sendiri (bdk. polemik yang alot mengenai sila pertama Pancasila). Ada golongan tertentu yang mengisolasi diri dalam golongannya karena rasa cinta identitas yang melampaui garis batas. Demokrasi kita terkungkung dalam bingkai politik fragmentaris, dalam mana masing-masing pihak membentuk kelompok politik yang eksklusif dan pantang pluralisme sehingga amat sulit untuk dipersatukan.

Konsekuensinya jelas, agregasi kepentingan politik demi kebaikan bersama dikesampingkan oleh kepentingan-kepentingan yang berceceran sana-sini, karena tidak adanya ruang untuk berdeliberasi dan menyatukan agenda politik.

Sejauh ini, kita masih menyaksikan secara amat gamblang dikotomi Islam-Kristen, politik rasial yang membeda-bedakan antara “ras kami” dan “ras mereka”, dominasi budaya tertentu atas budaya yang lain, dan persoalan lainnya. Tidak ada lagi gema politik pengakuan. Yang ada hanya propaganda-propaganda primordial yang mengangkat derajat golongan setinggi-tingginya, serentak merendahkan golongan lain.

Kita bahkan dengan sangat jelas menyaksikan bagaimana pihak-pihak tertentu melegitimasi kekuasaannya yang masif serta menghentikan langkah politik lawan dengan senjata agama. Inilah persoalan mendasar yang membangun tesis Franz Magnis-Suseno dalam artikelnya yang berjudul “Demokrasi Indonesia dalam Keadaan Bahaya”, bahwa sekarang, demokrasi sedang terancam (2014:140).

Masyarakat juga sudah terbius oleh gaya politik primordialisme ini. Bagi mereka, hal terpenting dalam politik (pemilu) adalah bahwa pemimpin yang terpilih adalah orang kami, bukan orang mereka. Masyarakat seakan menutup mata terhadap elektabilitas calon pemimpin yang autentik. Ironis tentunya, tetapi itulah fakta yang terjadi. Lantas, tidak mengherankan bila tanda-tanda kegamangan akan degradasi derajat politik Indonesia ke depannya berseliweran di mana-mana.

Jika tidak segera dihentikan, maka politik primordialisme akan terus menjalarkan akarnya dan pada batas tertentu akan meruntuhkan semboyan dasar Negara kita, “berbeda-beda tetapi tetap satu”.

Pilkada Serentak 2018: Sebuah Momentum Pembenahan

Lalu, pada posisi manakah kita mesti menempatkan pilkada yang akan diperhelatkan pada medio 2018 mendatang? Akankah kita tetap konsisten merawat pengalaman demokrasi lama yang bernilai minus itu? Ataukah kita akan membuka sebuah lembaran politik baru dengan membumikan prinsip demokrasi yang sesungguhnya dan berani mendepak jauh-jauh aib demokrasi lama, fenomena politik primordialisme?

Pilkada serentak pada bulan Juni mendatang akan menjawab semuanya. Akan tetapi, karena signifikansi tulisan ini ialah terciptanya pilkada yang demokratis, penulis merasa perlu untuk mengarahkan keputusan kita untuk menciptakan pilkada yang demokratis, sekurang-kurangnya untuk meminimalisasi tendensi-tendensi politik yang primordial. Poin-poin berikut sekiranya penting untuk dimahfumi dan direalisasikan oleh kita semua.

Pertama, mengkritisi dan menangkal secara serius politik primordialisme. Politik primordialisme menelurkan sikap eksklusif terhadap pihak yang beridentitas lain, egosentrisme (melihat diri sebagai pusat), mengagung-agungkan kebudayaan sendiri (etnosentrisme), anti-pluralisme, dan lain sebagainya. Maka, berhadapan dengan tuntutan pilkada yang demokratis, mau atau tidak mau, politik semacam ini mesti didepak jauh-jauh dari panggung pilkada.

Mengkritisi, berarti bahwa masyarakat melihat segi negatif dari politik bentuk yang satu ini serta menggunakan rasio dalam memfilter aneka pengaruh yang datang dari luar yang memecah belah persatuan dengan sesama dari latar belakang lain. Menangkal berarti, masyarakat berusaha untuk menghentikan aktivitas politik primordialisme dan mendepaknya jauh-jauh sehingga tidak menjadi momok bagi perhelatan pesta demokrasi (pilkada) nantinya.

Kedua, pilkada yang demokratis juga mengandaikan keseragaman dan kesepahaman aneka golongan politik yang berbeda ideologinya.

Keseragaman dan kesepahaman ini tentunya hanya dapat dibaca dalam konteks niat dan tekad yang sama membangun negara, meski dengan cara yang berbeda-beda tetapi toh memperkaya metode politik negara dalam mencapai kebaikan bersama. Oleh karena itu, sangat diperlukan dari rakyat sikap cinta keanekaragaman. Dengan demikian, suasana pilkada yang kondusif, zero contradiction dan damai tanpa konflik dan diskriminasi dapat terwujud.

Ketiga, pilkada serentak tahun ini mesti dijadikan sebagai ajang menanam benih-benih rasa cinta akan perbedaan untuk menggaransi musim demokrasi yang kondusif dalam jangka panjang. Dengan ini, kita menyediakan suatu model demokrasi yang baik bagi perhelatan pesta demokrasi pada waktu-waktu mendatang.

Ketiga langkah alternatif di atas sangat urgen dalam menjawab kemauan rakyat selama ini yaitu terpilihnya pemimpin yang baik, minus primordialisme, mampu membawa perubahan bagi semua bukan untuk golongan sendiri, dan tentunya dapat mengantongi seluruh aspirasi masyarakat. Untuk mendapatkan pemimpin yang anti-primordialisme, maka rakyat mesti menanggalkan sikap primordialistis dalam memilih.

Rujukan utama yang dapat kita pegang dalam menyantuni pilkada serentak 2018 adalah bahwa politik primordialisme mesti dihindari dan dijauhi, sedangkan fitrah dasar demokrasi, kesetaraan setiap pihak yang terlibat di dalamnya mesti dipegang teguh. Pilkada yang demokratis sejatinya mesti dibentang dalam alur yang dapat mengakomodasi hak dan kewajiban politik masyarakat yang seimbang, bukan membelokkannya pada ranah anti pluriformitas.

 

*)Mahasiswa Muhammadiyah Mataram

OPINI

Politik Hukum dalam Pembentukan Undang-Undang: Meneguhkan Prinsip Negara Hukum atau Menegaskan Dominasi Kekuasaan?

Oleh: Juwika Pasaribu (P2B125067)*

DETAIL.ID

Published

on

DALAM idealitas konstitusi, hukum berada di atas kekuasaan. Namun dalam praktik politik hukum Indonesia, garis itu kerap kabur. Legislasi yang seharusnya menjadi wujud kehendak rakyat justru sering berubah menjadi instrumen politik kekuasaan. Pertanyaan mendasarnya pun muncul: apakah politik hukum Indonesia hari ini meneguhkan prinsip negara hukum atau justru menegaskan dominasi kekuasaan?

Secara konseptual, politik hukum adalah arah kebijakan hukum nasional yang menentukan bagaimana hukum dibentuk, diterapkan, dan ditegakkan dalam suatu negara. Mahfud MD (2009) mendefinisikannya sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan untuk mencapai citacita bangsa. Dengan kata lain, politik hukum adalah kompas yang seharusnya menuntun pembentukan undang-undang agar selaras dengan nilai-nilai konstitusi, bukan sekadar kepentingan penguasa.

Namun, praktik politik hukum Indonesia belakangan menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Contoh konkretnya dalam Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), pengesahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja hingga pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara memperlihatkan kecenderungan kuat bahwa politik hukum lebih banyak diarahkan untuk memperkuat struktur kekuasaan ketimbang mewujudkan keadilan sosial dan aspirasi masyarakat.

Revisi Undang-Undang KPK pada penerapannya dinilai akan melemahkan independensi lembaga antikorupsi, Undang-Undang Cipta Kerja disahkan secara tergesa tanpa partisipasi publik yang memadai dan bahkan dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, sementara UU IKN dinilai terburu-buru dan lebih mencerminkan kehendak politik pemerintah pusat daripada aspirasi rakyat.

Asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 hanya dijalankan sebatas formalitas administratif tanpa makna substantif. Publik memang diundang dalam forum konsultasi, tetapi ruang partisipasinya terbatas dan tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil akhir. Proses legislasi seperti ini menggeser makna hukum dari instrumen keadilan menjadi alat legitimasi kebijakan yang pada akhirnya rakyat hanya menjadi penonton dalam drama hukum yang disutradarai oleh kekuasaan.

Kondisi ini mengikis prinsip dasar negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Negara hukum mensyaratkan supremasi hukum atas kekuasaan, perlindungan hak asasi, serta adanya partisipasi publik dalam proses legislasi. Ketika proses pembentukan undangundang lebih menonjolkan kepentingan politik jangka pendek, maka prinsip negara hukum terdegradasi menjadi sekadar slogan konstitusional. Pemerintah dan DPR kerap berdalih bahwa percepatan legislasi dibutuhkan untuk kepastian hukum dan efisiensi kebijakan.

Namun, kepastian hukum yang tidak dilandasi legitimasi publik justru menimbulkan ketidakpastian sosial. Kepastian hukum yang dibangun di atas dominasi politik adalah kepastian semu, stabil di permukaan tetapi rapuh di dasar. Padahal, menurut Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya mengandung dimensi moral dan sosial yang berpihak pada keadilan, bukan sekadar mengabdi pada logika kekuasaan formal.

Dalam pandangan teori responsive law yang dikemukakan oleh Philip Nonet dan Philip Selznick, hukum ideal adalah hukum yang peka terhadap nilai-nilai masyarakat dan mampu beradaptasi terhadap tuntutan keadilan sosial. Artinya, pembentukan hukum harus partisipatif dan terbuka agar produk hukum tidak hanya sah secara formal, tetapi juga sah secara moral dan sosial. Karena itu, tantangan politik hukum Indonesia ke depan bukan hanya soal memperbanyak produk legislasi, tetapi menata kembali orientasinya. Hukum harus kembali menjadi instrumen moral untuk menegakkan keadilan, bukan alat taktis kekuasaan. Pemerintah dan DPR perlu mengembalikan fungsi legislasi sebagai ruang deliberatif yang mengutamakan dialog, transparansi, dan akuntabilitas.

Partisipasi publik harus dihidupkan kembali secara bermakna, bukan sekadar diundang dalam dengar pendapat, tetapi benar-benar dilibatkan dalam penyusunan kebijakan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi. Asas keterbukaan tidak boleh berhenti di meja administratif, melainkan menjadi ukuran kualitas demokrasi hukum. Tanpa pembenahan arah politik hukum, Indonesia berisiko terus melahirkan undang-undang yang sah secara formal namun kehilangan legitimasi sosial.

Ketika legitimasi publik hilang, hukum tidak lagi menjadi pemandu kehidupan bernegara, melainkan hanya pelengkap formal dari kehendak kekuasaan. Pada akhirnya, ukuran kemajuan negara hukum bukan terletak pada banyaknya undang-undang yang dihasilkan, melainkan pada sejauh mana hukum benarbenar menjadi penuntun bagi kekuasaan, bukan pelayannya

*Penulis merupakan mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.

Continue Reading

OPINI

Politik Hukum dalam UU Cipta Kerja: Ekonomi dan Keadilan Konstitusional

Oleh: Okto Simangunsong, S.H*

DETAIL.ID

Published

on

POLITIK hukum pada hakikatnya merupakan kebijakan dasar yang menentukan arah pembentukan dan penegakan hukum suatu negara. Mahfud MD mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku untuk mencapai tujuan negara.

Definisi tersebut menegaskan bahwa hukum tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan merupakan hasil interaksi antara nilai, kekuasaan, dan kepentingan sosial-politik.

Dalam konteks Indonesia, politik hukum sering kali menjadi arena tarik-menarik antara tujuan pembangunan ekonomi dan prinsip keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. UU Cipta Kerja menjadi contoh konkret bagaimana arah politik hukum dapat bergeser menuju orientasi efisiensi ekonomi dengan mengorbankan partisipasi publik serta kualitas legislasi.

Metode omnibus law yang digunakan dalam pembentukan UU Cipta Kerja memang dimaksudkan untuk merapikan tumpang tindih regulasi dan mempercepat investasi. Namun, cara dan hasilnya menimbulkan kritik luas karena dinilai mengabaikan asas keterbukaan dan partisipasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Dasar Teoretis dan Kerangka Regulasi

Secara teoretis, politik hukum merupakan wujud nyata dari policy oriented law making, di mana pembentukan hukum diarahkan oleh agenda politik negara. Menurut Padmo Wahyono (1986), politik hukum adalah kebijakan dasar dalam bidang hukum yang menjadi pedoman bagi pembentukan hukum untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Dengan demikian, politik hukum memiliki dua dimensi yakni normatif dan politis.

Dalam kerangka konstitusional, pengawasan terhadap produk politik hukum dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui kewenangan judicial review sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Mekanisme ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa setiap undang-undang selaras dengan prinsip konstitusi, terutama dalam hal keadilan, keterbukaan, dan penghormatan terhadap hak-hak warga negara.

UU Cipta Kerja dan revisinya melalui UU Nomor 6 Tahun 2023 menjadi ujian nyata bagi kedua aspek tersebut, apakah politik hukum pembentukannya masih berada dalam koridor konstitusi, dan sejauh mana MK berperan menjaga keseimbangan antara kekuasaan politik dan supremasi hukum.

Analisis Politik Hukum dalam UU Cipta Kerja

UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa politik hukum Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif. Pemerintah, dengan dukungan mayoritas politik di DPR, berhasil mendorong lahirnya undang-undang yang mengubah lebih dari 70 undang-undang sektoral sekaligus. Proses legislasi yang cepat, tertutup, dan minim partisipasi publik memperlihatkan bahwa hukum telah dijadikan instrumen kebijakan pembangunan ekonomi.

Kondisi ini memperlihatkan gejala instrumentalization of law  hukum tidak lagi menjadi alat kontrol terhadap kekuasaan, melainkan alat legitimasi kekuasaan itu sendiri. Dalam konteks ini, efisiensi prosedural digunakan sebagai alasan untuk mengesampingkan nilai-nilai demokrasi substantif.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat merupakan wujud dari pengawasan konstitusional yang efektif. MK menegaskan bahwa pembentukan undang-undang harus memenuhi asas partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) sebagai bagian dari prinsip negara hukum.

Namun, tindak lanjut pemerintah melalui penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023, memperlihatkan kecenderungan resistensi terhadap koreksi yudisial. Alih-alih memperbaiki proses legislasi, pemerintah justru mengulangi pendekatan serupa dengan dalih mendesak kebutuhan ekonomi nasional. Fenomena ini memperlihatkan bahwa politik hukum di Indonesia masih belum sepenuhnya menghormati prinsip checks and balances.

Secara filosofis, politik hukum seharusnya berorientasi pada rule of law, yakni menempatkan hukum di atas kekuasaan. Namun praktik dalam pembentukan dan perubahan UU Cipta Kerja justru mencerminkan rule by law, yaitu penggunaan hukum sebagai instrumen legitimasi kebijakan politik.
Ketika hukum dikendalikan oleh kekuasaan politik, maka fungsi normatifnya sebagai pelindung keadilan sosial dan lingkungan hidup melemah. Akibatnya, hukum kehilangan legitimasi moral di mata publik.

Politik hukum pembentukan UU Cipta Kerja menunjukkan dua wajah. Di satu sisi, hukum berfungsi sebagai sarana untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan investasi. Namun di sisi lain, hukum kehilangan fungsi sosialnya sebagai instrumen keadilan. Keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan substantif menjadi terdistorsi.

Partisipasi publik yang minim dan pengabaian terhadap asas keterbukaan telah menimbulkan defisit legitimasi dalam politik hukum nasional. Ketika hukum tidak lagi dipersepsikan sebagai milik bersama, melainkan sebagai produk elit politik, maka kepercayaan publik terhadap negara hukum pun melemah.

Penutup

UU Cipta Kerja menjadi cermin nyata bagaimana politik hukum dapat bergeser dari orientasi keadilan menuju pragmatisme ekonomi. Dominasi eksekutif, lemahnya partisipasi publik, dan resistensi terhadap pengawasan yudisial menandakan bahwa sistem hukum Indonesia masih rentan terhadap politisasi.

Untuk membangun politik hukum yang konstitusional, dibutuhkan komitmen pada tiga hal pokok; (1). Menegakkan asas partisipasi publik yang bermakna dalam setiap proses legislasi. (2). Menghormati putusan Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk kontrol konstitusional, bukan sekadar formalitas hukum. (3). Menempatkan hukum sebagai sarana keadilan sosial, bukan alat legitimasi kebijakan ekonomi.

Hukum yang baik bukanlah hukum yang paling efisien, tetapi hukum yang paling adil. Politik hukum yang berorientasi pada keadilan konstitusional akan memastikan bahwa pembangunan ekonomi tidak mengorbankan hak rakyat dan prinsip negara hukum.

*Penulis merupakan Advokad dan mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.

Continue Reading

OPINI

Pesan Tegas Prabowo dan Cermin Buram Penegakan Hukum Kita

Oleh: Nazli*

DETAIL.ID

Published

on

PERNYATAAN Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini layak diapresiasi tinggi oleh rakyat. Dalam arahannya, Presiden menegaskan agar aparat penegak hukum tidak berbuat dzalim terhadap rakyat kecil dan tidak menjadikan hukum sebagai alat penindasan.

“Saya ingatkan terus kejaksaan, kepolisian, jangan kriminalisasi sesuatu yang tidak ada. Hukum jangan tumpul ke atas, tajam ke bawah,” ujar Prabowo di kantor Kejaksaan Agung usai menyaksikan penyerahan uang pengganti kerugian kasus CPO di Jakarta pada Senin, 20 Oktober 2025.

Pernyataan tersebut bukanlah basa-basi politik, melainkan tamparan moral bagi institusi penegak hukum yang selama ini dinilai gagal menjaga rasa keadilan publik. Kalimat Prabowo menyentuh inti luka sosial bangsa dan “ketimpangan penegakan hukum”.

Kita tidak menutup mata: hukum di Indonesia masih sering berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan. Rakyat kecil bisa dijerat karena perkara sepele, ada seorang ibu rumah tangga ditahan karena mencuri kayu bakar, seorang petani dipenjara karena bersengketa dengan perusahaan besar, seorang anak sekolah diseret ke pengadilan karena mencuri ayam.

Namun di sisi lain, pelanggaran besar oleh korporasi perusak lingkungan, pengemplang pajak, atau pelaku korupsi kerap “diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan”.
Inilah wajah hukum yang menakutkan bagi yang lemah, tapi lembek terhadap yang kuat.
Hukum yang tidak lagi menjadi pelindung keadilan, melainkan alat kekuasaan.

Kriminalisasi rakyat kecil bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah kemanusiaan. Banyak kasus bukan lahir dari niat jahat, tetapi dari kemiskinan yang sistemik. Petani yang menggarap tanah turun-temurun dianggap menyerobot lahan perusahaan; nelayan kecil yang mencari ikan dianggap melanggar izin laut; warga miskin kota yang berdagang di trotoar ditertibkan tanpa solusi.

Inilah bentuk nyata kriminalisasi kemiskinan, ketika hidup sederhana dianggap pelanggaran, dan perjuangan bertahan hidup dianggap kejahatan.

Pesan Presiden Prabowo seharusnya membuka mata para penegak hukum bahwa keadilan tidak bisa diukur dari seberapa banyak orang ditangkap, tetapi diukur seberapa adil hukum ditegakkan.

Kini saatnya aparat hukum membuktikan diri: apakah pesan Presiden hanya akan menjadi hiasan berita, atau benar-benar dijalankan di lapangan. Polisi, jaksa, dan hakim harus mulai bekerja dengan nurani. Karena hukum tanpa empati adalah kezaliman yang dilegalkan.

Bila rakyat kecil bisa diproses cepat, maka pelaku besar juga harus diproses lebih cepat. Bila rakyat miskin bisa diseret ke pengadilan, maka pengusaha dan pejabat yang korup juga harus diseret, tanpa pandang bulu.

Rakyat kecil kini menaruh harapan baru pada Presiden Prabowo. Namun harapan itu hanya akan hidup bila aparat hukum menindaklanjuti pesan beliau dengan tindakan nyata. Karena rakyat sudah terlalu sering mendengar janji keadilan, tapi jarang merasakannya.

Bila hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka rakyat akan terus kehilangan kepercayaan. Dan bila kepercayaan rakyat telah hilang, maka hukum kehilangan wibawa, dan negara kehilangan jiwanya.

*Humas DPD Gerindra Jambi

Continue Reading
Advertisement Advertisement
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs