Connect with us

OPINI

Jeritan Usaha Kecil: Perlu Program Afirmasi Bagi Pelaku UMKM

DETAIL.ID

Published

on

PIDATO Presiden Jokowi pada saat pelantikan untuk periode kedua kalinya, Minggu, 20 Oktober 2019 sungguh menggembirakan hati pelaku UMKM. Jika keinginan beliau soal UU Pemberdayaan UMKM akan terwujud, tentu program afirmasi UMKM itu adalah hal mendesak dalam memajukan Indonesia yang sudah terlanjur jarak antara pelaku UMKM dengan pelaku usaha besar bagaikan langit dan bumi. Itulah kenapa beliau menitikberatkan rencana tersebut karena apa yang beliau teriakkan tentang percepatan perijinan usaha selama ini, khusus untuk usaha kecil jauh panggang dari api atas praktik di lapangan atau di daerah.

Terobosan Presiden Joko Widodo yang memangkas alur perizinan usaha patut diapresiasi. Pengurusan izin bisa beres hanya dalam waktu singkat, dua sampai tiga jam saja. Lewat Kantor Perizinan Satu Atap (KTSP), alur birokrasi yang dulunya rumit menjadi mudah. Warga tak perlu bersusah payah mendatangi kantor atau dinas-dinas. Mereka cukup berurusan dengan kantor satu atap itu.

Terbaru, Jokowi meluncurkan Online Single Submission alias OSS. Sistem yang lebih canggih lagi dalam hal pengurusan perizinan. Cukup submit, izin usaha Anda akan segera terbit.

Selaku pengusaha — yang bergerak di sektor riil dan retail — tentu kita sangat mendukung gebrakan Presiden Jokowi itu. Tapi, belakangan, muncul masalah yang barangkali luput dari perhatian pembantu Presiden. Praktik di lapangan tak secepat dan semudah yang dibayangkan.

Mental birokrasi yang “kalau bisa lambat kenapa harus cepat” sepertinya masih bercokol di tubuh oknum ASN kita, bahkan belum begitu terpadu izin-izin operasional yang terkait dengan perizinan teknis, masih harus berlama lama di dinas teknis atau kementerian teknis, bahkan OSS yang diinginkan Presiden untuk tidak berbelit-belit juga masih belum mengakomodir program afirmasi UKM dan UMKM. Skala besar sekali pun masih memerlukan persyaratan yang sama. Salah satu contoh izin operasional usaha di bandar udara tidak membedakan persyaratan usaha kecil antara usaha melayani dua pesawat dengan ratusan pesawat diwajibkan persyaratan yang sama.

Betapa banyak pedagang retail dan UMKM yang mengeluh akan hal ini. Misalnya, kenapa masih ditemukan usaha-usaha kecil yang tak berizin? Padahal proses perizinan sudah dipermudah?

Dari riset kecil yang pernah kami lakukan lewat wawancara langsung dengan pelaku UMKM, menyebutkan bahwa mereka kerap berpapasan dengan birokrasi yang berbelit-belit dan tak transparan. Jadi, bukannya mereka ogah mengurus izin. Masalahnya, mereka malas direpotkan dengan dunia birokrasi yang kerap menambah beban dan membuat kepala mereka kian pusing.

OSS kelihatannya memang sangat praktis. Kehadirannya memudahkan dunia usaha. Tapi, kendala-kendala seperti yang dijelaskan tadi tetap ada kok. Bahkan pelaku UMKM mesti mengeluarkan biaya tambahan untuk mengurus OSS itu. Jangan ditanya bagaimana jika si konsumen gagap teknologi alias gaptek.

Kasus OSS ini, misalnya kerap muncul pada klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Ini adalah standarisasi nomor kode lapangan usaha. Nah, selama ini, nomor kode KBLI tak sinkron dengan kode data yang ada di pengesahan AHU Kemenkumham. Penyebabnya, terkadang karena notaris tak menginput KBLI pada saat awal pembuatan akta notaris dan pengesahan Kemenkumham. Akibatnya, ketika submit langsung ditolak karena kode KBLI-nya tak sinkron.

Biasanya, petugas satu atap menyarankan konsumen kembali ke notaris dan mengubah akta. Sialnya, untuk mengubah akta di notaris itu bukannya gratis. Ada biaya tambahan. Yang nilainya tentu tidak sedikit, mulai dari Rp5 juta hingga Rp10 juta. Ini problem OSS yang belum diantisipasi untuk UMKM

Lalu ke mana kepala daerah? Mereka, boro-boro turun tangan menyelesaikan sengkarut OSS ini. Jangan-jangan mereka tak tahu apa itu OSS?

Toh, keseharian mereka memang cenderung disibukkan dengan aktivitas yang menguntungkan secara ekonomi yaitu kalkulator APBD dan APBN. Soal OSS, mungkin dianggap suatu yang remeh-temeh belaka atau dianggap program pemerintah pusat.

Akhirnya, UMKM pemula sempoyongan. Mereka dalam keterpaksaan memilih berbisnis tanpa izin. Coba bayangkan, hari-hari mereka sudah ditimpa banyak masalah, mulai dari masalah keluarga, masalah bisnis. Kok ditambah lagi dengan masalah ribetnya pembuatan izin, yang terkadang bisa memakan waktu berminggu-minggu. Mereka kian stres ketika mesti bolak-balik ke kantor KTSP, cuma untuk mengurus selembar kertas itu. Pelaku UMKM cuma bisa menghela napas panjang.

Tapi, mau tak mau izin usaha tetap wajib diurus. Ketika usahanya mulai membesar, mereka akan berhadapan dengan petugas pajak dan masalah teknis lainnya.

Contoh kecil misalnya, ihwal IMB.

Begini. Temuan di lapangan, UMKM pemula biasanya tak punya IMB. Bukannya enggan mengurus IMB, tapi bagi mereka yang hanya menyewa tempat tak merasa penting dengan IMB. Masalahnya, ketika dagangannya mulai membesar, mereka mau tak mau mesti mengurus izin usaha. Nah, tanpa IMB, bagaimana mungkin pedagang bisa mengurus izin usaha?

Akhirnya, karena tak punya IMB, usahanya, naudzubillah terancam tutup. Kendati, dagangannya mungkin laris manis. Mereka harus memeras otak ketika muncul opsi biaya untuk pembuatan izin. Apalagi nilainya sampai puluhan juta.

Contoh lain lagi, misalnya bisnis start up, yang banyak tak punya izin usaha karena terbentur dengan banyak birokrasi yang enggak disukai oleh kaum milenial, mereka selalu ingin cepat, praktis dan dapat hasil. Bukan karena enggan mengurus izin. Tapi, seperti tadi, terpikir karena biaya yang dikeluarkan terlalu tinggi. Belum lagi proses yang rumit dan membuat pusing tujuh keliling. Sementara, usaha yang baru dirintis itu belum punya kejelasan masa depan.

Pertanyaannya, siapa yang dirugikan? Tentu saja negara, daerah dan anak bangsa. Karena negara tak dapat memungut pajak dari sektor usaha yang menjamur itu. Sehingga dunia usaha tersandera dalam aturan pajak. Ini masalah besar sebenarnya.

Mengurus izin usaha, NIB, domisili, SIUP, TDP dan izin teknis lainnya benar-benar menyesakkan. Ditambah pula oknum ASN yang kerap sengaja mempersulit dan memperlambat. Tujuannya, tak lain supaya konsumen mau mengurus lewat jalur belakang.

Pengusaha makanan lebih pusing lagi. Mereka dihadapkan pula dengan masalah sertifikasi halal. Tanpa sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), produknya bisa saja beredar, tapi dianggap bermasalah. Apalagi, konsumen Indonesia mayoritas Islam yang menengok sertifikat halal sebelum belanja produk makanan.

Nah, beberapa masalah yang kerap hinggap dalam pengurusan sertifikat halal itu, antara lain, durasi waktu sertifikat halal berlaku yang hanya 2 tahun. Sementara, proses perpanjangan sertifikat, acapkali lama dan bahkan serumit mengurus baru, Padahal produknya sama.

Risiko lain pun muncul ketika produk yang sudah dikemas dalam packaging mesti mengubah nomor label halalnya. Yang gara-gara masa berlaku kehalalannya telah habis. Ini jelas tak efisien.

Tidak adanya standarisasi perpanjangan atau pengurusan baru sertifikat halal ini jelas memicu ruang negosiasi dan transaksional. Sehingga ada oknum yang bermain dan memanfaatkan situasi itu. Jika ingin dipermudah, bisa dengan membayar tiga sampai lima kali lipat biayanya. Padahal, sertifikat halal ini diterbitkan oleh sebuah lembaga suci bernama MUI.

Saran dan Solusi

Dari berbagai masalah di atas, kami selaku pelaku usaha mencoba merinci beberapa saran dan solusi. Semoga saran dan solusi ini didengar oleh Presiden dan seluruh stakeholder.

Ihwal OSS dan sinkronisasi KBLI misalnya, kami menyarankan semestinya program afirmasi Kemenkumham dan notaris berkoordinasi sehingga tak menimbulkan risiko biaya ketika adanya problem di lapangan. Masalah sinkronisasi ini akan klir ketika dua lembaga ini berkoordinasi agar tidak membebani UMKM

Kemudian, khusus bagi perusahaan yang sudah berjalan, semestinya OSS mengakomodir penyesuaian perijinan lama dengan yang baru. Tanpa harus membuat izin baru yang serba rumit itu. Bagi usaha baru, semestinya Kemenkumham paham dan membantu konsumen dalam proses submit sehingga tidak terjadi penolakan oleh sistem AHU Kemenkumham.

Saran berikutnya, Kepala Daerah semestinya memberi Grace Period atas kesulitan persyaratan izin usaha bagi start up. Pengusaha kecil semestinya mendapat pembinaan secara kontinu, jangan hanya fokus pada proyek APBD dan APBN.

Pemerintah pusat pun tak boleh tinggal diam. Mesti ikut jemput bola ke daerah. Bangun pusat Inkubasi bisnis di daerah. Prioritaskan pengembangan usaha start up. Bukan sekedar membangun gedungnya dengan project minded atau sebatas training-training yang menghabiskan uang negara, tapi mengisi Gedung Pusat Inkubasi Bisnis dengan SDM-SDM unggul agar terbantu pelaku UMKM

Ihwal Sertifikat Halal MUI

Perlu adanya standarisasi dan spesifikasi yang terukur dalam proses pembuatan sertifikat halal itu. Selanjutnya mesti ada sistem online dalam pengurusan sertifikat halal yang terintegrasi dengan OSS.

Terakhir, perlu adanya pengawasan ketat dari pemerintah daerah dan supervisi pemerintah pusat. Agar tidak ada celah bagi oknum yang memburu keuntungan dari penerbitan sertifikat halal itu.

Saya yakin, dunia usaha akan terus menggeliat. Tentu saja jika masalah-masalah yang kami sebutkan di atas dapat teratasi. Bayangkan, betapa banyak potensi pajak yang bisa diraup daerah dan negara dari geliat UMKM dan UKM itu.

Ketidakberpihakan (non afirmasi) dan beragam problem usaha-usaha kecil memang menjadi masalah akut lainnya. Ditambah pula Usaha Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah serta BUMN terkesan meminggirkan usaha kecil. Padahal, usaha kecil ini yang perlu banyak ditolong oleh pemerintah, di tengah minimnya kapasitas SDM dan akses modal usaha serta pabrikasi. Problem ini akan saya ulas lebih detail atas praktik-praktik ketidakadilan berusaha.

Sebuah gerakan nasional penting diwujudkan untuk memajukan ekonomi anak bangsa. Saya berharap tulisan ini mewakili keluh kesah sahabat pelaku usaha di berbagai pelosok daerah, di Jawa maupun di luar Jawa. Semoga tulisan ini bermanfaat. Agar bangsa ini maju ke depan. Menuju Indonesia maju. Semoga!

 

*) Pengusaha Retail UMKM yang tinggal di Jakarta.

OPINI

Pilihan Jalan atau Hanya Berpetualang

DETAIL.ID

Published

on

USAI sudah Pilgub Jambi 2024. Usai sudah penghitungan. Baik penghitungan lembaga survey, quick count maupun penetapan resmi dari KPU. Baik berjenjang dari KPU Kabupaten maupun penetapan akhir KPU Provinsi Jambi. Hasilnya tidak jauh berubah. Kemenangan telak diraih oleh Al Haris-Sani. Sang incumbent yang mantap dengan peraihan 60%. Jauh dari perkiraan para ahli yang banyak meramalkan hanya mampu meraih 52%-26%.

Namun apapun hasil kemenangan Pilgub, cerita dibalik pilkada yang berlangsung selama setahun terakhir banyak memberikan pelajaran. Sekaligus cerita yang bisa ditorehkan. Sekaligus diceritakan kepada generasi muda.

Pertama. Memilih Gubernur/Wakil Gubernur Jambi tentu saja tidak memilih yang terbaik. Tentu saja banyak putra-putra terbaik di Jambi.

Berbagai teori ilmu politik maupun sebagian aliran pemikiran, memilih pemimpin bak memilih seperti kaum Sofi. Kaum yang memang dilahirkan manusia suci dan mempunyai pemikiran yang sangat bijaksana.

Bahkan banyak sekali aliran agama yang menempatkan Pemimpin politik bak memilih seperti ulama. Lengkap pengetahuan dunia, pengetahuan agama dan perilaku yang terpuji.

Maqom ini sering digunakan untuk menangkis terhadap calon-calon yang populer. Sekaligus membentengi diri dan melindungi kandidatnya.

Sebagai pemikiran, ajaran ataupun strategi, cara-cara ini sah saja digunakan.

Namun ditengah perkembangan zaman yang begitu pesat, strategi kampanye yang setiap Pilgub yang berbeda-beda, saya memilih dengan ukuran yang paling sederhana.

Memilih pemimpin ketika dia mau mendengarkan. Mau melaksanakan janji-janjinya yang sederhana. Sekaligus dia mau mendengarkan ketika saya mengumpat, memaki bahkan menghardik kinerja.

Dia lebih banyak mendengarkan. Dia sama sekali tidak memberikan klarifikasi ataupun bantahan terhadap apa yang saya sampaikan.

Apakah terlalu sederhana itu ? Ya. Cukup sederhana.

Di dalam berbagai kesempatan, ukuran realistis yang paling mudah dijangkau, apakah dia mau mengurusi pendidikan, kesehatan dan infrastruktur jalan.

Selama itu bisa dijangkau dengan ukuran obyektif selama itu saya tetap didalam barisan. Termasuk juga kalaupun banyak yang berlarian meninggalkannya, mungkin saya orang terakhir meninggalkannya.

Sebagai manusia, tentu saja kadangkala sering dongkol, kecewa bahkan kesal. Namun ketika seseorang mau mendengarkan gerutukkan saya, lebih banyak diam ketika saya umbarkan kemarahan, itulah kemewahan saya sebagai rakyat.

Dan ketika satu persatu pertimbangan, nasihat ataupun saran kemudian diikuti, bagiku itulah seseorang pemimpin. Menjawab dengan tindakan. Bukan sekadar janji.

Kedua. Di tengah Pilgub Jambi 2024, tentu saja ada sebagian kemudian memilih berbeda barisan. Memilih kemudian berbeda bagiku tidak terlalu mengganggu pemikiran.

Namun yang menarik pemikiran tentu saja alasan kemudian ketika pernah bersama-sama kemudian memilih berbeda barisan.

Selama memilih dengan alasan prinsip dan mendasar, tentu saja respek selalu kuhargai.

Namun ketika alasan memilih bukanlah prinsip dan mendasar dan lebih mengutamakan emosi, baper, tentu saja bagiku itu kekanak-kanakan.

Padahal kutahu sang pengabar mempunyai literatur bacaan yang kuat. Sikap dan prinsip yang selama ini sempat kukagumi. Bahkan cara penyampaian yang begitu tajam tidak salah kemudian kutempatkan sebagai tokoh panutan.

Namun ketika kutahu sang tokoh kemudian meninggalkan barisan dengan alasan (mungkin bagiku konyol) seketika respekku hilang. Berganti dengan nada sentimentil yang mendayu-dayu. Persis kayak anak ABG yang lagi galau. Ketika cuma SMS, telp ataupun WA sama sekali tidak dibalas.

Padahal di ujung telepon, sang pacar malah sibuk dengan pekerjaan rutinitas yang memang memaksa tidak memegang HP.

Yang kadangkala bikin geli, selevel tokoh (kata orang bijak sering “hatinya harus jember”), yang mewarisi sikap keteladanan bersikap kekanak-kanakan justru menjadi hiburan tersendiri. Kalaupun bukan pelajaran pahit yang menjadi perjalanan hidup.

Namun apapun yang terjadi dibalik Pilgub Jambi 2024, seleksi alam begitu kejam. Hanya orang mampu menghadapi perubahan zaman yang akan bertahan.

Selain itu mereka akan tergilas dengan kehadiran generasi milenial bahkan generasi Gen Z yang tidak kenal ampun. Melumat orang-orang cengeng di kancah politik.

Dan saya kemudian memilih. Bergabung dengan generasi milenial dan generasi Gen Z untuk menertawakan “kecengengan” kaum tua yang ketika berbicara selalu menepuk-nepuk dada.

Pilgub Jambi 2024 juga mengajarkan. Kemenangan Pilgub ketika menguasai generasi millenial dan Generasi Z.

Selamat datang, Era baru. Selamat datang generasi baru. (***)

*Direktur Media Publikasi Tim Pemenangan Al Haris-Sani

Continue Reading

OPINI

Kebijakan Pajak 12%: Selektivitas untuk Barang Mewah, Strategi atau Tantangan?

DETAIL.ID

Published

on

PEMERINTAH Indonesia telah mengumumkan bahwa mereka berencana untuk menerapkan tarif PPN sebesar 12%. Rencana ini akan dimulai per 1 Januari 2025, sesuai dengan mandat yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Namun, telah diputuskan bahwa kebijakan ini hanya akan berlaku untuk barang mewah. Banyak orang melihat kebijakan ini sebagai cara untuk meningkatkan pendapatan negara dan menghalangi daya beli industri dan masyarakat tertentu.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Barang Mewah mengatur mekanisme pemungutan pajak atas barang-barang yang dikategorikan sebagai barang mewah. Menurut pasal 1 ayat (1) UU tersebut, barang mewah adalah barang yang dalam penggunaannya tidak memberikan manfaat langsung terhadap kelangsungan hidup atau kehidupan manusia, yang menyebabkan pengenaan pajak untuk membatasi kontribusi kelangsungan hidup atau kehidupan manusia. Oleh karena itu, pengenaan pajak 12% ini dimaksudkan untuk membatasi konsumsi barang tersebut.

Pandangan Pemangku Kebijakan

Presiden Prabowo Subianto menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk meminimalisir konsumsi barang mewah yang tidak bersifat esensial bagi masyarakat umum. Ia menegaskan pentingnya melindungi rakyat kecil melalui pengecualian PPN untuk barang kebutuhan pokok.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menilai kebijakan ini sebagai langkah yang menyesuaikan tren global dalam perpajakan dengan pelaksanaan cukup diatur melalui PMK. Ia memastikan bahwa pelaksanaannya dirancang agar tidak merugikan ekonomi rakyat.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk mencerminkan asas keadilan. “Kami ingin memastikan barang-barang yang memiliki kontribusi lebih besar terhadap pendapatan pajak adalah barang-barang yang memang hanya dikonsumsi oleh kelompok masyarakat tertentu yang memiliki daya beli tinggi,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers pada awal November 2024.

Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: Suara Surabaya)

Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: Suara Surabaya)

Namun, Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Mukhamad Misbakhun, mengatakan kelompok barang yang akan dikenai PPN 12 persen tersebut masih akan diseleksi. Khususnya untuk objek barang yang selama ini tergolong dalam kategori Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Perspektif Pemerintah: Ini adalah Pendekatan yang Mempertimbangkan untuk Meningkatkan Pendapatan Negara

Kebijakan ini tentu tidak mengabaikan pandangan beberapa menteri yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Seperti yang dijelaskan oleh Sri Mulyani, Menteri Keuangan, kebijakan ini merupakan tindakan yang lebih strategis yang bertujuan untuk memastikan keseimbangan dalam pendapatan negara dan pada saat yang sama mengatur konsumsi barang-barang mewah.

Ada kalanya Sri Mulyani menguraikan masalah ini: “Pengenaan cukai dengan tarif 12 persen pada barang-barang mewah bertujuan untuk mencegah konsumsi berlebihan barang-barang mewah dan mengarahkan konsumsi pada barang-barang yang akan produktif bagi ekonomi, selain tentu saja untuk meningkatkan pendapatan negara yang akan digunakan untuk pembangunan.”

Pendapatan yang diperoleh dari pajak barang-barang mewah dimaksudkan untuk digunakan dalam meningkatkan fasilitas publik, kesehatan, dan pendidikan, serta untuk meningkatkan kebijakan fiskal yang lebih luas yang melindungi proses pemulihan pasca-covid.

Tantangan yang Dihadapi

Tetapi kebijakan ini menghadapi beberapa masalah seperti berdampak pada daya beli konsumen. Ekonom bernama Bhima Yudhistira mengatakan bahwa pengenaan pajak lebih tinggi pada barang tertentu dapat berdampak pada penurunan konsumsi, terutama untuk industri yang bergantung pada penjualan barang premium.

Potensi Kebijakan Tidak Efektif: Beberapa pengamat mengkhawatirkan pengalihan konsumsi masyarakat ke pasar gelap atau pembelian langsung di luar negeri untuk menghindari pajak tinggi.

Kompleksitas Administrasi: Penetapan barang mewah dalam kategori dapat menjadi kontroversial, terutama bagi bisnis yang menganggap kebijakan ini terlalu luas.

Pengaruh terhadap Sektor dan Lingkungan Sosial

Akan tetapi, ada juga dampak negatif dari kebijakan ini, terutama untuk industri yang langsung berhubungan dengan barang-barang mewah. Menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, kebijakan tersebut perlu diikuti oleh kebijakan lain yang lebih memperhatikan industri dalam negeri. Dalam pernyataan tersebut, beliau menekankan: “Kita harus memastikan bahwa dampak dari kebijakan berbasis pajak tidak merugikan industri lokal.” Ini menunjukkan bahwa ada kekhawatiran besar terkait apa yang terjadi pada berbagai sektor, terutama yang paling berisiko tidak bisa bersaing di level global.

Secara khusus pada barang mewah yang dihasilkan di Negara kita Indonesia seperti otomotif, elektronik, atau barang fashion, maka kebijakan pajak akan mengurangi daya beli masyarakat dan juga akan memperlambat laju pertumbuhan industri yang bersangkutan.

Secara keseluruhan, pemerintah menggunakan kebijakan pajak 12% pada barang mewah untuk mengontrol konsumsi barang mewah sekaligus meningkatkan pendapatan negara.

Namun, kebijakan ini menghadirkan beberapa kesulitan, baik dari segi bagaimana ia diterapkan di lapangan maupun bagaimana hal itu berdampak pada sektor industri tertentu. Kebijakan ini mungkin memiliki dampak negatif yang lebih besar, terutama dalam jangka panjang, jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang mendukung industri dalam negeri dan melindungi daya beli masyarakat.

*Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI)

Continue Reading

OPINI

Pilgub Jambi 2024: Kemenangan Fakta, Kegagalan Propaganda

DETAIL.ID

Published

on

DALAM dunia yang semakin terjebak dalam pusaran informasi dan disinformasi, pepatah lama Belanda “All is de leugen nog zo snel, de waarheid achterhaalt haar wel” atau “Seberapa cepat pun kebohongan berlari, kebenaran akan mengejarnya” terasa semakin relevan. Di era digital saat ini, ketika informasi mampu menyebar secara viral dalam hitungan detik, ruang publik sering kali menjadi ajang pertarungan antara kebenaran dan manipulasi. Kebohongan, yang dirancang untuk memengaruhi emosi massa, dapat dengan mudah menciptakan ilusi kebenaran. Namun, meski lambat, kebenaran tetap memiliki daya tahan yang mampu membongkar kebohongan secara sistematis.

Fenomena ini tidak hanya menjadi persoalan global, tetapi juga tercermin dalam dinamika politik lokal, seperti yang terlihat dalam Pilgub Jambi 2024. Pilgub Jambi 2024 menjadi panggung nyata dari pergulatan ini. Dalam kontestasi yang panas, strategi pihak lawan tampak memanfaatkan disinformasi sebagai senjata politik untuk melemahkan kredibilitas petahana, Al Haris. Narasi negatif, fitnah personal, hingga hoaks terstruktur menyasar capaian-capaian Al Haris, seolah-olah keberhasilan yang diraihnya hanyalah mitos belaka. Di era ketika literasi digital masyarakat belum merata, pola semacam ini sering kali efektif dalam membentuk opini publik jangka pendek. Namun, strategi manipulatif ini mengabaikan satu hal mendasar, masyarakat yang telah merasakan dampak nyata dari kebijakan seorang pemimpin tidak mudah dikelabui oleh narasi kosong.

Dalam konteks ini, upaya pihak lawan untuk memanfaatkan kelemahan literasi digital di masyarakat menjadi semakin terlihat. Mereka mencoba menyulut sentimen dengan narasi bombastis, namun gagal mengukur satu hal penting, masyarakat yang telah melihat dan merasakan hasil kerja nyata memiliki dasar penilaian yang lebih konkret dibandingkan janji kosong. Program-program unggulan seperti Dumisake, peningkatan kualitas layanan publik, hingga perbaikan infrastruktur strategis menjadi bukti nyata yang sulit dibantah. Fakta-fakta inilah yang menjadi jawaban atas propaganda negatif yang dilancarkan sepanjang kampanye.

Fakta-fakta keberhasilan ini tidak hanya mampu membantah propaganda negatif, tetapi juga menjadi dasar kuat yang mendukung kemenangan Al Haris, membuktikan bahwa politik yang berlandaskan integritas dan kerja nyata tetap menjadi pilihan masyarakat. Alih-alih terjebak dalam permainan lawan yang mencoba menjatuhkannya dengan fitnah, Al Haris dan timnya tetap fokus pada narasi berbasis fakta. Mereka mengedukasi masyarakat, meluruskan informasi keliru, dan memperkuat narasi keberhasilan program-program pembangunan. Pendekatan ini bukan hanya memperkuat basis dukungan, tetapi juga mengungkap kelemahan mendasar dalam strategi lawan bahwa kebohongan, tanpa landasan fakta, tidak mampu bertahan lama.

Di sisi lain, kemenangan ini menggarisbawahi pentingnya literasi digital sebagai tameng masyarakat dari manipulasi politik. Literasi digital bukan hanya tentang mengenali hoaks, tetapi juga memahami konteks informasi dan mengevaluasi sumbernya secara kritis. Masyarakat Jambi yang semakin sadar dan kritis memberikan pesan kuat bahwa mereka tidak akan lagi menjadi korban propaganda murahan.

Kemenangan ini juga menjadi tamparan bagi politik transaksional dan oportunistik. Al Haris telah menunjukkan bahwa politik yang berakar pada kinerja dan komitmen jangka panjang terhadap rakyat adalah senjata paling ampuh dalam melawan politik hitam. Dengan menjadikan fakta dan transparansi sebagai fondasi utama kampanye, ia tidak hanya berhasil meraih kepercayaan rakyat, tetapi juga memberikan standar baru dalam praktik politik lokal. Pilgub Jambi 2024 mengajarkan bahwa politik harus kembali ke esensinya melayani rakyat, bukan memanipulasi mereka.

Pada akhirnya, kemenangan Al Haris adalah cerminan dari sebuah prinsip abadi, kebenaran mungkin tertunda, tetapi ia tidak pernah kalah. Ini adalah pengingat bahwa masyarakat memiliki kemampuan untuk melihat melampaui kabut propaganda, menuntut integritas dari para pemimpin mereka, dan menolak jebakan politik usang yang menjual kebohongan untuk keuntungan sesaat. Pilgub Jambi 2024 bukan sekadar kemenangan politik, tetapi sebuah kemenangan moral yang mencerminkan kedewasaan masyarakat dalam menilai pemimpin mereka berdasarkan kinerja nyata, bukan retorika palsu. Kemenangan ini menegaskan bahwa era manipulasi tanpa batas telah usang, dan kebenaran, dengan segala kekuatannya, akan selalu menemukan jalannya untuk mengalahkan kebohongan, membawa harapan baru bagi masa depan yang lebih baik.

Selamat atas kemenangan Al Haris dan Abdullah Sani dalam Pilgub Jambi 2024. Kemenangan ini bukan hanya refleksi dari kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan yang telah terbukti, tetapi juga harapan besar akan kelanjutan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan amanat rakyat yang kini berada di pundak, semoga pasangan Haris-Sani dapat terus menjunjung tinggi kepemimpinan yang berlandaskan integritas, transparansi, dan komitmen nyata terhadap pembangunan. Dedikasi mereka dalam melayani masyarakat Jambi diharapkan dapat terus menginspirasi, memperkuat kebersamaan, dan memperkokoh fondasi kemajuan. Semoga kepemimpinan yang baru ini membawa perubahan positif yang nyata, meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat, dan menjadikan Jambi semakin mantap di segala bidang. Lanjutkan.

*Akademisi UIN STS Jambi

Continue Reading
Advertisement ads ads
Advertisement ads