DUNIA maya menjadi ruang terbuka bagi siapa saja untuk berekspresi. Namun sayangnya, tidak semua orang mampu mempergunakannya dengan bijak. Cacian, makian bahkan perundungan tak segan terlontarkan oleh liarnya jemari. Perangkat yang sering disebut telepon pintar (smartphone) tidak dikendalikan oleh orang yang cukup smart.
Fenomena ini sesungguhnya sudah cukup lama terjadi. Banyak yang sudah lupa akan etika. Banyak yang tak lagi peduli dengan budi pekerti. Kalau boleh mengutip pernyataan dari seorang psikolog, memang benar, ternyata penyebab salah satunya ialah kurangnya literasi. Hal Ini disebut Oktina Burlianti dalam artikel yang pernah dimuat oleh Liputan6 tahun lalu, 26 Mei 2021.
Beliau juga bilang, “Ada penelitian yang menarik kenapa orang bisa menjadi sangat agresif di media sosial. Salah satunya, orang-orang seperti ini memang memiliki karakter sadistik, antisosial, atau orang yang kesulitan dalam membangun relasi,” ujar Oktina.
Kalau memang benar, berarti permasalahannya lebih kompleks lagi. Bukan lagi soal etika yang hilang. Tapi juga permasalahan kejiwaan yang akut.
Saya berprofesi sebagai Jurnalis, tugas saya menulis berita. Menyajikan informasi yang dihimpun dari berbagai narasumber. Terkadang ada informasi yang sudah tersedia di permukaan, kadang butuh usaha lebih untuk dapat menjadikan itu tersaji dengan baik.
Selain berusaha menjaga etika jurnalistik dalam menuliskan berita, saya juga berusaha menjaga etika dan norma sosial yang berlaku. Terutama saat menghadapi narasumber, tak jarang pula justru mendapat perlakuan sebaliknya. Selagi tidak menimbulkan ancaman, tidak ada masalah tentunya.
Kembali ke soal “kebebasan berekspresi”. Sering saya menjumpai pandangan narasumber yang berseberangan dengan pandangan pribadi saya. Meski demikian, saya tetap menuliskannya. Saya tetap berlaku professional dan menghargai pandangannya. Jika saya tak sepakat, maka caranya tinggal menuliskan opini saya. Tulisan balas dengan tulisan, gitu aja kok repot!
Banyak netizen merasa bisa mengatakan apapun yang ia suka tanpa diketahui oleh target bully, bahkan perkataan kasar dan tidak pantas seperti kebun binatang, penghinaan, mengutuk, dan lain-lain. Perkataannya straight to the point, tanpa di-filter, karena merasa ia berhak melakukannya dan aman.
Seperti baru-baru ini, saya dan teman saya mewawancarai seorang profesor. Kami mempertanyakan kondisi keluhan petani sawit yang TBS-nya dihargai murah oleh pengepul alias toke. Dengan harga yang mereka dapat tentunya berdampak ke potensi inflasi dan kredit macet.
Ia mengungkapkan bahwa petani kecil yang menjual ke pengepul itu seharusnya dapat mengatur keuangan lebih baik. Dalam pernyataannya ia memang menyebutkan angka titik impas untuk menghasilkan 1 kilogram TBS. Menurutnya, petani jangan sampai belanja barang yang tidak dibutuhkan apalagi dengan cara kredit. Ia mengarahkan agar petani membelanjakan uangnya ke sektor yang lebih produktif. Baik itu perluasan produksi, investasi atau sektor usaha lain.
Lagi-lagi, sayangnya netizen tak membaca utuh. Jangankan isi pernyataannya menyeluruh. Di judul saja, kebanyakan hanya membaca angka. Lalu bersuka-ria melontarkan beberapa kalimat yang tak semestinya. Tak sepaham dengan angkanya tak masalah, barangkali sepaham dengan konteks pesan yang ingin disampaikan. Maka bacalah hingga tuntas!
Selain tak tuntas. Netizen juga banyak yang berkarakter “ngeyel”, Padahal cuma saran kan? Ada yang dengan ketus berkomentar, “Suka-suka gue dong, mau kredit apa aja. Mau menikmati hasil kerja keras sendiri kok gak boleh”. Tapi anehnya, di saat harga sedang hancur dan anjlok mereka pun mengeluh ke sana ke mari.
Mestinya, kita semua bisa lebih bijak dong di media sosial. Tidak sepakat itu biasa, tapi ungkapkan dengan cara-cara yang etis. Bebas harus bertanggungjawab. Dan kebebasan pun harus menghargai hak orang lain pula. Jangan sampai kebebasan kita mengganggu kebebasan orang lain.
*Penulis merupakan jurnalis Detail.id
Discussion about this post