OPINI
Pilihan Berisiko: Mantan Pencandu Narkoba dan Isu Moralitas di Pilkada 2024
BADAN Narkotika Nasional (BNN) Sulawesi Selatan (Sulsel) menyampaikan hasil pemeriksaan calon kepala daerah untuk Pilkada 2024. Dari hasil tes, Wakil Bupati Maros Suhartina Bohari dinyatakan positif mengandung metamfetamin atau sabu. Temuan ini mengejutkan banyak pihak, mengingat Suhartina merupakan salah satu kandidat yang digadang-gadang memiliki peluang besar dalam kontestasi Pilkada mendatang.
BNN menyatakan bahwa hasil tersebut merupakan bagian dari pemeriksaan rutin yang dilakukan terhadap seluruh calon kepala daerah, guna memastikan integritas dan kelayakan mereka dalam menjalankan tugas pemerintahan.
Menyusul pengumuman ini, sejumlah pihak mendesak agar dilakukan investigasi lebih lanjut terkait dugaan penyalahgunaan narkoba tersebut. Tidak hanya itu, berbagai spekulasi bermunculan mengenai dampak temuan ini terhadap elektabilitas Suhartina di tengah masyarakat Maros.
Kasus ini tidak hanya menjadi sorotan di tingkat daerah, tetapi juga menarik perhatian publik di tingkat nasional, mengingat pentingnya peran kepala daerah dalam memerangi penyalahgunaan narkoba.
Dengan adanya kasus ini, isu tentang integritas calon kepala daerah kembali menjadi sorotan utama. Pilkada 2024 di Maros tampaknya akan semakin dinamis, dengan masyarakat yang kini lebih kritis dalam menilai para kandidat yang akan memimpin daerah mereka ke depan.
Dinamika serupa terjadi di Jambi, ketika seorang calon gubernur, RH, secara terbuka mengakui dirinya sebagai mantan pecandu narkoba melalui sebuah podcast bersama Pangeran Siahaan yang ditayangkan di YouTube. Meskipun demikian, ia tetap dinyatakan lolos seleksi sebagai calon kepala daerah.
Di Indonesia, pengakuan pelaku diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya Pasal 184, yang menyebutkan bahwa pengakuan dapat dijadikan salah satu alat bukti. Namun, pengakuan ini harus diperoleh dengan cara yang sah serta tidak melanggar hak asasi manusia. Pengakuan RH ini memicu perdebatan di tengah masyarakat.
Banyak yang mempertanyakan, apakah seseorang yang pernah terjerumus dalam ketergantungan narkoba layak diberi kesempatan untuk memimpin daerah? Skeptisisme muncul dari sebagian besar masyarakat, yang meragukan apakah mantan pecandu memiliki kapasitas dan kestabilan mental untuk memikul tanggung jawab sebesar itu. Namun, di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa setiap individu, termasuk mantan pecandu, layak diberi kesempatan kedua, asalkan mereka telah membuktikan diri mampu melepaskan diri dari ketergantungan, dengan dukungan bukti yang valid.
Perdebatan ini membawa kita pada pertanyaan yang lebih mendalam. Apakah keputusan ini merupakan bentuk perjudian politik model baru, di mana partai atau tim sukses berani mempertaruhkan masa depan daerah dengan mempercayakan kepemimpinan selevel provinsi pada seseorang yang memiliki riwayat sebagai pengguna narkoba? Dukungan yang diberikan padanya seolah menunjukkan adanya pergeseran nilai dalam politik, di mana masa lalu yang kelam tidak lagi menjadi pertimbangan utama dalam menilai kelayakan seorang calon pemimpin.
Risiko kambuh pada mantan pencandu narkoba tidak bisa dianggap remeh. Berdasarkan berbagai penelitian, mantan pencandu memiliki kemungkinan untuk kembali menggunakan narkoba, terutama jika mereka berada dalam situasi stres atau tekanan berat. Posisi kepala daerah yang penuh dengan tantangan tentu menimbulkan risiko yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, penting untuk mempertanyakan, seberapa besar kesiapan mental dan emosional seorang mantan pencandu untuk menghadapi godaan di tengah tekanan politik dan beban tanggung jawab yang besar?
Kasus ini menjadi dilema etis bagi para pemilih. Di satu sisi, memilih mantan pencandu narkoba sebagai pemimpin daerah bisa menimbulkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Seorang mantan pencandu mungkin saja memiliki kerentanan terhadap godaan yang lebih besar, seperti tekanan dari jaringan narkoba atau kepentingan gelap lainnya. Ada risiko bahwa ia bisa kembali terjerumus ke dalam lingkaran yang sama, terlebih jika berhadapan dengan tekanan politik yang besar dan tuntutan dari berbagai pihak.
Lebih dari itu, memilih mantan pencandu narkoba bisa memberikan preseden buruk dalam dunia politik. Ini seolah mengirimkan pesan bahwa sejarah buruk seseorang tidak lagi menjadi pertimbangan penting dalam memilih pemimpin. Dampaknya bisa berujung pada penurunan standar moral dan etika dalam politik, di mana rekam jejak kelam dianggap sepele asalkan memiliki modal politik atau popularitas yang memadai.
Selain itu, hal ini juga bisa melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah. Ketika seorang mantan pencandu narkoba bisa lolos menjadi calon pemimpin daerah, masyarakat mempertanyakan kredibilitas proses seleksi dan verifikasi yang dilakukan oleh partai politik maupun lembaga terkait. Keputusan seperti ini bisa memperkuat persepsi bahwa politik lebih mengutamakan kepentingan praktis dan pragmatis dibandingkan dengan kualitas moral dan integritas calon pemimpin.
Selain dari sudut pandang politik, kekhawatiran serupa muncul dari perspektif kesehatan masyarakat, yang melihat dampak lebih luas dari keputusan tersebut. Narkoba tidak hanya meninggalkan jejak pada reputasi, narkoba tidak hanya merusak fisik, tetapi juga dapat mempengaruhi fungsi kognitif dan psikologis seseorang dalam jangka panjang. Meskipun seseorang sudah dinyatakan pulih, potensi dampak residual dari penggunaan narkoba di masa lalu bisa mempengaruhi pengambilan keputusan, terutama dalam situasi krisis atau tekanan tinggi. Ini bisa berdampak pada stabilitas dan efektivitas kepemimpinannya di masa mendatang.
Dengan semua pertimbangan ini, keputusan untuk memilih mantan pencandu narkoba sebagai pemimpin daerah tidak hanya berdampak pada individu tersebut, tetapi juga pada pandangan masyarakat terhadap nilai-nilai yang diusung oleh sistem politik. Jika masyarakat mulai merasa bahwa integritas dan rekam jejak tidak lagi menjadi prioritas, maka kredibilitas demokrasi itu sendiri bisa dipertanyakan. Apakah kita siap mengambil risiko sebesar ini demi memberikan kesempatan kedua pada seseorang yang pernah terjebak dalam jerat narkoba? Sakau, No. Mantap, Yes.(***)
*Ketua Forum Masyarakat Peduli Pilkada Jambi (FMP2J)
OPINI
Penegakan Hukum Lingkungan di Tengah Bencana Ekologis Sumatera: Analisis Dampak terhadap Hak Keberlanjutan
Oleh: Noly Wijaya*
BENCANA ekologis yang melanda Pulau Sumatera sepanjang akhir 2025, khususnya di Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar), bukan hanya menuntut respons darurat, tetapi juga evaluasi mendalam terhadap penegakan hukum lingkungan.
Curah hujan ekstrem yang dipicu Siklon Tropis Senyar pada 24–30 November 2025 telah memicu banjir bandang dan tanah longsor yang menewaskan 969 jiwa—391 di Aceh, 340 di Sumut, dan 238 di Sumbar—serta menyebabkan 212 orang hilang hingga 11 Desember, menurut data terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Tragedi ini, yang menjadi korban terbesar sejak tsunami Palu 2018, merupakan akibat langsung dari deforestasi seluas 1,4 juta hektare antara 2016–2025 akibat pertambangan ilegal dan illegal logging, yang melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Dampaknya tidak hanya ekologis, tetapi juga menggerus hak keberlanjutan generasi mendatang, sebagaimana dijamin Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945.
Kegagalan Penegakan Hukum sebagai Pemicu Bencana Ekologis
Penegakan hukum lingkungan di Sumatera masih terhambat oleh lemahnya pengawasan dan prioritas ekonomi di atas kelestarian alam. Aktivitas pertambangan emas ilegal dan pembukaan lahan sawit tanpa izin lingkungan sah telah merusak hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), mempercepat erosi tanah dan banjir. Pasal 98 UUPPLH secara eksplisit mengatur sanksi pidana hingga 10 tahun penjara bagi pelaku perusakan lingkungan yang mengakibatkan kerugian ekologis, sementara Pasal 50 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengancam pidana bagi illegal logging.
Namun, realitasnya, praktik ini berlangsung tanpa penindakan tegas, seperti yang terlihat dari penyegelan 11 subjek hukum oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru-baru ini atas dugaan perusakan hutan di Sumatera. Respons seperti pengumpulan bahan keterangan oleh Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kehutanan terhadap 12 entitas di Tapanuli terasa reaktif, bukan preventif, dan sering kali terhambat oleh indikasi korupsi dalam pemberian izin usaha pertambangan (IUP).
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut fenomena ini sebagai “legalisasi bencana ekologis,” di mana negara membiarkan deforestasi dan tambang ilegal sebagai bentuk kelalaian struktural. Kejaksaan Agung telah menerjunkan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) untuk mengusut pembukaan lahan tambang ilegal di Sumatera, tetapi kritik muncul karena kurangnya audit independen dan moratorium izin baru. Kasus serupa pada 2023 di Sihotang dan Simangulampe, yang menewaskan puluhan jiwa, menunjukkan pola berulang tanpa pembelajaran hukum yang signifikan.
Referensi Kasus Internasional: Pembelajaran dari Pengadilan Regional dan Global
Pengalaman internasional menunjukkan bahwa penegakan hukum lingkungan yang tegas dapat menjadi alat efektif untuk melindungi hak keberlanjutan. Di tingkat regional, European Court of Human Rights (ECtHR) dalam kasus Verein KlimaSeniorinnen Schweiz and Others v. Switzerland (2024) memutuskan bahwa kelalaian negara dalam mitigasi perubahan iklim melanggar hak atas kehidupan pribadi dan keluarga (Pasal 8 ECHR), karena dampak iklim seperti gelombang panas mengancam kesehatan dan kesejahteraan.
Putusan ini menetapkan kewajiban positif negara untuk mengadopsi langkah mitigasi ambisius, mirip dengan tuntutan citizen lawsuit di Sumbar terhadap kelalaian pencegahan bencana.
Sementara itu, Inter-American Court of Human Rights (IACtHR) dalam kasus Lhaka Honhat Indigenous Communities v. Argentina (2020) untuk pertama kalinya mengakui hak atas lingkungan sehat secara otonom berdasarkan Pasal 26 American Convention on Human Rights, terkait deforestasi yang melanggar hak masyarakat adat atas makanan, air, dan identitas budaya.
Pengadilan memerintahkan restorasi hutan dan akses sumber daya, menekankan interdependensi hak lingkungan dengan hak adat—relevan dengan kerusakan tanah ulayat di Sumatera akibat tambang ilegal.
Di tingkat global, International Court of Justice (ICJ) dalam Advisory Opinion on Obligations of States in respect of Climate Change (2025) menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban hukum untuk mencegah kerusakan lingkungan signifikan, termasuk dari emisi antropogenik, dan bahwa kegagalan ini dapat melanggar hak asasi manusia generasi mendatang.
Prinsip strict liability juga terlihat dalam kasus historis seperti Trail Smelter Arbitration (1938–1941), di mana Kanada bertanggung jawab mutlak atas kerusakan transboundary akibat polusi smelter, tanpa perlu bukti kesalahan.
Kasus-kasus ini memperkuat argumen bahwa bencana Sumatera merupakan pelanggaran HAM struktural, sebagaimana ditegaskan Yayasan TIFA. Korban tidak hanya kehilangan nyawa dan harta, tetapi juga hak atas remedy komprehensif—ekonomi, sosial, dan budaya—sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Dampak terhadap Hak Keberlanjutan: Pelanggaran HAM Struktural dan Ancaman Generasi Mendatang
Bencana ini bukan sekadar force majeure, melainkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) struktural atas lingkungan sehat dan keberlanjutan. Di Sumbar, misalnya, warga telah mengajukan Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit) terhadap Presiden Prabowo Subianto dan 11 pejabat pusat-daerah atas kelalaian pencegahan bencana, dengan dasar Pasal 90 UUPPLH yang mewajibkan restorasi lingkungan rusak. Gugatan ini menyoroti bagaimana kerusakan ekologis akibat illegal mining dan logging mengancam hak konsumen atas lingkungan aman, sebagaimana dianalisis Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Dampak keberlanjutan semakin parah: degradasi hutan primer melepaskan karbon masif, memperburuk perubahan iklim global dan mengancam biodiversitas seperti habitat harimau Sumatera. Secara ekonomi, kerugian mencapai triliunan rupiah dari rusaknya infrastruktur dan hilangnya produktivitas pertanian, sementara sosialnya, masyarakat adat kehilangan tanah ulayat, memicu konflik dan migrasi paksa. Pendekatan green victimology memandang korban sebagai korban viktimisasi ekologis akibat kapitalisme ekstraktif, yang menuntut reformasi hukum untuk melindungi hak generasi mendatang atas sumber daya alam berkelanjutan.
Menuju Reformasi: Moratorium, Nature-Based Solutions, dan Taubat Ekologis
Untuk mengatasi ini, diperlukan moratorium evaluasi seluruh IUP tambang di kawasan rentan, sebagaimana didesak kelompok masyarakat sipil. Nature-based solutions berbasis hak adat, seperti restorasi hutan oleh komunitas lokal, harus menjadi prioritas untuk menyelamatkan “jantung ekologis” Asia Tenggara. Reformasi Undang-Undang Kehutanan diperlukan untuk mengintegrasikan prinsip strict liability dan penguatan peran masyarakat sipil dalam pengawasan.
Pemerintah harus menetapkan status darurat nasional untuk membuka akses kompensasi bagi korban, termasuk ganti rugi dan identifikasi kerugian ekologis.
Bencana Sumatera 2025 adalah panggilan untuk taubat ekologis kolektif: merefleksikan ulang politik hukum yang mengorbankan alam demi pertumbuhan. Tanpa penegakan hukum yang transformatif, hak keberlanjutan akan terus dirampas, meninggalkan warisan kehancuran bagi anak cucu kita. Saatnya bertindak, sebelum tragedi berulang.
*Mahasiswa Program Doktoral Fakultas Ilmu Hukum, Universitas Jambi
OPINI
Krisis Ekologis di Aceh, Sumut, dan Sumbar: Bencana yang Kita Ciptakan Sendiri
Oleh: Nazli (Budak Dusun)
BANJIR bandang, longsor, dan meluapnya sungai di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kembali memperlihatkan kenyataan yang selama ini dihindari: sebagian besar bencana hidrometeorologis di negeri ini bukanlah peristiwa alamiah yang datang tiba-tiba, melainkan buah dari kerusakan ekologis yang dibiarkan berlangsung selama puluhan tahun. Ketika hulu dieksploitasi, DAS dirusak, dan kawasan lindung diubah menjadi area produksi, maka bencana hanyalah konsekuensi logis.
Selama ini, kita terlalu nyaman berlindung di balik narasi “cuaca ekstrem” atau “ini musibah”. Padahal penyebab strukturalnya sudah jelas: deforestasi masif, tata ruang yang longgar, serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Bencana ini bukan sekadar fenomena alam, tetapi refleksi dari tata kelola lingkungan yang gagal.
Tutupan Hutan yang Menyusut dan Fungsi Lindung yang Hilang
Aceh, Sumut, dan Sumbar merupakan kawasan dengan topografi sensitif yang sangat bergantung pada stabilitas hutan alam. Namun dalam 5 – 10 tahun terakhir, tutupan hutan di tiga provinsi itu menurun drastis akibat ekspansi perkebunan dan kegiatan pertambangan. Hilangnya vegetasi penahan air memperbesar limpasan permukaan, mempercepat sedimentasi sungai, dan membuat lereng semakin rentan longsor.
Ketika fungsi lindung menghilang, tanah kehilangan kemampuan menahan air. Sungai kehilangan ruang alirnya. Pada akhirnya masyarakat di hilir menjadi korban keputusan yang tidak mereka buat.
Tumpang Tindih Perizinan dan Pengawasan yang Terlambat
Salah satu sumber masalah terbesar adalah tumpang tindihnya izin lahan. Banyak konsesi diberikan tanpa pertimbangan matang terhadap bentang alam dan kapasitas ekosistem. Lebih parah lagi, mekanisme pengawasan pada banyak kasus tidak berjalan efektif. Pemerintah sering kali baru hadir setelah rumah-rumah hanyut atau korban berjatuhan.
Pendekatan reaktif semacam ini tidak lagi relevan. Dengan frekuensi bencana yang semakin meningkat, negara harus bergerak sebagai pengelola risiko, bukan sekadar responsor darurat.
Ketika Kepentingan Ekonomi Mengalahkan Kepentingan Ekologis
Dalam sejumlah kasus, kebijakan tata ruang dan perlindungan lingkungan tergerus oleh kepentingan ekonomi jangka pendek. Hubungan yang terlalu dekat antara pengambil kebijakan dan pemilik modal membuat banyak keputusan strategis kehilangan perspektif ekologis. Akibatnya, kawasan rawan tetap dieksploitasi dan risiko bencana terus meningkat.
Selama kebijakan lingkungan dapat dinegosiasikan, selama itu pula masyarakat akan tetap berada dalam ancaman bencana yang sebenarnya bisa dicegah.
Apa yang Harus Dilakukan?
1. Moratorium Izin di Kawasan Rawan
Pemerintah perlu memberlakukan moratorium total terhadap izin baru di hulu DAS, lereng curam, dan kawasan rawan bencana. Moratorium harus diikuti audit menyeluruh terhadap konsesi yang sudah berjalan.
2. Audit Lingkungan yang Transparan dan Dapat Diakses Publik
Semua hasil audit harus dipublikasikan, termasuk siapa yang melanggar, apa pelanggarannya, dan bagaimana tindak lanjut penegakannya. Transparansi adalah fondasi akuntabilitas.
3. Penegakan Hukum Tanpa Kompromi
Pelanggaran lingkungan harus diperlakukan sebagai kejahatan serius. Penegakan hukum yang konsisten dan tidak tebang pilih adalah langkah penting untuk menghentikan budaya pembiaran.
4. Rehabilitasi DAS dan Reforestasi Berbasis Sains
Restorasi lingkungan harus dilakukan secara terukur, bukan sekadar seremonial. Prioritasnya meliputi stabilisasi lereng, pemulihan resapan, penguatan bantaran sungai, dan peningkatan tutupan vegetasi.
5. Penataan Ulang Tata Ruang
Tata ruang di ketiga provinsi itu perlu dikaji ulang secara ilmiah dengan mempertimbangkan faktor geologi, hidrologi, dan proyeksi risiko bencana. Kebijakan tata ruang tidak boleh lagi tunduk pada tekanan ekonomi jangka pendek.
Penutup
Bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar bukanlah kejadian yang tak terelakkan. Ia adalah akumulasi dari kebijakan yang mengabaikan keseimbangan ekologis. Setiap musim hujan kini menjadi pengingat bahwa kita sedang membayar mahal keputusan yang keliru.
Sudah saatnya negara mengembalikan keberpihakan pada keselamatan warganya dan keberlanjutan lingkungan hidup. Jika tidak, tragedi yang kita saksikan hari ini akan terus berulang dan sejarah akan mencatat bahwa bencana itu sebenarnya bisa dicegah.
OPINI
Politik Hukum dalam Pembentukan Undang-Undang: Meneguhkan Prinsip Negara Hukum atau Menegaskan Dominasi Kekuasaan?
Oleh: Juwika Pasaribu (P2B125067)*
DALAM idealitas konstitusi, hukum berada di atas kekuasaan. Namun dalam praktik politik hukum Indonesia, garis itu kerap kabur. Legislasi yang seharusnya menjadi wujud kehendak rakyat justru sering berubah menjadi instrumen politik kekuasaan. Pertanyaan mendasarnya pun muncul: apakah politik hukum Indonesia hari ini meneguhkan prinsip negara hukum atau justru menegaskan dominasi kekuasaan?
Secara konseptual, politik hukum adalah arah kebijakan hukum nasional yang menentukan bagaimana hukum dibentuk, diterapkan, dan ditegakkan dalam suatu negara. Mahfud MD (2009) mendefinisikannya sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan untuk mencapai citacita bangsa. Dengan kata lain, politik hukum adalah kompas yang seharusnya menuntun pembentukan undang-undang agar selaras dengan nilai-nilai konstitusi, bukan sekadar kepentingan penguasa.
Namun, praktik politik hukum Indonesia belakangan menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Contoh konkretnya dalam Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), pengesahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja hingga pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara memperlihatkan kecenderungan kuat bahwa politik hukum lebih banyak diarahkan untuk memperkuat struktur kekuasaan ketimbang mewujudkan keadilan sosial dan aspirasi masyarakat.
Revisi Undang-Undang KPK pada penerapannya dinilai akan melemahkan independensi lembaga antikorupsi, Undang-Undang Cipta Kerja disahkan secara tergesa tanpa partisipasi publik yang memadai dan bahkan dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, sementara UU IKN dinilai terburu-buru dan lebih mencerminkan kehendak politik pemerintah pusat daripada aspirasi rakyat.
Asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 hanya dijalankan sebatas formalitas administratif tanpa makna substantif. Publik memang diundang dalam forum konsultasi, tetapi ruang partisipasinya terbatas dan tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil akhir. Proses legislasi seperti ini menggeser makna hukum dari instrumen keadilan menjadi alat legitimasi kebijakan yang pada akhirnya rakyat hanya menjadi penonton dalam drama hukum yang disutradarai oleh kekuasaan.
Kondisi ini mengikis prinsip dasar negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Negara hukum mensyaratkan supremasi hukum atas kekuasaan, perlindungan hak asasi, serta adanya partisipasi publik dalam proses legislasi. Ketika proses pembentukan undangundang lebih menonjolkan kepentingan politik jangka pendek, maka prinsip negara hukum terdegradasi menjadi sekadar slogan konstitusional. Pemerintah dan DPR kerap berdalih bahwa percepatan legislasi dibutuhkan untuk kepastian hukum dan efisiensi kebijakan.
Namun, kepastian hukum yang tidak dilandasi legitimasi publik justru menimbulkan ketidakpastian sosial. Kepastian hukum yang dibangun di atas dominasi politik adalah kepastian semu, stabil di permukaan tetapi rapuh di dasar. Padahal, menurut Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya mengandung dimensi moral dan sosial yang berpihak pada keadilan, bukan sekadar mengabdi pada logika kekuasaan formal.
Dalam pandangan teori responsive law yang dikemukakan oleh Philip Nonet dan Philip Selznick, hukum ideal adalah hukum yang peka terhadap nilai-nilai masyarakat dan mampu beradaptasi terhadap tuntutan keadilan sosial. Artinya, pembentukan hukum harus partisipatif dan terbuka agar produk hukum tidak hanya sah secara formal, tetapi juga sah secara moral dan sosial. Karena itu, tantangan politik hukum Indonesia ke depan bukan hanya soal memperbanyak produk legislasi, tetapi menata kembali orientasinya. Hukum harus kembali menjadi instrumen moral untuk menegakkan keadilan, bukan alat taktis kekuasaan. Pemerintah dan DPR perlu mengembalikan fungsi legislasi sebagai ruang deliberatif yang mengutamakan dialog, transparansi, dan akuntabilitas.
Partisipasi publik harus dihidupkan kembali secara bermakna, bukan sekadar diundang dalam dengar pendapat, tetapi benar-benar dilibatkan dalam penyusunan kebijakan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi. Asas keterbukaan tidak boleh berhenti di meja administratif, melainkan menjadi ukuran kualitas demokrasi hukum. Tanpa pembenahan arah politik hukum, Indonesia berisiko terus melahirkan undang-undang yang sah secara formal namun kehilangan legitimasi sosial.
Ketika legitimasi publik hilang, hukum tidak lagi menjadi pemandu kehidupan bernegara, melainkan hanya pelengkap formal dari kehendak kekuasaan. Pada akhirnya, ukuran kemajuan negara hukum bukan terletak pada banyaknya undang-undang yang dihasilkan, melainkan pada sejauh mana hukum benarbenar menjadi penuntun bagi kekuasaan, bukan pelayannya
*Penulis merupakan mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.

