RAKYAT telah menentukan pilihannya. Berlalu sudah hingar bingar dan hiruk pikuk Pilkada dalam berbagai aktivitas politik. Sungguhpun bagi sebagian tidak mudah menerima realitas yang ada. Namun silaturahmi tetaplah dijaga.
Hasil Pilkada kali ini bisa dipastikan tidak akan memuaskan bagi semua pihak. Pasti ada pihak yang memiliki suara ‘lebih’ yang sementara unggul sebagai pemenang dan pihak yang ‘kekurangan suara’. Juga akan muncul ketidakpuasan dari pihak yang kalah. Itulah demokrasi.
Dalam sebuah pesta besar seperti Pilkada, pasti banyak pihak yang “berkeringat” dan berjasa memenangkan seorang kandidat. Sudah banyak yang dilakukan tim sukses, pengusung, pendukung, sukarelawan, simpatisan, tim keluarga, tim srikandi, dll dalam memenangkan calonnya. Mereka sangat berjasa, mungkin tidak terbalaskan. Sukses seorang kepala daerah merupakan hasil keringat tim-tim ini. Namun tim-tim ini mestinya mampu menghadapi realitas. Hati boleh panas, kecewa boleh ada, tetapi jangan sampai ‘patah hati’.
Bagi simpatisan yang paslon yang sementara unggul, jangan terlampau ‘euforia’, sengaja komentar ‘ke sana kemari’ hanya untuk ‘memanasi’ pihak tertentu. Tindakan ini tidak elok dalam konteks silaturahmi. Komunikasi harus dilakukan sebagai perekat sosial. Jadikan kemenangan ini sebagai kemenangan bersama.
Dalam sosialisasi calon yang didukung, biasanya terjadi gesekan dengan tim pendukung lain. Tentu, hasil akhir lebih banyak pihak yang kalah ketimbang yang menang. Ketegangan dan gesekan sulit terhindar. Atas nama demi kemenangan pula gesekan-gesekan semakin nyata pada masa kampanye baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Para tim sukses dalam berbagai aktivitas memproklamir calonnya sebagai yang terbaik.
Akibatnya, ramah, sopan, tegur sapa yang awalnya begitu baik dan menjadi ciri khas orang timur, kini berubah menjadi lawan yang bisa memunculkan benci dan amarah yang terpendam. Padahal awalnya dari satu keluarga, satu dusun, satu tempat kerja namun harus ‘berlawanan’ akibat pilihan politik yang berbeda.
Ingatlah bahwa ‘setiap perubahan’ selalu membawa korban, yaitu orang yang gagal menyesuaikan dengan ‘kondisi terbaru’ dan ‘belum mau’ bersilaturahmi. Oleh karena itu, setidaknya ada dua alasan mengapa silaturahmi setelah pilkada mesti dijadikan tradisi. Bisa jadi di antara para kandidat, pengusung, pendukung, tim sukses, sukarelawan, simpatisan sebelumnya adalah mereka yang bersahabat satu sama lain. Tidak mustahil di antara mereka adalah teman, kolega, satu keluarga, satu desa. Pertarungan di Pilkada memaksa mereka berada pada kondisi yang berhadap-hadapan.
Pascapilkada merupakan fasenya bersilaturahmi. Tujuan utama silaturahmi adalah kembali ke kehidupan sebelum Pilkada. Selama pilkada konsentrasi politik berlangsung panjang, masif dan mendebarkan. Silaturahmi diniatkan sebagai perbuatan memulihkan pada keadaan semula akibat suatu kejadian tertentu. Ada kondisi yang berubah akibat pelaksanaan Pilkada.
Dipercaya atau tidak, pilkada menyebabkan mengendurnya ikatan sosial di tengah masyarakat. Semangat kekitaan yang selama ini telah menjadi ikon masyarakat mulai memudar. Kemudian, berubahnya cara kita berkomunikasi. Kita hampir lupa bagaimana berkomunikasi dengan menempatkan ‘lawan’ sebagai pihak yang layak diperlakukan secara bermartabat. Kita sering terjebak pada sesat pikir yang menganggap lawan sebagai musuh yang tidak hanya harus dikalahkan, namun juga harus dipermalukan (detik).
Relasi dan komunikasi ‘santun’, tidak lagi mengungkit masalah Pilkada dan berorientasi pada persahabatan harus segera dilaksanakan dengan menggunakan diksi-diksi persahabatan bukan kata-kata euforia berlebihan. Idealnya, pihak ‘pemenang’ mestinya menginisiasi kegiatan ini, sehingga pihak yang kalah tidak kehilangan ‘muka’ dalam komunikasi.
Hegel, filsuf Jerman, melihat gerak sejarah dunia sebagai gerak dialektika. Artinya, satu hal akan melahirkan lawannya sendiri. Di titik inilah, kita membutuhkan silaturahmi. Silaturahmi bisa dimengerti sebagai upaya-upaya untuk menciptakan perdamaian, setelah konflik atau perubahan terjadi. Silaturahmi berusaha untuk mengangkat dan minimal menetralisir perasaan kalah dari pihak lawan untuk tidak berlarut dalam kesedihan mendalam.
Silaturahmi adalah kebutuhan dasar manusia yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Untuk bisa menerima perubahan, orang perlu melakukan silaturahmi di dua level. Pertama, level pribadi, kita perlu berdamai dengan diri kita sendiri. Kita harus sadar, bahwa kita perlu berubah menyesuaikan diri dengan lingkungan untuk hidup normal dalam keadaan yang baru.
Kedua, level sosial, kita perlu melakukan silaturahmi dengan pihak-pihak lainnya. Segala rasa benci dan dendam, akibat peristiwa di masa lalu, perlu untuk dipahami dan kemudian dilampaui. Jadikan masa lalu sebagai pelajaran hidup, pembangkit semangat untuk maju. Silaturahmi adalah media untuk melakukan itu, silaturahmi tidak hanya soal perdamaian politik, tetapi jalan menuju kedamaian hati.
Di sini kecerdasan interpersonal diperlukan. Kecerdasan ini adalah kemampuan seseorang untuk menghormati pihak yang kalah. Seseorang yang memiliki kecerdasan interpersonal yang tinggi biasanya mempunyai banyak teman, mudah bergaul, menghargai orang lain. Inti dari kecerdasan interpersonal adalah kerja sama. Kecerdasan ini adalah berkaitan dengan kebolehan memahami perasaan, motivasi, tabiat serta hasrat orang lain. Kecerdasan ini adalah kemahiran bertindak secara berkesan terhadap orang lain secara praktikal (Gardner, 1993).
Kecerdasan ini membantu kita bersosial dengan orang lain dan piawai dalam menenangkan pihak lawan supaya berlapang dada dan tidak terpengaruh dengan peristiwa masa lalu. Kecerdasan ini juga menonjolkan kepribadian yang mengajak pihak lawan untuk turut merasakan kemenangan yang sudah diraih dan mau bekerja sama dan saling membantu.
Boleh berbeda, berbeda pilihan itu sunnatullah. Jangan karena berbeda pilihan, di antara kita jadi sakit hati, tidak tegur sapa, malu kalau ketemu, padahal mereka adalah teman, sahabat, keluarga. Alangkah sempitnya pikiran kita.
Dalam beberapa hari ke depan, kita akan mengetahui secara resmi pemenang Pilkada kali ini. Maka itu, setiap pihak diharapkan bisa menerima hasil yang diperoleh, baik menang ataupun kalah.
Kalah dan menang dalam Pilkada adalah suatu hal yang biasa. Kekalahan dalam Pilkada bukanlah akhir dari dunia. Itulah risiko ikut ‘merasa’ bertanding.
*) Penulis adalah Pendidik di Madrasah
Discussion about this post