Anggota Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Ahmad Sajali menyampaikan gambaran Pinokio itu menggambarkan sosok Jokowi. Dia menjelaskan Pinokio saat berbohong, hidungnya akan kian panjang.
Sajali berkata banyak janji Jokowi yang tak kunjung ditepati hingga kini. Oleh alasannya itu, massa Aksi Kamisan sepakat untuk memakai ilustrasi Jokowi dengan hidung panjang seperti Pinokio.
“Tentu itu muka Jokowi, tema (Aksi) Kamisannya senandung bongkar kebohongan Jokowi. Kita merasa bahwa makin banyak kian numpuk kebohongan Presiden Jokowi di pelanggaran HAM berat era lalu maupun berita kritis yang lain,” kata Sajali.
Dia berpendapat kebohongan paling parah yaitu Jokowi mendegradasi janjinya untuk menyelesaikan penyelesaian pelanggaran HAM berat dengan hanya menunjukkan pengukuhan belaka.
“Itu bagaimana terdegradasinya janji penuntasan HAM berat menjadi sebatas legalisasi dan penyesalan tanpa menyelesaikan substansi atau inti dari pelanggaran HAN berat,” ujarnya.
Dalam spanduk yang dibentangkan di Aksi Kamisan itu, tampak kartun mirip Jokowi sedang membuka mulutnya. Gambar itu mirip orang berteriak. Lalu dari mulut kartun itu tertera goresan pena “omong kosong”.
Para peserta aksi mulai dari korban, keluarga korban pelanggaran HAM berat, pakar hukum, serta warga sipil lainnya berorasi di samping spanduk tersebut.
Salah satu orator mengingatkan kesepakatan-komitmen terkait solusi pelanggaran HAM berat yang diutarakan Jokowi semenjak menjadi capres pada Pemilu 2014. Saat itu Jokowi berjanji akan menuntaskan masalah-kasus pelanggaran HAM berat jikalau terpilih jadi capres.
Namun, sampai delapan tahun menjabat sebagai presiden, cuma satu pelanggaran HAM berat yang naik sampai ke pengadilan, yaitu perkara Paniai. Terdakwa satu-satunya dalam masalah itu pun juga divonis bebas.
Saat berorasi, orator pun memekikkan kalimat yang sering diserukan dalam Aksi Kamisan.
“Jangan membisu!” kata orator.
“Lawan!” jawab peserta agresi.
“Jokowi,” kata orator lagi.
“Jangan bohong!” ujar massa aksi dengan kompak.
Saat berorasi, keluarga korban Tragedi Semanggi 1998, Sumarsih juga mengingatkan Jokowi semoga memulihkan hak korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat.
“Dari sederet kesepakatan pembatalan impunitas dan penuntasan HAM berat yang sudah Bapak [Jokowi] sampaikan sejak Pemilu 2014, melalui Nawacita sampai saat ini tidak terealisasi,” ujarnya.
“Janji-janji tersebut ketika ini terdengar cuma kebohongan belaka,” tuturnya.
Sebelumnya, Jokowi sendiri telah mengakui 12 pelanggaran HAM berat, tergolong insiden 1965/1966 dan Tragedi Semanggi. Pemerintah mengklaim proses non-yudisial yang tengah berlangsung tidak akan menihilkan upaya yudisial.
Sampai ketika ini belasan perkara HAM berat belum dibawa ke pengadilan. Berkas hasil penyelidikan Komnas HAM masih mandek di Kejaksaan Agung.