GURU merupakan sosok yang selalu menjadi perhatian publik, karena memang tugas guru itu ‘mengurus’ sendi-sendi kehidupan publik. Guru tidak hanya secara fisik mengajarkan kita, tapi secara spiritual selalu mendoakan kita agar bahagia dunia akhirat. Dirasakan, guru merupakan profesi yang menginginkan siswanya melebihi apa yang dimiliki guru.
Harus diakui, guru itu bukan profesi biasa. Guru sebagai figur yang mendidik, membimbing, mengajarkan, mengarahkan, melatih, menilai, dsb adalah orang yang memiliki kemuliaan dan dedikasi. Ia adalah pahlawan kebaikan. Guru yang sebenarnya (the truly teacher) adalah tidak pernah “pelit” berbagi ilmu. Wawasan yang dimilikinya selalu ia bagikan kepada siswanya.
Imam Al-Ghazali bahkan mengumpamakan guru seperti matahari yang menerangi dan memberikan kehidupan bagi umat manusia. Lewat warisan ilmu dan keteladanan akhlaknya, guru mengarahkan manusia untuk mengetahui yang benar dan salah, yang baik dan yang buruk, sehingga mereka dapat meraih kebahagiaan dunia dan kenikmatan akhirat.
Sebagai orang yang mengemban tugas mulia tentunya guru harus bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya, tidak serta merta mengajar ala kadarnya, apalagi menjadi guru hanya untuk tujuan agar dihormati atau mengejar jabatan. Profesi guru bukanlah profesi main-main, sekali seseorang memilih profesi guru maka ia harus bertanggung jawab, menjadi guru yang sebenarnya, mengajar dengan sebenarnya.
Profesionalisme guru telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada pasal 1 ayat 1 dinyatakan, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Tentu saja, menjadi seorang guru tidak mudah, bukan hanya bawa buku, kemudian masuk kelas dan beri tugas. Imam Ghazali menyebutkan beberapa syarat menjadi guru yaitu kasih sayang dan lemah lembut, tidak mengharap upah, pujian, ucapan terima kasih atau balas jasa, jujur dan terpercaya bagi murid-muridnya, membimbing dengan kasih sayang, tidak dengan kemarahan, luhur budi dan toleransi, tidak merendahkan ilmu lain di luar spesialisasinya, memperhatikan perbedaan individu.
Sesungguhnya, guru bisa dibagi ke dalam dua model: guru yang sebenarnya: mementingkan kompetensi siswa, setiap tindakan guru ini selalu untuk menumbuhkan semangat siswa untuk belajar. Guru ini benar-benar representasi sebagaimana guru ideal yang sangat memegang teguh niat suci mendidik anak bangsa.
Model kedua, guru “yang hadir”, yaitu melaksanakan tugas hanya untuk menggugurkan kewajiban. Ciri-ciri guru ‘yang hadir’: 1) Hadir lebih awal, dan pulang paling akhir berdasarkan data presensi online; 2) Dalam mengajar lebih banyak ceramah, latihan, kasih tugas; 3) Paling sering menghukum siswa dan memanggil orang tua siswa; 4) Mereka adalah satu satunya sumber ilmu, benar kata guru itu, maka siswa harus ikut, tidak boleh dibantah; 5) Paling rajin presensi online, paling ‘tebal’ admintrasi pembelajaran; 6) Selalu ingin menjadi panitia kegiatan sekolah; 7) paling banyak pendapat, selalu berpendapat, banyak omong.
Berbeda dengan guru ‘yang sebenarnya’, siang malam memikirkan siswanya, siswanyapun selalu ia sertakan dalam doanya. Pembelajarannya selalu berisi seruan untuk meningkatkan kompetensi, bagaimana cara memperdalam kompetensi yang dimiliki, selalu memberi tempat bagi siswa untuk berpikir kritis dan memecahkan masalah, berkreasi, berkolaborasi, berkomunikasi.
Setidaknya guru ‘yang sebenarnya’ memiliki tanda-tanda: Pertama, ia tak menggunakan ilmu dan waktu yang dimiliki hanya untuk melengkapi perangkat administasi pembelajaran. Karena setiap guru pasti paham bahwa perangkat itu penting tapi bukan inti dari tugas guru.
Kedua, kesesuaian antara perkataan dan perbuatan. Ia tak akan memerintahkan kebaikan kecuali telah mengerjakan dan tidak melarang sesuatu kecuali telah meninggalkan. Ketiga, fokus pembelajaran adalah ilmu-ilmu yang bermanfaat baik di kehidupan dunia dan akhirat. Ia tidak akan memberikan ilmu yang membuat siswanya menjauhkan dirinya dari mengingat Allah.
Keempat, sederhana dalam ucapan, perbuatan, dan pakaian. Kesederhanaan menjadi penting bagi seorang guru karena ia adalah panutan dan model bagi siswanya. Kelima, konsisten menulis. Idealnya seorang guru itu penulis, minimal menulis apa yang dikerjakan dan kerjakan apa yang ditulis. Sebenarnya apa pun langkah guru dalam pembelajaran bisa ditulis, diekspos ke publik agar publik tahu apa yang terjadi dalam proses pembelajaran.
Keenam, tidak buru-buru menilai siswa. Ini penting untuk memastikan dengan penuh keyakinan apa sebenarnya yang sudah dikuasai siswa. Mengingat guru mendapat posisi yang begitu sakral di tengah masyarakat, ucapan dan tindakannya masih dipercayai publik.
Ketujuh, fokus utama dalam pembelajaran adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hati dan muraqabah (merasa bahwa Allah selalu memantau gerak-geriknya). Dalam tiap penjelasannya, guru selalu menekankan pentingnya menjaga hati. Karena hatilah yang bisa mengendalikan seluruh tubuh siswa.
Kedelapan, begitu perhatian dan serius dalam menguatkan motivasi karena motivasi adalah modal dasar untuk belajar. Semakin tinggi motivasi siswa, semakin serius dia belajar.
Kesembilan, selalu merasa sedih bila melihat siswanya belum mencapai kompetensi yang dipersyaratkan. Lebih sedih lagi bila menemukan siswanya tidak bisa menunjukkan akhlak yang baik ditengah masyarakat. Hal ini sebagai ukuran keberhasilan seorang guru. Karena guru adalah pangkat yang prestesius di tengah masyarakat, jika siswanya tidak menunjukkan karaktek baik, dikhawatir kepercayaan publik kepada guru akan sirna.
Kesepuluh, ilmu-ilmu yang menjadi fokus utama pembahasaanya adalah akhlak mulia, lifeskills, keterampilan abad 21 yang akan mendorong siswanya mampu berkompetensi diera digital. Kesebelas, hati dan nuraninya menjadi basis guru dalam menjalankan tugasnya.
Sudah sepatutnya guru menyadari bahwa inti tugas itu mencerdaskan dan menyucikan hati dan perilaku siswa, dan apabila dilakukan dengan ikhlas, guru akan memperoleh kebahagiaan dalam diri dan membuat bahagia siswa, orang tua, masyarakat dan negara.
Banyak pihak mengatakan, begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan Nabi dan Rasul. Guru, jangan sia siakan ‘kedudukan’ ini.
*) Penulis adalah Pendidik di Madrasah
Discussion about this post