OPINI
Vonis Richard Eliezer Tidak Mencerminkan Keadilan
SUDAH beberapa bulan ini masyarakat kita dihebohkan dengan kasus penembakan seorang polisi yang dilakukan sesama polisi. Dalam kasus ini pun banyak anggota kepolisian yang terlibat, seolah kasus ini sudah terencana secara terstruktur dan sistematis. Namun motifnya masih menimbulkan tanda tanya masyarakat.
Isu yang berhembus adalah kasus pelecehan seksual oleh mendiang Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat dengan istri atasannya, Putri Candrawathi. Di mana, Putri adalah istri Ferdy Sambo, seorang jendral bintang dua eks Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Saat ini, para terdakwa sudah divonis oleh majelis hakim. Ferdy Sambo tuntutan jaksa seumur hidup divonis hukuman mati, Putri Chandrawathi tuntutan jaksa 8 tahun divonis 20 tahun penjara, Ricky Rizal tuntutan jaksa 8 tahun vonis hakim 13 tahun penjara, Kuat Ma’ruf (sopir pribadi) tuntutan jaksa 8 tahun vonis hakim yakni 15 tahun penjara. Sementara, Richard Eliezer tuntutan jaksa 12 tahun penjara, divonis hakim 1 tahun 6 bulan penjara.
Dalam kasus ini Richard Eliezer adalah orang yang diperintahkan untuk mengeksekusi Brigadir J. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan tentang dasar pertimbangan hakim menjatuhkan vonis Richard Eliezer jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa, sedangkan terhadap terdakwa lain, hakim menjatuhkan vonis lebih berat.
Sesungguhnya dalam beberapa hal putusan hakim sudah tepat, yakni menghukum Ferdy Sambo dan Putri Chandrawathi masing-masing dengan hukuman mati dan pidana 20 tahun penjara karena mereka merupakan dalang intelektual. Namun apakah putusan hakim yang menghukum Ricky Rizal dan Kuat Maruf masing-masing pidana 13 tahun dan 15 tahun penjara sudah tepat?
Jika dibandingkan dengan Ricky Rizal dan Kuat Maruf, Richard Eliezer jauh lebih berkontribusi dalam hilangnya nyawa Brigadir Josua. Dalam putusannya hakim menyatakan bahwa latar belakang hakim menjatuhkan vonis kepada Richard Eliezer 1,5 tahun karena majelis mengapresiasi kejujuran dan keteguhan terdakwa selama menjalani proses persidangan.
Menurut hakim, Richard Eliezer layak ditetapkan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama alias justice collaborator. Majelis hakim sadar bahwa apa yang dilakukan Richard Eliezer menyimpan berbagai risiko besar. Namun terdakwa Richard Eliezer tetap teguh mengungkapkan kebenarannya.
“Sehingga layak terdakwa ditetapkan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama, justice collaborator. Berhak mendapatkan penghargaan sebagaimana ditentukan pasal 10 a UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 13 tahun 2006. Terdakwa Richard Eliezer dianggap telah menyadari perbuatan jahatnya. Pun turut menyesali atas apa yang telah ia perbuat kepada Brigadir Josua. Dengan meminta maaf dengan tulus kepada keluarga korban.
Lalu selanjutnya berbalik 180 derajat secara nyata melangkah maju memperbaiki kesalahannya dalam proses persidangan. Meskipun harus melewati jalan terjal dan berisiko demi kebenaran. Hal itu ditunjukkan terdakwa Richard Eliezer sebagai bentuk pertobatan. Menurut hemat majelis adalah adil apabila pidana dijatuhkan kepada terdakwa ditentukan sebagaimana dalam amar putusan,”
Dalam membuat suatu keputusan hakim, harus dapat menengahi rasa keadilan bagi terdakwa, korban dan masyarakat. Namun dalam tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama, hakim juga wajib menengahi rasa keadilan di antara para terdakwa dengan memberikan putusan yang adil sesuai peran masing-masing dalam terjadinya suatu tindak pidana.
Richard Eliezer merupakan orang yang melakukan eksekusi terhadap Brigadir J atas perintah Ferdy Sambo. Adapun alasan Richard Eliezer tidak menolak karena takut dengan Ferdy Sambo. Meski demikian, kita juga harus menduga adanya motif lain, mens rea (niat batin), mental elements of crime (niat jahat) dari Richard Eliezer.
Hakim juga patut menduga bahwa Richard Eliezer memiliki kepentingan pribadi (individual interest) sehingga mau melakukan eksekusi kepada Brigadir Josua.
Manusia pada umumnya tentu tidak akan mau menghilangkan nyawa orang lain. Hal ini dapat kita lihat bahwa Riky Rizal melakukan penolakan ketika diminta oleh Sambo untuk mengeksekusi Brigadir J. Anehnya, Richard Eliezer mau melakukan hal tersebut.
Jika dikatakan bahwa adanya relasi kuasa yang jauh antara Ferdy Sambo dengan Richard Eliezer, sesungguhnya antara Riki Rizal dan Ferdy Sambo juga terjadi hal demikian.
Dalam fakta persidangan terungkap bahwa antara Richard Eliezer dengan Brigadir Josua memiliki kedekatan emosional yang cukup dekat. Mereka sering tidur dalam satu kamar yang sama, namun dengan teganya melakukan eksekusi kepada sahabatnya sendiri. Sedangkan dalam kepolisian setiap anggota harus memiliki jiwa korsa rela mati demi teman.
Jika melihat dengan sudut pandang yang berbeda adapun alasan Richard Eliezer mengatakan bahwa ia takut dengan Ferdy Sambo karena relasi kuasa sehingga mau mengeksekusi Brigadir Josua.
Bagaimana jika ternyata bahwa Richard Eliezer memiliki, mens rea (niat batin) yang tidak baik dan mental elements of crime (niat jahat) serta kepentingan pribadi (individual interest) yang menginsyafi bahwa Ferdy Sambo merupakan orang yang berkuasa di institusi Polri tempat ia bekerja. Sehingga apabila ia mengikuti keinginan Ferdy Sambo, maka akan menjadi ajudan kesayangan dan dianak emaskan oleh Ferdy Sambo.
Tentunya hal ini akan mempengaruhi dan berharap kariernya akan lebih gemilang dengan mendapatkan promosi dari Ferdy Sambo.
Berdasarkan dakwaan bahwa Richard Eliezer, Riki Rizal, Kuat Maruf masing-masing diberikan IPhone 13 Pro Max tidak ada penolakan dari ketiga terdakwa. Perlu diperhatikan khususnya Richard Eliezer, jika hanya karena takut akan Ferdy Sambo tentunya tanpa adanya kepentingan pribadi (individual interest) bukan sesuatu yang sulit jika Richard Eliezer menolak pemberian hadiah, yang terpenting ia telah melaksanakan kehendak Ferdy Sambo untuk mengeksekusi Brigadir Josua.
Ferdy Sambo sempat akan memberikan hadiah untuk Riky Rizal dan Kuat Maruf masing-masing Rp 500 juta dan Richard Eliezer sebesar Rp 1 miliar, namun karena situasi dirasa belum aman uang itu dijanjikan akan diberikan pada bulan Agustus. Dapat dilihat bahwa dalam dakwaan juga tidak ada pernyataan dari Richard Eliezer untuk menolak.
Walau pun Richard Eliezer sudah menjadi Justice Collaborator dalam kasus ini sehingga kasus ini menjadi terang, namun hakim tidak dapat mengesampingkan peran penting Richard Eliezer dalam menghilangkan nyawa Brigadir J dan faktor Richard Eliezer patut diduga memiliki mens rea (niat batin) yang tidak baik dan mental elements of crime (niat jahat) serta kepentingan pribadi (individual interest) sehingga alasan bahwa adanya relasi kuasa tidak dapat sepenuhnya diterima.
Hakim dapat menjadikan peran Richard Eliezer menjadi Justice Collaborator untuk meringankan hukumannya, namun tidak menghukum Riki Rizal dan Kuat Maruf jauh lebih berat, sementara peran mereka jauh lebih sedikit.
Hal ini dapat mencederai rasa keadilan bagi para terdakwa lainnya. Jika hakim menyatakan bahwa vonis atas Richard Eliezer 1,5 tahun adil dengan dasar bahwa Richard Eliezer adalah seorang yang berani mengungkap kebenaran, maka perlu juga hakim mempertimbangkan bahwa patut diduga Richard Eliezer memiliki mens rea, elements of crime dan individual interest jauh lebih besar dibandingkan dengan Riki Rizal yang berani menolak.
Jika dibandingkan dengan Kuat Ma’ruf patut diduga juga bahwa Richard Eliezer memiliki mens rea (niat batin) yang tidak baik dan mental elements of crime (niat jahat), dan kepentingan pribadi (individual interest) jauh lebih besar. Kuat Ma’ruf hanyalah seorang sopir. Sekali pun ia ikut terlibat dalam kasus ini, keuntungan yang ia dapatkan tidak sebesar terdakwa lain yang bekerja sebagai seorang polisi sehingga mens rea (niat batin) yang tidak baik, mental elements of crime (niat jahat), dan kepentingan pribadi (individual interest) tidak cukup besar.
Adapun salah satu faktor yang memberatkan hukuman terdakwa adalah peran sertanya dalam suatu tindak pidana dan juga seberapa besar mens rea (niat batin) yang tidak baik, dan mental elements of crime (niat jahat). Jika diperbolehkan memilih, Riki Rizal dan Kuat Maruf tidak ingin terlibat. Mereka juga seorang ayah dari anak-anaknya yang turut menjadi korban atas kejahatan yang didalangi oleh Ferdy Sambo dan Putri Chandrawathi.
Apabila hakim menyatakan bahwa 1,5 tahun adalah vonis yang adil, maka vonis untuk Riki Rizal dan Kuat Maruf harusnya tidak jauh berbeda atau justru di balik vonis Richard Eliezer yang tidak jauh berbeda dengan Riki Rizal dan Kuat Maruf sehingga menciptakan rasa keadilan bagi terdakwa lainnya.
Selain tentang rasa keadilan, putusan hakim ini juga dapat menimbulkan gejolak dalam politik hukum di Indonesia di masa yang akan datang. Pelaku tindak pidana akan berlomba-lomba menjadi Justice Collaborator agar mendapatkan hukuman yang tidak masuk akal dengan pasal yang didakwakan. Seperti Richard Eliezer yang didakwa Pasal 340 KUHP juncto pasal 55 ayat ke-1 KUHP hanya dihukum 1,5 tahun.
Harus diingat, putusan hakim merupakan yurisprudensi dan negara ini mengakui bahwa yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum selain undang-undang dan dapat dijadikan hakim di masa yang akan datang sebagai rujukan dalam penanganan suatu kasus.
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi
OPINI
Politik Hukum dalam Pembentukan Undang-Undang: Meneguhkan Prinsip Negara Hukum atau Menegaskan Dominasi Kekuasaan?
Oleh: Juwika Pasaribu (P2B125067)*
DALAM idealitas konstitusi, hukum berada di atas kekuasaan. Namun dalam praktik politik hukum Indonesia, garis itu kerap kabur. Legislasi yang seharusnya menjadi wujud kehendak rakyat justru sering berubah menjadi instrumen politik kekuasaan. Pertanyaan mendasarnya pun muncul: apakah politik hukum Indonesia hari ini meneguhkan prinsip negara hukum atau justru menegaskan dominasi kekuasaan?
Secara konseptual, politik hukum adalah arah kebijakan hukum nasional yang menentukan bagaimana hukum dibentuk, diterapkan, dan ditegakkan dalam suatu negara. Mahfud MD (2009) mendefinisikannya sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan untuk mencapai citacita bangsa. Dengan kata lain, politik hukum adalah kompas yang seharusnya menuntun pembentukan undang-undang agar selaras dengan nilai-nilai konstitusi, bukan sekadar kepentingan penguasa.
Namun, praktik politik hukum Indonesia belakangan menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Contoh konkretnya dalam Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), pengesahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja hingga pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara memperlihatkan kecenderungan kuat bahwa politik hukum lebih banyak diarahkan untuk memperkuat struktur kekuasaan ketimbang mewujudkan keadilan sosial dan aspirasi masyarakat.
Revisi Undang-Undang KPK pada penerapannya dinilai akan melemahkan independensi lembaga antikorupsi, Undang-Undang Cipta Kerja disahkan secara tergesa tanpa partisipasi publik yang memadai dan bahkan dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, sementara UU IKN dinilai terburu-buru dan lebih mencerminkan kehendak politik pemerintah pusat daripada aspirasi rakyat.
Asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 hanya dijalankan sebatas formalitas administratif tanpa makna substantif. Publik memang diundang dalam forum konsultasi, tetapi ruang partisipasinya terbatas dan tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil akhir. Proses legislasi seperti ini menggeser makna hukum dari instrumen keadilan menjadi alat legitimasi kebijakan yang pada akhirnya rakyat hanya menjadi penonton dalam drama hukum yang disutradarai oleh kekuasaan.
Kondisi ini mengikis prinsip dasar negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Negara hukum mensyaratkan supremasi hukum atas kekuasaan, perlindungan hak asasi, serta adanya partisipasi publik dalam proses legislasi. Ketika proses pembentukan undangundang lebih menonjolkan kepentingan politik jangka pendek, maka prinsip negara hukum terdegradasi menjadi sekadar slogan konstitusional. Pemerintah dan DPR kerap berdalih bahwa percepatan legislasi dibutuhkan untuk kepastian hukum dan efisiensi kebijakan.
Namun, kepastian hukum yang tidak dilandasi legitimasi publik justru menimbulkan ketidakpastian sosial. Kepastian hukum yang dibangun di atas dominasi politik adalah kepastian semu, stabil di permukaan tetapi rapuh di dasar. Padahal, menurut Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya mengandung dimensi moral dan sosial yang berpihak pada keadilan, bukan sekadar mengabdi pada logika kekuasaan formal.
Dalam pandangan teori responsive law yang dikemukakan oleh Philip Nonet dan Philip Selznick, hukum ideal adalah hukum yang peka terhadap nilai-nilai masyarakat dan mampu beradaptasi terhadap tuntutan keadilan sosial. Artinya, pembentukan hukum harus partisipatif dan terbuka agar produk hukum tidak hanya sah secara formal, tetapi juga sah secara moral dan sosial. Karena itu, tantangan politik hukum Indonesia ke depan bukan hanya soal memperbanyak produk legislasi, tetapi menata kembali orientasinya. Hukum harus kembali menjadi instrumen moral untuk menegakkan keadilan, bukan alat taktis kekuasaan. Pemerintah dan DPR perlu mengembalikan fungsi legislasi sebagai ruang deliberatif yang mengutamakan dialog, transparansi, dan akuntabilitas.
Partisipasi publik harus dihidupkan kembali secara bermakna, bukan sekadar diundang dalam dengar pendapat, tetapi benar-benar dilibatkan dalam penyusunan kebijakan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi. Asas keterbukaan tidak boleh berhenti di meja administratif, melainkan menjadi ukuran kualitas demokrasi hukum. Tanpa pembenahan arah politik hukum, Indonesia berisiko terus melahirkan undang-undang yang sah secara formal namun kehilangan legitimasi sosial.
Ketika legitimasi publik hilang, hukum tidak lagi menjadi pemandu kehidupan bernegara, melainkan hanya pelengkap formal dari kehendak kekuasaan. Pada akhirnya, ukuran kemajuan negara hukum bukan terletak pada banyaknya undang-undang yang dihasilkan, melainkan pada sejauh mana hukum benarbenar menjadi penuntun bagi kekuasaan, bukan pelayannya
*Penulis merupakan mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.
OPINI
Politik Hukum dalam UU Cipta Kerja: Ekonomi dan Keadilan Konstitusional
Oleh: Okto Simangunsong, S.H*
POLITIK hukum pada hakikatnya merupakan kebijakan dasar yang menentukan arah pembentukan dan penegakan hukum suatu negara. Mahfud MD mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku untuk mencapai tujuan negara.
Definisi tersebut menegaskan bahwa hukum tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan merupakan hasil interaksi antara nilai, kekuasaan, dan kepentingan sosial-politik.
Dalam konteks Indonesia, politik hukum sering kali menjadi arena tarik-menarik antara tujuan pembangunan ekonomi dan prinsip keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. UU Cipta Kerja menjadi contoh konkret bagaimana arah politik hukum dapat bergeser menuju orientasi efisiensi ekonomi dengan mengorbankan partisipasi publik serta kualitas legislasi.
Metode omnibus law yang digunakan dalam pembentukan UU Cipta Kerja memang dimaksudkan untuk merapikan tumpang tindih regulasi dan mempercepat investasi. Namun, cara dan hasilnya menimbulkan kritik luas karena dinilai mengabaikan asas keterbukaan dan partisipasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dasar Teoretis dan Kerangka Regulasi
Secara teoretis, politik hukum merupakan wujud nyata dari policy oriented law making, di mana pembentukan hukum diarahkan oleh agenda politik negara. Menurut Padmo Wahyono (1986), politik hukum adalah kebijakan dasar dalam bidang hukum yang menjadi pedoman bagi pembentukan hukum untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Dengan demikian, politik hukum memiliki dua dimensi yakni normatif dan politis.
Dalam kerangka konstitusional, pengawasan terhadap produk politik hukum dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui kewenangan judicial review sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Mekanisme ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa setiap undang-undang selaras dengan prinsip konstitusi, terutama dalam hal keadilan, keterbukaan, dan penghormatan terhadap hak-hak warga negara.
UU Cipta Kerja dan revisinya melalui UU Nomor 6 Tahun 2023 menjadi ujian nyata bagi kedua aspek tersebut, apakah politik hukum pembentukannya masih berada dalam koridor konstitusi, dan sejauh mana MK berperan menjaga keseimbangan antara kekuasaan politik dan supremasi hukum.
Analisis Politik Hukum dalam UU Cipta Kerja
UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa politik hukum Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif. Pemerintah, dengan dukungan mayoritas politik di DPR, berhasil mendorong lahirnya undang-undang yang mengubah lebih dari 70 undang-undang sektoral sekaligus. Proses legislasi yang cepat, tertutup, dan minim partisipasi publik memperlihatkan bahwa hukum telah dijadikan instrumen kebijakan pembangunan ekonomi.
Kondisi ini memperlihatkan gejala instrumentalization of law hukum tidak lagi menjadi alat kontrol terhadap kekuasaan, melainkan alat legitimasi kekuasaan itu sendiri. Dalam konteks ini, efisiensi prosedural digunakan sebagai alasan untuk mengesampingkan nilai-nilai demokrasi substantif.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat merupakan wujud dari pengawasan konstitusional yang efektif. MK menegaskan bahwa pembentukan undang-undang harus memenuhi asas partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) sebagai bagian dari prinsip negara hukum.
Namun, tindak lanjut pemerintah melalui penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023, memperlihatkan kecenderungan resistensi terhadap koreksi yudisial. Alih-alih memperbaiki proses legislasi, pemerintah justru mengulangi pendekatan serupa dengan dalih mendesak kebutuhan ekonomi nasional. Fenomena ini memperlihatkan bahwa politik hukum di Indonesia masih belum sepenuhnya menghormati prinsip checks and balances.
Secara filosofis, politik hukum seharusnya berorientasi pada rule of law, yakni menempatkan hukum di atas kekuasaan. Namun praktik dalam pembentukan dan perubahan UU Cipta Kerja justru mencerminkan rule by law, yaitu penggunaan hukum sebagai instrumen legitimasi kebijakan politik.
Ketika hukum dikendalikan oleh kekuasaan politik, maka fungsi normatifnya sebagai pelindung keadilan sosial dan lingkungan hidup melemah. Akibatnya, hukum kehilangan legitimasi moral di mata publik.
Politik hukum pembentukan UU Cipta Kerja menunjukkan dua wajah. Di satu sisi, hukum berfungsi sebagai sarana untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan investasi. Namun di sisi lain, hukum kehilangan fungsi sosialnya sebagai instrumen keadilan. Keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan substantif menjadi terdistorsi.
Partisipasi publik yang minim dan pengabaian terhadap asas keterbukaan telah menimbulkan defisit legitimasi dalam politik hukum nasional. Ketika hukum tidak lagi dipersepsikan sebagai milik bersama, melainkan sebagai produk elit politik, maka kepercayaan publik terhadap negara hukum pun melemah.
Penutup
UU Cipta Kerja menjadi cermin nyata bagaimana politik hukum dapat bergeser dari orientasi keadilan menuju pragmatisme ekonomi. Dominasi eksekutif, lemahnya partisipasi publik, dan resistensi terhadap pengawasan yudisial menandakan bahwa sistem hukum Indonesia masih rentan terhadap politisasi.
Untuk membangun politik hukum yang konstitusional, dibutuhkan komitmen pada tiga hal pokok; (1). Menegakkan asas partisipasi publik yang bermakna dalam setiap proses legislasi. (2). Menghormati putusan Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk kontrol konstitusional, bukan sekadar formalitas hukum. (3). Menempatkan hukum sebagai sarana keadilan sosial, bukan alat legitimasi kebijakan ekonomi.
Hukum yang baik bukanlah hukum yang paling efisien, tetapi hukum yang paling adil. Politik hukum yang berorientasi pada keadilan konstitusional akan memastikan bahwa pembangunan ekonomi tidak mengorbankan hak rakyat dan prinsip negara hukum.
*Penulis merupakan Advokad dan mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.
PERNYATAAN Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini layak diapresiasi tinggi oleh rakyat. Dalam arahannya, Presiden menegaskan agar aparat penegak hukum tidak berbuat dzalim terhadap rakyat kecil dan tidak menjadikan hukum sebagai alat penindasan.
“Saya ingatkan terus kejaksaan, kepolisian, jangan kriminalisasi sesuatu yang tidak ada. Hukum jangan tumpul ke atas, tajam ke bawah,” ujar Prabowo di kantor Kejaksaan Agung usai menyaksikan penyerahan uang pengganti kerugian kasus CPO di Jakarta pada Senin, 20 Oktober 2025.
Pernyataan tersebut bukanlah basa-basi politik, melainkan tamparan moral bagi institusi penegak hukum yang selama ini dinilai gagal menjaga rasa keadilan publik. Kalimat Prabowo menyentuh inti luka sosial bangsa dan “ketimpangan penegakan hukum”.
Kita tidak menutup mata: hukum di Indonesia masih sering berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan. Rakyat kecil bisa dijerat karena perkara sepele, ada seorang ibu rumah tangga ditahan karena mencuri kayu bakar, seorang petani dipenjara karena bersengketa dengan perusahaan besar, seorang anak sekolah diseret ke pengadilan karena mencuri ayam.
Namun di sisi lain, pelanggaran besar oleh korporasi perusak lingkungan, pengemplang pajak, atau pelaku korupsi kerap “diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan”.
Inilah wajah hukum yang menakutkan bagi yang lemah, tapi lembek terhadap yang kuat.
Hukum yang tidak lagi menjadi pelindung keadilan, melainkan alat kekuasaan.
Kriminalisasi rakyat kecil bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah kemanusiaan. Banyak kasus bukan lahir dari niat jahat, tetapi dari kemiskinan yang sistemik. Petani yang menggarap tanah turun-temurun dianggap menyerobot lahan perusahaan; nelayan kecil yang mencari ikan dianggap melanggar izin laut; warga miskin kota yang berdagang di trotoar ditertibkan tanpa solusi.
Inilah bentuk nyata kriminalisasi kemiskinan, ketika hidup sederhana dianggap pelanggaran, dan perjuangan bertahan hidup dianggap kejahatan.
Pesan Presiden Prabowo seharusnya membuka mata para penegak hukum bahwa keadilan tidak bisa diukur dari seberapa banyak orang ditangkap, tetapi diukur seberapa adil hukum ditegakkan.
Kini saatnya aparat hukum membuktikan diri: apakah pesan Presiden hanya akan menjadi hiasan berita, atau benar-benar dijalankan di lapangan. Polisi, jaksa, dan hakim harus mulai bekerja dengan nurani. Karena hukum tanpa empati adalah kezaliman yang dilegalkan.
Bila rakyat kecil bisa diproses cepat, maka pelaku besar juga harus diproses lebih cepat. Bila rakyat miskin bisa diseret ke pengadilan, maka pengusaha dan pejabat yang korup juga harus diseret, tanpa pandang bulu.
Rakyat kecil kini menaruh harapan baru pada Presiden Prabowo. Namun harapan itu hanya akan hidup bila aparat hukum menindaklanjuti pesan beliau dengan tindakan nyata. Karena rakyat sudah terlalu sering mendengar janji keadilan, tapi jarang merasakannya.
Bila hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka rakyat akan terus kehilangan kepercayaan. Dan bila kepercayaan rakyat telah hilang, maka hukum kehilangan wibawa, dan negara kehilangan jiwanya.
*Humas DPD Gerindra Jambi

