Konflik lahan bertahun-tahun mengakibatkan kemiskinan dan buta huruf
bagi orang Batin 9.
DESA Pompa Air punya arti tersendiri bagi Amat Nuri. Ia lahir dan mulai menua hingga punya sembilan anak. Nuri buta huruf, tak pernah sekolah. Ia tak punya tanah. Satu-satunya harta adalah rumah 30 m² yang diberikan dinas sosial provinsi Jambi pada 2007.
“Saya pernah datang sendirian minta lahan lima hektar tapi tak dikabulkan. Hanya rumah inilah yang dibuatkan. Saya pikir lumayanlah daripada tak ada sama sekali,” katanya. Dinas sosial mendirikan 150 rumah.
Bukan hanya Nuri yang buta huruf. Dari anaknya yang tertua (30 tahun) sampai paling bontot (13 tahun) tak pernah mencicipi bangku sekolah. Masalahnya satu: tak punya biaya sekolah.
“Boro-boro mau sekolah, buat makan saja kurang!” ujar Nuri.
Dalam sehari paling tinggi ia berpenghasilan rata-rata Rp 50 ribu. Hasil dari kerja upahan nerbas atau panen kebun karet orang lain. “Cukup dak cukuplah uang segitu buat makan sekeluarga, ya dicukup-cukupi. Lha, cuman itu yang ado. Apolagi nak dibilang.”
Pernah Nuri dan sebagian Suku Anak Dalam (SAD) Batin 9 memungut berondolan di kebun-kebun sawit yang diklaim milik PT Asiatic Persada. Mereka bawa anak-istri. Hasilnya dijual Rp1.200/kg. Dalam sehari, paling kuat bisa mengumpulkan 25-50 kg atau sekira Rp60 ribu.
Belakangan, PT Asiatic melarang pekerjaan memungut itu, di sebelah selatan lahan konsesi di dusun Tanjung Lebar dan Sei Beruang, berbatasan areal Harapan Rainforest PT Restorasi Ekosistem Indonesia. Menurut PT Asiatic, lahan seluas 5.100 hektar ini masuk dalam hak guna usaha miliknya. Sementara, menurut masyarakat, lokasi itu di luar HGU PT Asiatic sehingga bisa dipanen masyarakat. Sepanjang 2010, penjara di Polres Batanghari penuh sesak menahan 120 orang, 85 orang dari mereka dituduh memanen di lahan itu.
Sejak itu mereka kapok memungut berondolan.
Selama enam tahun (2004-2010), Nuri bekerja untuk PT Asiatic. Tiga kali berhenti. Tiga kali pula diajak bekerja. Dari humas, pengamanan keliling, sampai terakhir berstatus mandor. Gaji pokok terakhir Rp2,7 juta plus uang lain. Kotornya ia menerima Rp3 juta lebih setiap bulan.
Amat Nuri adalah sepupu kandung mendiang Maliki, satu-satunya orang SAD Batin 9 yang pernah jadi anggota legislatif nasional lewat pemilu 1999 dari utusan daerah. Ayah Nuri, almarhum Mustopa, saudara kandung ayah Maliki, almarhum Alamsli.
Salah satu putra mendiang Maliki, Herman Basir, sering pula berkonflik dengan kelompok SAD Batin 9 lain karena dituduh mengaku-ngaku Temenggung.
“Yang jadi temenggung itu mesti tahu sejarah dan tutur. Kalau tidak tahu itu namanya Temenggung Karut,” ujar Nuri. Herman mengaku sebagai Temenggung Sembilan Bilah.
Discussion about this post