Connect with us

LINGKUNGAN

Gaya Ahin dan PT MPG Merambah Kawasan Hutan Tak Terjerat Hukum

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Sudah setahun belakangan ini, Hadi Prabowo bolak-balik Jambi – Jakarta. Pria berusia 26 tahun ini sedang fokus melaporkan perusahaan perambahan kawasan hutan. Ia geregetan melihat aktivitas perambahan hutan terus meluas tiap tahun.

Salah satunya, yang dilaporkan Hadi Prabowo adalah PT MPG. Perusahaan ini sejak awal dimiliki oleh seorang pengusaha Jambi bernama Ahin. Ia tinggal di Perumahan Citra Sipin Indah yang berlokasi di kawasan Simpang Kawat, Kota Jambi.

Ahin mulai membuka kebun kelapa sawit pada tahun 2009 dengan membeli lahan masyarakat seluas 200 hektare. Tak jelas kapan PT MPG berdiri. Yang jelas, pada tahun 2014, Ahin lewat PT MPG mengajukan izin prinsip dan HGU kepada Pemerintah Kabupaten Tanjungjabung Timur. Namun ditolak.

“Jelas saja, lahan yang mereka ajukan seluas 400 hektare itu masuk ke dalam wilayah hutan. Jika saja pengajuan itu diizinkan, maka saat itu total mereka menguasai 600 hektare lahan, termasuk yang mencaplok wilayah hutan,” kata Hadi Prabowo yang kini duduk sebagai Sekjen DPP LSM Peduli Pemantau Anggaran Negara (Mappan) kepada detail.id pada Rabu, 25 Agustus 2021.

Wilayah kebun PT MPG berada di Desa Pematang Rahim, Kecamatan Mendahara Ulu, Kabupaten Tanjungjabung Timur, Jambi.

Ribuan hektare rumah bagi satwa liar tergusur. Monyet-monyet pun terdiam menyaksikan pepohonan tak lagi rimbun. Mereka kebingungan harus bergelayutan di mana. Di pohon sawit? Yang benar saja, duri-duri sawit tak ramah bagi tangan mereka. Belum lagi nanti mereka dianggap hama bagi tanaman sawit yang ditanami oleh korporasi.

“Terkesan ada pembiaran. Pihak yang seharusnya berwenang mengambil tindakan justru terdiam. Padahal kami terus menanyakan perkembangan kasus yang kami laporkan ini,” ujar Hadi.

Kembali ke tahun 2014. Meski ditolak, ternyata aksi penguasaan kawasan hutan tidak berhenti. Awalnya mengajukan 400 hektare namun ditolak, seiring waktu malah makin meluas menggerogoti 1.000 hektare kawasan hutan. Anehnya pihak berwenang untuk pengawasan dan perlindungan hutan justru hanya terdiam.

Pihak LSM Mappan sebenarnya sudah melaporkan hal ini kepada Dinas Kehutanan Provinsi Jambi sejak tahun 2020. Namun sudah hampir setahun ini masih saja belum terlihat ada tindakan nyata.

Hadi menyebut Dinas Kehutanan Provinsi Jambi tak berdaya menindak Ahin dan PT MPG. Dinas Kehutanan Provinsi Jambi justru beraninya terhadap perorangan. Seorang pria bernama Effendi Siagian ditetapkan sebagai tersangka perambahan hutan seluas 40 hektare.

Effendi Siagian sempat melawan dengan mengajukan gugatan praperadilan. Mahkamah Agung menolak gugatan praperadilan yang diajukan Effendi Siagian ditujukan kepada Pemerintah Provinsi Jambi, dalam hal ini Kasi Pengendalian Kerusakan dan PH Dinas Kehutanan Provinsi Jambi.

Mahkamah Agung akhirnya memutuskan gugatan Effendi Siagian ditolak seluruhnya. Ia sudah ditangkap dan mendekam dalam tahanan pada 13 Oktober 2020. Lahannya pun disita oleh negara.

“Kami tidak habis pikir, kasus Effendi Siagian saja bisa diproses hingga disita negara. Praperadilannya saja menggugat Gubernur Jambi dalam hal ini pihak Dinas Kehutanan.  Apa karena jumlahnya hanya 40 hektare, sedangkan yang dikuasai PT MPG ini lebih dari 1.000 hektare? Saya pun tidak tahu mengapa,” kata Hadi Prabowo mempertanyakan.

Menanggapi desakan dari LSM Mappan, Doni Osmon, Kabid Perlindungan Hutan Provinsi Jambi pun menyampaikan pernyataannya. Dishut menggandeng Gakkum dan KPH Tanjungjabung Timur telah melakukan Pengumpulan Data dan Informasi (Puldasi). Berdasarkan Puldasi tersebut Dishut menyurati Dirjen Gakkum dengan tembusan Kepala Balai Gakkum Sumatera untuk dapat menindak kasus ini bersama-sama.

Pihak Dinas Kehutanan menunggu jawaban dari Gakkum yang sampai saat ini belum memberikan respons. Menolak desakan LSM Mappan yang menyebut proses ini bertele-tele, lantas Dishut berdalih bahwa penindakan terkendala adanya refocusing anggaran, sehingga urung terlaksana.

Berlarutnya upaya terhadap dugaan perambahan hutan ini menciptakan celah waktu. LSM Mappan sendiri melihat ada upaya untuk berkamuflase dalam skema perhutanan sosial melalui pembentukan Kelompok Tani di Desa Pematang Rahim pada tahun 2020. Terkait dugaan ini, masih terus didalami dan tak luput dari perhatian LSM Mappan.

Selain beragam upaya yang dilakukan memanfaatkan celah waktu tersebut, tentu saja pundi-pundi yang dihasilkan PT MPG dari kebun sawitnya terus mengalir. Dengan estimasi hasil per hektare mencapai 1 hingga 1,5 ton, maka dalam 7 tahun produksi sudah menghasilkan sekitar Rp 84 miliar atau lebih. Bahkan setiap bulannya bisa mengumpulkan Rp 1 miliar.

Semakin lambat maka kebocoran kerugian negara semakin besar. Kondisi hutan pun kian mengkhawatirkan dan tentu saja menjadi contoh buruk yang bisa saja ditiru oknum lain. Hutan akan semakin habis.

Perambahan hutan ialah penyakit kronis. Wajar saja UNESCO sampai memasukkan hutan Sumatra sebagai salah satu dari 38 daftar warisan dunia yang terancam. Bagaimana tidak, praktik ilegal perambahan hutan seperti ini terus saja dibiarkan. Cukuplah monyet-monyet yang terdiam melihat rumah mereka dibabat habis. Sebab mereka tak bisa melakukan apa-apa. Tapi tidak bagi pihak berwenang. Mereka bisa melakukan tindakan, bukan hanya diam.

Reporter: Febri Firsandi

LINGKUNGAN

PLTU Milik PT Permata Prima Elektrindo Diduga Cemari Sungai Ale, Sudah Dilaporkan Namun Belum Ada Perubahan

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Sarolangun – PLTU milik PT Permata Prima Elektrindo (PPE) yang berlokasi di Desa Semaran, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, diduga telah mencemari ekosistem Sungai Ale melalui pembuangan limbah Fly Ash dan Bottom Ash (FABA). Hal ini terungkap dari hasil investigasi Lembaga Tiga Beradik (LTB) pada Selasa, 3 Juni 2025.

Tim LTB menemukan bahwa limbah FABA diangkut menggunakan kendaraan roda empat dan dibuang ke lahan terbuka seluas sekitar 1,3 hektare hanya berjarak 40 meter dari anak Sungai Ale. Lokasi pembuangan tersebut merupakan area rawa yang rawan banjir dan seharusnya menjadi daerah resapan air tanah.

“Kegiatan ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengelolaan Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun, khususnya Pasal 25 ayat 4 huruf b serta Pasal 28 ayat 1 huruf b dan e,” ujar Manager Advokasi LTB, Deri lewat keterangan tertulisnya.

Dampak dari aktivitas ini dirasakan langsung oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada Sungai Ale. Air sungai kini tercemar lumpur hitam limbah FABA, yang jika digunakan bisa membahayakan kesehatan.

Deri menegaskan bahwa jika kondisi ini terus dibiarkan tanpa penindakan dari pihak berwenang, pencemaran bisa meluas hingga Sungai Tembesi yang menjadi hilir dari Sungai Ale.

“Pada Mei 2024 lalu, luapan Sungai Tembesi mencapai lokasi pembuangan limbah FABA dan membawa lumpur hitam yang menyebabkan kerusakan ekosistem di Sungai Ale,” katanya.

Menurut Deri, laporan sudah disampaikan kepada perwakilan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sarolangun pada kegiatan Sedekah Bumi tahun 2024 di RT 06, pintu masuk menuju lokasi PLTU. Namun hingga kini belum ada respons atau tindakan konkret.

“Kami menilai bahwa Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sarolangun lalai dalam menjalankan tugas pengawasan terhadap aktivitas PLTU Semaran milik PT Permata Prima Elektrindo. Oleh karena itu, kami menuntut agar perusahaan diberi sanksi tegas oleh pihak terkait,” katanya. (*)

Continue Reading

LINGKUNGAN

Walhi Jambi Laporkan Jamtos, JBC, dan Roma Estate ke Polda Terkait Dugaan Perusakan Sungai

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi melaporkan tiga proyek pembangunan besar di Kota Jambi ke Kepolisian Daerah (Polda) Jambi atas dugaan pelanggaran lingkungan hidup pada Jumat, 30 Mei 2025.

Ketiga proyek tersebut adalah Jambi Town Square (Jamtos), Jambi Business Center (JBC), dan Perumahan Roma Estate. Walhi menilai, pembangunan ketiganya telah mengubah bentang alam sempadan Sungai Kambang dan menyebabkan kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Fokus utama laporan tertuju pada pembangunan Jamtos yang diduga menutup aliran Sub Sungai Payo Sigadung atau Sungai Kambang dan menggantinya dengan saluran tertutup (gorong-gorong). Kondisi ini dinilai melanggar tata ruang dan aturan lingkungan serta meningkatkan risiko banjir di kawasan Mayang.

Berdasarkan overlay citra historis Google Earth tahun 2002 hingga 2025, kawasan Jamtos sebelumnya merupakan hutan dan sempadan sungai alami. Kini, jalur sungai tersebut tertutup bangunan beton, menghilangkan fungsi alaminya sebagai saluran limpasan air.

Walhi menilai pembangunan itu melanggar sejumlah peraturan, antara lain Undang-Undang No 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, PP No 38 Tahun 2011 tentang Sungai, Permen PUPR No 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai, serta Perda Kota Jambi No 9 Tahun 2013 dan No 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.

Selain Jamtos, pembangunan JBC dan Roma Estate juga diduga turut mengubah alur sungai dan menutup wilayah resapan air yang penting bagi kestabilan ekologis kota Jambi.

Direktur Walhi Jambi, Oscar Anugrah, menyatakan bahwa pembangunan yang tidak memperhatikan aturan lingkungan dan tata ruang merupakan bentuk kelalaian serius.

“Kami meminta dan mendesak Kapolda Jambi melalui Direktorat Kriminal Khusus untuk segera memeriksa pihak pengembang JBC, Jamtos, dan Roma Estate, serta pihak pemerintah yang memberikan izin atas pembangunan tersebut. Kami tidak akan berdamai bagi siapa saja yang merusak alam dan lingkungan yang berpotensi terhadap kerusakan ekologi,” ujar Oscar.

Hingga berita ini ditulis, belum diperoleh tanggapan resmi dari pihak pengembang maupun instansi terkait laporan tersebut. (*)

Continue Reading

LINGKUNGAN

Perkumpulan Hijau Bakal Laporkan Tambang Batu Bara PT GAL di Tebo Atas Pencemaran Lingkungan

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Setelah PT Bumi Bara Makmur Mandiri (BBMM) yang sampai saat ini masih dalam proses penyelidikan Polda Jambi, Perkumpulan Hijau (PH) kembali menemukan indikasi kejahatan lingkungan akibat aktivitas industri ekstraktif batu bara yaitu PT Globalindo Alam Lestari (GAL).

Perusahaan tambang batu bara yang berada di kawasan Desa Suo Suo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo tersebut menjadi ancaman serius untuk lingkungan dan masyarakat, akibat aktivitas tambang batu bara yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari permukiman warga.

Direktur Perkumpulan Hijau, Feri Irawan menyoroti dampak yang ditimbulkan dari tambang batu bara yang sangat dekat permukiman warga tersebut, mulai dari ketimpangan sosial hingga ancaman terhadap lingkungan dan ketahanan pangan.

“Risiko hadirnya tambang batu bara pasti akan mengintimidasi ruang hidup masyarakat karena di mana ada tambang, pasti ada kesengsaraan,” ujar Feri dalam pernyataannya.

Ia menegaskan bahwa situasi di Desa Suo Suo mencerminkan bagaimana masyarakat dikorbankan atas nama eksploitasi sumber daya alam. Menurut Feri, ketidakpatuhan perusahaan tambang terhadap aturan jarak minimal dari permukiman merupakan bentuk kejahatan pertambangan yang nyata.

“Ketidakpatuhan perusahaan pada aturan tentang jarak minimal pun menjadi salah satu tolak ukur kejahatan pertambangan,” katanya.

Selain ancaman terhadap lingkungan dan pertanian, aktivitas tambang yang begitu dekat juga meningkatkan risiko kesehatan bagi warga sekitar. Polusi udara dari debu tambang, pencemaran air, serta potensi longsor akibat pengerukan tanah menjadi kekhawatiran utama yang dihadapi masyarakat.

Bukan hanya itu, Perkumpulan Hijau melihat PT Globalindo Alam Lestari (GAL) dituding telah menyebabkan pencemaran dan membunuh sejumlah ekosistem sungai di sekitar konsesinya.

Hasil investigasi Perkumpulan Hijau menemukan pembuangan atau pengeringan air dari bekas tambang baru yang sedang beroperasi melalui selang mengarah dan mengalir ke Sungai Batanghari, air bekas tambang yang seharusnya dialiri ke settling pond untuk mengurai zat atau bahan kimia bekas tambang yang terkandung dari air bekas tambang baru.

Dalam hal ini jelas ungkap Feri, sanksi pelanggaran UU Lingkungan terkait settling pond, dapat berupa sanksi pidana maupun sanksi administratif, tergantung pada jenis pelanggaran dan tingkat keparahannya. Sanksi pidana meliputi penjara dan denda, sedangkan sanksi administratif meliputi teguran tertulis, pembekuan izin, atau pencabutan izin.

Feri menambahkan, dalam izin PT GAL ini terlihat jelas lobang bekas galian tambang yang menganga luas, tidak ada bentuk tanggung jawab terhadap dampak akibat dari ekploitasi tambang yang dilakukan secara masif.

“Berdasarkan analisis Tim GIS ‘Perkumpulan Hijau mencatat luasan lobang tambang yang tidak direklamasi oleh PT Globalindo Alam Lestari (GAL) ialah luas lobang tambang 7,64 hektare dan luas lahan yang terbuka 10,97 hektare.

Feri menegaskan, jika tindakan kejahatan lingkungan ini tidak segera dihentikan, maka kehancuran dan bencana tinggal menunggu waktu. Perkumpulan Hijau mendesak pemerintah, Polda Jambi, Mabes Polri, khususnya inspektorat tambang, menteri lingkungan hidup untuk segera mengevaluasi praktik tambang yang berlangsung di Desa Suo Suo. Feri menekankan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi warga dari dampak buruk pertambangan dan memastikan keselamatan mereka.

“Perkumpulan Hijau juga mendesak pemerintah selaku pemberi izin, untuk mengevaluasi praktik tambang yang ada dan membebaskan area masyarakat dari wilayah tambang agar dapat memberikan jaminan pada keselamatan masyarakat sekitar,” katanya.

Terkait kemungkinan sanksi, Feri menyebut bahwa pencabutan izin merupakan bentuk hukuman tertinggi yang bisa diberikan terhadap perusahaan yang melanggar aturan. Namun, hingga saat ini, belum ada pencabutan izin yang terjadi di wilayah tersebut.

Dalam hal ini, Perkumpulan Hijau akan segera melaporkan temuan di lokasi PT GAL ini ke Polda Jambi untuk dilakukan tindakan.

“Kami akan laporkan PT GAL ini atas tindakan kejahatan pencemaran lingkungan,” katanya. (*)

Continue Reading
Advertisement ads ads
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs