MENJELANG pilkada Gubernur/Wakil Gubernur Jambi 2020 (Pilgub), konsentrasi publik mulai mengerucut kepada kandidat yang diusung di Pilgub 2020.
Sembari menunggu pengumuman penetapan dari KPU, pandangan publik mulai melihat personal, pekerjaan yang telah dilakukan dan rencana program diusung para kandidat.
Tidak dapat dipungkiri cara pandang pemilih menggambarkan realitas yang akan dipilih.
Di tengah masyarakat Melayu Jambi, cara pandang dimulai dari diri personal kandidat. Segala yang berkaitan dengan personal menjadi rekaman kolektif (collective memorial).
Entah “lahir”, “sekolah”, “kerja” ataupun “Bicara tentang Jambi”.
Setelah melihat personal, maka konsentrasi publik dilihat bagaimana “ranah” keluarga yang berperan. Cara pandang melihat keluarga merupakan salah satu indikator dan konsentrasi publik untuk memilih.
Personal yang menjadi perhatian pemilih dilihat dari cara pandang masyarakat dikenal sebagai “tuah”. “Tuah” melekat dan menjadi “branding” dari personal kandidat.
Setelah melihat “tuah”, maka konsentrasi publik kemudian dilihat bagaimana “cara kerja” dan pekerjaan yang dilakukan untuk membicarakan Jambi.
“Cara kerja” dan “pekerjaan” yang telah dilakukan menjadi sorotan penting dari cara pandang.
Istilah Jawa tidak dapat dipisahkan seperti “memilih”. Istilah seperti “bebet”, bibit” dan “bobot” adalah istilah menggambarkan dan kecenderungan pemilih.
Membicarakan Jambi tidak berkaitan dengan “darah Jambi” atau tidak. Dalam struktur kekerabatan masyarakat, masyarakat Melayu Jambi justru menghormati siapa pun yang tinggal dan hidup di Jambi.
Seloko seperti “Tanjung Paku batang belimbing. Tempurung dipalenggangkan. Anak dipangku, kemenakan dibimbing, orang lain dipatenggangkan” adalah perumpamaan keterbukaan masyarakat dengan pendatang.
Sebagai seloko yang menghormati kedatangan masyarakat, maka siapa pun yang kemudian tinggal di Jambi tetap menghormati hukum adat Jambi. “Dimana bumi dipijak. Di situ langit dijunjung”, “Dimana tembilang tecacak. Di situ tanaman tumbuh”.
Sehingga tidak dibenarkan “petantang petenteng” di wilayah Jambi yang kemudian dikenal “Merajo di Kampung Rajo”.
Sehingga kekerabatan masyarakat kemudian dikenal sebagai kekerabatan teritorial. Bukan kekerabatan masyarakat dari pendekatan geneologis seperti di Sumatra Utara (Batak) dan Sumatra Barat (Minangkabau).
Tidak tepatlah apabila membicarakan “orang Jambi” berkaitan dengan “darah”. Bahkan orang yang walaupun lahir di Jambi namun kemudian “tidak membicarakan Jambi” tidak tepat disebut sebagai “orang Jambi”. Bahkan “orang Jambi” yang kemudian berkhianat rakyat Jambi sendiri harus dilaknat oleh “orang Jambi”.
Yang tepat adalah “orang Jambi” adalah orang yang “lahir, sekolah, kerja, dibesarkan di Jambi dan “membicarakan tentang Jambi”.
Cara pandang untuk memilih kandidat tentang orang Jambi yang dilihat dari “lahir”, “sekolah”, “kerja” dibesarkan” dan “membicarakan tentang Jambi”.
Dan memilih adalah hak. Memilih adalah cara pandang pemilih. Hasil pemilihan menggambarkan realitas.
*Direktur Media, Publikasi dan Opini Al Haris – Abdullah Sani
Discussion about this post