PERUBAHAN iklim, yang ditandai dengan, seperti contoh para ahli, dengan mencairnya bukit-bukit es di kutub, telah pula dirasakan di sini, di Provinsi Jambi. Sejak dari musim yang bergeser, hingga kepada meningkatkan suhu di sekitar kita.
Satu penyebab, yang diyakini sebagai penyebabnya, adalah menurunnya luasan tutupan hutan. Mungkin juga ada penyebab-penyebab lainnya, seperti pertambahan penduduk di sebuah wilayah.
Selain menyebabkan “dibukanya area hijau”, pertambahan penduduk memberikan pengaruh yang kompleks, seperti polusi.
Dikarenakan asap dari berbagai bahan bakar fosil, yang keluar dari knalpot kendaraan, dan juga cerobong asap pabrik.
Termasuk pula kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi hampir setiap tahun, sejak era ’90-an lalu. Yang sangat berhubungan dengan pembukaan areal perkebunan sawit, diakui atau tidak.
Situasi di atas, mau tidak mau, suka ataupun tidak suka, telah membuat Indonesia dan rakyatnya masuk ke dalam pusaran carbon trade. Yang secara real telah membuka ruang bahwa pohon tidak hanya bernilai ekonomis pada kayunya saja. Tapi juga pada kemampuan pohon untuk menyerap karbon, yang selama ini dihitung dengan sistem per metric cubic equivalen atau setara dengan US$ 6 hingga US$ 12.
Data Kementerian Pertanian mencatat, lahan tutupan sawit di Provinsi Jambi pada tahun 2019 lalu, yakni 1.134.640 hektare atau sekitar 6,93 persen dari total luas tutupan sawit nasional. Sementara itu, luas areal karet di Provinsi Jambi pada 2019 tercatat 390.707 hektare.
Hutan, dengan arti yang luas, sebut saja “area konservasi”. Atau, area yang “berwarna hijau” dengan biodiversity.
Tentunya, Provinsi Jambi adalah area yang berhubungan dengan climate change. Sebab semakin berkurang tutupan hutan di sini, akan berpengaruh juga dengan semakin mencairnya bukit-bukit es di kutub tadi.
Itu jika kita me-nalar-kan teori mencairnya bukit-bukit es di kutub, seperti penjelasan awal tadi.
Cukup menarik jika melirik data Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI menyebutkan tutupan hutan di Provinsi Jambi pada tahun 2019 lalu hanya tersisa seluas 882.272 hektare saja. Padahal, pada 10 tahun lalu tercatat sekitar 1,3 juta hektare.
Mari diperbandingkan dengan data dari Kementerian Pertanian tadi. Jika menimbang bahwa luas total Provinsi Jambi adalah 50.160,05 kilometer persegi (= hektare.)
Selain tutupan hutan, terdapat juga “area yang tidak terawat”, yang biasa disebut dengan “lahan kritis”. Yakni area yang telah di-logging, di-land clearing, atau digali untuk pertambangan.
Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), total luasan hutan dan lahan kritis di Provinsi Jambi hingga 2019 lalu, mencapai 844.647 hektare. Hutan dan lahan kritis ini tidak hanya berada di kawasan hutan produksi, tetapi juga di hutan lindung, konservasi dan taman nasional.
Sangat mudah untuk mengetahui mana area yang rusak atau kritis, dan mana yang masih baik. Yakni dengan melihat kehidupan lebah madu.
Koloni lebah sangat membutuhkan sari bunga atau buah, untuk dihasilkan menjadi madu. Area yang masih baik, akan dihidupi oleh koloni lebah.
Sedangkan area yang kritis, yang tidak lagi memiliki pohon, tidak akan dijadikan area kehidupan bagi koloni lebah. Sebab tidak ada lagi sari bunga dan buah yang akan diisap lebah pekerja untuk dijadikan madu.
Area yang terkategori kritis, sudah seharusnya dilihat dalam frame carbon trade. Cara yang dianggap ampuh, adalah dengan revegetasi; yang tidak hanya berorientasi pada pendapatan nilai carbon saja, tapi juga pada perbaikan lingkungan dan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Secara umum, revegetasi adalah proses penanaman kembali dan pembangunan kembali terhadap area tanah yang terganggu. Proses ini, bisa saja, adalah proses alami, ataupun tindakan yang dilakukan oleh manusia.
Banyak cara untuk memperbaiki kualitas fisik tanah yang terkategori kritis pun menjadi kewajiban. Sebab, juga bertujuan untuk memperbaiki kondisi kimia dan biologi.
Satu di antaranya adalah perkebunan monokultur, atau bahkan pertambangan. Sebuah trending, di mana batu bara adalah sangat bernilai ekonomis, sehingga terjadilah pertambangan terbuka (open pit).
Setelah batu bara dikeruk, maka sudah seharusnya dilakukan reklamasi. Reklamasi dapat diartikan dengan menutup kembali area eks tambang yang terbuka menganga.
Jika berbicara kondisi Provinsi Jambi saat ini, kerusakan “area hijau” tidak hanya terjadi karena aktivitas illegal logging di bawah era 2000-an saja. Yang kemudian berubah bentuk menjadi “land clearing”.
Reklamasi, atau rehabilitasi lahan (hutan) yang terdegradasi adalah bagian dari agenda 21 Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro pada tahun 1992.
Jika bicara tentang revegetasi, banyak yang memilih untuk menggunakan varietas endemik. Seperti bulian, mersawa dan tembesu. Pilihan ini karena terkait dengan nilai ekonomis dari kayu tadi.
Namun, tentu butuh waktu yang lama untuk bertumbuh. Sementara kawasan yang telah rusak itu seharusnya segera “digarap” dalam perspektif pemenuhan permintaan carbon trade.
Bahkan, jika benar menguntungkan secara ekonomi, area di perkotaan yang selama ini menjadi kawasan konservasi, sepadan sungai, pinggir jalan dan ruang terbuka pun dapat bernilai ekonomi tinggi untuk dilihat melalui kacamata carbon trade.
Terdapat pilihan lain. Varietas yang dapat tumbuh dengan cepat, dan dapat bertahan hidup di area yang kritis. Beberapa pilihan, adalah; pinus, sengon dan akasia, yang dapat dibandingkan dengan pohon buah seperti durian, rambutan dan mangga.
Dikarenakan, kita semua berpacu dengan waktu. Beriringan dengan climate change yang harus dikendalikan. Sebab, mencairnya bukit-bukit es di kutub, sama artinya dengan banjir.
Banjir, yang mungkin lebih dahsyat dari Banjir Nuh. Yang bakal menenggelamkan bumi, yang sekarang saja telah diliputi oleh lebih banyak air ketimbang daratan ini. Lagi dan lagi, seperti teori para pakar, ini terjadi karena bukit-bukit es di kutub mencair. ***
*jurnalis, tinggal di Jambi
Discussion about this post