Berdasarkan dekrit yang dirilis di surat kabar pemerintah, status darurat itu akan berlaku selama 30 hari. Selama masa itu, prajurit dapat melakukan intervensi untuk menentukan ketertiban biasa .
Mereka juga bisa menunda beberapa hak warga yang dijamin konstitusi, mirip keleluasaan bergerak dan berkumpul.
Sebagaimana dilansir AFP, status darurat itu berlaku di Lima dan sejumlah kawasan lainnya, mirip Cusco, Puno, dan Callao.
Keputusan ini diambil setelah sejumlah kalangan demonstran dari daerah selatan Peru mulai bergerak ke Lima “untuk menggantikan kota.”
“Kami memutuskan untuk ke Lima. Kami belum memilih waktunya sebab kami mau pergi tolong-menolong,” ujar seorang pemimpin salah satu kalangan pengunjuk rasa, Julio Vilca.
Peru memang sedang didera konflik politik berkepanjangan dalam beberapa bulan terakhir. Belakangan, para demonstran meminta Presiden Dina Boluarte mundur.
Boluarte sendiri gres dilantik untuk menggantikan Pedro Castillo yang dimakzulkan pada 7 Desember. Ia dilengserkan dikala berusaha membubarkan badan legislatif dan memerintah menurut dekrit.
Aparat eksklusif menahan Castillo saat sang mantan presiden dalam perjalanan menuju kedutaan besar Meksiko untuk mencari suaka.
Sepeninggal Castillo, Peru masih terus membara. Warga menuntut Boluarte mundur dan menggelar pemilu lebih cepat.
Awalnya, Peru semestinya menggelar pemilu pada 2026. Guna meredam amarah demonstran, Boluarte sempat mengajukan percepatan pemilu menjadi 2024.
Meski demikian, para pengunjuk rasa mendesak pemilu digelar sesegera mungkin. Boluarte pun kembali mengajukan usulan untuk mempercepat pemilu menjadi Desember 2023.
Tak puas, warga tetap turun ke jalan, menuntut pemilu lebih cepat biar mereka bisa memilih pemimpin yang betul-betul dikehendaki rakyat.