KEBANGKITAN Gerakan Anarkis? Sebuah esai dari pengarang India, Pankaj Mishra, berseliweran di laman Facebook saya. Esai ini bicara tentang kebangkitan gerakan anarkis di berbagai belahan dunia saat ini. Dalam sekali entakkan pemikiran, Mishra mengatakan bahwa gerakan-gerakan anarkis ini bangkit dan akan membawa konsekuensi yang jauh lebih dalam daripada gerakan pada akhir 1960-an dan berlanjut pada awal tahun 1970-an.
Untuk mereka yang belajar gerakan sosial, gerakan pada periode ini tidak saja merupakan gerakan politik. Dia adalah sebuah gerakan kultural sekaligus. Mereka yang besar pada jaman ini menyaksikan bagaimana tatanan yang mapan dijungkirbalikkan.
Norma-norma lama dalam hal seksualitas, institusi perkawinan, hingga soal kenikmatan, berusaha ditanggalkan. Institusi perkawinan tidak lagi sakral. Secara khusus orang-orang muda pada zaman itu menolak mengaitkan institusi perkawinan dengan kehendak melakukan hubungan seksual. Konsumsi ganja atau obat-obat penenang lainnya tidak seharusnya dilarang. Mengonsumsinya adalah tanggung jawab pribadi. Bukan urusan negara atau pemerintah.
Di negara-negara industri, institusi-institusi mapan mengalami kelemahan luar biasa. Salah satu korbannya adalah institusi keagamaan. Salah satu hasil gerakan yang dikenal dengan ‘generasi bunga’ tersebut adalah emansipasi. Satu dekade sebelumnya di Amerika, gerakan persamaan hak-hak sipil diakui. Warga kulit hitam tidak lagi dipisahkan dan didiskriminasi. Kekalahan Amerika dalam Perang Vietnam tidak bisa dilepaskan dari generasi ini. Protes dan demonstrasi ada dimana-mana. Sebagian menjadi sangat radikal (Baader Meinhof di Jerman; Red Brigade di Italia; Red Army di Jepang).
Baik gerakan generasi bunga dan gerakan generasi milenial sekarang memiliki persamaan: mereka tidak percaya pada institusi-institusi yang mapan. Yang membedakan adalah bahwa gerakan generasi milenial ini lebih menusuk kepada negara dan segala infrastruktur penindasannya — birokrasi, polisi, militer, para oligarki, kaum elite dengan segala hak-hak istimewanya; dan sebagian juga kaum agamawan yang berkolusi dengan penguasa negara.
Dalam esai super pendeknya itu, Pankaj Mishra meramalkan bahwa gerakan kaum milenial ini adalah gerakan anarkis. Dia mengatakan bahwa ide-ide anarkis menjadi matang di saat sekarang ini. Gerakan-gerakan sengaja meniadakan pimpinan dan struktur organisasi yang ketat. Ini terlihat dimana-mana. Mulai dari Hongkong ke Nairobi hingga ke Santiago.
Kaum anarkis ingin memangkas kekuasaan negara yang sangat mencengkeram. Mereka mempersona-non-grata partai-partai politik. Mereka bahkan tidak percaya pada gerakan-gerakan model lama seperti gerakan buruh. Partai adalah bagian dari panitia pengisapan negara. Gerakan-gerakan sudah dikooptasi oleh negara dan berselingkuh dengan para oligarki. Agama dan agamawan sami mawon. Mereka menjadi pemberi stempel penindasan dan ketidakadilan.
Namun, seperti yang disebutkan Mishra, kaum anarkis tidak menafikan demokrasi. Hanya saja mereka miliki interpretasi lain tentang demokrasi terutama dalam versi yang lebih lokal. Mereka mengidealkan solidaritas di antara sesama yang saling kenal. Lingkaran yang akrab, yang bisa dipercaya, dan maju bersama.
Anarkis bukan komunis. Mereka juga bukan sosialis. Sekalipun ide dasar mereka sama namun anarkis mengutuk kekuatan partai dalam komunisme, yang dianggap tidak lebih sebagai struktur totalitarian. Mereka memandang rendah sosialisme yang bersimbiosis dengan negara. Negara-negara dengan sosialisme, seperti negara kesejahteraan, sama saja dengan negara-negara lain karena menganggap diri superior dan paling tahu apa yang dibutuhkan rakyatnya.
Jika tidak percaya pada apa pun yang mapan, lalu apa yang mereka percayai? Mereka percaya pada kekuatan kerja sama antara warga masyarakat yang berasaskan kesukarelaan dan tanpa paksaan. Mereka percaya pada manusia yang mampu memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri.
Lalu bagaimana mereka mencapai tujuan itu? Di sini kaum anarkis mirip dengan kaum komunis. Mereka mau melakukan revolusi. Tidak ada jalan lain untuk merebut kembali kebebasan kecuali dengan menghancurkan tatanan yang ada. Menghancurkan kemapanan. Menjungkirbalikkan cara berpikir.
Banyak orang mengira bahwa anarkisme dan kaum anarki akan hilang begitu saja karena gerakan mereka yang tidak terorganisasi. Mereka barangkali lupa bagaimana gerakan di Hongkong sangat bandel. Dia mulai tahun 2014. Muncul lagi tahun lalu dan bergerak selama berbulan-bulan. Bahkan hingga sekarang tidak padam-padam.
Dalam hal-hal tertentu kita juga mengalami. Demo-demo di hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia pada September kemarin harus menjadi dering peringatan kritis. Kaum milenial ini tidak akan diam. Dari banyak percakapan saya dengan anak-anak muda, mereka kelihatan apatis. Namun mereka tahu persis apa yang terjadi.
Mereka tidak seperti generasi saya yang harus menghadapi kekuasaan rezim Soeharto – dengan mata yang terfokus pada bagaimana mengganti rezim ini dengan kita sendiri. Kita melihat bahwa mantan-mantan aktivis tahun 1990-an ini sangat nyaman dalam kekuasaan. Lebih buruk lagi, mereka memerintah dengan pola pemikiran seperti Soeharto. Karena itulah satu-satunya cara berkuasa yang mereka tahu.
Penguasa sekarang membuat hype apa yang namanya generasi milenial. Mereka mencoba mengooptasi apa yang mereka imajinasikan sebagai ‘milenial.’ Padahal yang mereka rangkul adalah anak-anak elite yang tumbuh dengan segala macam privilese.
Milenial yang biasa-biasa saja tidak muncul. Mereka hilang di balik kampanye dan propaganda kaum elite dan penguasa negeri ini.
Namun, saya melihat dengan jelas bahwa mereka ada. Mereka gelisah. Mereka sama sekali tidak punya kepercayaan pada penguasa dan negara ini. Seperti pada bulan September yang lalu, hanya sedikit riak di mana mereka merasa mendapatkan kesempatan, mereka akan muncul lagi. Tanpa pemimpin. Tanpa organisasi.
Sekolah dan universitas bisa mengekang mereka. Penguasa boleh mengawasi mereka dengan mengaktifkan struktur RT/RW yang diciptakan penguasa pendudukan Jepang untuk mengontrol dan memobilisasi masyarakat. Namun penguasa dan negara tidak bisa menguasa kepala anak-anak kecil ini.
Jika Anda hanya membaca koran nasional dan mainstream, Anda tidak akan melihat perlawanan-perlawanan lokal yang sudah sangat marak dimana-mana. Sebagian besar penggeraknya adalah anak-muda, ya kaum milenial ini.
Akankah anarkisme menjadi ide yang menyebar ke mana-mana, seperti pada abad 19 seperti yang ditulis oleh Ben Anderson dalam ‘Di Bawah Tiga Bendera” itu? Apakah ramalan Pangkaj Mishra itu benar bahwa ide-ide anarkisme sedang menuju kematangannya pada zaman ini? Kita tunggu saja. Termasuk di Indonesia.
*Seorang jurnalis sekaligus peneliti sosial, politik dan militer
Discussion about this post