Connect with us
Advertisement

LINGKUNGAN

Kisah Tumenggung Apung, Pemimpin Kelompok SAD yang Baru Menerima SK Pengakuan dan Perlindungan MHA SAD

DETAIL.ID

Published

on

Suku Anak Dalam harus berjuang untuk bertahan hidup. Mulai dari budaya hingga ruang hidup, mereka harus terus beradaptasi. Pahit, getir hingga pengalaman lucu sang Tumenggung pun ada.

HUTAN tempat tinggal Tumenggung Apung dan kelompoknya dibabat habis. Semenjak PT Wira Karya Sakti (WKS) – anak perusahaan Sinarmas Grup — masuk dan menyulap hutan menjadi lahan akasia, Tumenggung Apung kehilangan tempat tinggal.

“Dari nenek moyang kami sudah tinggal di sini. Ini dulu akasia ini masih hutan semua. Semenjak WKS masuk hutan tidak ada lagi semua berubah menjadi akasia. Ya alhamdulillah katanya nanti kawasan ini akan diresmikan,” kata Temenggung Apung, pemimpin Kelompok MHA SAD Bukit 30, Muara Kilis pada 27 Agustus 2021.

Mereka terpaksa menjalani hidup seperti orang luar pada umumnya yaitu berkebun. Belum selesai dengan masalah konflik kawasan, Suku Anak Dalam dipusingkan dengan tantangan perkembangan zaman. Mau tak mau, mereka harus beradaptasi.

Pada 27 Agustus 2021 ia bersama kelompok MHA SAD Tumenggung Ngadap yang tinggal di daerah Tanah Garo, Muara Tabir, Kabupaten Tebo menerima SK Bupati Tebo tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Anak Dalam (MHA SAD). SK tersebut diserahkan langsung oleh Gubernur Jambi, Al Haris saat meresmikan wilayah kelola khusus MHA SAD Kelompok Tumenggung Apung di Desa Muara Kilis.

Kelompok Tumenggung Apung akhirnya bisa bernafas sedikit lega karena pihak Koperasi Sepenat Alam Lestari (SAL) yang sebelumnya menguasai lahan tersebut telah menyepakati untuk menyerahkan lahan seluas 115 Hektar kepada kelompok MHA SAD Tumenggung Apung.

Namun, pihak koperasi SAL meminta agar kayu akasia yang sudah tumbuh untuk dipanen. Tumenggung Apung mengiyakan permohonan tersebut, akan tetapi sampai Gubernur Jambi, Al Haris turun dan meresmikan kawasan kelola khusus kelompoknya, akasia tersebut tak kunjung dipanen.

“Mereka sudah lama sekali menjanjikan akan menyerahkan kawasan itu, sudah bertahun-tahun. Sesudah urusan koperasi ini diurus ke Menteri, katanya jebol namun ternyata tidak. Kades sudah berganti untuk mengurusi masalah ini. Kalau kami numbang nanti jadi masalah. Makanya kami meminta supaya ini segera dipanen, karena sebentar lagi kan kawasan 115 hektare ini akan sah menjadi milik masyarakat SAD,” ujar Tumenggung Apung.

Meski kerap berkonflik, Tumenggung Apung menegaskan bahwa mereka tidak akan pindah. Karena jika pun berpindah tempat atau mencari suaka baru, hutan yang tersedia saat ini sudah semakin menyempit.
“Kalau berpindah kawasan tidak bisa, karena dari moyang kami sudah tinggal di sini. Ya sejauh ini orang portal belum ada yang menghalangi kami. Cuma dia minta tolong untuk buat pos lokasi yang bagus di situ. Ya oke, asal tidak mengganggu atau menghalangi jalan keluar masuk anak SAD,” ucap Tumenggung Apung.

Tumenggung Apung beserta kelompoknya telah berkorban banyak. Tindakan perusakan makam pernah dilakukan oleh PT WKS akibatnya hutan larangan yang berfungsi sebagai tempat untuk mengenang moyang mereka kini sudah berubah menjadi lahan yang ditanami oleh akasia.

Mereka pernah menduduki lahan yang dikuasai oleh WKS, bukan tanpa sebab. Mereka sudah kehilangan hutan lahan untuk perkebunan sudah banyak dikuasai oleh orang luar. Mereka tidak tahu harus bagaimana lagi untuk melanjutkan hidup. Meskipun begitu, belakangan ini Tumenggung Apung mengakui bahwa beberapa permintaannya kadang dipenuhi oleh pihak PT WKS.

Dia mengingat bahwa dulunya mata pencaharian SAD adalah mencari damar, jernang, rotan, dan hasil hutan lainnya untuk melanjutkan hidup. Tapi dengan kondisi sekarang, mereka hanya diberi pilihan untuk bisa beradaptasi dengan orang luar. Bertani atau berkebun menjadi pilihan satu-satunya untuk melanjutkan hidup.

“Iya terpaksa lari ke tani karena hutan sudah habis, sebenarnya lebih enak lagi waktu hidup di hutan. Tapi ibarat ikan sudah di empang begitu amannya sudah sesak langka ya terpaksa kita bertani berkebun. Dulu watu jernang lagi mahal bisa mencapai Rp 4 juta paling rendah itu Rp 800 ribu per kilo. Itu kan sudah cukup untuk hidup. Namun kondisi sekarang ke mana-mana sudah PT ya terpaksalah berkebun mau gimana lagi,” kata Tumenggung termenung.

Ketika disinggung terkait bagaimana perasaannya ketika Koperasi SAL menyetujui lahan seluas 115 hektar tersebut diperuntukkan bagi SAD dan pemerintah daerah telah mengeluarkan SK Pengakuan dan Perlindungan MHA SAD Kelompoknya. Tumenggung bersyukur namun ia mengharapkan pemerintah dan juga koperasi konsisten terhadap kebijakannya. Jangan tiba-tiba nanti ada lagi Izin perusahaan ataupun izin pertambangan atau perambahan hutan di kawasan kelola MHA SAD Kelompoknya.

“Gubernur mau meresmikan kawasan 115 hektare kawasan SAD, kami ucapkan terima kasih. Aku berharap jangan cuma di bibir saja yang penting ada bukti nyata bahwa ke depan tidak ada lagi perusahaan yang akan berdiri di lokasi kawasan kami,” kata Tumenggung Apung tegas.

Di atas lahan 115 hektare yang diresmikan oleh gubernur, ia berencana akan menanami tanaman hutan. Hal ini dilakukan supaya suasana hutan alami yang dirindukan olehnya dapat terpenuhi. Selanjutnya masyarakat SAD bisa melestarikan ritual adat serta tradisinya di dalam kawasan hutan tersebut.

Terkait modernisasi kebudayaan yang sudah mulai dan terus masuk ke lingkup masyarakat SAD ia mengatakan bahwa terkadang ia teringat dengan masa lalu.

“Kalau jaman dulu pakaian tidak ada yang kaya gini, kain itu cuma untuk menutupi bagian kemaluan saja. Cuma alhamdulillah ada juga pendamping kami yang mengajari kami untuk bisa menyesuaikan dengan orang luar,” ujarnya.

Ia pun mengakui bahwa dalam lubuk hatinya ada keinginan untuk bisa hidup seperti orang luar, namun soal budaya ia tegas tidak akan pernah lupa apalagi meninggalkannya. Salah satunya budaya menanam pohon beserta ari-ari bayi ketika ritual kelahiran dan pohon itu sangat terlarang untuk ditebang.

“Kalau ada anak SAD orang tuanya menanam pohon dan itu tidak bisa ditumbang. Kedua, apabila ada pohon di tanah pemakaman itu juga tidak bisa ditumbang. Dulu itu kalau ada yang meninggal mayatnya kita letak di bawah pohon dibuatkan atapnya dari dedaunan baru melangun. Paling lama itu melangun bisa sampai 3-4 tahun, sekarang karena hutan sudah semakin sempit ya terpaksa. Kalau keluarga yang meninggal tidak selama itu lagi, nah pemakaman itulah yang digarap oleh PT WKS ada ratusan itu makamnya tadi,” ujarnya.

Tumenggung juga mengisahkan asal-usul menurut cerita dari nenek moyangnya. “Kalau cerita dari nenek moyang kami kita masih keturunan Minang, karena dulu belanda datang siapa yang tidak mau perang ya masuk hutan, nah yang masuk hutan itulah nenek moyang kami,” katanya.

Ada hal lucu yang diingat Tumenggung Apung. Saat ia belajar naik motor, di mana pada saat itu ia hanya menggunakan gigi 1 sepanjang perjalanan. Ia pun mengakui bahwa belajar motor itu sebenarnya dilandasi oleh rasa iri hati terhadap orang luar.

“Pertama kali itu yang naik motor di sini itu aku. Enggak ada yang ngajari, pernah juga kami mati kutu, jadi aku itu mau ke mana-mana selalu pakai gigi 1 karena enggak tahu ganti gigi motor. Orang bilang, Pak Apung kenapa pakai gigi 1 terus, lalu ia menjawab soal gigi, aku habisi satu-satu,” katanya mengenang sambil tertawa.

Lama kelamaan akhirnya tumenggung lancar mengemudikan sepeda motor dan masyarakat kelompoknya pun mulai menirunya. “Itulah yang kato lagu tuh niat adalah tapi apa daya tangan dak sampai panjat hati memanjat gunung tapi tapi tidak terpalus,” kata Tumenggung Apung mengucap pepatah.

Ketika perbincangan beralih ke soal pendidikan, tumenggung mengatakan bahwa sebenarnya anak-anak SAD berniat mau untuk sekolah formal. Hanya saja, sekolah jauh dari pemukiman dan murid sekolah beragam. Ia menceritakan bahwa anak-anak SAD pernah beberapa kali mendapat diskriminasi hal ini menyebabkan banyak anak SAD menjadi takut untuk sekolah formal.

“Alhamdulillah ada pendamping yang mengajari anak-anak SAD, jadi anak-anak kami alhamdullilah dia rutin 2 bulan itu sudah lancar baca tulis hitung enggak gampang diolok-olok lagi,” katanya.

Terpisah, Ahmad Firdaus Ketua Yayasan Orik yang merupakan pendamping dari MHA SAD Kelompok Tumenggung Apung mengatakan bahwa lahan 115 hektar yang diperuntukkan bagi MHA SAD Kelompok Tumenggung Apung merupakan hasil kesepakatan saat musyawarah antara koperasi SAL, Perangkat Desa Muara Kilis, dan Yayasan Orik.

Koperasi SAL menyatakan bersedia menyerahkan lahan tersebut untuk dikelola secara mandiri. Atas kesepakatan tersebut, ORIK membuat program wilayah Kelola khusus dan pemberdayaan MHA SAD Kelompok Tumenggung Apung.

“Hari ini Kelompok MHA SAD Tumenggung Apung dan Tumenggung Ngadap telah mendapatkan SK Pengakuan dan Perlindungan MHA SAD, dan bagi Kelompok Tumenggung Apung resmi memperoleh kawasan seluas 115 hektar sesuai dengan kesepakatan Koperasi SAL. Semoga apa yang telah kita perjuangkan dapat membawa kesejahteraan bagi mereka. Lahan tersebut nantinya akan dihutankan kembali dengan cara ditanami pohon-pohonan hutan yang memiliki nilai ekonomis, di batas wilayah akan ditanami pohon pinang sebagai pembatas,” kata Ahmad Firdaus, Ketua Yayasan ORIK.

Reporter: Juan Ambarita

Advertisement Advertisement

LINGKUNGAN

Izin Belum Lengkap, DLH Hentikan Sementara Operasional Stockpile Batu Bara PT GSB

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Aktivitas stockpile batu bara PT Gelora Sukses Bersama (GSB) di Tenam, Batanghari ditutup sementara oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jambi. Penutupan sementara disebut ikhwal perizinan yang belum lengkap oleh PT GSB.

Menurut Kabid Penaatan DLH Provinsi Jambi, Budi Hermanto, awalnya pihaknya mendapati laporan masyatakat soal keberadaan stockpile yang belum dilengkapi oleh perizinan lingkungan tersebut. Tim PPNS PPLH lantas turun ke stockpile PT GSB dan melakukan penutupan pada Rabu, 17 Desember 2025.

Menurutnya sanksi penutupan sementara sejalan dengan amanat UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah No 21 tahun 2022 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Ada informasi, pengaduanlah. Setelah kita verifikasi ke lapangan ternyata memang ada stockpile. Kita turun ke situ PPNS PPLH, ternyata mereka belum bisa menunjukkan dokumen, intinya dokumen persetujuan lingkungan dan dokumen pengelolaan air limbah,” ujar Budi pada Jumat, 19 Desember 2025.

Budi juga mengkhawatirkan bahwa aktifitas stockpile PT GSB bakal berujung pada pencemaran lingkungan sekitar. Hal tersebut kemudian berujung pada penutupan sementara stockpile PT GSB.

Artinya, kata Budi, perusahaan perlu menyelesaikan dulu segala perizinan lingkungan untuk kemudian bisa kembali beroperasi secara legal.

“Kalau cepat mereka menyelesaiakan perizinannya, ya cepat (operasional diizinkan). Cuman ini akan tetap dilakukan sanksi penindakan administratif,” katanya.

Reporter: Juan Ambarita

Continue Reading

LINGKUNGAN

Bocor! Minyak dari Gudang BBM Ilegal PT Kerinci Toba Abadi Cemari Lingkungan Sekitar

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Gudang BBM ilegal di Kota Jambi lagi-lagi menuai sorotan. Kali BBM meluber dari gudang BBM PT Kerinci Toba Abadi (KTA) yang terletak di kawasan Rt 10, Pal Merah pada Senin, 15 Desember 2025 sekira pukul 00.00 WIB.

Entah bagaimana ceritanya BBM yang bersumber dari gudang ilegal tersebut mengalir ke saluran drainase sekitar, beruntung tidak terjadi kebakaran. Pantauan awak media di lokasi pada Senin siang, 15 Desember 2025, bau solar menyengat di sekitaran gudang.

Tim kepolisian tampak sudah memasangi garis polisi di sekitar gudang. Sementara kondisi gudang tampak sepi, tanpa aktivitas.

Soal insiden di gudang BBM Ilegal PT KTA tersebut, Kasat Reskrim Polresta Jambi Kompol Hendra Manurung dikonfirmasi lewat pesan WhatsApp belum ada respons.

Sementara Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Jambi, Mahruzar mengaku bahwa pihaknya telah mengambil sampel dari BBM yang meluber tersebut.

“Tadi pagi kita bersama pihak Polresta sudah ambil sampel, cuma kalau untuk hasilnya belum keluar,” ujar Mahruzar.

Reporter: Juan Ambarita

Continue Reading

LINGKUNGAN

Sarat Masalah Pengelolaan Ekosistem Gambut

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Sejumlah persoalan dalam kebijakan dan implementasi pengelolaan ekosistem gambut di Provinsi Jambi kembali mengemuka. Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (Warsi) Rudi Syaff, mengungkap eksploitasi besar-besaran terhadap ekosistem gambut berdampak sangat signifikan tergadap perubahan iklim.

Secara sederhana dia menguraikan bahwa kenaikan suhu global berbanding lurus dengan kenaikan permukaan air laut. Gambut di daerah sekitar pesisir pun lebih cepat kering, dan ketika terbakar melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar. Sementara 2023 lalu, Indonesia menyatakan komitmen untuk menahan tingkat emisi diangka 29% secara mandiri.

“Kalau kita mau mempertahankan emisinya. Artinya mempertahankan hutannya dan mempertahankan muka air. Supaya gambut tidak kering dan emisi lepas. Bagaimama mempertahankan gambut, itu yang sangat penting,” kata Rudi Syaf, dalam dialog media Integrated Management of Peatland Lanscape in Indonesia (IMPLI), Kamis 23 Oktober 2025.

50 Persen Gambut Sudah Disulap

KKI Warsi mencatat, terdapat setidaknya 617 ribu hektar Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) di Provinsi Jambi. Namun 50% diantaranya sudah dikonversi menjadi perkebunan sawit maupun Hutan Tanaman Industri (HTI).

Padahal Undang Undang sudah melarang agar lahan gambut dengan kedalaman 3 Meter lebih tidak boleh dikelola untuk perkebunan alias berstatus hutan lindung gambut. Namun dilapangan, kriteria tersebut nyatanya dilabrak oleh pihak-pihak tak bertanggungjwab.

“Karna dia gambut dalam, Undang Undang bilang gambut diatas 3 meter itu (statusnya) lindung. Tapi prakteknya sudah berubah jadi kebun. Ada inkonsistensi kebijakan. Padahal berfungsi sangat penting bagi kehidupan,” ujarnya.

Padahal menurut Direktur KKI Warsi tersebut, lahan gambut Jambi dengan potensi kandungan karbon yang sangat tinggi sejatinya punya nilai ekonomi tinggi bagi Jambi maupun Indonesia jika dimanfaatkan dengan baik sebagaimana skema perdagangan karbon.

Oleh karena itu, ia pun mendorong peran aktif negara hingga penguatan peran masyatakat dalam menjaga dan merestorasi kawasan gambut. Menjaga gambut, kata Rudi, itu menjaga kehidupan, kunci keberhasilan kolaborasi, kebijakan yang berpihak hingga ekonomi lestari.

Penanganan Karhutla Belum Berfokus Pencegahan

Sementara itu Rektor Universitas Jambi Prof. Dr. Helmi yang juga merupakan pakar hukum lingkungan mengungkap persoalan krusial dalam paradigma penanggulangan karhutla yang belum sepenuhnya berfokus pada pencegahan. Prof Helmi, bahkan menilai terdapat politik anggaran yang ‘represif’ dalam hal karhutla.

“Ketika suatu kawasan ditetapkan masuk bencana, baru anggaran penanggulangan dicairkan. Karna (menggunakan) paradigma api dan asap, maka anggaran juga bukan angaran (untuk) mencegah atau mengatasi penyebab,” ujar Helmi.

Rektor Universitas Jambi tersebut berpandangan bahwa setidaknya terdapat beberapa penyebab yang sangat mendasar, mulai dari tata kelola lahan hingga sistem perizinan. Dia kembali mengungkit soal ketentuan perundang-undangan yang mengklasifikasikan gambut dengan kedalaman 3 meter lebih tidak boleh diusahakan lantaran masuk kawasan lindung. Namun pada prakteknya rawan pelanggaran dan minim penertiban.

“Trus apa yang harus dilakukan? Bagaimana kemudian memantau ini secara berkepanjangan? Cabut izinnya jika terjadi karhutla,” katanya.

Berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku, karhutla yang terjadi dalam areal konsesi atau HTI suatu badan usaha, sangsinya jelas yakni berupa pencabutan izin usaha atau administratif.

Namun pada prakteknya, kasus-kasus karhutla masih bergulir panjang pada proses pembuktian di persidangan. Padahal UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah menegaskan soal Strict Liability (Tanggungjawab Mutlak).

Dimana pada prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), perusahaan atau pihak pemegang izin usaha dapat dimintai tanggung jawab hukum atas terjadinya kebakaran di arealnya, tanpa perlu dibuktikan adanya unsur kesalahan atau kelalaian.

“Jadi tidak pas menurut saya, tanggungjawab mutlak itu jelas sangsinya administratif, langsung saja dicabut izinnya,” katanya.

Ditengah tantangan pemulihan, konsistensi kebijakan, tekanan konversi, dan minimnya insentif. Restorasi gambut lewat pengelolaan berkelanjutan FOLU Net Sink atau pemanfaatan hutan dan lahan dengan netral dinilai menjadi kunci. Hal itu demi menjaga kelestarian ekosistem gambut, hingga menekan laju naiknya suhu dan muka air laut.

Reporter: Juan Ambarita

Continue Reading
Advertisement Advertisement
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs