SUDAH beberapa bulan ini masyarakat kita dihebohkan dengan kasus penembakan seorang polisi yang dilakukan sesama polisi. Dalam kasus ini pun banyak anggota kepolisian yang terlibat, seolah kasus ini sudah terencana secara terstruktur dan sistematis. Namun motifnya masih menimbulkan tanda tanya masyarakat.
Isu yang berhembus adalah kasus pelecehan seksual oleh mendiang Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat dengan istri atasannya, Putri Candrawathi. Di mana, Putri adalah istri Ferdy Sambo, seorang jendral bintang dua eks Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Saat ini, para terdakwa sudah divonis oleh majelis hakim. Ferdy Sambo tuntutan jaksa seumur hidup divonis hukuman mati, Putri Chandrawathi tuntutan jaksa 8 tahun divonis 20 tahun penjara, Ricky Rizal tuntutan jaksa 8 tahun vonis hakim 13 tahun penjara, Kuat Ma’ruf (sopir pribadi) tuntutan jaksa 8 tahun vonis hakim yakni 15 tahun penjara. Sementara, Richard Eliezer tuntutan jaksa 12 tahun penjara, divonis hakim 1 tahun 6 bulan penjara.
Dalam kasus ini Richard Eliezer adalah orang yang diperintahkan untuk mengeksekusi Brigadir J. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan tentang dasar pertimbangan hakim menjatuhkan vonis Richard Eliezer jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa, sedangkan terhadap terdakwa lain, hakim menjatuhkan vonis lebih berat.
Sesungguhnya dalam beberapa hal putusan hakim sudah tepat, yakni menghukum Ferdy Sambo dan Putri Chandrawathi masing-masing dengan hukuman mati dan pidana 20 tahun penjara karena mereka merupakan dalang intelektual. Namun apakah putusan hakim yang menghukum Ricky Rizal dan Kuat Maruf masing-masing pidana 13 tahun dan 15 tahun penjara sudah tepat?
Jika dibandingkan dengan Ricky Rizal dan Kuat Maruf, Richard Eliezer jauh lebih berkontribusi dalam hilangnya nyawa Brigadir Josua. Dalam putusannya hakim menyatakan bahwa latar belakang hakim menjatuhkan vonis kepada Richard Eliezer 1,5 tahun karena majelis mengapresiasi kejujuran dan keteguhan terdakwa selama menjalani proses persidangan.
Menurut hakim, Richard Eliezer layak ditetapkan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama alias justice collaborator. Majelis hakim sadar bahwa apa yang dilakukan Richard Eliezer menyimpan berbagai risiko besar. Namun terdakwa Richard Eliezer tetap teguh mengungkapkan kebenarannya.
“Sehingga layak terdakwa ditetapkan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama, justice collaborator. Berhak mendapatkan penghargaan sebagaimana ditentukan pasal 10 a UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 13 tahun 2006. Terdakwa Richard Eliezer dianggap telah menyadari perbuatan jahatnya. Pun turut menyesali atas apa yang telah ia perbuat kepada Brigadir Josua. Dengan meminta maaf dengan tulus kepada keluarga korban.
Lalu selanjutnya berbalik 180 derajat secara nyata melangkah maju memperbaiki kesalahannya dalam proses persidangan. Meskipun harus melewati jalan terjal dan berisiko demi kebenaran. Hal itu ditunjukkan terdakwa Richard Eliezer sebagai bentuk pertobatan. Menurut hemat majelis adalah adil apabila pidana dijatuhkan kepada terdakwa ditentukan sebagaimana dalam amar putusan,”
Dalam membuat suatu keputusan hakim, harus dapat menengahi rasa keadilan bagi terdakwa, korban dan masyarakat. Namun dalam tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama, hakim juga wajib menengahi rasa keadilan di antara para terdakwa dengan memberikan putusan yang adil sesuai peran masing-masing dalam terjadinya suatu tindak pidana.
Richard Eliezer merupakan orang yang melakukan eksekusi terhadap Brigadir J atas perintah Ferdy Sambo. Adapun alasan Richard Eliezer tidak menolak karena takut dengan Ferdy Sambo. Meski demikian, kita juga harus menduga adanya motif lain, mens rea (niat batin), mental elements of crime (niat jahat) dari Richard Eliezer.
Hakim juga patut menduga bahwa Richard Eliezer memiliki kepentingan pribadi (individual interest) sehingga mau melakukan eksekusi kepada Brigadir Josua.
Manusia pada umumnya tentu tidak akan mau menghilangkan nyawa orang lain. Hal ini dapat kita lihat bahwa Riky Rizal melakukan penolakan ketika diminta oleh Sambo untuk mengeksekusi Brigadir J. Anehnya, Richard Eliezer mau melakukan hal tersebut.
Jika dikatakan bahwa adanya relasi kuasa yang jauh antara Ferdy Sambo dengan Richard Eliezer, sesungguhnya antara Riki Rizal dan Ferdy Sambo juga terjadi hal demikian.
Dalam fakta persidangan terungkap bahwa antara Richard Eliezer dengan Brigadir Josua memiliki kedekatan emosional yang cukup dekat. Mereka sering tidur dalam satu kamar yang sama, namun dengan teganya melakukan eksekusi kepada sahabatnya sendiri. Sedangkan dalam kepolisian setiap anggota harus memiliki jiwa korsa rela mati demi teman.
Jika melihat dengan sudut pandang yang berbeda adapun alasan Richard Eliezer mengatakan bahwa ia takut dengan Ferdy Sambo karena relasi kuasa sehingga mau mengeksekusi Brigadir Josua.
Bagaimana jika ternyata bahwa Richard Eliezer memiliki, mens rea (niat batin) yang tidak baik dan mental elements of crime (niat jahat) serta kepentingan pribadi (individual interest) yang menginsyafi bahwa Ferdy Sambo merupakan orang yang berkuasa di institusi Polri tempat ia bekerja. Sehingga apabila ia mengikuti keinginan Ferdy Sambo, maka akan menjadi ajudan kesayangan dan dianak emaskan oleh Ferdy Sambo.
Tentunya hal ini akan mempengaruhi dan berharap kariernya akan lebih gemilang dengan mendapatkan promosi dari Ferdy Sambo.
Berdasarkan dakwaan bahwa Richard Eliezer, Riki Rizal, Kuat Maruf masing-masing diberikan IPhone 13 Pro Max tidak ada penolakan dari ketiga terdakwa. Perlu diperhatikan khususnya Richard Eliezer, jika hanya karena takut akan Ferdy Sambo tentunya tanpa adanya kepentingan pribadi (individual interest) bukan sesuatu yang sulit jika Richard Eliezer menolak pemberian hadiah, yang terpenting ia telah melaksanakan kehendak Ferdy Sambo untuk mengeksekusi Brigadir Josua.
Ferdy Sambo sempat akan memberikan hadiah untuk Riky Rizal dan Kuat Maruf masing-masing Rp 500 juta dan Richard Eliezer sebesar Rp 1 miliar, namun karena situasi dirasa belum aman uang itu dijanjikan akan diberikan pada bulan Agustus. Dapat dilihat bahwa dalam dakwaan juga tidak ada pernyataan dari Richard Eliezer untuk menolak.
Walau pun Richard Eliezer sudah menjadi Justice Collaborator dalam kasus ini sehingga kasus ini menjadi terang, namun hakim tidak dapat mengesampingkan peran penting Richard Eliezer dalam menghilangkan nyawa Brigadir J dan faktor Richard Eliezer patut diduga memiliki mens rea (niat batin) yang tidak baik dan mental elements of crime (niat jahat) serta kepentingan pribadi (individual interest) sehingga alasan bahwa adanya relasi kuasa tidak dapat sepenuhnya diterima.
Hakim dapat menjadikan peran Richard Eliezer menjadi Justice Collaborator untuk meringankan hukumannya, namun tidak menghukum Riki Rizal dan Kuat Maruf jauh lebih berat, sementara peran mereka jauh lebih sedikit.
Hal ini dapat mencederai rasa keadilan bagi para terdakwa lainnya. Jika hakim menyatakan bahwa vonis atas Richard Eliezer 1,5 tahun adil dengan dasar bahwa Richard Eliezer adalah seorang yang berani mengungkap kebenaran, maka perlu juga hakim mempertimbangkan bahwa patut diduga Richard Eliezer memiliki mens rea, elements of crime dan individual interest jauh lebih besar dibandingkan dengan Riki Rizal yang berani menolak.
Jika dibandingkan dengan Kuat Ma’ruf patut diduga juga bahwa Richard Eliezer memiliki mens rea (niat batin) yang tidak baik dan mental elements of crime (niat jahat), dan kepentingan pribadi (individual interest) jauh lebih besar. Kuat Ma’ruf hanyalah seorang sopir. Sekali pun ia ikut terlibat dalam kasus ini, keuntungan yang ia dapatkan tidak sebesar terdakwa lain yang bekerja sebagai seorang polisi sehingga mens rea (niat batin) yang tidak baik, mental elements of crime (niat jahat), dan kepentingan pribadi (individual interest) tidak cukup besar.
Adapun salah satu faktor yang memberatkan hukuman terdakwa adalah peran sertanya dalam suatu tindak pidana dan juga seberapa besar mens rea (niat batin) yang tidak baik, dan mental elements of crime (niat jahat). Jika diperbolehkan memilih, Riki Rizal dan Kuat Maruf tidak ingin terlibat. Mereka juga seorang ayah dari anak-anaknya yang turut menjadi korban atas kejahatan yang didalangi oleh Ferdy Sambo dan Putri Chandrawathi.
Apabila hakim menyatakan bahwa 1,5 tahun adalah vonis yang adil, maka vonis untuk Riki Rizal dan Kuat Maruf harusnya tidak jauh berbeda atau justru di balik vonis Richard Eliezer yang tidak jauh berbeda dengan Riki Rizal dan Kuat Maruf sehingga menciptakan rasa keadilan bagi terdakwa lainnya.
Selain tentang rasa keadilan, putusan hakim ini juga dapat menimbulkan gejolak dalam politik hukum di Indonesia di masa yang akan datang. Pelaku tindak pidana akan berlomba-lomba menjadi Justice Collaborator agar mendapatkan hukuman yang tidak masuk akal dengan pasal yang didakwakan. Seperti Richard Eliezer yang didakwa Pasal 340 KUHP juncto pasal 55 ayat ke-1 KUHP hanya dihukum 1,5 tahun.
Harus diingat, putusan hakim merupakan yurisprudensi dan negara ini mengakui bahwa yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum selain undang-undang dan dapat dijadikan hakim di masa yang akan datang sebagai rujukan dalam penanganan suatu kasus.
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi
Discussion about this post