Connect with us
Advertisement

OPINI

Otoritarian dan Praktik Premanisme di Universitas Jambi

DETAIL.ID

Published

on

Premanisme

UNIVERSITAS sebagai tempat dilaksanakannya pendidikan tinggi adalah suaka bagi manusia intelektual di belahan bumi bagian mana pun. Sebab, dari sanalah cita-cita kebangkitan bangsa dimulai. Tepatnya saat di mana sebuah negara menyadari jika Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan komponen penting penunjang kemajuan.

Berangkat dari kesadaran tersebut, pembenahan mutu dan kualitas harus segera dipercepat, baik dari segi ‘hardware’ maupun ‘software’.

Dalam konteks kampus, hardware ialah segala macam fasilitas berupa gedung, lingkungan yang bersih dan tertata rapi, serta kelengkapan alat belajar lainnya. Seluruh komponen tersebut adalah langkah awal untuk menciptakan harmonisasi pendidikan bagi civitas academica.

Pasca rampung di bagian tersebut, prototipe mengenai software yang ideal dan relevan harus segera dirancang. Software ialah kaidah-kaidah yang mengatur jalannya kehidupan civitas di kampus. Kaidah tersebut tertuang dalam statuta masing-masing universitas yang biasanya merujuk pada PP Nomor 17 Tahun 2010 jo PP Nomor 66 Tahun 2010.

Di Universitas Jambi (Unja) sendiri, kaidah yang berlaku saat ini tertuang dalam Permenristekdikti Nomor 41 Tahun 2018 tentang Statuta Universitas Jambi. Di dalamnya tertulis aturan mengenai kehidupan civitas secara integral, termasuk hak-hak apa saja yang bisa didapat oleh mahasiswa.

Dalam pasal 91 ayat (2) poin J dinyatakan, mahasiswa berhak turut serta dalam kegiatan organisasi di lingkungan Unja. Hak berorganisasi ini juga telah diatur secara jelas dalam Kepmendikbud Nomor 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.

Secara substansi, hadirnya izin tersebut adalah upaya untuk meningkatkan kualitas intelektual civitas academica, terkhusus mahasiswa sebagai pemeran utama. Oleh karenanya ditegaskan dalam pasal 2 yang berbunyi, “Organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa.”

Maka, seluruh proses dinamika kehidupan kampus haruslah sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah berlaku dan ditetapkan.

Menarik Benang Kusut Problematika Organisasi Kemahasiswaan di Unja

Baru-baru ini khalayak ramai dengan perbincangan soal aksi premanisme di dalam zona intelektual kampus Unja. Usut punya usut, aksi premanisme tersebut dilakukan oleh sopir Wakil Rektor 3.

Menurut kronologi yang tersebar di berbagai media sosial, kejadian bermula saat sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Unja melakukan aksi unjuk rasa pada Jumat, 19 November 2021.

Aksi berjalan damai sampai salah seorang mahasiswa terlibat cekcok dengan pelaku premanisme (baca: sopir WR 3). Melihat adanya cekcok, Agustia Gafar selaku koordinator aksi langsung menghampiri dengan maksud untuk melerai.

Namun, tak disangka Gafar langsung mendapat perlakuan kasar. “Saya mendekat lalu baju saya, ditarik dan saya ditendang,” katanya seperti dilansir laman Tribun Jambi.

Aksi premanisme yang dilakukan tidak hanya sampai di sana, korban lain adalah mahasiswa bernama Azril. Dirinya dipukuli dan dijambak secara tiba-tiba saat hendak mendekati mobil WR III oleh pelaku yang sama.

Hal ini tentu saja menjadi preseden buruk yang menambah daftar kelam kegagalan demokrasi, bahkan di ruang-ruang intelektual semacam kampus. Label integritas yang tersemat seperti tak ada gunanya lagi, hanya stempel pelengkap yang menanti puji tanpa substansi.

Menarik persoalan lebih jauh, aksi unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa disebabkan oleh kesewenang-wenangan pihak birokrasi. Karena secara sepihak telah sengaja mem-Plt- kan BEM Unja tingkat universitas dan fakultas, melalui surat Rektor Nomor 2337/UN21/KM.05.03/2021.

Surat tersebut bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan organisasi mahasiswa di perguruan tinggi, tepatnya dalam pasal 2 Kepmendikbud No. 155 Tahun 1998. Karena keluar begitu saja tanpa adanya pelibatan atau bahkan sekedar pemberitahuan kepada pihak KBM Unja.

Ditambah lagi, surat instruksi untuk mengisi kekosongan BEM dengan Plt juga tumpang tindih dengan peraturan Rektor Universitas Jambi Nomor 4 tahun 2018 pasal (18) poin d yaitu;

MAM-Unja berwenang: mengusulkan pelaksana tugas Ketua dan Wakil Ketua BEM Unja kepada Rektor melalui Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan apabila terjadi pemberhentian Ketua dan Wakil Ketua BEM-Unja secara bersamaan dalam masa kepengurusan.

Kejadian semacam ini menjadi keprihatinan sendiri, karena intelektualitas telah memudar, bahkan kepudarannya diinisiasi oleh pimpinan tertinggi kampus.

Prof Sutrisno dan Gerbang Padamnya Demokrasi di Kampus

Sejak Prof Sutrisno menjabat sebagai rektor di tahun 2020 yang lalu, banyak pihak yang menaruh harap agar Unja semakin maju. Berbagai ekspektasi Unja bisa menjadi kampus dengan indeks riset terbaik dan proyeksi Unja SMART lainnya juga banyak ditunggu geliatnya di berbagai kancah level apa pun.

Namun ekspektasi tersebut tergerus di saat mulai memasuki tahun kedua dia menjabat rektor. Isu KKN dalam pemilihan Dekan dan Kaprodi serta perseteruan dengan mahasiswa membuat UNJA menjadi buah bibir banyak pihak.

Apalagi yang terbaru, polemik surat PLT BEM yang masih memanas sampai sekarang merupakan kasus baru yang benar-benar asing bagi mahasiswa, hingga akhirnya berujung pada konflik mahasiswa versus premanisme.

Selain cacat secara legalitas hukum, surat tersebut juga cacat dari segi etika dan moral. Alih-alih mendukung keberpihakan demokrasi bagi mahasiswa, justru yang terjadi malah penyalahgunaan jabatan yang dilakukan, dengan tanpa malu menandatangani surat keputusan pembentukan Plt BEM tanpa prosedur yang benar. Karena tidak melibatkan KBM di dalamnya, bahkan hanya untuk sekedar pemberitahuan saja tidak.

Kemelut yang mengancam keberlangsungan hidup demokrasi Unja saat ini, mengingatkan kembali dengan rekam jejak buruk kebijakan Sutrisno sebelumnya.

Melansir dari laman Metro Jambi, April 2021. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) RI sempat mendalami indikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang diduga telah dilakukan oleh Sutrisno terkait pemilihan sejumlah pejabat di kampus.

Bahkan, telah pula dilakukan pemeriksaan terkait laporan indikasi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), mal administrasi dan perbuatan melawan hukum dalam pemilihan Dekan Fakultas Hukum, Dekan Fakultas Peternakan dan Ketua Prodi periode 2021-2025.

Sutrino disoal karena menunjuk banyak pejabat berusia di atas 60 tahun. Penetapan tersebut dinilai sangat bertentangan dengan Pasal 43 ayat (2) huruf f Statuta UNJA.

Di antara yang disorot adalah Ketua Prodi S3 Ilmu Kependidikan Prof Ekawarna (66 tahun); Ketua Prodi S3 Ilmu Hukum Prof Sukamto Satoto (66 tahun);  Ketua Prodi S3 Ilmu Ekonomi Prof Johannes (61 tahun); Ketua Prodi S2 Pendidikan Ekonomi Prof Khairinal (67 tahun); dan Ketua Prodi S2 Teknologi Pendidikan Dr Suratno (61 tahun).

Melihat hal ini, timbul satu pertanyaan. Benarkah Sutrisno ingin melakukan pengulangan KKN yang sama, hanya saja untuk level yang bisa dibilang lebih remeh temeh, yaitu penguasaan BEM Unja secara tidak langsung melalui mahasiswa yang punya kepentingan sama.

Mahasiswa Versus Premanisme dan Kritik Terhadap Respons Birokrasi

Beralih ke dimensi lain, dari problematika yang terjadi, aksi premanisme di Unja juga tak lepas dari sorotan publik. Karena pada umumnya, sependek apa yang penulis ketahui, kampus adalah tempat paling aman untuk berlindung manakala demonstrasi mengalami benturan keras dengan aparat pemerintahan.

Tapi realitas yang terjadi hari kemarin benar-benar memprihatinkan. Pasalnya, aksi premanisme tersebut diamini dengan pongah oleh atasan pelaku (red: WR 3).

Melansir dari laman kumparan-jambikita.id, WR 3 Unja, Teja Kaswari menjelaskan kronologi kejadian tanpa ada itikad baik menyelesaikan persoalan. Dirinya justru malah membela sang sopir dan menuding mahasiswa tidak berakhlak.

“Mereka mengira saya bersembunyi di mobil itu. Mereka mengajar mobil itu kayak apa gitu. Saya ini Bapak mereka. Menurut saya mereka itu tak punya akhlak. Kalau mau ketemu, berdialog seperti sebetulnya,” katanya.

Ungkapan Teja tersebut justru bersifat kontradiktif. Jika memang dirinya merasa sebagai ‘Bapak’, yang harusnya pertama kali dilakukan adalah mengecek kondisi mahasiswa korban pemukulan, bukan justru membela pelaku.

Setelah 24 jam kejadian menurut keterangan korban, tidak ada itikad baik dari birokrasi, terutama WR 3 untuk mengkonfirmasi ataupun membuka ruang komunikasi. Hal ini jelas bertentangan dengan ungkapannya sendiri yang mengaku sebagai Bapak.

Lebih parah lagi, Teja menegaskan jika rektor tidak bisa mencabut surat keputusan terkait Plt BEM. Dirinya mengklaim akan bertindak secara demokratis terkait persoalan tersebut.

Namun lagi-lagi, pertanyaan Teja agaknya benar-benar menyimpang dari prinsip dan asas demokrasi itu sendiri, yaitu keterbukaan. Sebab dari keterangan yang penulis dapat, Rektor selaku pimpinan tertinggi tanpa alasan yang jelas telah memblokir kontak WA Agustia Gafar, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Majelis Aspirasi Mahasiswa (MAM).

Padahal menurut Gafar, dirinya hanya sekadar menanyakan perihal bantuan UKT yang belum juga turun menjelang akhir semester.

 

*mahasiswa Universitas Jambi

OPINI

Sibuk Merayakan Maulid, Lupa Meneladani Amanah Rasulullah

Oleh: Naz*

DETAIL.ID

Published

on

SETIAP tahun, suasana Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selalu dirayakan dengan gegap gempita di berbagai daerah. Namun, ada ironi besar di balik semua itu. Semangat merayakan hari lahir Rasulullah sering kali hanya berhenti pada simbol, tidak menembus ke substansi.

Rasulullah SAW bukanlah figur yang gemar pada kemewahan perayaan. Beliau diutus membawa risalah kebenaran, menegakkan amanah, kejujuran, dan keadilan. Yang beliau wariskan bukanlah seremonial kosong, melainkan teladan akhlak mulia yang seharusnya menjadi pedoman para pemimpin umat, termasuk pemimpin daerah kita.

Padahal, inti dari peringatan Maulid bukanlah sekadar mendengar ceramah atau memajang baliho besar gambar Kepala Daerah di masjid. Inti Maulid adalah meneguhkan kembali teladan Rasulullah:

1. Amanah dalam kepemimpinan;
Rasulullah menunjukkan bahwa jabatan adalah titipan, bukan alat memperkaya diri atau keluarga. Kepala daerah hari ini mestinya meneladani itu, memastikan setiap rupiah APBD digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk memperbesar rekening pribadi.

2. Kejujuran dalam setiap kebijakan;
Rasulullah tidak pernah berbohong meski dalam perkara kecil. Pemimpin seharusnya berani berkata jujur pada rakyat: tentang kondisi keuangan daerah, tentang keterbatasan, bahkan tentang kegagalan. Bukan malah menutup-nutupi dengan angka manipulatif demi pencitraan.

3. Kesederhanaan hidup;
Rasulullah hidup sederhana, bahkan ketika memiliki peluang untuk kaya raya. Sedangkan para kepala daerah kita sering kali larut dalam gaya hidup mewah: mobil dinas berderet, perjalanan dinas berulang, pesta perayaan digelar besar-besaran, sementara rakyat kecil masih kesulitan biaya pendidikan dan kesehatan.

Jika para kepala daerah benar-benar ingin menjadikan Maulid sebagai momen penting, seharusnya mereka tidak hanya sibuk di atas panggung, tapi juga menjadikan amanah dan kejujuran sebagai kompas kepemimpinan sehari-hari. Tidak ada artinya mengeluarkan kata-kata manis tentang Rasulullah jika kebijakan yang diambil justru menyengsarakan rakyat.

Rasulullah pernah bersabda bahwa sebaik-baik pemimpin adalah yang paling dicintai rakyat karena keadilannya, dan seburuk-buruk pemimpin adalah yang dibenci rakyat karena kezalimannya.

Pertanyaannya: apakah kepala daerah hari ini sudah berada di jalan yang benar? Ataukah mereka hanya menumpang nama Rasulullah untuk memperindah citra di depan rakyat?
Maulid seharusnya menjadi alarm moral: jangan sibuk dengan perayaan tapi lalai dari keteladanan.

Jadikanlah Rasulullah sebagai teladan dalam kejujuran, jadilah pemimpin yang Al-Amin bukan yang Al-Korup. Sebab, yang paling dibutuhkan rakyat bukanlah panggung megah dan sambutan panjang, melainkan pemimpin yang benar-benar meneladani sifat Al-Amin, Amanah, Jujur, dan Adil.

*Pengamat sosial dan politik, tinggal di Jambi

Continue Reading

OPINI

PETI Dicaci, PETI Pemberi Rezeki: Siapa yang Ditumbalkan?

Oleh: Daryanto*

DETAIL.ID

Published

on

FENOMENA Penambangan Emas Tanpa Izin (Peti), bukanlah terjadi baru-baru ini saja. Sejak transmigrasi masuk, sudah banyak bekas galian PETI di sepanjang lokasi yang dijadikan perkebunan. Seperti yang terjadi di Kecamatan Renah Pamenang, Pamenang Selatan misalnya, bekas galian para warga yang mencari butiran emas bisa disaksikan secara kasat mata. Hanya saja cara mereka awalnya hanya mengunakan dulang atau alat tradisional yang digunakan untuk memisahkan butiran pasir dan buliran emas, cara mereka menggalinya pun mengunakan alat sederhana seperti linggis.

Namun memasuki tahun 2010, aktivitas PETI berubah total, dari yang awalnya tradisional, berubah mengunakan mesin dan merambah mengunakan alat berat sampai sekarang.

Tapi diakui atau tidak, di Provinsi Jambi, aktivitas peti khususnya di Jambi Wilayah Barat, seperti Tebo, Muara Bungo, Merangin, dan Sarolangun aktivitas PETI terus terjadi, namun pola-pola yang dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan emas dilakukan dengan tiga cara, seperti dompeng darat, lanting, dan menggunakan box

Dompeng darat, biasanya oknum masyarakat mencari emas menggunakan alat berat dengan cara mengali tanah dengan kedalam tertentu, dibantu dua mesin penyedot air dan mesin penyedot batu dan mampu menampung sampai delapan tenaga kerja, dengan kelebihannya setelah ditambang bisa direklamasi ulang dan bisa ditanami kembali.

Berbeda dengan dompeng lanting, biasanya masyarakat mengunakan rakit buatan yang dilakukan di dalam sungai, dengan cara menyedot batu dan pasir di dalam sungai dengan dua mesin yang biasanya dilakukan oleh tiga tenaga kerja, Terkadang pasir yang disedot dimasukan kembali ke sungai sehingga membuat aliran sungai menjadi dangkal.

Lain halnya PETI menggunakan alat berat yang bekerja, mengambil pasir dan batu menggunakan baket alat berat kemudian dimasukan dalam alat box, dan biasanya ada dua sampai tiga pekerja yang melakukan pekerjaan secara terus menerus di bantaran aliran sungai sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang cukup parah dan susah untuk direklamasi ulang.

Tentu ada hal yang menarik dari tiga katagori PETI yang sering dilakukan oleh warga, Bagaimana pengunaan merkuri atau logam berat. Dari pantauan penulis, masyarakat yang beraktivitas PETI rata-rata mengunakan logam berat untuk memisahkan emas dari pasir hitam dengan cara memasukan ke dalam ember, kemudian diaduk di satu tempat agar logam berat tidak terbuang lalu di peras mengunakan kain tipis untuk memisahkan emas dan logam berat, atau bagi masyarakat pendompeng mengenalnya dengan istilah “ngepok”, setelah terpisah air tak tadi dimasukan ke dalam botol untuk bisa dipergunakan lagi.

Lalu kemana para pemain petugas menjual hasilnya? Banyak di sejumlah tempat yang biasa menampung hasil PETI, ada pemilik modal yang bekerja sama dengan cara main “DO”, dengan sistem pembelian yang berbeda dengan harga toko emas, dan ada juga yang langsung menjual lepas ke penadah emas dengan harga yang lebih tinggi di banding pemilik “DO”. Tak perlu harus menelisik toko emas mana yang menjadi langganan pelaku PETI menjual hasilnya dan “aman dari pengamatan petugas” dan sudah jadi pengetahuan umum masyarakat Merangin.

Dari sisi ekonomi, bagi sebagian masyarakat, kerja di Penambangan Emas Tanpa Izin tentu sangat menjanjikan, sebab banyak masyarakat yang tertolong dari pinjaman pinjol, tagihan angsuran bank, angsuran kredit motor dan biaya anak sekolah, belum lagi bagi oknum NGO, oknum organisasi profesi, institusi tertentu, yang sering mendapatkan rezeki dari para pemilik mesin dompeng, walaupun hanya sekedar berbasa-basi dengan pemilik PETI.

Lalu bagaimana PETI yang sudah terjadi puluhan tahun tetap berlangsung sampai saat ini? Meskipun sudah banyak pekerja PETI yang tertangkap dan dipenjara, apakah ada efek jera?

Bagi sebagian kecil pekerja pasti dapat efek jera, sebab hanya pekerja saja yang jadi tumbal dan jarang pemilik dan pemodal PETI yang tertangkap. Namun fakta di lapangan bisa dilihat hari ini dirazia aparat keamanan berhenti bekerja, besok pasti sudah bekerja lagi demi tuntutan kebutuhan perut.

Terkadang ada juga faktor x yang berpengaruh, agar saat razia terkesan ada hasil, di lokasi tertentu para pemilik alat berat dan dompeng bisa berkoordinasi dengan baik dengan para oknum, maka sudah pasti akan selamat, tetapi jika di satu wilayah para pemain alat berat dan pemilik dompeng di anggap “pelit”, dan sering masuk pemberitaan bisa dipastikan bakal ada yang kena, dan ini fakta yang terus menerus terjadi.

Mari kita lihat bagaimana peran penting PETI yang dicaci tetapi membawa rezeki. PETI tidaklah akan berjalan sampai hari ini jika bahan bakar distop dari hulunya, tetapi ada fakta lainnya yang tidak bisa dipisahkan, ibarat PETI adalah gula manis, tentu banyak jenis semut yang mendekati untuk mendapatkan rasa manisnya.

Siapa yang berani menjual bahan bakar PETI seperti solar subsidi dalam jumlah besar jika bukan ada oknum aparat keamanan yang bermain? Pemandangan antrian solar subsidi pasti mengular di sejumlah SPBU di Merangin yang menyediakan bio solar, banyak cara dilakukan dengan mengisi berkali kali dengan nomor barcode yang berbeda beda, lalu hasil antrian solar sudah pasti sudah ada pembeli yang dijual ke lokasi PETI. Lalu kenapa PETI bisa sebagian aman saat dirazia dan sudah bocor duluan saat didatangi ke lokasi, sudah bisa diduga ada oknum aparat keamanan yang pasti ikut mendapatkan bagian dari kegiatan ilegal tersebut, dan bahasa sederhananya adalah mendapatkan “bulanan” per alat berat di setiap wilayah di Merangin pasti berbeda beda nominalnya.

Lalu ada peran Pemerintah Daerah yang tidak mau kehilangan cara, dengan menerbitkan surat edaran Kepala Daerah yang ditujukan kepada perangkat pemerintahan kecamatan hingga level desa untuk tidak terlibat PETI, apalagi Kades merupakan pemangku adat di desanya.

Situasi ini tentunya mudah disampaikan tapi sulit dikerjakan. sebagian besar masyarakat di Merangin sudah puluhan tahun banyak yang bekerja dan menggantungkan hidup di sektor “per-PETI-an” , dan saat pemerintah menghimbau tidak melakukan aktivitas PETI tetapi sayangnya edaran tersebut tidak disertai solusi konkrit yang bisa dikerjakan masyarakat agar bisa beralih ke pekerjaan lainnya selain kerja PETI.

Jikalau mau dan serius dalam memberantas PETI, Pemerintah Daerah wajib membentuk Tim Terpadu untuk melakukan kerja sama dan secara serius mencarikan solusi agar masyarakat bisa mendapatkan pilihan pekerjaan selain PETI, dan berani tegas untuk menindak semua oknum aparat keamanan yang berani menjual BBM kepada para pelaku PETI, tidak menerima uang bulanan, dan sama-sama mengawal kebijakan soal wilayah pertambangan rakyat, bagaimana izin pertambangan rakyat bisa didapatkan, sehingga tidak ada lagi cara-cara ilegal untuk mendapatkan uang demi kebutuhan hidup masyarakat banyak.

Seperti kaga pepatah, jika air keruh di hilir tengoklah dari hulunya.

Salam santun.

*Penulis adalah wartawan DETAIL.ID yang tinggal di Kabupaten Merangin.

Continue Reading

OPINI

Pembangunan Stockpile Batu Bara dan Penolakan Warga: Ujian Serius Bagi Pemerintah

Oleh: Eko Saputra S. Lumban Gaol, SH*

DETAIL.ID

Published

on

PEMBANGUNAN stockpile batu bara di Kelurahan Aur Kenali, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi, telah memicu gelombang penolakan besar. Warga menilai proyek ini bukan sekadar persoalan teknis perizinan, tetapi ancaman langsung terhadap keselamatan, kesehatan, dan hak hidup mereka.

Provinsi Jambi selama ini menjadi salah satu lumbung batu bara nasional. Namun, di balik sumbangan devisa, masyarakat justru menanggung dampak: jalan rusak akibat truk over tonase, kemacetan kronis, polusi udara yang memicu penyakit, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas yang berujung korban jiwa. Terakhir, pembangunan stockpile batu bara di tengah pemukiman padat semakin memperparah beban masyarakat.

Pemerintah Harus Memihak Rakyat

PT Sinar Anugerah Sukses (SAS), pemilik IUP ±1.273 hektare di Sarolangun, mengklaim memiliki izin sah untuk membangun stockpile sekaligus pelabuhan pengangkutan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan minimnya keterbukaan:

  • Tidak ada sosialisasi yang layak bagi warga terdampak.
  • Lokasi di jantung pemukiman yang rawan banjir, macet, dan polusi.
  • Dugaan pelanggaran tata ruang dan peruntukan lahan.

Penolakan pun meluas, para aktivis lingkungan, mahasiswa, pemuda, hingga warga sekitar menegaskan ketidaksetujuan mereka. Bagi masyarakat, proyek ini bukan peluang ekonomi, melainkan ancaman hidup.

Klaim PT SAS soal kepatuhan izin tak bisa menjadi tameng. Pemerintah dari pusat hingga kota dituntut berhenti bersikap pasif. Jika izin memang diberikan, prosesnya perlu diaudit terbuka. Bila memang menyalahi RTRW atau mengancam keselamatan warga, pencabutan izin atau relokasi harus menjadi langkah tegas.

Just Transition Bukan Sekadar Konsep

Transisi energi yang adil (Just Transition) adalah pendekatan yang menekankan perlunya transisi energi yang adil, inklusif dan adil untuk semua pihak. Di Aur Kenali, Just Transition menjadi satu hal yang prinsip, tidak ada pembangunan yang mengorbankan kesehatan, keselamatan, dan ruang hidup warga yang mengatasnamakan investasi dan keuntungan segelintir perusahaan.

Penolakan warga Aur Kenali adalah peringatan keras bahwa investasi tak boleh menindas hak masyarakat, tapi seyogyanya mendorong transisi energi dan ekonomi yang adil, dengan memastikan tidak ada yang tertinggal.

Pemerintah wajib hadir sebagai pelindung rakyat, bukan sekadar pemberi izin. Tanpa keberpihakan tegas, pembangunan stockpile batu bara hanya akan meninggalkan luka sosial dan ekologis yang dalam.

*Warga RT 014/002 Desa Mendalo Darat, mahasiswa Pascasarjana Universitas Jambi dan Ketua DPC FSB NIKEUBA Muarojambi

Continue Reading
Advertisement Advertisement
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs