DETAIL.ID, Jambi – Petani sawit di Indonesia masih berketergangungan berat pada parik. Akibat Ketergantungan yang besar tersebut, tak jarang pula petani terdampak permainan harga oleh sejumlah pabrik nakal.
Hal tersebut dininai merupakan persoalan krusial oleh salah satu aktivis lingkungan asal Jambi, Feri Irawan. Tata kelola petani sawit yang tidak baik habis disoroti olehnya.
“Tata kelola petani sawit di Indonesia itu buruk yang dilakukan oleh negara, kenapa? Karna ketika Presiden mencoba untuk melarang ekspor, yang korban siapa? Petani,” kata Feri Irawan, Aktivis lingkungan yang pernah bermain film Kinipan itu, Rabu 1 Juni 2022.
Artinya apa, kata Feri, tata kelola petani soal sawit di Indonesia inikan buruk, dan itu yang harus diperhatiin. Coba cek berapa sumbangan dana BPDPKS dan pajak ekspor itu dikenakan kepada grup-grup perusahaan besar bandingkan dengan dana yang kembali ke petani.
Ketergantungan yang besar para petani sawit terhadap pabrik diyakini oleh Feri sebagai persoalan yang harus segera pemerintah pikirkan solusi. Bukan tanpa alasan, bagi Feri bicara sawit bukan hanya soal TBS yang harusnya dihargai oleh pabrik. Ada banyak, melimpah produk turunan yang bisa diolah dari TBS produksi petani.
“Sekarang itu, petani tergantung total sama pabrik. Dia hanya memproduksi TBS, panen trus dijual buahnya lewat tengkulak atau langsung ke pabrik. Sementara di pabrik hasilnya itu tidak hanya buah. Ada banyak produk turunan, dari mulai karnel, cangkang, sampai limbah. Coba cek izin pabrik itu hanya izin CPO mas pajaknya,” ujar Feri.
“Trus bagaimana dengan limbah yang katanya cangkang, udah kernel, jangkos. Berapa turunan yang dipabrik itu sekarang? Banyak. Siapa yang dapat hasilnya, ga ada petani. Petani hanya jual buah,” lanjut Feri.
Untuk mengakhiri kesemerawutan tata kelola sawit, menurut Feri pemerintah harus mulai berfikir agar perusahaan-perusahaan negara yang bersinggungan dengan Sawit segera mendirikan pabrik pengolahan TBS di berbagai daerah.
Atau pemerintah harus memfasilitasi, agar bagaimana masyarakat di berbagai daerah sentra sawit di negeri ini mampu mendirikan pabrik pengolahan minyak goreng mini.
“Coba kalau pemerintah itu bikin pabrik minyak goreng mini misalnya kapasitas 1 – 4 ton untuk kebutuhan 1 kampung. Cek kebutuhan migornya berapa, jual murah. Cek harga disbun lebihkan sedikit. Gituloh kalau mau berpikir soal UMKM,” katanya.
Coba bayangkan kalau turunannya itu, kata Feri, masyarakat bisa menghasilkan sampai CPO atau minyak goreng. Inikan pasti juga berkembang selagi pemerintah mendukung. Kalau masyarakat sudah bisa produksi lebih dari TBS, itu baru namanya timbul masyarakat. Jadi petani tidak lagi cuman menjual TBS tapi sudah bisa jual minyak goreng atau produk turunan yang lain.
Discussion about this post