LINGKUNGAN
Berkedok Energi Terbarukan, Walhi Jambi Ungkap Tata Kelola Buruk 2 Perusahaan Ini
DETAIL.ID, Jambi – Proses pengolahan Energi Baru Terbarukan (EBT) biomassa untuk diolah jadi energi listrik ternyata tak luput juga dari sejumlah persoalan, pada akhirnya masih banyak dampak buruk yang harus diderita oleh sejumlah masyarakat.
Di Provinsi Jambi misalnya, imbas ambisi pemerintah pusat yang menarget pemanfaatan EBT sebesar 23% hingga tahun 2025 sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Perpres No 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional.
Terdapat 2 korporasi swasta yang turut mengembangkan potensi EBT di Jambi yakni, PT Hijau Arta Nusantara (HAN) perusahaan yang bergerak di sektor HTI itu juga melakukan ekspansi bisnis pengembangan tanaman biomassa.
Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh Walhi Jambi belum lama ini, terungkap fakta lapangan bahwa sejumlah perusahaan yang ambil momentum dalam program EBT pemerintah pusat telah mengabaikan sejumlah praktek tata kelola yang baik.
Berdasarkan pemaparan Gresi Plasmanto, salah satu tim riset Walhi Jambi yang turun melakukan investigasi ambisi EBT di Provinsi Jambi dua, 2 korporasi besar pengembangkan potensi EBT di Jambi macam PT HAN di Kabupaten Merangin dan anak usaha grup Asian Agri PT Inti Indosawit Subur (IIS) di Kabupaten Tanjungjabung Barat.
Terungkap sejumlah hal yang mengejutkan. Dari izin lokasi seluas 32.620 hektare, PT HAN diketahui mengalokasikan 2001 hektare untuk pengembangan tanaman sengon guna jadi bahan baku dalam bentuk biomassa sampai pada akhirnya dapat menghasilkan energi listrik.
“Nah, dalam mengolah biomasa ini yang dilakukan perusahaan yaitu dengan menebang kayu alam. Setelah itu land clearing, lalu menanam sengon. Inilah yang nantinya dijadikan sebagai bahan baku biomasa. Jadi pembangkit listrik selain menggunakan batu bara juga menggunakan capuran dari kayu,” kata Gresi Plasmanto, Kamis 7 Juli 2022.
Selanjutnya, Gresi menjelaskan, tim kami melihat dari sektor hulunya ya bagaimana, apa yang dilakukan perusahaan itu dalam penyediaan bahan baku biomassa. Terutama kita memotret dari data ekologi sosialnya. Sampai ke hikirnya, karena berbicara energi terbarukan, hilirnya tentu harus dipastikan bersih.
“Jangan sampai perusahaan yang mengembangkan energi terbarukan seperti ini malah merusak lingkungan gitu,” ujar Gresi.
Bukan tanpa sebab, kata Gresi, hasil temuan yang dilakukan oleh tim riset Walhi ternyata PT HAN hanya menebang kayu alam. Ini bisa lihat, lewat anasisis geospasial. Menurut dia, areal PT HAN kini telah mengalami ketimpangan tutupan pepohonan yang sudah sangat mengerikan.
“Kalau temuan kita di lapangan, perusahaan ini memang sudah mengalami deforestasi semenjak beberapa tahun lalu. Hutan tadi yang dulunya sebagai tempat penyimpanan air, diganti jadi untuk lahan produksi sengon,” katanya.
Gaya PT HAN yang dinilai hanya fokus pada pembukaan kawasan hutan juga telah jadi sorotan Dishut karena realisasi penanaman sengon yang minim, dari alokasi lahan seluas 20.001 hektare tadi diperoleh informasi lahan produktifnya hanya berkisar 100 hektare.
Soal realisasi yang masih kecil ini, Gresi mengungkap jika Dinas Kehutanan Provinsi Jambi sebenarnya sudah ada hasil audit. Bahwasanya Dishut menyatakan, jika di lokasi konsesi PT HAN melakukan penanaman tidak sesuai target.
“Dan untuk pembibitan sengon, sendiri belum banyak ditanam. Karena banyak pegawai yang dirumahkan,” ujar Gresi.
Akibat sejumlah persoalan tersebut, tim riset Walhi itu menilai proyek Energi Baru Terbarukan di Jambi masih jauh panggang dari api. Realisasinya masih sedikit, sementara dampaknya bagi desa-desa sekitar sudah teramat banyak. Kehadiran perusahaan disebut tidak memberikan kontribusi positif terhadap masyarakat desa sekitar.
Tak berhenti disitu, tim riset Walhi juga menyoroti kondisi proyek EBT anak usaha Grup Asian Agri yani PT Inti Indosawit Subur (IIS) di Merlung, Kabupaten Tanjungjabung Barat juga tengah menjalankan proyek biomassa dengan kapasitas 2,2 Megawatt.
Daya yang bersumber dari olahan Biomassa tersebut konon dipergunakan untuk melistriki pabrik dan beberapa rumah di sekitar perusahaan.
Namun, hal tersebut harus dibayar mahal dengan bencana banjir yang kerab melanda masyarakat desa Tanjung Paku itu. Sebab ekosistem rawa di sekitar desa kini telah disulap menjadi kebun sawit oleh PT IIS.
“Ekosistem rawa, namun ditimbun untuk tanaman sawit. Dari situ setiap kali turun hujan ada belasan rumah, fasilitas ibadah jadi genangan banjir. Tinggi banjir bisa mencapai sepaha orang dewasa,” kata Gresi.
Tak hanya itu persoalan yang dihadapi, masyarakat dengan PT IIS kini juga diketahui sedang berkonflik dengan PT IIS, masyarakat desa Tanjung Paku menuntut lahan seluas kurang lebih 110 hektare yang sedang dikuasai PT IIS.
Dengan peralihan bahan menjadi hutan tanaman energi saat ini, dikhawatirkan akan semakin mendorong terjadinya deforestrasi.
“Karna kalau kita lihat sesuai saat ini ada 52 lokasi PLTU yang akan digenjot dengan skema co-firing atau pencampuran produk biomassa. Proyeksi kebutuhan untuk biomasa ini semakin besar, mencapai sekitar 10,2 juta, artinya kalau bisnis ini terus digenjot, bahan bakunya semakin meningkat, tentu akan semakin mendorong untuk perluasan lokasi hutan tanaman energi tadi,” katanya.
“Kami pikir niatnya bagus, kita akan beralih ke energi fosil dan berlaih ke energi ramah lingkungan seperti biomassa dan biogas tadi tapi dalam pengolahannya masih terjadi hak-hak yang justru masih merusak lingkungan kita tentu mau seperti ini,” ujarnya menambahkan.
Sementara itu Direktur Walhi Abdul dalan rilis resmi Walhi bertajuk “Solusi Palsu Korporasi Dibalik Agenda Program Energi Baru Terbarukan di Jambi” meyampaikan proyek energi terbarukan di Provinsi Jambi tengah berada di tepi jurang.
“Keterlibatan korporasi dalam mendorong energi baru terbarukan, saat ini berada di tepi jurang yang curam. Karena sangat sulit mendapatkan entitas perusahaan yang memiliki niat dan praktik tata kelola yang baik, dengan memastikan hak-hak masyaraakat lokal tidal diabaikan dan keberlabjutan lingkungan hidup tidak dilanggar,” kata Direktur Walhi Jambi, Abdullah.
Reporter: Juan Ambarita
LINGKUNGAN
Izin Belum Lengkap, DLH Hentikan Sementara Operasional Stockpile Batu Bara PT GSB
DETAIL.ID, Jambi – Aktivitas stockpile batu bara PT Gelora Sukses Bersama (GSB) di Tenam, Batanghari ditutup sementara oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jambi. Penutupan sementara disebut ikhwal perizinan yang belum lengkap oleh PT GSB.
Menurut Kabid Penaatan DLH Provinsi Jambi, Budi Hermanto, awalnya pihaknya mendapati laporan masyatakat soal keberadaan stockpile yang belum dilengkapi oleh perizinan lingkungan tersebut. Tim PPNS PPLH lantas turun ke stockpile PT GSB dan melakukan penutupan pada Rabu, 17 Desember 2025.
Menurutnya sanksi penutupan sementara sejalan dengan amanat UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah No 21 tahun 2022 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Ada informasi, pengaduanlah. Setelah kita verifikasi ke lapangan ternyata memang ada stockpile. Kita turun ke situ PPNS PPLH, ternyata mereka belum bisa menunjukkan dokumen, intinya dokumen persetujuan lingkungan dan dokumen pengelolaan air limbah,” ujar Budi pada Jumat, 19 Desember 2025.
Budi juga mengkhawatirkan bahwa aktifitas stockpile PT GSB bakal berujung pada pencemaran lingkungan sekitar. Hal tersebut kemudian berujung pada penutupan sementara stockpile PT GSB.
Artinya, kata Budi, perusahaan perlu menyelesaikan dulu segala perizinan lingkungan untuk kemudian bisa kembali beroperasi secara legal.
“Kalau cepat mereka menyelesaiakan perizinannya, ya cepat (operasional diizinkan). Cuman ini akan tetap dilakukan sanksi penindakan administratif,” katanya.
Reporter: Juan Ambarita
LINGKUNGAN
Bocor! Minyak dari Gudang BBM Ilegal PT Kerinci Toba Abadi Cemari Lingkungan Sekitar
DETAIL.ID, Jambi – Gudang BBM ilegal di Kota Jambi lagi-lagi menuai sorotan. Kali BBM meluber dari gudang BBM PT Kerinci Toba Abadi (KTA) yang terletak di kawasan Rt 10, Pal Merah pada Senin, 15 Desember 2025 sekira pukul 00.00 WIB.
Entah bagaimana ceritanya BBM yang bersumber dari gudang ilegal tersebut mengalir ke saluran drainase sekitar, beruntung tidak terjadi kebakaran. Pantauan awak media di lokasi pada Senin siang, 15 Desember 2025, bau solar menyengat di sekitaran gudang.
Tim kepolisian tampak sudah memasangi garis polisi di sekitar gudang. Sementara kondisi gudang tampak sepi, tanpa aktivitas.
Soal insiden di gudang BBM Ilegal PT KTA tersebut, Kasat Reskrim Polresta Jambi Kompol Hendra Manurung dikonfirmasi lewat pesan WhatsApp belum ada respons.
Sementara Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Jambi, Mahruzar mengaku bahwa pihaknya telah mengambil sampel dari BBM yang meluber tersebut.
“Tadi pagi kita bersama pihak Polresta sudah ambil sampel, cuma kalau untuk hasilnya belum keluar,” ujar Mahruzar.
Reporter: Juan Ambarita
LINGKUNGAN
Sarat Masalah Pengelolaan Ekosistem Gambut
DETAIL.ID, Jambi – Sejumlah persoalan dalam kebijakan dan implementasi pengelolaan ekosistem gambut di Provinsi Jambi kembali mengemuka. Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (Warsi) Rudi Syaff, mengungkap eksploitasi besar-besaran terhadap ekosistem gambut berdampak sangat signifikan tergadap perubahan iklim.
Secara sederhana dia menguraikan bahwa kenaikan suhu global berbanding lurus dengan kenaikan permukaan air laut. Gambut di daerah sekitar pesisir pun lebih cepat kering, dan ketika terbakar melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar. Sementara 2023 lalu, Indonesia menyatakan komitmen untuk menahan tingkat emisi diangka 29% secara mandiri.
“Kalau kita mau mempertahankan emisinya. Artinya mempertahankan hutannya dan mempertahankan muka air. Supaya gambut tidak kering dan emisi lepas. Bagaimama mempertahankan gambut, itu yang sangat penting,” kata Rudi Syaf, dalam dialog media Integrated Management of Peatland Lanscape in Indonesia (IMPLI), Kamis 23 Oktober 2025.
50 Persen Gambut Sudah Disulap
KKI Warsi mencatat, terdapat setidaknya 617 ribu hektar Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) di Provinsi Jambi. Namun 50% diantaranya sudah dikonversi menjadi perkebunan sawit maupun Hutan Tanaman Industri (HTI).
Padahal Undang Undang sudah melarang agar lahan gambut dengan kedalaman 3 Meter lebih tidak boleh dikelola untuk perkebunan alias berstatus hutan lindung gambut. Namun dilapangan, kriteria tersebut nyatanya dilabrak oleh pihak-pihak tak bertanggungjwab.
“Karna dia gambut dalam, Undang Undang bilang gambut diatas 3 meter itu (statusnya) lindung. Tapi prakteknya sudah berubah jadi kebun. Ada inkonsistensi kebijakan. Padahal berfungsi sangat penting bagi kehidupan,” ujarnya.
Padahal menurut Direktur KKI Warsi tersebut, lahan gambut Jambi dengan potensi kandungan karbon yang sangat tinggi sejatinya punya nilai ekonomi tinggi bagi Jambi maupun Indonesia jika dimanfaatkan dengan baik sebagaimana skema perdagangan karbon.
Oleh karena itu, ia pun mendorong peran aktif negara hingga penguatan peran masyatakat dalam menjaga dan merestorasi kawasan gambut. Menjaga gambut, kata Rudi, itu menjaga kehidupan, kunci keberhasilan kolaborasi, kebijakan yang berpihak hingga ekonomi lestari.
Penanganan Karhutla Belum Berfokus Pencegahan
Sementara itu Rektor Universitas Jambi Prof. Dr. Helmi yang juga merupakan pakar hukum lingkungan mengungkap persoalan krusial dalam paradigma penanggulangan karhutla yang belum sepenuhnya berfokus pada pencegahan. Prof Helmi, bahkan menilai terdapat politik anggaran yang ‘represif’ dalam hal karhutla.
“Ketika suatu kawasan ditetapkan masuk bencana, baru anggaran penanggulangan dicairkan. Karna (menggunakan) paradigma api dan asap, maka anggaran juga bukan angaran (untuk) mencegah atau mengatasi penyebab,” ujar Helmi.
Rektor Universitas Jambi tersebut berpandangan bahwa setidaknya terdapat beberapa penyebab yang sangat mendasar, mulai dari tata kelola lahan hingga sistem perizinan. Dia kembali mengungkit soal ketentuan perundang-undangan yang mengklasifikasikan gambut dengan kedalaman 3 meter lebih tidak boleh diusahakan lantaran masuk kawasan lindung. Namun pada prakteknya rawan pelanggaran dan minim penertiban.
“Trus apa yang harus dilakukan? Bagaimana kemudian memantau ini secara berkepanjangan? Cabut izinnya jika terjadi karhutla,” katanya.
Berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku, karhutla yang terjadi dalam areal konsesi atau HTI suatu badan usaha, sangsinya jelas yakni berupa pencabutan izin usaha atau administratif.
Namun pada prakteknya, kasus-kasus karhutla masih bergulir panjang pada proses pembuktian di persidangan. Padahal UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah menegaskan soal Strict Liability (Tanggungjawab Mutlak).
Dimana pada prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), perusahaan atau pihak pemegang izin usaha dapat dimintai tanggung jawab hukum atas terjadinya kebakaran di arealnya, tanpa perlu dibuktikan adanya unsur kesalahan atau kelalaian.
“Jadi tidak pas menurut saya, tanggungjawab mutlak itu jelas sangsinya administratif, langsung saja dicabut izinnya,” katanya.
Ditengah tantangan pemulihan, konsistensi kebijakan, tekanan konversi, dan minimnya insentif. Restorasi gambut lewat pengelolaan berkelanjutan FOLU Net Sink atau pemanfaatan hutan dan lahan dengan netral dinilai menjadi kunci. Hal itu demi menjaga kelestarian ekosistem gambut, hingga menekan laju naiknya suhu dan muka air laut.
Reporter: Juan Ambarita

