WALHI Jambi: Pemkab Tebo Jangan Hanya Memikirkan Investasi dan Keuntungan Semata

Abdullah, Direktur WALHI Jambi terpilih. (istimewa).

DETAIL.ID, Tebo – Bukan hanya Masyarakat Hukum Adat Suku Anak Dalam (MHA SAD) Kelompok Temenggung Apung dan Kepala Desa Muara Kilis, Sopaturahman yang menolak rencana kegiatan pertambangan batu bara di wilayah hidup mereka, di Desa Muara Kilis, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi.

Namun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jambi juga punya catatan tersendiri soal tambang batu bara. Lewat rilis yang diterima DETAIL.ID pada Rabu, 7 April 2021, WALHI Jambi menilai kontribusi pertambangan terhadap pendapatan negara dan segala pelanggaran yang dilakukan tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang permanen dan derita masyarakat sekitar tambang.

Catatan WALHI Jambi, pada tahap awal proses lahirnya perizinan, perusahaan cenderung menyepelekan persyaratan dan hal-hal lain yang menjadi kewajiban perusahaan untuk dipenuhi.

Salah satu yang sedang mencuat ke permukaan adalah penolakan di Desa Muara Kilis, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, terhadap rencana perusahaan tambang batu bara PT Bangun Energy Perkasa (BEP) yang sedang melakukan eksplorasi di atas lahan yang diklaim sudah mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan.

Agar tahu saja, wilayah yang sedang dilakukan eksplorasi oleh perusahaan ini adalah wilayah kelola rakyat, perkebunan dan pemukiman Suku Anak Dalam juga masyarakat Desa Muara Kilis. Bisa dibayangkan dampak yang akan ditimbulkan ketika proses eksplorasi berlanjut sampai kepada tahapan operasi produksi. Ada ribuan hektar wilayah kelola yang akan beralih fungsi menjadi pertambangan terbuka batu bara.

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_background=”#dd0f0f” newsticker_text_color=”#000000″]

Dalam berbagai catatan terkait persoalan tambang banyak dampak yang ditimbulkan. Dampak yang ditimbulkan ketika perusahaan-perusahaan ini tetap beroperasi antara lain, hilangnya sumber-sumber mata pencaharian masyarakat yang masih menggantungkan hidup dari pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, sumber pendapatan tambahan masyarakat dari mengambil jernang, rotan dan damar serta hewan hasil buruan sudah sangat berkurang.

Kawasan yang selama ini cukup memberikan mereka tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari telah berubah. Perusahaan tambang menyebabkan wilayah yang selama ini bisa mereka ambil hasil hutannya menjadi sangat sulit, bahkan sudah tidak bisa diakses sama sekali.

Dampak lainnya adalah budaya gotong royong di masyarakat sudah mulai berkurang. Mereka yang bekerja pada perusahaan tambang sudah terikat dengan jadwal kerja. Berbeda dengan mereka yang berprofesi sebagai petani, masyarakat desa mempunyai kebiasaan dalam mengerjakan sebuah pekerjaan besar secara bersama-sama, terlebih lagi dalam acara keagamaan hajatan atau melakukan gotong royong “Pelarian” dalam membuka ladang.

Mereka yang awalnya adalah petani yang tidak terikat dengan sistem kerja mau tidak mau mulai meninggalkan kebiasaan yang sudah ada sejak turun-temurun. Pergeseran kebiasaan gotong royong, saling bantu membantu dalam aktivitas sehari-hari sangat dirasakan, mereka yang bekerja di pertambangan terikat dengan peraturan kerja dan tidak pernah dapat untuk memenuhi aktivitas dan kebersamaan dalam masyarakat.

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_background=”#dd0f0f” newsticker_text_color=”#000000″]

Ketidakhadiran mereka yang bekerja pada perusahaan ini lambat laun mengubah semua. Kegiatan di tingkatan masyarakat yang selama ini bisa dikerjakan secara bersama-sama tidak lagi seperti apa yang diharapkan.

Selanjutnya, wilayah atau daerah yang selama ini dipandang sebagai daerah yang keramat dan tidak bisa dikelola akan hilang ketika perusahaan tambang datang dengan tameng izin dari pemerintah. Di sebagian desa di wilayah hulu Batanghari mengenal Rimbo Ganuh/Rimbo Puako, tempat yang tidak boleh dibuka sama sekali dan hal ini memang mereka sepakati. Alasannya karena wilayah ini adalah wilayah hulu sungai dan juga terdapat makam leluhur mereka.

Hadirnya perusahaan di wilayah ini tidak mengenal nama-nama atau kebiasaan yang ada di dalam masyarakat, daerah yang dipandang masyarakat sebagai wilayah keramat tersebut tidak berlaku dan tidak dipercayai oleh pihak perusahaan, dan lagi ketika wilayah tersebut tetap dikelola oleh perusahaan, perusahaan tidak mengenal Rimbo Ganuh dan makam leluhur, mereka hanya tahu bagaimana keuntungan dari investasi yang mereka tanam dapat menghasilkan keuntungan.

Hilangnya keanekaragaman hayati di kawasan hutan tersebut sangat jarang ditemui masyarakat yang menikmati hasil hutan bukan kayu seperti jernang, rotan, damar bahkan madu sialang, karena wilayah yang seharusnya mereka manfaatkan sudah berubah menjadi IUP tambang.

Pencemaran udara, air dan tanah dari proses pengangkutan sampai pembuangan limbah galian (tailing). Aktivitas pengangkutan batu bara di sepanjang jalan dari lokasi tambang sampai ke pelabuhan tidak memakai Jalan Khusus. Truk pengangkut batu bara menggunakan jalan umum untuk mengangkut hasil tambang batu bara tersebut.

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_background=”#dd0f0f” newsticker_text_color=”#000000″]

Walau ditutupi terpal, debu-debu dari proses pengangkutan tercecer di sepanjang jalan. Tersebar ke pemukiman penduduk yang berada di sepanjang jalan. Kecelakaan lalu lintas juga sering terjadi di sepanjang jalan pengangkutan batu bara menuju pelabuhan. Kerusakan jalan dan jembatan salah satunya disebabkan oleh muatan truk batu bara yang melebihi tonase.

Walaupun sudah ada peraturan Gubernur Jambi Nomor 18 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengangkutan Batubara, pasca diterbitkan peraturan ini masih saja ditemui truk bermuatan batu bara yang melintas di jalan raya tidak pada jam yang sudah diatur di dalam peraturan tersebut.

Air dari genangan lubang tambang disedot dan dialirkan ke sekitar IUP tambang. Menyerap melalui tanah hingga ke sungai-sungai dan hal ini berlangsung setiap hari. Ketika musim hujan datang, genangan air dalam lubang tambang bercampur dengan semua jenis logam berat baik yang tercampur dengan batu bara atau timbul sebagai akibat dari peningkatan asam tambang batu bara itu sendiri.

Masyarakat yang berada di sekitar tambang rata-rata sudah pernah mengeluhkan kulit mereka yang mulai terserang gatal-gatal akibat mandi disungai yang di hulunya terdapat IUP tambang batu bara.

Kerusakan bentang alam akibat penambangan terbuka (open pit), muncul lubang-lubang menganga yang tidak direklamasi pascatambang. Padahal salah satu hal yang harus dipenuhi oleh pemegang IUP batu bara adalah mereklamasi IUP pasca berakhirnya izin.

Terakhir, selama proses produksi dan produk yang dihasilkan dari pertambangan meningkatkan emisi karbon dioksida (CO2) atau konsentrasi GRK di atmosfer, sehingga memicu terjadinya perubahan iklim akibat meningkatnya laju pemanasan global.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Toni Samiaji, peneliti bidang komposisi Atmosfer LAPAN menunjukkan jumlah net CO2 dalam ribuan ton yang disumbangkan oleh Provinsi Jambi berjumlah 3.799 dan yang menjadi  salah satu yang berkontribusi terkait emisi CO2 ini adalah proses industri termasuk di dalamnya pertambangan batu bara.

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_background=”#dd0f0f” newsticker_text_color=”#000000″]

Kesimpulan yang dapat diambil adalah semua perizinan pertambangan berdampak pada daya dukung dan daya tampung lingkungan, merusak ekosistem dan bentang alam, apalagi dengan skema pinjam pakai kawasan hutan. Lalu untuk apa program perhutanan sosial yang digadang oleh pemerintah rezim ini jika kawasan hutan yang tersisa, wilayah kelola dan wilayah hidup orang rimba akan dialih fungsikan menjadi pertambangan batu bara.

Dengan catatan yang dibeberkan di atas, Direktur WALHI Jambi, Abdullah mengatakan bahwa masyarakat tidak boleh berdiam diri, harus segera disadarkan dan diberikan pengetahuan yang cukup terkait persoalan dan dampak yang akan ditimbulkan dari rencana pertambangan batu bara ini.

“Tolak eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang akan menyengsarakan rakyat. Pemerintah Kabupaten Tebo juga harus berpihak kepada rakyat, jangan hanya memikirkan investasi dan keuntungan semata,” kata Abdullah yang baru saja terpilih menjadi Direktur WALHI Jambi.

Diketahui, ada dua perusahaan tambang yang berencana melakukan kegiatan pertambangan batu bara di Desa Muara Kilis, Kecamatan Tebo Tengah, Kabupaten Tebo yakni, PT Bangun Energi Perkasa dan PT Batanghari Energi Prima.

Rencana kegiatan pertambangan dua perusahaan tersebut mendapat penolakan dari Kepala Desa Muara Kilis dan Suku Anak Dalam yang berada di wilayah desa tersebut.

Anehnya, saat ini Pemerintah Kabupaten Tebo telah menerbitkan keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup rencana kegiatan pertambangan batu bara dua perusahaan itu.

Reporter: Syahrial

Exit mobile version