PERKARA
Kejagung Duga Kecurangan di ASABRI Dimulai Sejak 2012

DETAIL.ID, Jakarta – Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebutkan bahwa kasus dugaan tindak pidana korupsi pada pengelolaan dana investasi dan keuangan PT ASABRI (Persero) bermula dari kecurangan pada 2012 silam.
Hal itu, kata dia, terungkap dari hasil audit Badan Pengawas Keuangan (BPK) yang telah merampungkan penghitungan nilai kerugian keuangan negara dalam kasus mega korupsi tersebut.
“BPK RI menyimpulkan adanya kecurangan dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT ASABRI (Persero) selama tahun 2012 sampai dengan 2019,” kata Burhanuddin dalam keterangan tertulis Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Senin 31 Mei 2021.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga ” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” number_post=”7″ post_offset=”1″]
Dilansir dari CNNIndonesia, Dia menjelaskan bahwa kecurangan itu berupa kesepakatan pengaturan dan penempatan dana investasi pada beberapa pemilik perusahaan atau pemilik saham dalam bentuk saham dan reksadana.
Pada akhirnya, kata dia, penempatan dana itu tak memberikan keuntungan bagi perusahaan pelat merah tersebut.
Sehingga, lanjut Burhanuddin, BPK RI menyimpulkan bahwa negara merugi hingga Rp22,78 triliun akibat tindak tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para tersangka.
“Pemeriksaan tersebut merupakan salah satu bentuk dukungan BPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Instansi Penegak Hukum (IPH) dalam hal ini Kejaksaan Agung, serta dalam rangka menindaklanjuti permintaan perhitungan kerugian negara yang disampaikan Kejaksaan Agung kepada BPK RI,” ucapnya lagi.
Dalam temuannya, BPK RI meyakini bahwa angka kerugian keuangan negara tersebut bersifat nyata, pasti dan merupakan akibat perbuatan melawan hukum dari pihak-pihak yang harus bertanggung jawab.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga ” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” number_post=”7″ post_offset=”1″]
Oleh sebab itu, kata dia, BPK RI menyerahkan tindak lanjut penanganan perkara tersebut kepada aparat penegak hukum sehingga para tersangka dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya di mata hukum.
Sita Aset Senilai Rp13 Triliun
Kejaksaan Agung menaksir nilai sitaan aset dari para tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pada PT ASABRI (Persero) mencapai Rp13 triliun.
Nilai tersebut diketahui masih jauh dari jumlah perhitungan kerugian keuangan negara versi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yakni Rp22,78 triliun.
“Sampai saat ini sekitar Rp13 triliun (nilai aset sitaan). Dan pasti akan kami terus buru,” kata Burhanuddin.
Burhanuddin mengatakan bahwa pihaknya akan terus berusaha untuk melacak aset milik para tersangka sehingga dapat menutupi hasil kerugian keuangan negara.
Upaya itu, kata dia, akan terus dilakukan meskipun proses hukum terhadap para tersangka sudah rampung di persidangan.
“Tetapi ada kewajiban kami untuk aset tracing. Karena kewajiban kami untuk menutupi kerugian-kerugian yang telah terjadi,” ucapnya.
“Bahkan setelah putus pun kami masih punya kewenangan kewajiban untuk pengembalian ini,” kata dia.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga ” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” number_post=”7″ post_offset=”1″]
Kejagung telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus korupsi ini. Mereka ialah mantan Direktur Utama PT ASABRI Mayor Jenderal (Purn) Adam R Damiri; Letnan Jenderal (Purn) Sonny Widjaja; Heru Hidayat; dan Direktur Utama PT Hanson International Tbk., Benny Tjokrosaputro.
Yang lain adalah Kepala Divisi Investasi Asabri Ilham W Siregar; Direktur Utama PT Prima Jaringan Lukman Purnomosidi; Direktur Investasi dan Keuangan Asabri Hari Setiono; mantan Kepala Divisi Keuangan dan Investasi Asabri Bachtiar Effendi; serta Direktur Jakarta Emiten Investor Relation Jimmy Sutopo.

PERKARA
Sejak Kredit Rp 105 Miliar Dicairkan, PT PAL Dinilai Telah Merugikan Keuangan Negara

DETAIL.ID, Jambi – Dari kerugian keuangan negara hingga ketentuan terkait perizinan pabrik kelapa sawit, masih jadi pembahasan dalam sidang perkara korupsi antara PT Prosympac Agro Lestari (PAL) dengan bank BNI di PN Jambi pada Rabu, 22 Oktober 2025.
Ahli Keuangan Negara yang dihadirkan JPU, Syakran Rudi di persidangan menjelaskan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun barang, yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Sementara kerugian keuangan negara, diuraikan sebagai berkurangnya kekayaan negara secara nyata dan pasti, akibat perbuatan melawan hukum, atau kelalaian, yang menimbulkan tanggung jawab hukum. Untuk kerugian keuangan negara, Syahran Rudi berpegang pada UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) kemudian mempertanyakan, apakah keuangan BUMN termasuk kerugian keuangan negara? Ia menjelaskan, hal tersebut masuk kategori kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN, atau telah dipisahkan pengelolaannya dari kekayaan negara lainnya untuk dijadikan penyertaan modal pada BUMN guna memperoleh keuntungan.
Menurut Syahran, segala kekayaan BUMN merupakan kekayaan negara. Namun Syahran menekankan bahwa tidak semua kerugian pada BUMN dapat dikategorikan sebagai kerugian keuangan negara. Lalu bagaimana posisi antara risiko bisnis dan kerugian negara dalam dunia perbankan? Soal ini, Syahran berpandangan bahwa Bank BUMN sebagai perusahaan yang didirikan dengan tujuan mencari keuntungan, dengan modal yang berasal dari negara perlu tata kelola yang baik.
“Dalam hal (suatu tindakan) mengikuti SOP dan dapat dipertanggungjawabkan. Maka itu adalah kerugian bisnis. Di sisi lain, saat langkah pengelolaan aset misal mengeluarkan dana itu tidak dilakukan secara profesional, tidak sesuai prosedur. Tentu itu adalah pelanggaran,” ujar Syakran Rudi.
Total Lost Rp 105 Miliar dan Konstruksi Hukum dari Penyidik
Penasihat hukum terdakwa Rais Gunawan kemudian mempertanyakan, kapan kerugian negara terjadi? Apakah dinyatakan kerugian ketika uang itu dikeluarkan oleh bank atau ketika kemudian tidak dapat dipertanggungjawabkan?
Ahli yang merupakan Kepala KPPN Jakarta III DjPb Kemenkeu tersebut kembali menekankan definisi kerugian keuangan negara yakni berkurangnya uang negara akibat adanya perbuatan melawan hukum. Maka ketika suatu bank melakukan pencairan dengan tidak sesuai prosedur atau perbuatan melawan hukum, maka saat itu sudah dinyatakan kerugian keuangan negara.
“Maka peristiwa kerugian terjadi pada saat uang itu keluar, yang harusnya tidak keluar. Menjadi keluar karena adanya perbuatan melawan hukum. Pada saat uang itu keluar, saat itu terjadi kerugian negara,” katanya.
Dalam kasus PT PAL, jangka waktu kredit sebenarnya bahkan masih berlangsung hingga jatuh tempo tahun 2026. Selain itu debitur di awal-awal masa kredit masih melakukan beberapa kali pembayaran. Dan lagi perbankan punya regulasi tersendiri dalam hal penyaluran kredit. Sementara perhitungan kerugian negara oleh KAP menyatakan kredit PT PAL pada BNI tahun 2018-2019 sebagai total lost.
“Ini SOP yang dilanggar tetap dianggap Tipikor, meskipun dia (perbankan) punya lex specialis (aturan khusus yang mengikat)?” ujar penasihat hukum Rais bertanya. Soal ini, Syakran Rudi menolak menjawab dengan dalih bukan kompetensinya.
Selain itu, Ahli juga menolak menjawab pertanyaan lanjutan dari penasihat hukum Rais, ketika disinggung apakah pelanggaran administratif dapat serta merta ditarik pada perkara Tipikor. Ahli beberapa kali menolak menjawab pertanyaan penasihat hukum terdakwa, dengan dalih di luar kompetensinya sebagai ahli keuangan negara.
Hingga tim penasihat hukum mempertanyakan soal posisi berbagai jaminan yang mengiringi fasilitas kredit. Terkait hal ini, ahli berpandangan bahwa jaminan hanya bersifat pemulihan aset. Tidak bikin hilang peristiwa kerugian keuangan negara.
“Apakah jaminan pengembalian mengurangi nilai kerugian negara? Tidak, peristiwa kerugian negara dimana sejumlah uang yang seharusnya tidak keluar, namun dikeluarkan. Di situ negara rugi, nyata dan pasti. Soal agunan jaminan, itu disebut pemulihan, jika kemudian berhasil dilelangkan,” katanya.
Mendengar pernyataan-pernyataan ahli, tim penasihat hukum lantas mempertanyakan apa yang membuatnya begitu yakin bahwa terjadi total lost Rp 105 miliar dalam perkara PT PAL dengan BNI. Ahli Syakran merespons, hal tersebut sebagaimana konstruksi hukum dari penyidik kejaksaan.
“Gelar perkara dan konstruksi hukum. Saya cukup mendapat konstruksi hukum dari penuntut umum. Saya tentu percaya pada apa yang disampaikan penuntut umum kepada saya,” katanya.
Penilaian Aset dan Pabrik yang Tidak Sah
Sementara itu Zainal Arifin selaku Konsultan Penilai dari KJPP DAZ, mengungkap bahwa pihaknya melakukan penilaian atas aset PT PAL atas permintaan penyidik. Secara umum menurut Zainal, terhadap aset tanah pabrik PT PAL dihitung sebagaimana harga pasar.
“Untuk bangunan dan mesin kita menggunakan pendekatan biaya, harga baru dikurangkan penyusutan,” kata Zainal.
Secara keseluruhan, hasil penilaian tim KJPP DAZ terhadap aset-aset PT PAL yang diagunkan ke BNI mencapai Rp 116,7 miliar. Dengan nilai likuidasi Rp 82,2 miliar. “Hasil kesimpulan tertuang dalam laporan penilaian kita yaitu Rp 116,7 miliar, itu nilai pasarnya. Nilai likuidasinya Rp 82,2 miliar (jual cepat),” kata Zainal.
Selain itu, turut dihadirkan oleh JPU di persidangan ahli perizinan perkebunan yakni Kamal. Menurut Kamal, sejak berdiri, PT PAL belum mendapat persetujuan rekomendasi kesesuaian lokasi dari Pemerintah Provinsi Jambi. Padahal menurut Kamal, seharusnya rekomendasi mendahului Izin Usaha Pengolahan PKS.
“Kita lihat dari IUP ini tidak ada rekomendasi dari provinsi. Syarat mendapat IUP, Pasal 22 Permentan 98/2013 point E rekom kesesuaian lokasi, baru kemudian terbit IUP,” katanya.
Selain itu persoalan PT PAL, yang belum punya kebun inti semenjak berdirinya juga dinilai menyalahi regulasi. Hitung-hitungan Kamal, pabrik berkapasitas 45 ton/jam harusnya punya 9.000 hektare lahan atau minimal 20% dari 9.000 hektare atau lebih kurang 1.800 hektare sebagaimana ketentuan pendirian PKS dalam Permentan 98/2018.
Namun hal tersebut mendapat pengecualian dengan menjalin kemitraan dengan kelembagaan tani. Masalahnya kemitraan PT PAL hanya terikat pada 1 KUD yakni KUD Marga Jaya. “Itu makanya rekom dulu baru terbit IUP. Kalau terbalik, tidak sesuai dengan Permentan 98/2013. Tidak sah berarti,” katanya.
Reporter: Juan Ambarita
PERKARA
Praperadilan Thawaf Aly: Penasihat Hukum Nilai Penetapan Tersangka Cacat Prosedur

DETAIL.ID, Jambi – Sidang praperadilan yang diajukan Thawaf Aly terhadap penyidik Subdit III Ditreskrimum Polda Jambi kembali digelar dengan agenda pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri Jambi pada Rabu, 22 Oktober 2025.
Permohonan ini diajukan lantaran penetapan tersangka terhadap dirinya dinilai tidak sah dan cacat hukum. Salah satu tim penasihat hukum pemohon, Azhari menilai proses penetapan tersangka terhadap Thawaf Aly tidak sesuai prosedur.
“Penetapan tersangka dilakukan saat klien kami masih berstatus sebagai saksi. Tidak ada ruang pembelaan yang diberikan,” ujar Azhari usai sidang pada Rabu, 22 Oktober 2025.
Menurut Azhari, penyidik mengklaim penetapan tersangka dilakukan melalui gelar perkara. Namun keterangan itu dinilai berbeda dengan fakta di lapangan. Berdasarkan catatan pemeriksaan, Thawaf Aly masih diperiksa sebagai saksi hingga pukul 19.00 WIB pada 29 September 2025, kemudian langsung ditetapkan sebagai tersangka sekitar pukul 22.00 WIB tanpa prosedur yang jelas.
“Selain itu sejumlah barang bukti penting juga hilang, termasuk 32 ton TBS sawit yang disebut sebesar Gunung Kerinci, dodos, dan keranjang. Semua tidak diketemukan hingga saat ini,” ujar Azhari.
Sementara itu dalam sidang penyidik Satrio Handoko dari Subdit III Jatanras Ditreskrimun Polda Jambi menjelaskan bahwa penetapan tersangka dilakukan setelah gelar perkara. Namun ia juga mengakui bahwa pada saat itu Thawaf Aly belum diperiksa sebagai tersangka dan barang bukti belum sepenuhnya ditemukan.
Saksi lain, Budiman seorang pengawas kebun sawit Sucipto membenarkan adanya kegiatan pencurian sawit di lokasi kebun tempatnya bekerja. Ia mengenal beberapa nama seperti Sucipto, Asman Tanwir, dan Hendra, namun ia mengaku bahwa Thawaf Ali tidak berada di lokasi saat terjadi peristiwa pencurian sawit tersebut.
“Lahan itu (kebun Sucipto) dulu belukar, mulai ditanam 2013 dan panen sejak 2016,” ujar Budiman. Namun, ia mengaku tidak pernah melihat sertifikat atau dokumen resmi kepemilikan lahan atas nama Sucipto.
Atas berbagai fakta yang mencuat dari mulai dari penangkapan hingga penahanan Thawaf Aly atas dugaan tindak pidana pencurian, tim penasihat hukum menilai bahwa penyidik tidak objektif dalam proses penyidikan.
“Jadi berdasarkan fakta-fakta yang kita temukan dalam perkara ini. Ini jelas menyalahi prosedur. Penyidik tidak obyektif dalam melakukan proses Penyidikan,” kata Agus Efrandi.
Pemohon dalam praperadilan ini meminta agar majelis hakim menyatakan penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan terhadap Thawaf Aly tidak sah dan batal demi hukum, serta memerintahkan penyidik untuk segera membebaskannya dari tahanan.
Reporter: Juan Ambarita
PERKARA
Nama-nama Mantan Dewan yang Belum Diproses Hukum KPK Kembali Mengemuka di Sidang Ketok Palu Suliyanti

DETAIL.ID, Jambi – Sidang dengan agenda pemeriksaan saksi yang menyeret terdakwa Suliyanti, mantan anggota DPRD Jambi dari Fraksi Demokrat, dengan dakwaan menerima uang suap ketok palu dalam pengesahan RAPBD Jambi 2017 kembali berlangsung di PN Jambi pada Selasa kemarin, 21 Oktober 2025.
Kali ini, Jaksa KPK menghadirkan 2 saksi dari mantan anggota DPRD Provinsi Jambi periode 2014-2019 yang sudah lebih dulu terjerat perkara serupa yakni Nasri Umar dan Tadjudin Hasan. Dalam kesaksiannya, Nasir Umar mengakui mengenal terdakwa Suliyanti sebagai sosok dewan yang pasif.
Namun meski demikian, Umar meyakini Suliyanti juga turut menerima uang suap ketok palu sebagaimana dakwaan. Keyakinan itu, kata dia, didapat dari informasi yang disampaikan oleh Kusnindar.
“Saya meyakini semua menerima. Untuk mengetahui dapat atau tidak, saya mendengar dari Kusnindar,” ujarnya.
Saksi lainnya, Tadjudin Hasan juga mengakui menerima uang suap, namun menegaskan dirinya tidak ikut meminta uang kepada Gubernur karena berasal dari partai pengusung.
Dalam persidangan, Umar pun meminta KPK bertindak adil dalam menetapkan tersangka kasus suap APBD Jambi tersebut. Ia menuding masih ada sejumlah mantan anggota DPRD 2014-2019 yang belum diproses hukum meski santer disebut-sebut menerima uang suap.
“Masih ada yang belum ditetapkan, padahal terbukti menerima, seperti yang maju jadi bupati. Yanti Maria, Eka Marlena, Budiyako, mereka masih bebas,” kata Umar.
Ia juga menyebut Budiyako sempat beralasan uang Rp 200 juta yang diterimanya merupakan pembayaran utang, namun Umar menilai itu merupakan bagian dari uang ketok palu.
Usai sidang, Jaksa KPK Hidayat membenarkan adanya permintaan dari saksi agar KPK menindaklanjuti dugaan keterlibatan anggota dewan lain.
“Keterangan saksi kita dalami. Sampai saat ini, penyidik masih terus mengembangkan kasus ini,” ujar Hidayat usai persidangan.
Sebelumnya, mantan anggota DPRD Jambi Luhut Silaban juga sempat menyoroti hal serupa. Ia bahkan terang-terangan menyebut setidaknya 7 anggota DPRD Provinsi Jambi diduga kuat turut menerima uang suap ketok palu namun belum dijadikan tersangka, antara lain Eka Marlina, Yanti Maria, Budiyako, Hilalatil Badri, Masnah, BBS, dan Karyani.
Sangking kecewanya, dia bahkan menilai KPK belum profesional dalam menangani perkara tersebut.
“Ada kejanggalan mulai dari perubahan BAP sampai pengembalian uang suap lewat Kusnindar. Kami minta kasus ini ditindaklanjuti secara profesional,” katanya dalam sidang sebelumnya di PN Jambi, 2 September 2025.
Reporter: Juan Ambarita