LINGKUNGAN
Kisah Tumenggung Apung, Pemimpin Kelompok SAD yang Baru Menerima SK Pengakuan dan Perlindungan MHA SAD

Suku Anak Dalam harus berjuang untuk bertahan hidup. Mulai dari budaya hingga ruang hidup, mereka harus terus beradaptasi. Pahit, getir hingga pengalaman lucu sang Tumenggung pun ada.
HUTAN tempat tinggal Tumenggung Apung dan kelompoknya dibabat habis. Semenjak PT Wira Karya Sakti (WKS) – anak perusahaan Sinarmas Grup — masuk dan menyulap hutan menjadi lahan akasia, Tumenggung Apung kehilangan tempat tinggal.
“Dari nenek moyang kami sudah tinggal di sini. Ini dulu akasia ini masih hutan semua. Semenjak WKS masuk hutan tidak ada lagi semua berubah menjadi akasia. Ya alhamdulillah katanya nanti kawasan ini akan diresmikan,” kata Temenggung Apung, pemimpin Kelompok MHA SAD Bukit 30, Muara Kilis pada 27 Agustus 2021.
Mereka terpaksa menjalani hidup seperti orang luar pada umumnya yaitu berkebun. Belum selesai dengan masalah konflik kawasan, Suku Anak Dalam dipusingkan dengan tantangan perkembangan zaman. Mau tak mau, mereka harus beradaptasi.
Pada 27 Agustus 2021 ia bersama kelompok MHA SAD Tumenggung Ngadap yang tinggal di daerah Tanah Garo, Muara Tabir, Kabupaten Tebo menerima SK Bupati Tebo tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Anak Dalam (MHA SAD). SK tersebut diserahkan langsung oleh Gubernur Jambi, Al Haris saat meresmikan wilayah kelola khusus MHA SAD Kelompok Tumenggung Apung di Desa Muara Kilis.
Kelompok Tumenggung Apung akhirnya bisa bernafas sedikit lega karena pihak Koperasi Sepenat Alam Lestari (SAL) yang sebelumnya menguasai lahan tersebut telah menyepakati untuk menyerahkan lahan seluas 115 Hektar kepada kelompok MHA SAD Tumenggung Apung.
Namun, pihak koperasi SAL meminta agar kayu akasia yang sudah tumbuh untuk dipanen. Tumenggung Apung mengiyakan permohonan tersebut, akan tetapi sampai Gubernur Jambi, Al Haris turun dan meresmikan kawasan kelola khusus kelompoknya, akasia tersebut tak kunjung dipanen.
“Mereka sudah lama sekali menjanjikan akan menyerahkan kawasan itu, sudah bertahun-tahun. Sesudah urusan koperasi ini diurus ke Menteri, katanya jebol namun ternyata tidak. Kades sudah berganti untuk mengurusi masalah ini. Kalau kami numbang nanti jadi masalah. Makanya kami meminta supaya ini segera dipanen, karena sebentar lagi kan kawasan 115 hektare ini akan sah menjadi milik masyarakat SAD,” ujar Tumenggung Apung.
Meski kerap berkonflik, Tumenggung Apung menegaskan bahwa mereka tidak akan pindah. Karena jika pun berpindah tempat atau mencari suaka baru, hutan yang tersedia saat ini sudah semakin menyempit.
“Kalau berpindah kawasan tidak bisa, karena dari moyang kami sudah tinggal di sini. Ya sejauh ini orang portal belum ada yang menghalangi kami. Cuma dia minta tolong untuk buat pos lokasi yang bagus di situ. Ya oke, asal tidak mengganggu atau menghalangi jalan keluar masuk anak SAD,” ucap Tumenggung Apung.
Tumenggung Apung beserta kelompoknya telah berkorban banyak. Tindakan perusakan makam pernah dilakukan oleh PT WKS akibatnya hutan larangan yang berfungsi sebagai tempat untuk mengenang moyang mereka kini sudah berubah menjadi lahan yang ditanami oleh akasia.
Mereka pernah menduduki lahan yang dikuasai oleh WKS, bukan tanpa sebab. Mereka sudah kehilangan hutan lahan untuk perkebunan sudah banyak dikuasai oleh orang luar. Mereka tidak tahu harus bagaimana lagi untuk melanjutkan hidup. Meskipun begitu, belakangan ini Tumenggung Apung mengakui bahwa beberapa permintaannya kadang dipenuhi oleh pihak PT WKS.
Dia mengingat bahwa dulunya mata pencaharian SAD adalah mencari damar, jernang, rotan, dan hasil hutan lainnya untuk melanjutkan hidup. Tapi dengan kondisi sekarang, mereka hanya diberi pilihan untuk bisa beradaptasi dengan orang luar. Bertani atau berkebun menjadi pilihan satu-satunya untuk melanjutkan hidup.
“Iya terpaksa lari ke tani karena hutan sudah habis, sebenarnya lebih enak lagi waktu hidup di hutan. Tapi ibarat ikan sudah di empang begitu amannya sudah sesak langka ya terpaksa kita bertani berkebun. Dulu watu jernang lagi mahal bisa mencapai Rp 4 juta paling rendah itu Rp 800 ribu per kilo. Itu kan sudah cukup untuk hidup. Namun kondisi sekarang ke mana-mana sudah PT ya terpaksalah berkebun mau gimana lagi,” kata Tumenggung termenung.
Ketika disinggung terkait bagaimana perasaannya ketika Koperasi SAL menyetujui lahan seluas 115 hektar tersebut diperuntukkan bagi SAD dan pemerintah daerah telah mengeluarkan SK Pengakuan dan Perlindungan MHA SAD Kelompoknya. Tumenggung bersyukur namun ia mengharapkan pemerintah dan juga koperasi konsisten terhadap kebijakannya. Jangan tiba-tiba nanti ada lagi Izin perusahaan ataupun izin pertambangan atau perambahan hutan di kawasan kelola MHA SAD Kelompoknya.
“Gubernur mau meresmikan kawasan 115 hektare kawasan SAD, kami ucapkan terima kasih. Aku berharap jangan cuma di bibir saja yang penting ada bukti nyata bahwa ke depan tidak ada lagi perusahaan yang akan berdiri di lokasi kawasan kami,” kata Tumenggung Apung tegas.
Di atas lahan 115 hektare yang diresmikan oleh gubernur, ia berencana akan menanami tanaman hutan. Hal ini dilakukan supaya suasana hutan alami yang dirindukan olehnya dapat terpenuhi. Selanjutnya masyarakat SAD bisa melestarikan ritual adat serta tradisinya di dalam kawasan hutan tersebut.
Terkait modernisasi kebudayaan yang sudah mulai dan terus masuk ke lingkup masyarakat SAD ia mengatakan bahwa terkadang ia teringat dengan masa lalu.
“Kalau jaman dulu pakaian tidak ada yang kaya gini, kain itu cuma untuk menutupi bagian kemaluan saja. Cuma alhamdulillah ada juga pendamping kami yang mengajari kami untuk bisa menyesuaikan dengan orang luar,” ujarnya.
Ia pun mengakui bahwa dalam lubuk hatinya ada keinginan untuk bisa hidup seperti orang luar, namun soal budaya ia tegas tidak akan pernah lupa apalagi meninggalkannya. Salah satunya budaya menanam pohon beserta ari-ari bayi ketika ritual kelahiran dan pohon itu sangat terlarang untuk ditebang.
“Kalau ada anak SAD orang tuanya menanam pohon dan itu tidak bisa ditumbang. Kedua, apabila ada pohon di tanah pemakaman itu juga tidak bisa ditumbang. Dulu itu kalau ada yang meninggal mayatnya kita letak di bawah pohon dibuatkan atapnya dari dedaunan baru melangun. Paling lama itu melangun bisa sampai 3-4 tahun, sekarang karena hutan sudah semakin sempit ya terpaksa. Kalau keluarga yang meninggal tidak selama itu lagi, nah pemakaman itulah yang digarap oleh PT WKS ada ratusan itu makamnya tadi,” ujarnya.
Tumenggung juga mengisahkan asal-usul menurut cerita dari nenek moyangnya. “Kalau cerita dari nenek moyang kami kita masih keturunan Minang, karena dulu belanda datang siapa yang tidak mau perang ya masuk hutan, nah yang masuk hutan itulah nenek moyang kami,” katanya.
Ada hal lucu yang diingat Tumenggung Apung. Saat ia belajar naik motor, di mana pada saat itu ia hanya menggunakan gigi 1 sepanjang perjalanan. Ia pun mengakui bahwa belajar motor itu sebenarnya dilandasi oleh rasa iri hati terhadap orang luar.
“Pertama kali itu yang naik motor di sini itu aku. Enggak ada yang ngajari, pernah juga kami mati kutu, jadi aku itu mau ke mana-mana selalu pakai gigi 1 karena enggak tahu ganti gigi motor. Orang bilang, Pak Apung kenapa pakai gigi 1 terus, lalu ia menjawab soal gigi, aku habisi satu-satu,” katanya mengenang sambil tertawa.
Lama kelamaan akhirnya tumenggung lancar mengemudikan sepeda motor dan masyarakat kelompoknya pun mulai menirunya. “Itulah yang kato lagu tuh niat adalah tapi apa daya tangan dak sampai panjat hati memanjat gunung tapi tapi tidak terpalus,” kata Tumenggung Apung mengucap pepatah.
Ketika perbincangan beralih ke soal pendidikan, tumenggung mengatakan bahwa sebenarnya anak-anak SAD berniat mau untuk sekolah formal. Hanya saja, sekolah jauh dari pemukiman dan murid sekolah beragam. Ia menceritakan bahwa anak-anak SAD pernah beberapa kali mendapat diskriminasi hal ini menyebabkan banyak anak SAD menjadi takut untuk sekolah formal.
“Alhamdulillah ada pendamping yang mengajari anak-anak SAD, jadi anak-anak kami alhamdullilah dia rutin 2 bulan itu sudah lancar baca tulis hitung enggak gampang diolok-olok lagi,” katanya.
Terpisah, Ahmad Firdaus Ketua Yayasan Orik yang merupakan pendamping dari MHA SAD Kelompok Tumenggung Apung mengatakan bahwa lahan 115 hektar yang diperuntukkan bagi MHA SAD Kelompok Tumenggung Apung merupakan hasil kesepakatan saat musyawarah antara koperasi SAL, Perangkat Desa Muara Kilis, dan Yayasan Orik.
Koperasi SAL menyatakan bersedia menyerahkan lahan tersebut untuk dikelola secara mandiri. Atas kesepakatan tersebut, ORIK membuat program wilayah Kelola khusus dan pemberdayaan MHA SAD Kelompok Tumenggung Apung.
“Hari ini Kelompok MHA SAD Tumenggung Apung dan Tumenggung Ngadap telah mendapatkan SK Pengakuan dan Perlindungan MHA SAD, dan bagi Kelompok Tumenggung Apung resmi memperoleh kawasan seluas 115 hektar sesuai dengan kesepakatan Koperasi SAL. Semoga apa yang telah kita perjuangkan dapat membawa kesejahteraan bagi mereka. Lahan tersebut nantinya akan dihutankan kembali dengan cara ditanami pohon-pohonan hutan yang memiliki nilai ekonomis, di batas wilayah akan ditanami pohon pinang sebagai pembatas,” kata Ahmad Firdaus, Ketua Yayasan ORIK.
Reporter: Juan Ambarita

KOMPOS adalah salah satu solusi terbaik untuk meningkatkan kesuburan tanah. Dengan memanfaatkan sisa bumbu dapur, kita tidak hanya mengurangi limbah tetapi juga menyediakan nutrisi yang dibutuhkan tanah. Artikel ini akan membahas cara membuat kompos dari sisa bumbu dapur dan manfaatnya bagi kesuburan tanah.
Apa itu Kompos?
Kompos adalah bahan organik yang dihasilkan dari penguraian sisa makanan, daun, dan limbah organik lainnya. Proses penguraian ini melibatkan mikroorganisme, seperti bakteri dan jamur, yang mengubah bahan organik menjadi humus. Humus adalah komponen penting dari tanah yang meningkatkan kesuburan dan struktur tanah.
Manfaat Kompos dari Sisa Bumbu Dapur
Batang rempah dapur, seperti kulit bawang, seledri, dan daun kemangi, kaya akan nutrisi. Ketika diolah menjadi kompos, sisa-sisa ini dapat memberikan manfaat berikut:
- Meningkatkan Kesuburan Tanah: Kompos mengandung nitrogen, fosfor, dan kalium, yang penting untuk pertumbuhan tanaman.
- Meningkatkan Struktur Tanah: Kompos membantu meningkatkan tekstur tanah, membuatnya lebih gembur dan berudara.
- Mengurangi Sampah: Dengan mengompos sisa bumbu dapur, kita dapat mengurangi jumlah sampah yang dikirim ke tempat pembuangan akhir.
Cara Membuat Kompos dari Sisa Dapur
Membuat kompos dari sisa bumbu dapur cukup mudah. Berikut langkah-langkah yang bisa Anda ikuti:
Pengumpulan Bahan: Kumpulkan sisa bumbu dapur seperti kulit bawang, batang seledri, dan daun kering. Pastikan bahan yang digunakan tidak mengandung bahan kimia berbahaya.
Mencincang: Cincang bahan-bahan menjadi potongan kecil untuk mempercepat proses dekomposisi.
Pembuatan Tumpukan Kompos: Buat tumpukan kompos di lokasi yang teduh. Selang-seling bahan organik antara bahan hijau (sisa sayuran) dan bahan cokelat (daun kering, kertas).
Penyiraman: Siram tumpukan kompos secara teratur untuk menjaga kelembapan. Pastikan tumpukan tidak terlalu basah atau kering.
Mengaduk: Aduk tumpukan kompos setiap beberapa minggu untuk mempercepat proses dekomposisi dan memastikan sirkulasi udara yang baik.
Pematangan: Setelah beberapa bulan, kompos akan matang dan siap digunakan. Ciri-ciri kompos yang matang adalah warnanya yang gelap dan baunya yang menyenangkan.
Menggunakan Kompos untuk Kesuburan Tanah
Setelah kompos matang, Anda bisa menggunakannya untuk meningkatkan kesuburan tanah di kebun atau pot tanaman Anda. Berikut beberapa cara untuk menggunakannya:
- Campuran Tanah: Campurkan kompos dengan tanah saat menanam tanaman baru untuk memberikan nutrisi tambahan.
- Mulsa: Sebarkan kompos di permukaan tanah sebagai mulsa untuk mempertahankan kelembapan dan mengurangi pertumbuhan gulma.
- Pupuk Tambahan: Gunakan kompos sebagai pupuk tambahan saat tanaman mulai tumbuh untuk mendukung pertumbuhannya.
Tips Sukses Membuat Kompos
Untuk memastikan proses pengomposan dari sisa bumbu dapur berjalan lancar, berikut beberapa tips yang bisa Anda ikuti:
Variasi Material: Gunakan berbagai jenis sisa bumbu dan limbah organik untuk meningkatkan kandungan nutrisi kompos. Campurkan sisa sayuran, buah, dan daun kering.
Perhatikan Rasio Hijau ke Coklat: Idealnya, gunakan perbandingan 2:1 antara bahan hijau (sisa sayuran) dan bahan coklat (daun kering) untuk mencapai keseimbangan yang baik dalam kompos.
Bahan Berbahaya: Jangan memasukkan bahan-bahan seperti daging, produk susu, atau hindari limbah yang mengandung pestisida, karena bahan-bahan ini dapat menarik hama dan menyebabkan bau yang tidak sedap.
Pantau Suhu: Suhu tumpukan kompos dapat memberikan indikasi proses dekomposisi. Suhu ideal berkisar antara 55-65 derajat Celcius. Jika suhu terlalu rendah, aduk tumpukan untuk meningkatkan aerasi.
Manfaat Lingkungan dari Kompos
Selain manfaat langsung bagi kesuburan tanah, membuat kompos dari sisa bumbu dapur juga berdampak positif bagi lingkungan di sekitar rumah :
Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca: Dengan mengurangi jumlah limbah organik yang dikirim ke tempat pembuangan akhir, kita dapat menurunkan emisi metana yang dihasilkan dari dekomposisi anaerobik.
Mendukung Keanekaragaman Hayati: Menggunakan kompos dapat meningkatkan kesehatan tanah, yang pada gilirannya mendukung keanekaragaman hayati dalam ekosistem kebun.
Menghemat Sumber Daya: Dengan memanfaatkan sisa bumbu dapur, kita mengurangi kebutuhan pupuk kimia yang dapat merusak lingkungan.
Komunitas dan Pendidikan tentang Komposting
Mendorong pengomposan di tingkat komunitas dapat memberikan banyak manfaat. Beberapa langkah yang bisa diambil adalah:
- Lokakarya dan Pelatihan: Mengadakan lokakarya tentang cara membuat kompos dari sisa dapur untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan sampah organik.
- Program Sekolah: Mengintegrasikan pendidikan kompos ke dalam kurikulum sekolah untuk mengajarkan anak-anak tentang keberlanjutan dan pertanian organik.
- Kolaborasi dengan Masyarakat: Bermitra dengan kelompok lingkungan untuk mempromosikan pengomposan dan berbagi sumber daya.
Membuat kompos dari sisa bumbu dapur adalah langkah kecil yang dapat berdampak besar pada kesuburan tanah dan lingkungan. Dengan memanfaatkan limbah organik, kita tidak hanya meningkatkan kualitas tanah tetapi juga berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan. Mari kita mulai mengolah sisa bumbu dapur kita menjadi kompos yang berguna dan bersama-sama menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan subur.
*Penulis merupakan mahasiswa aktif Program Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
LINGKUNGAN
Pesantren Kauman Muhammadiyah Padang Panjang Tanam 80 Pohon di Puncak Gagoan, Wujudkan Pembelajaran Ekologi dan Sinergi dengan Masyarakat

DETAIL.ID, Solok – Sebanyak 80 santri dari Pesantren Kauman Muhammadiyah Padang Panjang yang tergabung dalam Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan (HW) melakukan penanaman pohon secara massal di Kawasan Puncak Gagoan, Kecamatan Solok, Sumatera Barat pada Minggu, 17/ Agustus 2025.
Kegiatan ini dihadiri oleh Dewan Penghela (DP) dan Dewan Kerabat (DK) HW, Badan Pembina Pesantren, serta Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumbar, sebagai bagian dari peringatan Hari Kemerdekaan RI dan implementasi kurikulum ekologi pesantren.
Sebanyak 80 pohon, terdiri dari durian dan pinang, diserahkan secara simbolis oleh perwakilan pesantren kepada Wali Jorong Baru, Koto Baru Tambak, Muhammad Hanafi.
Kegiatan ini bertujuan untuk mengedukasi santri tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam sekaligus menguatkan kontribusi nyata lembaga pendidikan dalam isu lingkungan, sebelum ditanam di lahan yang rawan erosi tersebut.
“Ini adalah bentuk link and match antara teori ekologi dalam kurikulum pesantren dengan aksi di lapangan. Pohon durian dan pinang dipilih karena nilai ekologis dan ekonomisnya untuk masyarakat,” ujar Mudir Pesantren Kauman, Dr. Derliana, M.A.
Wali Jorong Baru, Muhammad Hanafi, menyambut positif inisiatif ini, ia mengungkapkan, “Kami sangat berterima kasih kepada Pesantren Kauman Muhammadiyah dan para santri. Penanaman pohon ini tidak hanya mencegah longsor, tetapi juga bisa menjadi sumber penghidupan warga kedepannya. Semoga kerja sama seperti ini bisa berlanjut dengan program lainnya, seperti edukasi pengolahan hasil hutan.”
Hanafi juga berharap kegiatan ini memotivasi pemuda setempat untuk turut aktif menjaga lingkungan.
Dr. Bakhtiar, Ketua PWM Sumbar dalam sambutannya menekankan bahwa kegiatan ini sejalan dengan visi Muhammadiyah untuk pembangunan berkelanjutan.
“Pesantren tidak hanya mencetak ahli agama, tetapi juga generasi yang peka terhadap lingkungan,” katanya.
Kegiatan penanaman 80 pohon di Puncak Gagoan ini tidak hanya menjadi bentuk kepedulian terhadap lingkungan, tetapi juga menjadi bukti nyata komitmen Pesantren Kauman Muhammadiyah Padang Panjang dalam mengintegrasikan pembelajaran ekologi ke dalam kurikulum pendidikan. Kolaborasi dengan Badan Pembinaan Pendidikan (BPP) dan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumatera Barat semakin memperkuat dampak positif dari aksi ini.
Reporter: Diona
LINGKUNGAN
Optimalisasi Lahan Pekarangan Melalui Penanaman Tanaman Obat Keluarga (TOGA)
Oleh: Ayesa Windyana*

LAHAN pekarangan sering dianggap sebagai sumber daya yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Namun, dengan pendekatan yang tepat, lahan ini dapat digunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Tanaman obat keluarga adalah tanaman yang memiliki khasiat kesehatan dan dapat digunakan di lingkungan rumah tangga.
Dalam artikel ini, kita akan membahas pentingnya mengoptimalkan lahan pekarangan melalui analisis TOGA, manfaatnya, dan metode penerapannya.
Manfaat Tanaman Obat Keluarga Kesehatan
TOGA menawarkan alternatif pengobatan yang menyenangkan dan aman. Ada banyak obat herbal yang mampu mengobati berbagai penyakit ringan hingga sedang, seperti jahe untuk mengobati flu dan kunyit untuk mengobati peradangan.
- Ekonomi: Dengan mengikuti TOGA, kelompok dapat mengurangi biaya pembelian obat-obatan. Selain itu, jika hasil panen kurang baik, dapat dijual untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
- Lingkungan: Penanaman TOGA membantu lingkungan. Tanaman ini berpotensi meningkatkan kualitas udara, mengurangi polusi, dan mendukung keseimbangan ekosistem.
- Edukasi: Mengajarkan anak-anak tentang pentingnya kesehatan dan lingkungan merupakan manfaat lain dari TOGA. Mereka dapat mempelajari cara memanfaatkan tanaman dan memahami manfaatnya.
Jenis-Jenis Tanaman Obat Keluarga
Beberapa jenis tanaman obat keluarga yang banyak digunakan dan mudah dipahami di pekarangan antara lain:
- Jahe: Digunakan untuk meredakan gejala flu dan masalah pencernaan.
Misalnya, memiliki sifat anti-inflamasi dan dapat membantu meningkatkan sistem keseimbangan tubuh. - Daun Mint: Obat yang bermanfaat untuk sakit kepala dan masalah pencernaan.
- Lidah Buaya: Mengandung khasiat untuk perawatan kulit dan dapat digunakan sebagai obat luka.
Cara Mengoptimalkan Lahan Pekarangan
Berikut ada beberapa cara untuk mengoptimalkan lahan pekarangan, yaitu:
- Perencanaan: Area yang akan digunakan untuk mewakili TOGA. Area tersebut memiliki langit yang cerah dan akses udara yang baik.
- Pemilihan Tanaman: Pilih jenis tanaman berdasarkan kebutuhan kelompok dan kondisi tubuh. Faktor cuaca dan iklim setempat juga dipertimbangkan. Gunakan teknik penanaman yang efisien, seperti hidroponik atau vertikultur, untuk memaksimalkan penggunaan sumber daya. Ini sangat membantu jika lahan yang tersedia tidak terlalu bagus.
- Perawatan: Rutin melakukan perawatan seperti hama pengendalian, pemupukan, dan penyiraman. Tanaman pastikan menyediakan nutrisi yang ideal untuk pertumbuhan yang sehat.
- Pemanenan: Setelah tanaman selesai, berhentilah khawatir agar tidak mempengaruhi tanaman lainnya. Manfaatkan hasil panen untuk kebutuhan sehari-hari atau untuk dijual.
Tantangan Saat Penanaman TOGA
Meskipun memiliki banyak manfaat, penanaman TOGA juga memiliki beberapa kekurangan, seperti:
- Keterbatasan Pengetahuan: Banyak orang yang belum memahami cara memahami dan menggunakan TOGA dengan benar.
- Ketersediaan Lahan: Di daerah pedesaan, lahan pekarangan seringkali sangat miskin. Tanaman obat juga rentan terhadap serangan hama dan penyakit, yang dapat menurunkan hasil panen.
Saran untuk Memulai Penanaman TOGA
Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk memulai tanaman obat keluarga penanaman di pekarangan:
- Membuat Rencana Tanam: Terdapat penjelasan rinci lokasi untuk setiap jenis tanaman. Penempatan tanaman berdasarkan kebutuhan ruang tumbuh dan sinar matahari.
- Menyediakan Tanam Media : Gunakan pinggiran tanah dan kaya nutrisi. Untuk meningkatkan kesuburan tanah, campurkan kompos atau pupuk organik. Saat menggunakan panci, pastikan panci memiliki pelumas yang dapat mengalirkan air dengan baik.
- Mengidentifikasi Tanam Waktu: Ada jangka waktu yang cocok untuk menanam berdasarkan musim dan jenis tanaman. Beberapa tanaman lebih cocok untuk museum hujan, sementara tanaman lainnya lebih cocok untuk museum kemarau.
- Menggunakan Bibit atau Benih: Benih atau bibit bisa didapatkan dari sumber yang terpercaya. Pastikan bibit yang dirasa sehat dan bebas penyakit.
- Menerapkan Teknik Penyiraman yang Tepat: Penyiraman teratur, tetapi hindari menampung udara. Tanaman obat umumnya membutuhkan tingkat kelembapan yang tinggi, namun tidak berlebihan.
Memanfaatkan Hasil Panen
Setelah berhasil menyelesaikan TOGA, penting untuk memanfaatkan hasil penelitian dengan baik.
- Penggunaan Harian : Menggunakan obat herbal atau tanaman obat sebagai obat untuk meningkatkan kesehatan kelompok.
- Pengolahan: Beberapa tanaman dapat dibuat menjadi produk seperti teh herbal, salep, atau ekstrak yang dapat digunakan secara panjang.
- Pemasaran: Jika hasil panennya buruk, cobalah menjualnya di pasar lokal atau ke tetangga untuk mendapatkan harga yang bagus.
Penyuluhan dan Edukasi
Pentingnya edukasi dalam penelitian TOGA tidak dapat dilebih-lebihkan. Berikut beberapa cara untuk meningkatkan pemahaman Anda tentang TOGA:
- Lokakarya dan Instruksi: Ikuti lokakarya tentang penanaman dan perawatan tanaman obat keluarga.
- Terhubung dengan Komunitas: Bergabunglah dengan grup atau pecinta tanaman untuk bertukar pengalaman dan pengetahuan.
- Sumber Daya Online: Gunakan sumber daya online seperti video tutorial dan artikel untuk mempelajari informasi lebih mendalam tentang TOGA.
Optimalisasi pekarangan melalui keluarga tanaman obat merupakan solusi yang tidak hanya bermanfaat bagi kesehatan tetapi juga ekonomi dan lingkungan. Setiap kelompok dapat menggunakan sumber daya yang tersedia untuk mendukung TOGA dengan langkah-langkah yang tepat.
Melalui pengetahuan dan praktik yang baik, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan seimbang. Kita sedang memulai perjalanan ini dan akan mendapatkan manfaat besar dari tanaman obat keluarga dalam perjalanan kita. Salah satu cara yang pasti dan bermanfaat adalah dengan mengoptimalkan lahan pekarangan melalui tanaman obat keluarga. Keluarga dapat meningkatkan kesehatan, mengurangi pengeluaran, dan berkontribusi terhadap lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia.
Pengetahuan dan keterampilan memang diperlukan untuk mengatasi kendala yang ada, namun dengan dedikasi dan usaha maka manfaatnya akan sangat besar. Kami mulai menggunakan TOGA dalam kehidupan sehari-hari dan melihat manfaatnya bagi kesehatan dan kesejahteraan kami sebagai sebuah kelompok.
*Penulis merupakan mahasiswa aktif Program Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi