Connect with us
Advertisement

LINGKUNGAN

Dua Perusahaan Batu Bara Mengusik Rumah Suku Anak Dalam

DETAIL.ID

Published

on

Suku Anak Dalam

Kenyamanan Suku Anak Dalam di Tebo, Jambi terusik dengan rencana eksploitasi dua perusahaan tambang batu bara. Ada sejumlah kejanggalan dalam dokumen Amdal. Toh, dua perusahaan itu tetap cuek.

HAMPIR sepekan ini, Temenggung Apung terbaring lemas di pondoknya di Desa Muara Kilis, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. Setiap kali ia buang air besar yang keluar hanya darah.

Alhasil, Apung menyendiri tinggal di pondok beratap terpal biru yang berdinding baliho bekas. Kayu-kayu tersusun rapi sebagai alas tidurnya.

Tradisi Masyarakat Hukum Adat Suku Anak Dalam (MHA SAD) memang begitu. Siapa pun yang sakit mengisolasi diri. Dalam bahasa SAD disebut sesandingon (sesandingan). Tempat mengisolasi diri itu disebut pasaken atau tempat tinggal sementara.

“Sudah seminggu ini Bapak sakit akibat berak (BAB) darah. Badan lemas. Makan dak selera,” kata Apung saat ditemui detail, pekan lalu.

Untuk menemui Apung di pasakennya, menempuh perjalanan 44,9 kilometer atau tiga jam perjalanan menggunakan mobil double cabin. Sebagian besar jalan nasional yang dilalui rusak akibat rutin dilintasi kendaraan angkutan batu bara melebihi tonase. Selain itu, harus melintasi jalan koridor perusahaan dan jalan tanah.

Paseken Apung berada di pinggir jalan koridor PT Wira Karya Sakti (WKS) – anak perusahaan Sinarmas Group. Jaraknya sekitar 5 kilometer dari pemukiman atau wilayah hidup MHA SAD Desa Muara Kilis. Dia mendirikan paseken di konsesi PT WKS yang sangat gersang. Hanya ada beberapa pohon akasia yang disisipi kelapa sawit dan ubi kayu.

Meski lemas dan wajah pucat, Temenggung Apung tampak gembira saat menyambut kedatangan kami. “Ayo masuk. Akhirnya datang juga anak Bapak kemari. Dari kemarin Bapak mau ngabari kalau Bapak lagi sakit. Tapi di sini tidak ada sinyal handphone,” ujar Temenggung sambil memaksakan diri untuk duduk.

Di dalam pasaken, terlihat periuk nasi berada tidak jauh dari tungku masak di samping Temenggung. Di situ juga tampak piring dan cangkir plastik yang sepertinya baru selesai digunakan.

”Temenggung sudah makan ya?” tanya Ahmad Firdaus, Ketua Yayasan Orang Rimbo Kito (ORIK). “Tadi sudah. Maksakan makan. Tapi hanya tertelan beberapa suap. Tidak ada nian selera makan,” jawab Temenggung Apung.

Apung bercerita, dulu pemukiman MHA SAD adalah belantara yang diberi nama Hutan Adat Pemakaman Anak Suku Dalam. Hutan itu digunakan sebagai tempat pemakaman MHA SAD. Setiap ada warga yang meninggal dunia, jasadnya diletakkan di dalam hutan tersebut. Begitulah, tradisi MHA SAD sejak nenek moyang mereka dahulu.

Perubahan fungsi hutan mulai terjadi sejak PT Wirakarya Sakti (WKS) mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) dari Kepala Kantor Wilayah Kehutanan (Kakanwilhut) Provinsi Jambi tahun 1989. Seiring perjalanan waktu, areal PT WKS meluas hingga ke Desa Muara Kilis, Kabupaten Tebo. Termasuk pula wilayah jelajahan dan hutan-hutan adat MHA SAD Kelompok Temenggung Apung.

MHA SAD dulu punya hutan pemakaman. Hutan besale untuk ritual adat. Hutan pemukiman tempat mereka hidup. Hutan larangan maupun hutan peranakan tempat mereka lahir, dibabat habis dan bersalin dengan tanaman akasia. MHA SAD pun termangu. Tempat hidup mereka lenyap.

Dampaknya, sering terjadi konflik antara MHA SAD dengan warga sekitar maupun konflik antara MHA SAD dengan pihak perusahaan. “Kami sering ribut dengan masyarakat luar maupun pihak perusahaan. Sebab hutan sumber hidup kami habis dibabat. Mau ke sana sudah kebun masyarakat, mau ke sana lagi sudah kebun perusahaan. Jadi tidak ada lagi hutan untuk tempat kami hidup,” kata Temenggung Apung.

Pages: 1 2 3 4 5

LINGKUNGAN

Izin Belum Lengkap, DLH Hentikan Sementara Operasional Stockpile Batu Bara PT GSB

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Aktivitas stockpile batu bara PT Gelora Sukses Bersama (GSB) di Tenam, Batanghari ditutup sementara oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jambi. Penutupan sementara disebut ikhwal perizinan yang belum lengkap oleh PT GSB.

Menurut Kabid Penaatan DLH Provinsi Jambi, Budi Hermanto, awalnya pihaknya mendapati laporan masyatakat soal keberadaan stockpile yang belum dilengkapi oleh perizinan lingkungan tersebut. Tim PPNS PPLH lantas turun ke stockpile PT GSB dan melakukan penutupan pada Rabu, 17 Desember 2025.

Menurutnya sanksi penutupan sementara sejalan dengan amanat UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah No 21 tahun 2022 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Ada informasi, pengaduanlah. Setelah kita verifikasi ke lapangan ternyata memang ada stockpile. Kita turun ke situ PPNS PPLH, ternyata mereka belum bisa menunjukkan dokumen, intinya dokumen persetujuan lingkungan dan dokumen pengelolaan air limbah,” ujar Budi pada Jumat, 19 Desember 2025.

Budi juga mengkhawatirkan bahwa aktifitas stockpile PT GSB bakal berujung pada pencemaran lingkungan sekitar. Hal tersebut kemudian berujung pada penutupan sementara stockpile PT GSB.

Artinya, kata Budi, perusahaan perlu menyelesaikan dulu segala perizinan lingkungan untuk kemudian bisa kembali beroperasi secara legal.

“Kalau cepat mereka menyelesaiakan perizinannya, ya cepat (operasional diizinkan). Cuman ini akan tetap dilakukan sanksi penindakan administratif,” katanya.

Reporter: Juan Ambarita

Continue Reading

LINGKUNGAN

Bocor! Minyak dari Gudang BBM Ilegal PT Kerinci Toba Abadi Cemari Lingkungan Sekitar

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Gudang BBM ilegal di Kota Jambi lagi-lagi menuai sorotan. Kali BBM meluber dari gudang BBM PT Kerinci Toba Abadi (KTA) yang terletak di kawasan Rt 10, Pal Merah pada Senin, 15 Desember 2025 sekira pukul 00.00 WIB.

Entah bagaimana ceritanya BBM yang bersumber dari gudang ilegal tersebut mengalir ke saluran drainase sekitar, beruntung tidak terjadi kebakaran. Pantauan awak media di lokasi pada Senin siang, 15 Desember 2025, bau solar menyengat di sekitaran gudang.

Tim kepolisian tampak sudah memasangi garis polisi di sekitar gudang. Sementara kondisi gudang tampak sepi, tanpa aktivitas.

Soal insiden di gudang BBM Ilegal PT KTA tersebut, Kasat Reskrim Polresta Jambi Kompol Hendra Manurung dikonfirmasi lewat pesan WhatsApp belum ada respons.

Sementara Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Jambi, Mahruzar mengaku bahwa pihaknya telah mengambil sampel dari BBM yang meluber tersebut.

“Tadi pagi kita bersama pihak Polresta sudah ambil sampel, cuma kalau untuk hasilnya belum keluar,” ujar Mahruzar.

Reporter: Juan Ambarita

Continue Reading

LINGKUNGAN

Sarat Masalah Pengelolaan Ekosistem Gambut

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Sejumlah persoalan dalam kebijakan dan implementasi pengelolaan ekosistem gambut di Provinsi Jambi kembali mengemuka. Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (Warsi) Rudi Syaff, mengungkap eksploitasi besar-besaran terhadap ekosistem gambut berdampak sangat signifikan tergadap perubahan iklim.

Secara sederhana dia menguraikan bahwa kenaikan suhu global berbanding lurus dengan kenaikan permukaan air laut. Gambut di daerah sekitar pesisir pun lebih cepat kering, dan ketika terbakar melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar. Sementara 2023 lalu, Indonesia menyatakan komitmen untuk menahan tingkat emisi diangka 29% secara mandiri.

“Kalau kita mau mempertahankan emisinya. Artinya mempertahankan hutannya dan mempertahankan muka air. Supaya gambut tidak kering dan emisi lepas. Bagaimama mempertahankan gambut, itu yang sangat penting,” kata Rudi Syaf, dalam dialog media Integrated Management of Peatland Lanscape in Indonesia (IMPLI), Kamis 23 Oktober 2025.

50 Persen Gambut Sudah Disulap

KKI Warsi mencatat, terdapat setidaknya 617 ribu hektar Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) di Provinsi Jambi. Namun 50% diantaranya sudah dikonversi menjadi perkebunan sawit maupun Hutan Tanaman Industri (HTI).

Padahal Undang Undang sudah melarang agar lahan gambut dengan kedalaman 3 Meter lebih tidak boleh dikelola untuk perkebunan alias berstatus hutan lindung gambut. Namun dilapangan, kriteria tersebut nyatanya dilabrak oleh pihak-pihak tak bertanggungjwab.

“Karna dia gambut dalam, Undang Undang bilang gambut diatas 3 meter itu (statusnya) lindung. Tapi prakteknya sudah berubah jadi kebun. Ada inkonsistensi kebijakan. Padahal berfungsi sangat penting bagi kehidupan,” ujarnya.

Padahal menurut Direktur KKI Warsi tersebut, lahan gambut Jambi dengan potensi kandungan karbon yang sangat tinggi sejatinya punya nilai ekonomi tinggi bagi Jambi maupun Indonesia jika dimanfaatkan dengan baik sebagaimana skema perdagangan karbon.

Oleh karena itu, ia pun mendorong peran aktif negara hingga penguatan peran masyatakat dalam menjaga dan merestorasi kawasan gambut. Menjaga gambut, kata Rudi, itu menjaga kehidupan, kunci keberhasilan kolaborasi, kebijakan yang berpihak hingga ekonomi lestari.

Penanganan Karhutla Belum Berfokus Pencegahan

Sementara itu Rektor Universitas Jambi Prof. Dr. Helmi yang juga merupakan pakar hukum lingkungan mengungkap persoalan krusial dalam paradigma penanggulangan karhutla yang belum sepenuhnya berfokus pada pencegahan. Prof Helmi, bahkan menilai terdapat politik anggaran yang ‘represif’ dalam hal karhutla.

“Ketika suatu kawasan ditetapkan masuk bencana, baru anggaran penanggulangan dicairkan. Karna (menggunakan) paradigma api dan asap, maka anggaran juga bukan angaran (untuk) mencegah atau mengatasi penyebab,” ujar Helmi.

Rektor Universitas Jambi tersebut berpandangan bahwa setidaknya terdapat beberapa penyebab yang sangat mendasar, mulai dari tata kelola lahan hingga sistem perizinan. Dia kembali mengungkit soal ketentuan perundang-undangan yang mengklasifikasikan gambut dengan kedalaman 3 meter lebih tidak boleh diusahakan lantaran masuk kawasan lindung. Namun pada prakteknya rawan pelanggaran dan minim penertiban.

“Trus apa yang harus dilakukan? Bagaimana kemudian memantau ini secara berkepanjangan? Cabut izinnya jika terjadi karhutla,” katanya.

Berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku, karhutla yang terjadi dalam areal konsesi atau HTI suatu badan usaha, sangsinya jelas yakni berupa pencabutan izin usaha atau administratif.

Namun pada prakteknya, kasus-kasus karhutla masih bergulir panjang pada proses pembuktian di persidangan. Padahal UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah menegaskan soal Strict Liability (Tanggungjawab Mutlak).

Dimana pada prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), perusahaan atau pihak pemegang izin usaha dapat dimintai tanggung jawab hukum atas terjadinya kebakaran di arealnya, tanpa perlu dibuktikan adanya unsur kesalahan atau kelalaian.

“Jadi tidak pas menurut saya, tanggungjawab mutlak itu jelas sangsinya administratif, langsung saja dicabut izinnya,” katanya.

Ditengah tantangan pemulihan, konsistensi kebijakan, tekanan konversi, dan minimnya insentif. Restorasi gambut lewat pengelolaan berkelanjutan FOLU Net Sink atau pemanfaatan hutan dan lahan dengan netral dinilai menjadi kunci. Hal itu demi menjaga kelestarian ekosistem gambut, hingga menekan laju naiknya suhu dan muka air laut.

Reporter: Juan Ambarita

Continue Reading
Advertisement Advertisement
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs