Connect with us

OPINI

Dilema Regulasi dan Kebijakan Publik

DETAIL.ID

Published

on

Kebijakan Publik

KEBERADAAN sebuah pemerintahan tentu berfungsi untuk memastikan terjawabnya persoalan publik yang dirumuskan menjadi kebijakan publik. Sejalan dengan hal ini, maka seringkali kita melihat berbagai jawaban yang nampak out of the box, namun penuh dengan dilema bahkan nampak komplikasi persoalan yang dihadapi.

Dalam kasus yang kompleks, faktor-faktor persoalan bertalian, memiliki keterkaitan, bahkan bisa jadi saling mempengaruhi. Pasca pemetaan masalah, dibutuhkan kemampuan kreatif, agar dapat memunculkan berbagai alternatif solusi yang mungkin dapat menjawab persoalan. Dari solusi yang mungkin hingga yang nampak sulit dilaksanakan atau atas format penyelesaian yang membutuhkan sumber daya minimal hingga memerlukan sumber daya maksimal dengan keterbatasan dalam mengatasi sebuah persoalan.

Limitasi waktu, tenaga dan berbagai sumber daya lainnya membuat pengambilan keputusan harus memiliki kecakapan dalam menempatkan prioritas dari daftar urutan solusi. Dalam pengambilan keputusan, meski semua hal menjadi mungkin, tetapi ada beberapa hal yang menjadi penting, yaitu rasionalitas atau batasan akal, logika, etika, dan tanggung jawab.

Dalam teori Pareto disebutkan bahwa 20% kebijakan publik adalah faktor dan 80% yang menyebabkan terjadinya. Teori ini, jika dipahami secara mendasar, akan memberikan sebuah gambaran kepada kita bahwa kebijakan publik merupakan faktor kritikal yang akan menentukan kemajuan atau kemunduran suatu bangsa.

Dr. Riant Nugroho, spesialis kebijakan publik, menyebutkan bahwa sehebat apapun demokrasi yang dihasilkan dari suatu sistem politik, tetapi jika sistem politik yang demokratis itu tidak mampu menghasilkan kebijakan publik yang unggul maka tidak akan ada gunanya. Kebijakan merupakan output paling nyata dan paling utama dari sebuah sistem politik.

Demikian halnya dengan Indonesia, sebagai negara maju Indonesia harus mampu menghasilkan kebijakan yang benar-benar dapat mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan sosial masyarakat bukan hanya kepentingan segelintir elite saja dan mampu mensejahterakan seluruh rakyatnya. Pancasila sebagai ideologi bangsa harus benar-benar menjadi dasar dalam penyusunan kebijakan negara.

Sejak COVID-19 merebak di Indonesia, pemerintah sudah mengeluarkan sederet kebijakan terkait wabah COVID-19. Mulai dari relaksasi, insentif hingga yang sifatnya mengatur kehidupan masyarakat. Dari sederet kebijakan yang sudah dikeluarkan pemerintah, beberapa diantaranya bersifat ambigu. Masyarakat dibuat bingung dengan kebijakan yang kurang tegas ataupun sifatnya bertentangan antar kebijakan kementerian.

Beberapa kepala daerah sikapnya juga berbeda-beda dalam menanggapi wabah ini. Ada yang menganggap COVID-19 ini bukan ancaman serius, bahkan ada yang menganggap demam berdarah dan flu lebih berbahaya dari corona. Ada juga yang mempersilakan wisatawan untuk datang berduyun-duyun ke daerahnya dengan jaminan bahwa daerahnya aman. Sebagai masyarakat yang merasakan langsung dampak dari kebijakan pemerintah, kesiapan pemerintah dalam menghadapi wabah COVID-19 sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Kita sudah melihat bagaimana pada masa-masa awal pandemi, pemerintah justru bersikap denial (menyangkal). Jonathan A. Lassa dan Miranda Booth dari Charles Darwin University melacak respons pemimpin populis dari Amerika Serikat, Indonesia dan Brazil terhadap pandemi ini.

Menurut Lassa dan Booth, hampir di semua spektrum politik, kepemimpinan populis memiliki sifat-sifat umum yang sama dalam menghadapi COVID-19, bias, optimisme dan rasa puas diri, kepemimpinan yang ambigu dan anti sains. Lassa dan Booth juga menilai ketika berbagai berita terkait CCOVID-19 di China membanjiri media, Trump, Boris Johnson dan Presiden Joko Widodo sangat optimis dan cenderung naif berfikir bahwa semua akan baik-baik saja dan wabah tidak akan menghantam negara mereka. Abainya sikap pemimpin seperti ini seringkali diikuti pesan jelas yang ingin mereka sampaikan. Tidak ada krisis. Padahal krisis selalu diiringi ketidakpastian.

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]

Akibatnya, terjadilah decision making, membuat kebijakan strategis di bawah tekanan waktu, ketidakpastian dan tekanan kolektif. Lassa dan Both juga menyebutkan, mereka tidak memiliki kemampuan menggunakan data dalam strategi kebijakan publik. Pengabaian atas sains dan ilmu pengetahuan membuat mereka sulit membedakan mana yang benar dan mana yang salah pada saat yang genting.

Menariknya, Lassa dan Both melihat kemungkinan bagaimana pemimpin populis juga mampu mengeksploitasi pandemi dengan memancing di air keruh demi keuntungan politik. Taktik pemimpin-pemimpin populis ini memecah belah publik sambil menciptakan ketidak percayaan pada institusi publik yang ada.

Berikut ini ada beberapa contoh kebijakan yang kontradiksi, di antaranya adalah pencampuradukan UU Kekarantinaan Kesehatan dan Perpu Darurat Sipil. Penerapan darurat sipil berdasarkan Perpu tidak tepat karena situasi kedaruratannya bukan motif kesehatan, melainkan motif politik. Saat ini kebijakan PSBB dan stimulus ekonomi telah diterapkan.

Namun demikian, bila tidak efektif meredam penyebaran COVID-19, maka PSBB perlu dievaluasi menggunakan bingkai hukum UU Karantina Wilayah, bukan dengan Perpu Darurat Sipil 23/1959 yang didominasi motif politik daripada motif kesehatan publik. Kebijakan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam rangka pencegahan Penyebaran COVID-19 bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 tentang kendali terhadap ojek online agar tidak membawa penumpang.

Dalam aturan Kemenhub ojek online diperbolehkan membawa penumpang pada saat PSBB. Sementara Permenkes melarang ojek online membawa penumpang demi menerapkan social distancing mencegah penyebaran virus COVID-19. Ini akan menjadi masalah di lapangan karena ada dua Peraturan Menteri yang saling berbenturan.

Kemudian, ada lagi tentang fenomena mudik lebaran, Mei 2020. Antara institusi pemerintah tidak sejalan bahkan kontradiksi, sekalipun antar institusi pemerintah pusat (Kementerian) apalagi antar pemerintah pusat dengan daerah. Pernyataan blunder Jubir Presiden Fadjroel Rachman yang membolehkan mudik lebaran dianulir oleh Mensesneg, Praktino. Bahkan Wapres Ma’ruf Amin menyatakan mudik lebaran haram, tetapi Presiden Jokowi menyatakan boleh mudik.

Hal yang sama terjadi secara formal antar Kementerian. Contohnya, Kementerian PAN RB mengeluarkan Surat Edaran Nomor 41/2020 yang intinya melarang ASN melakukan perjalanan mudik, bahkan keluar kota selama wabah COVID-19 masih berlangsung. Tetapi, Kementerian Koordinator masih berkeras ingin mendorong mudik lebaran. Di satu sisi, pemerintah ingin menyelamatkan warga negaranya dari wabah COVID-19. Namun, di sisi lain, pemerintah ingin menyelamatkan perekonomian masyarakat.

Kebijakan publik yang ada di Indonesia memang masih condong ke arah kontinentalis. Hal ini bisa kita pahami bahwa 3,5 abad kependudukan Belanda di Indonesia telah mewariskan corak yang begitu kental dalam agenda politik di negara kita, dimana kebijakan publik masih identik dengan hukum. Sementara, secara normatif kebijakan publik haruslah dirumuskan berdasarkan interaksi yang terjadi antara negara dengan tiap-tiap individu masyarakat.

Anggota dewan sebagai representasi publik adalah jalan terdekat bagi negara untuk berinteraksi dengan rakyatnya. Dengan premis yang demikian, maka harus disadari oleh setiap anggota dewan bahwa agenda utama mereka adalah membawa aspirasi rakyat agar bisa diakomodir oleh pemerintah. Dengan kata lain, manfaat agregat kebijakan harus lebih besar daripada biaya agregat kebijakan.

 

*Akademisi UIN STS Jambi

OPINI

Gen Z, Stop Overthinking Soal Jurusan Kuliah

DETAIL.ID

Published

on

Tidak sedikit dari kita, para Gen Z, yang masih bingung soal masa depan. Mikirin jurusan kuliah, kerja nanti mau jadi apa, atau jalan hidup mana yang paling tepat. Aku pun pernah ada di posisi itu, dan jujur aja, penuh drama.

Dulu aku pengen banget jadi arsitek. Bayangin deh, bikin desain bangunan keren, terus bisa lihat hasil karyaku berdiri megah di tengah kota. Keren banget, kan?

Tapi ternyata hidup punya arah lain. Pas kuliah, aku malah masuk jurusan Mass Communication. Awalnya agak kecewa juga sih, tapi ternyata ini justru salah satu keputusan terbaik yang pernah aku ambil.

Kalau dipikir-pikir, mungkin aku bakal stres berat kalau beneran masuk arsitektur. Ngerjain struktur bangunan, mikirin faktor keamanan, dan tanggung jawab gede? Bisa-bisa tiap malam nggak bisa tidur. Ternyata Mass Comm jauh lebih cocok buat aku.

Dari Hobi Doang, Jadi Serius

Aku dari kecil udah suka banget sama yang namanya bikin konten. Dulu pernah iseng bikin konten gaming di YouTube, vlog santai dan edit video-video, waktu itu sih nggak kepikiran bisa jadi kerjaan beneran. Tapi sejak masuk kuliah, aku baru sadar dunia komunikasi itu luas banget. Ada broadcasting, PR, digital media, advertising, dan banyak lagi. Dan sekarang, bikin konten udah jadi profesi yang nyata banget.

Apalagi pas lihat temen-temen mulai bikin proyek sendiri, mulai dari short movie, vlog, sampai podcast mahasiswa. Itu bikin aku makin semangat. Aku mulai ikutan bikin juga, walaupun masih kecil-kecilan. Tapi rasanya seru, dan di situ aku mulai ngerasa, “Kayaknya ini deh passion ku.”

Saat Merasa Ketinggalan

Tapi namanya juga manusia, kadang overthinking itu datang lagi. Scroll TikTok, lihat temen-temen views-nya ratusan ribu. Buka YouTube, nemu kreator baru yang udah punya jutaan subscriber. IG story temen? Isinya endorse-an semua.

Terus aku mikir, “Kok aku masih gini-gini aja ya?” Padahal aku juga udah coba bikin konten, belajar editing, ngerjain proyek. Tapi tetap aja ngerasa belum cukup. Ditambah lagi kadang ada yang nanya, “Nanti lulus mau jadi wartawan ya?”

Seakan-akan lulusan Mass Comm cuma bisa kerja di media konvensional, padahal sekarang pilihan kariernya banyak banget.

Timeline Tiap Orang Beda-Beda

Sampai akhirnya aku sadar juga, kenapa sih harus selalu ngebandingin diriku sama orang lain? Ada yang sukses di umur 18, ada yang baru nemu jalannya di umur 25.

Yang penting itu bukan siapa yang paling cepat, tapi siapa yang konsisten terus belajar dan berkembang. Sejak itu, aku mulai fokus ke proses. Setiap tugas kampus, vlog, atau video promosi yang aku kerjain, aku anggap latihan. Aku belajar hal baru, coba gaya baru, dan ngembangin skill-ku pelan-pelan.

Dan yang paling penting: aku mulai menikmati prosesnya. Aku berhenti mikir kapan bakal sukses, dan lebih fokus nikmatin tiap langkahnya.

Passion vs Prospek? Kenapa Nggak Dua-Duanya

Dulu aku mikir harus pilih salah satu: passion atau prospek. Ternyata, nggak harus gitu. Kuliah di Mass Comm ngasih aku banyak bekal. Aku ngerti gimana komunikasi yang efektif, gimana cara bangun hubungan sama audiens, dan gimana strategi media itu jalan. Itu semua kepake banget buat dunia konten sekarang.

Aku bisa kerja di digital agency, sambil tetap bangun personal brand-ku sendiri atau jadi freelance videographer, sambil bikin konten yang aku suka. Bahkan bisa mulai dari content writer, sambil belajar podcast-an pas weekend. Intinya? Aku bisa punya “kerjaan aman” dan tetap ngejar mimpi.

Mulai dari Sekarang, Bukan Nanti

Buat kamu yang masih galau, jangan tunggu semuanya sempurna dulu. Mulai aja dari yang kamu punya. Punya HP? Bikin konten.Punya laptop? Belajar editing. Punya ide? Tulis, rekam, dan bagikan.

Yang penting itu konsisten, bukan sempurna. Dan terakhir, jangan bandingin hidupmu sama orang lain. Setiap orang punya timing masing-masing, dan kamu juga pasti bakal nemu jalurmu sendiri.

Aku nggak nyangka, dari yang awalnya pengin jadi arsitek, aku malah nemu passion sejati di dunia konten. Hidup emang penuh kejutan. Tapi selama kita siap, terbuka, dan mau jalanin prosesnya, semuanya bakal jadi cerita yang keren.

Karier itu bukan tentang siapa yang paling cepat sampai, tapi siapa yang paling tahan jalanin proses. Jadi daripada sibuk ngebandingin diri sama orang lain, mending fokus aja sama versi terbaik dari dirimu sendiri. Karena mungkin, jurusan yang awalnya kamu anggap “jalan kedua” justru jadi pintu utama menuju hidup yang kamu impikan.

Penulis: Puteri Nazwa Layla, Mass of Communication Student, BINUS UNIVERSITY

Continue Reading

OPINI

Pilihan Jalan atau Hanya Berpetualang

DETAIL.ID

Published

on

USAI sudah Pilgub Jambi 2024. Usai sudah penghitungan. Baik penghitungan lembaga survey, quick count maupun penetapan resmi dari KPU. Baik berjenjang dari KPU Kabupaten maupun penetapan akhir KPU Provinsi Jambi. Hasilnya tidak jauh berubah. Kemenangan telak diraih oleh Al Haris-Sani. Sang incumbent yang mantap dengan peraihan 60%. Jauh dari perkiraan para ahli yang banyak meramalkan hanya mampu meraih 52%-26%.

Namun apapun hasil kemenangan Pilgub, cerita dibalik pilkada yang berlangsung selama setahun terakhir banyak memberikan pelajaran. Sekaligus cerita yang bisa ditorehkan. Sekaligus diceritakan kepada generasi muda.

Pertama. Memilih Gubernur/Wakil Gubernur Jambi tentu saja tidak memilih yang terbaik. Tentu saja banyak putra-putra terbaik di Jambi.

Berbagai teori ilmu politik maupun sebagian aliran pemikiran, memilih pemimpin bak memilih seperti kaum Sofi. Kaum yang memang dilahirkan manusia suci dan mempunyai pemikiran yang sangat bijaksana.

Bahkan banyak sekali aliran agama yang menempatkan Pemimpin politik bak memilih seperti ulama. Lengkap pengetahuan dunia, pengetahuan agama dan perilaku yang terpuji.

Maqom ini sering digunakan untuk menangkis terhadap calon-calon yang populer. Sekaligus membentengi diri dan melindungi kandidatnya.

Sebagai pemikiran, ajaran ataupun strategi, cara-cara ini sah saja digunakan.

Namun ditengah perkembangan zaman yang begitu pesat, strategi kampanye yang setiap Pilgub yang berbeda-beda, saya memilih dengan ukuran yang paling sederhana.

Memilih pemimpin ketika dia mau mendengarkan. Mau melaksanakan janji-janjinya yang sederhana. Sekaligus dia mau mendengarkan ketika saya mengumpat, memaki bahkan menghardik kinerja.

Dia lebih banyak mendengarkan. Dia sama sekali tidak memberikan klarifikasi ataupun bantahan terhadap apa yang saya sampaikan.

Apakah terlalu sederhana itu ? Ya. Cukup sederhana.

Di dalam berbagai kesempatan, ukuran realistis yang paling mudah dijangkau, apakah dia mau mengurusi pendidikan, kesehatan dan infrastruktur jalan.

Selama itu bisa dijangkau dengan ukuran obyektif selama itu saya tetap didalam barisan. Termasuk juga kalaupun banyak yang berlarian meninggalkannya, mungkin saya orang terakhir meninggalkannya.

Sebagai manusia, tentu saja kadangkala sering dongkol, kecewa bahkan kesal. Namun ketika seseorang mau mendengarkan gerutukkan saya, lebih banyak diam ketika saya umbarkan kemarahan, itulah kemewahan saya sebagai rakyat.

Dan ketika satu persatu pertimbangan, nasihat ataupun saran kemudian diikuti, bagiku itulah seseorang pemimpin. Menjawab dengan tindakan. Bukan sekadar janji.

Kedua. Di tengah Pilgub Jambi 2024, tentu saja ada sebagian kemudian memilih berbeda barisan. Memilih kemudian berbeda bagiku tidak terlalu mengganggu pemikiran.

Namun yang menarik pemikiran tentu saja alasan kemudian ketika pernah bersama-sama kemudian memilih berbeda barisan.

Selama memilih dengan alasan prinsip dan mendasar, tentu saja respek selalu kuhargai.

Namun ketika alasan memilih bukanlah prinsip dan mendasar dan lebih mengutamakan emosi, baper, tentu saja bagiku itu kekanak-kanakan.

Padahal kutahu sang pengabar mempunyai literatur bacaan yang kuat. Sikap dan prinsip yang selama ini sempat kukagumi. Bahkan cara penyampaian yang begitu tajam tidak salah kemudian kutempatkan sebagai tokoh panutan.

Namun ketika kutahu sang tokoh kemudian meninggalkan barisan dengan alasan (mungkin bagiku konyol) seketika respekku hilang. Berganti dengan nada sentimentil yang mendayu-dayu. Persis kayak anak ABG yang lagi galau. Ketika cuma SMS, telp ataupun WA sama sekali tidak dibalas.

Padahal di ujung telepon, sang pacar malah sibuk dengan pekerjaan rutinitas yang memang memaksa tidak memegang HP.

Yang kadangkala bikin geli, selevel tokoh (kata orang bijak sering “hatinya harus jember”), yang mewarisi sikap keteladanan bersikap kekanak-kanakan justru menjadi hiburan tersendiri. Kalaupun bukan pelajaran pahit yang menjadi perjalanan hidup.

Namun apapun yang terjadi dibalik Pilgub Jambi 2024, seleksi alam begitu kejam. Hanya orang mampu menghadapi perubahan zaman yang akan bertahan.

Selain itu mereka akan tergilas dengan kehadiran generasi milenial bahkan generasi Gen Z yang tidak kenal ampun. Melumat orang-orang cengeng di kancah politik.

Dan saya kemudian memilih. Bergabung dengan generasi milenial dan generasi Gen Z untuk menertawakan “kecengengan” kaum tua yang ketika berbicara selalu menepuk-nepuk dada.

Pilgub Jambi 2024 juga mengajarkan. Kemenangan Pilgub ketika menguasai generasi millenial dan Generasi Z.

Selamat datang, Era baru. Selamat datang generasi baru. (***)

*Direktur Media Publikasi Tim Pemenangan Al Haris-Sani

Continue Reading

OPINI

Kebijakan Pajak 12%: Selektivitas untuk Barang Mewah, Strategi atau Tantangan?

DETAIL.ID

Published

on

PEMERINTAH Indonesia telah mengumumkan bahwa mereka berencana untuk menerapkan tarif PPN sebesar 12%. Rencana ini akan dimulai per 1 Januari 2025, sesuai dengan mandat yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Namun, telah diputuskan bahwa kebijakan ini hanya akan berlaku untuk barang mewah. Banyak orang melihat kebijakan ini sebagai cara untuk meningkatkan pendapatan negara dan menghalangi daya beli industri dan masyarakat tertentu.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Barang Mewah mengatur mekanisme pemungutan pajak atas barang-barang yang dikategorikan sebagai barang mewah. Menurut pasal 1 ayat (1) UU tersebut, barang mewah adalah barang yang dalam penggunaannya tidak memberikan manfaat langsung terhadap kelangsungan hidup atau kehidupan manusia, yang menyebabkan pengenaan pajak untuk membatasi kontribusi kelangsungan hidup atau kehidupan manusia. Oleh karena itu, pengenaan pajak 12% ini dimaksudkan untuk membatasi konsumsi barang tersebut.

Pandangan Pemangku Kebijakan

Presiden Prabowo Subianto menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk meminimalisir konsumsi barang mewah yang tidak bersifat esensial bagi masyarakat umum. Ia menegaskan pentingnya melindungi rakyat kecil melalui pengecualian PPN untuk barang kebutuhan pokok.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menilai kebijakan ini sebagai langkah yang menyesuaikan tren global dalam perpajakan dengan pelaksanaan cukup diatur melalui PMK. Ia memastikan bahwa pelaksanaannya dirancang agar tidak merugikan ekonomi rakyat.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk mencerminkan asas keadilan. “Kami ingin memastikan barang-barang yang memiliki kontribusi lebih besar terhadap pendapatan pajak adalah barang-barang yang memang hanya dikonsumsi oleh kelompok masyarakat tertentu yang memiliki daya beli tinggi,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers pada awal November 2024.

Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: Suara Surabaya)

Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: Suara Surabaya)

Namun, Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Mukhamad Misbakhun, mengatakan kelompok barang yang akan dikenai PPN 12 persen tersebut masih akan diseleksi. Khususnya untuk objek barang yang selama ini tergolong dalam kategori Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Perspektif Pemerintah: Ini adalah Pendekatan yang Mempertimbangkan untuk Meningkatkan Pendapatan Negara

Kebijakan ini tentu tidak mengabaikan pandangan beberapa menteri yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Seperti yang dijelaskan oleh Sri Mulyani, Menteri Keuangan, kebijakan ini merupakan tindakan yang lebih strategis yang bertujuan untuk memastikan keseimbangan dalam pendapatan negara dan pada saat yang sama mengatur konsumsi barang-barang mewah.

Ada kalanya Sri Mulyani menguraikan masalah ini: “Pengenaan cukai dengan tarif 12 persen pada barang-barang mewah bertujuan untuk mencegah konsumsi berlebihan barang-barang mewah dan mengarahkan konsumsi pada barang-barang yang akan produktif bagi ekonomi, selain tentu saja untuk meningkatkan pendapatan negara yang akan digunakan untuk pembangunan.”

Pendapatan yang diperoleh dari pajak barang-barang mewah dimaksudkan untuk digunakan dalam meningkatkan fasilitas publik, kesehatan, dan pendidikan, serta untuk meningkatkan kebijakan fiskal yang lebih luas yang melindungi proses pemulihan pasca-covid.

Tantangan yang Dihadapi

Tetapi kebijakan ini menghadapi beberapa masalah seperti berdampak pada daya beli konsumen. Ekonom bernama Bhima Yudhistira mengatakan bahwa pengenaan pajak lebih tinggi pada barang tertentu dapat berdampak pada penurunan konsumsi, terutama untuk industri yang bergantung pada penjualan barang premium.

Potensi Kebijakan Tidak Efektif: Beberapa pengamat mengkhawatirkan pengalihan konsumsi masyarakat ke pasar gelap atau pembelian langsung di luar negeri untuk menghindari pajak tinggi.

Kompleksitas Administrasi: Penetapan barang mewah dalam kategori dapat menjadi kontroversial, terutama bagi bisnis yang menganggap kebijakan ini terlalu luas.

Pengaruh terhadap Sektor dan Lingkungan Sosial

Akan tetapi, ada juga dampak negatif dari kebijakan ini, terutama untuk industri yang langsung berhubungan dengan barang-barang mewah. Menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, kebijakan tersebut perlu diikuti oleh kebijakan lain yang lebih memperhatikan industri dalam negeri. Dalam pernyataan tersebut, beliau menekankan: “Kita harus memastikan bahwa dampak dari kebijakan berbasis pajak tidak merugikan industri lokal.” Ini menunjukkan bahwa ada kekhawatiran besar terkait apa yang terjadi pada berbagai sektor, terutama yang paling berisiko tidak bisa bersaing di level global.

Secara khusus pada barang mewah yang dihasilkan di Negara kita Indonesia seperti otomotif, elektronik, atau barang fashion, maka kebijakan pajak akan mengurangi daya beli masyarakat dan juga akan memperlambat laju pertumbuhan industri yang bersangkutan.

Secara keseluruhan, pemerintah menggunakan kebijakan pajak 12% pada barang mewah untuk mengontrol konsumsi barang mewah sekaligus meningkatkan pendapatan negara.

Namun, kebijakan ini menghadirkan beberapa kesulitan, baik dari segi bagaimana ia diterapkan di lapangan maupun bagaimana hal itu berdampak pada sektor industri tertentu. Kebijakan ini mungkin memiliki dampak negatif yang lebih besar, terutama dalam jangka panjang, jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang mendukung industri dalam negeri dan melindungi daya beli masyarakat.

*Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI)

Continue Reading
Advertisement ads ads
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs