Connect with us
Advertisement

OPINI

Penerapan Restorative Justice dalam Penanganan Perkara Kekerasan dalam Rumah Tangga

DETAIL.ID

Published

on

ilustrasi

KEJAKSAAN Tinggi (Kejati) Jambi secara resmi membuka 128 rumah Restorative Justice (RJ). Rumah RJ ini diharapkan mampu menyelesaikan berbagai perkara yang mampu diselesaikan di luar pengadilan. Peresmian Rumah RJ ini dilakukan secara serentak di 10 kejaksaan negeri dan dua cabangnya ada di Jambi pada Kamis, 19 Oktober 2023. Diharapkan rumah RJ ini dapat membawa semangat baru dalam penegakan hukum terutama untuk kasus yang memenuhi syarat untuk diselesaikan secara Restorative Justice.

Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah salah satu jenis Kekerasan Berbasis Gender (Gender Based Violence). Kekerasan berbasis gender sendiri adalah kekerasan yang terjadi akibat adanya ketimpangan gender sehingga ada anggapan-anggapan yang mendorong seseorang bahwa kekerasan itu pantas dilakukan kepada orang tersebut. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pengertian dari Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Berdasarkan data yang dilaporkan oleh KemenPPA pada Oktober 2022 ada 18.261 kasus KDRT di seluruh Indonesia, sebanyak 79,5% atau 16.745 korban adalah perempuan. Sedangkan pada tahun 2023 berdasarkan data yang tercatat dari KemenPPA, sepanjang 2023 (terakhir dikutip 14 September 2023), total keseluruhan jumlah kasus KDRT di Indonesia adalah 11.324 kasus. Hal ini menunjukkan penurunan jumlah kasus KDRT di Indonesia dari tahun sebelumnya.

Adapun upaya yang dilakukan untuk menindak pelaku KDRT adalah dengan memberikan sanksi berupa pidana. Sanksi bagi pelaku KDRT secara berturut-turut telah dirumuskan dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 50 UU No. 23 Tahun 2004. Apabila terjadi KDRT, maka terhadap pelaku yang terbukti secara sah dan meyakinkan di siding pengadilan dijatuhi sanksi pidana dimaksud. Walaupun telah dengan tegas ditentukan mengenai sanksi yang dapat dijatuhkan oleh hakim di sidang pengadilan kepada pelaku KDRT. Namun dalam praktiknya, kasus KDRT juga banyak diselesaikan melalui mekanisme keadilan restorative.

Di dalam sistem hukum pidana kita dalam hal penyelesaian tindak pidana lebih mengutamakan pendekatan keadilan restorative. Sesuai dengan surat keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Nomor: 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif. Pendekatan keadilan restorative sendiri adalah sebuah alternatif penyelesaian perkara pidana dengan mediasi mempertemukan korban dan pelaku beserta pihak keluarga dengan berfokus pada pengembalian ke keadaan semula baik pelaku maupun korban.

Dalam praktik di lapangan, penerapan keadilan restorative justru mengabaikan pemulihan korban, membuat korban mengalami ketidakadilan dan terus mengalami trauma atas kekerasan yang dialami. Pemulihan korban sama sekali tidak tersentuh. Sebaliknya, penerapan keadilan restorative menempatkan posisi pelaku kekerasan dan komunitas lebih tinggi daripada korban. Bahkan, pendekatan hukum tersebut membuat semakin terbuka celah impunitas pelaku dan keberulangan tindakan kekerasan pada korban. Mekanisme yang seharusnya memastikan korban mendapatkan hak-haknya untuk pulih dari kekerasan yang dialami, justru bergeser menjadi cara untuk menghentikan perkara.

Keadilan restorative merupakan suatu alternative atau acara lain dari peradilan kriminal dengan mengutamakan integrasi pelaku dan korban atau masyarakat sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada suatu pola hubungan yang baik antara pelaku tindak pidana. Keadilan restorative menekankan pada perbaikan hubungan antara pelaku dengan korban dan masyarakat yang telah rusak oleh tindak pidana yang dilakukan pelaku. Secara fundamental, keadilan restorative merubah peran korban dalam proses sistem peradilan pidana yaitu dengan memberdayakan nya sehingga korban memiliki hak pribadi untuk berpartisipasi dalam proses penyelesaian perkara pidana.

Di dalam keadilan restorative, peradilan ditempatkan pada posisi sebagai mediator dengan model asensus yaitu suatu model yang mementingkan dialog antara yang berselisih untuk menyelesaikan masalahnya. Sehingga muncul istilah Alternative Dispute Resolution yang dalam hal-hal tertentu dianggap lebih memenuhi tuntutan keadilan dan efisiensi. Konsep keadilan restorative tidak memfokuskan diri pada kesalahan yang telah berlalu, tetapi bagaimana memecahkan masalah tanggung jawab dan kewajiban pada masa depan dari pelaku.

KDRT merupakan salah satu perkara pidana yang ada di Indonesia sebagaimana diatur oleh UU Nomor 23 Tahun 2004 sehingga dapat juga ditangani melalui konsep keadilan restorative dengan cara mediasi penal. Dalam pembahasan lebih ditekankan pada penyelesaian perkara pidana dengan mekanisme perdamaian. Berkaitan dengan bentuk-bentuk KDRT telah ditentukan dalam Pasal 5 UU NO.23 Tahun 2004 yang terdiri dari kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran orang dalam rumah tangga.

Dari beberapa bentuk KDRT ada yang digolongkan sebagai tindak pidana aduan. Menurut Sudarto, tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena. Dalam hal ini, pihak yang berkepentingan adalah korban itu sendiri yang telah dirugikan akibat dari KDRT yang dilakukan oleh pelaku. Adapun bentuk-bentuk KDRT dengan kategori tindak pidana aduan telah ditentukan dalam Pasal 51, Pasal 52, dan Pasal 52 UU Nomor 23 Tahun 2004, yaitu meliputi;
1. Kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari;

  1. Kekerasan psikis yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari;

  2. Kekerasan seksual yang dilakukan suami terhadap istri atau sebaliknya.

Secara teoritis terhadap perkara KDRT yang dikategorikan sebagai tindak pidana aduan dapat ditangani dengan mediasi penal, namun aparat penegak hukum pidana lebih suka menggunakan UU Nomor 23 Tahun 2004 sebagai rujukan dalam penangananya. Artinya, pelaku KDRT selalu dikenakan sanksi berupa pidana yang dicantumkan di dalam UU Nomor 23 Tahun 2004. Oleh karena itu, menurut penulis sangat perlu dibentuk aturan yang mengatur aparat penegak hukum untuk mendahulukan upaya mediasi penal dalam menangani perkara KDRT yang dikategorikan sebagai pidana aduan dan tindak pidana ringan serta membentuk lembaga pengawas untuk mengawasi pemenuhan hak bagi korban setelah putusan perkara serta mencegah terjadinya keberulangan tindak pidana.

*Penulis merupakan mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi

Advertisement Advertisement

OPINI

Sibuk Merayakan Maulid, Lupa Meneladani Amanah Rasulullah

Oleh: Naz*

DETAIL.ID

Published

on

SETIAP tahun, suasana Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selalu dirayakan dengan gegap gempita di berbagai daerah. Namun, ada ironi besar di balik semua itu. Semangat merayakan hari lahir Rasulullah sering kali hanya berhenti pada simbol, tidak menembus ke substansi.

Rasulullah SAW bukanlah figur yang gemar pada kemewahan perayaan. Beliau diutus membawa risalah kebenaran, menegakkan amanah, kejujuran, dan keadilan. Yang beliau wariskan bukanlah seremonial kosong, melainkan teladan akhlak mulia yang seharusnya menjadi pedoman para pemimpin umat, termasuk pemimpin daerah kita.

Padahal, inti dari peringatan Maulid bukanlah sekadar mendengar ceramah atau memajang baliho besar gambar Kepala Daerah di masjid. Inti Maulid adalah meneguhkan kembali teladan Rasulullah:

1. Amanah dalam kepemimpinan;
Rasulullah menunjukkan bahwa jabatan adalah titipan, bukan alat memperkaya diri atau keluarga. Kepala daerah hari ini mestinya meneladani itu, memastikan setiap rupiah APBD digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk memperbesar rekening pribadi.

2. Kejujuran dalam setiap kebijakan;
Rasulullah tidak pernah berbohong meski dalam perkara kecil. Pemimpin seharusnya berani berkata jujur pada rakyat: tentang kondisi keuangan daerah, tentang keterbatasan, bahkan tentang kegagalan. Bukan malah menutup-nutupi dengan angka manipulatif demi pencitraan.

3. Kesederhanaan hidup;
Rasulullah hidup sederhana, bahkan ketika memiliki peluang untuk kaya raya. Sedangkan para kepala daerah kita sering kali larut dalam gaya hidup mewah: mobil dinas berderet, perjalanan dinas berulang, pesta perayaan digelar besar-besaran, sementara rakyat kecil masih kesulitan biaya pendidikan dan kesehatan.

Jika para kepala daerah benar-benar ingin menjadikan Maulid sebagai momen penting, seharusnya mereka tidak hanya sibuk di atas panggung, tapi juga menjadikan amanah dan kejujuran sebagai kompas kepemimpinan sehari-hari. Tidak ada artinya mengeluarkan kata-kata manis tentang Rasulullah jika kebijakan yang diambil justru menyengsarakan rakyat.

Rasulullah pernah bersabda bahwa sebaik-baik pemimpin adalah yang paling dicintai rakyat karena keadilannya, dan seburuk-buruk pemimpin adalah yang dibenci rakyat karena kezalimannya.

Pertanyaannya: apakah kepala daerah hari ini sudah berada di jalan yang benar? Ataukah mereka hanya menumpang nama Rasulullah untuk memperindah citra di depan rakyat?
Maulid seharusnya menjadi alarm moral: jangan sibuk dengan perayaan tapi lalai dari keteladanan.

Jadikanlah Rasulullah sebagai teladan dalam kejujuran, jadilah pemimpin yang Al-Amin bukan yang Al-Korup. Sebab, yang paling dibutuhkan rakyat bukanlah panggung megah dan sambutan panjang, melainkan pemimpin yang benar-benar meneladani sifat Al-Amin, Amanah, Jujur, dan Adil.

*Pengamat sosial dan politik, tinggal di Jambi

Continue Reading

OPINI

PETI Dicaci, PETI Pemberi Rezeki: Siapa yang Ditumbalkan?

Oleh: Daryanto*

DETAIL.ID

Published

on

FENOMENA Penambangan Emas Tanpa Izin (Peti), bukanlah terjadi baru-baru ini saja. Sejak transmigrasi masuk, sudah banyak bekas galian PETI di sepanjang lokasi yang dijadikan perkebunan. Seperti yang terjadi di Kecamatan Renah Pamenang, Pamenang Selatan misalnya, bekas galian para warga yang mencari butiran emas bisa disaksikan secara kasat mata. Hanya saja cara mereka awalnya hanya mengunakan dulang atau alat tradisional yang digunakan untuk memisahkan butiran pasir dan buliran emas, cara mereka menggalinya pun mengunakan alat sederhana seperti linggis.

Namun memasuki tahun 2010, aktivitas PETI berubah total, dari yang awalnya tradisional, berubah mengunakan mesin dan merambah mengunakan alat berat sampai sekarang.

Tapi diakui atau tidak, di Provinsi Jambi, aktivitas peti khususnya di Jambi Wilayah Barat, seperti Tebo, Muara Bungo, Merangin, dan Sarolangun aktivitas PETI terus terjadi, namun pola-pola yang dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan emas dilakukan dengan tiga cara, seperti dompeng darat, lanting, dan menggunakan box

Dompeng darat, biasanya oknum masyarakat mencari emas menggunakan alat berat dengan cara mengali tanah dengan kedalam tertentu, dibantu dua mesin penyedot air dan mesin penyedot batu dan mampu menampung sampai delapan tenaga kerja, dengan kelebihannya setelah ditambang bisa direklamasi ulang dan bisa ditanami kembali.

Berbeda dengan dompeng lanting, biasanya masyarakat mengunakan rakit buatan yang dilakukan di dalam sungai, dengan cara menyedot batu dan pasir di dalam sungai dengan dua mesin yang biasanya dilakukan oleh tiga tenaga kerja, Terkadang pasir yang disedot dimasukan kembali ke sungai sehingga membuat aliran sungai menjadi dangkal.

Lain halnya PETI menggunakan alat berat yang bekerja, mengambil pasir dan batu menggunakan baket alat berat kemudian dimasukan dalam alat box, dan biasanya ada dua sampai tiga pekerja yang melakukan pekerjaan secara terus menerus di bantaran aliran sungai sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang cukup parah dan susah untuk direklamasi ulang.

Tentu ada hal yang menarik dari tiga katagori PETI yang sering dilakukan oleh warga, Bagaimana pengunaan merkuri atau logam berat. Dari pantauan penulis, masyarakat yang beraktivitas PETI rata-rata mengunakan logam berat untuk memisahkan emas dari pasir hitam dengan cara memasukan ke dalam ember, kemudian diaduk di satu tempat agar logam berat tidak terbuang lalu di peras mengunakan kain tipis untuk memisahkan emas dan logam berat, atau bagi masyarakat pendompeng mengenalnya dengan istilah “ngepok”, setelah terpisah air tak tadi dimasukan ke dalam botol untuk bisa dipergunakan lagi.

Lalu kemana para pemain petugas menjual hasilnya? Banyak di sejumlah tempat yang biasa menampung hasil PETI, ada pemilik modal yang bekerja sama dengan cara main “DO”, dengan sistem pembelian yang berbeda dengan harga toko emas, dan ada juga yang langsung menjual lepas ke penadah emas dengan harga yang lebih tinggi di banding pemilik “DO”. Tak perlu harus menelisik toko emas mana yang menjadi langganan pelaku PETI menjual hasilnya dan “aman dari pengamatan petugas” dan sudah jadi pengetahuan umum masyarakat Merangin.

Dari sisi ekonomi, bagi sebagian masyarakat, kerja di Penambangan Emas Tanpa Izin tentu sangat menjanjikan, sebab banyak masyarakat yang tertolong dari pinjaman pinjol, tagihan angsuran bank, angsuran kredit motor dan biaya anak sekolah, belum lagi bagi oknum NGO, oknum organisasi profesi, institusi tertentu, yang sering mendapatkan rezeki dari para pemilik mesin dompeng, walaupun hanya sekedar berbasa-basi dengan pemilik PETI.

Lalu bagaimana PETI yang sudah terjadi puluhan tahun tetap berlangsung sampai saat ini? Meskipun sudah banyak pekerja PETI yang tertangkap dan dipenjara, apakah ada efek jera?

Bagi sebagian kecil pekerja pasti dapat efek jera, sebab hanya pekerja saja yang jadi tumbal dan jarang pemilik dan pemodal PETI yang tertangkap. Namun fakta di lapangan bisa dilihat hari ini dirazia aparat keamanan berhenti bekerja, besok pasti sudah bekerja lagi demi tuntutan kebutuhan perut.

Terkadang ada juga faktor x yang berpengaruh, agar saat razia terkesan ada hasil, di lokasi tertentu para pemilik alat berat dan dompeng bisa berkoordinasi dengan baik dengan para oknum, maka sudah pasti akan selamat, tetapi jika di satu wilayah para pemain alat berat dan pemilik dompeng di anggap “pelit”, dan sering masuk pemberitaan bisa dipastikan bakal ada yang kena, dan ini fakta yang terus menerus terjadi.

Mari kita lihat bagaimana peran penting PETI yang dicaci tetapi membawa rezeki. PETI tidaklah akan berjalan sampai hari ini jika bahan bakar distop dari hulunya, tetapi ada fakta lainnya yang tidak bisa dipisahkan, ibarat PETI adalah gula manis, tentu banyak jenis semut yang mendekati untuk mendapatkan rasa manisnya.

Siapa yang berani menjual bahan bakar PETI seperti solar subsidi dalam jumlah besar jika bukan ada oknum aparat keamanan yang bermain? Pemandangan antrian solar subsidi pasti mengular di sejumlah SPBU di Merangin yang menyediakan bio solar, banyak cara dilakukan dengan mengisi berkali kali dengan nomor barcode yang berbeda beda, lalu hasil antrian solar sudah pasti sudah ada pembeli yang dijual ke lokasi PETI. Lalu kenapa PETI bisa sebagian aman saat dirazia dan sudah bocor duluan saat didatangi ke lokasi, sudah bisa diduga ada oknum aparat keamanan yang pasti ikut mendapatkan bagian dari kegiatan ilegal tersebut, dan bahasa sederhananya adalah mendapatkan “bulanan” per alat berat di setiap wilayah di Merangin pasti berbeda beda nominalnya.

Lalu ada peran Pemerintah Daerah yang tidak mau kehilangan cara, dengan menerbitkan surat edaran Kepala Daerah yang ditujukan kepada perangkat pemerintahan kecamatan hingga level desa untuk tidak terlibat PETI, apalagi Kades merupakan pemangku adat di desanya.

Situasi ini tentunya mudah disampaikan tapi sulit dikerjakan. sebagian besar masyarakat di Merangin sudah puluhan tahun banyak yang bekerja dan menggantungkan hidup di sektor “per-PETI-an” , dan saat pemerintah menghimbau tidak melakukan aktivitas PETI tetapi sayangnya edaran tersebut tidak disertai solusi konkrit yang bisa dikerjakan masyarakat agar bisa beralih ke pekerjaan lainnya selain kerja PETI.

Jikalau mau dan serius dalam memberantas PETI, Pemerintah Daerah wajib membentuk Tim Terpadu untuk melakukan kerja sama dan secara serius mencarikan solusi agar masyarakat bisa mendapatkan pilihan pekerjaan selain PETI, dan berani tegas untuk menindak semua oknum aparat keamanan yang berani menjual BBM kepada para pelaku PETI, tidak menerima uang bulanan, dan sama-sama mengawal kebijakan soal wilayah pertambangan rakyat, bagaimana izin pertambangan rakyat bisa didapatkan, sehingga tidak ada lagi cara-cara ilegal untuk mendapatkan uang demi kebutuhan hidup masyarakat banyak.

Seperti kaga pepatah, jika air keruh di hilir tengoklah dari hulunya.

Salam santun.

*Penulis adalah wartawan DETAIL.ID yang tinggal di Kabupaten Merangin.

Continue Reading

OPINI

Pembangunan Stockpile Batu Bara dan Penolakan Warga: Ujian Serius Bagi Pemerintah

Oleh: Eko Saputra S. Lumban Gaol, SH*

DETAIL.ID

Published

on

PEMBANGUNAN stockpile batu bara di Kelurahan Aur Kenali, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi, telah memicu gelombang penolakan besar. Warga menilai proyek ini bukan sekadar persoalan teknis perizinan, tetapi ancaman langsung terhadap keselamatan, kesehatan, dan hak hidup mereka.

Provinsi Jambi selama ini menjadi salah satu lumbung batu bara nasional. Namun, di balik sumbangan devisa, masyarakat justru menanggung dampak: jalan rusak akibat truk over tonase, kemacetan kronis, polusi udara yang memicu penyakit, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas yang berujung korban jiwa. Terakhir, pembangunan stockpile batu bara di tengah pemukiman padat semakin memperparah beban masyarakat.

Pemerintah Harus Memihak Rakyat

PT Sinar Anugerah Sukses (SAS), pemilik IUP ±1.273 hektare di Sarolangun, mengklaim memiliki izin sah untuk membangun stockpile sekaligus pelabuhan pengangkutan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan minimnya keterbukaan:

  • Tidak ada sosialisasi yang layak bagi warga terdampak.
  • Lokasi di jantung pemukiman yang rawan banjir, macet, dan polusi.
  • Dugaan pelanggaran tata ruang dan peruntukan lahan.

Penolakan pun meluas, para aktivis lingkungan, mahasiswa, pemuda, hingga warga sekitar menegaskan ketidaksetujuan mereka. Bagi masyarakat, proyek ini bukan peluang ekonomi, melainkan ancaman hidup.

Klaim PT SAS soal kepatuhan izin tak bisa menjadi tameng. Pemerintah dari pusat hingga kota dituntut berhenti bersikap pasif. Jika izin memang diberikan, prosesnya perlu diaudit terbuka. Bila memang menyalahi RTRW atau mengancam keselamatan warga, pencabutan izin atau relokasi harus menjadi langkah tegas.

Just Transition Bukan Sekadar Konsep

Transisi energi yang adil (Just Transition) adalah pendekatan yang menekankan perlunya transisi energi yang adil, inklusif dan adil untuk semua pihak. Di Aur Kenali, Just Transition menjadi satu hal yang prinsip, tidak ada pembangunan yang mengorbankan kesehatan, keselamatan, dan ruang hidup warga yang mengatasnamakan investasi dan keuntungan segelintir perusahaan.

Penolakan warga Aur Kenali adalah peringatan keras bahwa investasi tak boleh menindas hak masyarakat, tapi seyogyanya mendorong transisi energi dan ekonomi yang adil, dengan memastikan tidak ada yang tertinggal.

Pemerintah wajib hadir sebagai pelindung rakyat, bukan sekadar pemberi izin. Tanpa keberpihakan tegas, pembangunan stockpile batu bara hanya akan meninggalkan luka sosial dan ekologis yang dalam.

*Warga RT 014/002 Desa Mendalo Darat, mahasiswa Pascasarjana Universitas Jambi dan Ketua DPC FSB NIKEUBA Muarojambi

Continue Reading
Advertisement Advertisement
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs