Connect with us
Advertisement

OPINI

Perda untuk Pesantren: Membangun Generasi Bersinar (Bersih Narkoba)

DETAIL.ID

Published

on

GUBERNUR Jambi, Al Haris, menunjukkan perhatian dan kepedulian yang nyata terhadap pembangunan pondok pesantren di Provinsi Jambi. Bukti komitmennya terlihat melalui terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jambi Nomor 09 Tahun 2022 yang mengatur tentang Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren.

Perda ini merupakan langkah strategis untuk memberikan dukungan hukum dan anggaran yang diperlukan dalam pengembangan pesantren, yang dikenal sebagai lembaga pendidikan yang berperan penting dalam pembentukan karakter dan penguatan akhlak generasi muda.

Dari 38 provinsi yang ada di Indonesia, 13 provinsi di antaranya memiliki regulasi untuk pendanaan dalam penyelenggaraan pembangunan pesantren. Namun, dari 13 provinsi tersebut, hanya menetapkan peraturan daerah (Perda) tanpa mengalokasikan biaya anggaran yang jelas untuk pembangunan pondok pesantren. Berbeda dengan Provinsi Jambi, yang tidak hanya berhasil menetapkan Perda, tetapi juga secara komprehensif menentukan anggaran pendanaannya.

Perda ini tidak hanya menjadi regulasi di atas kertas, tetapi juga didukung oleh pengalokasian anggaran yang jelas dan terarah. Gubernur Jambi Al Haris memastikan bahwa Perda tersebut diimplementasikan secara nyata dengan dukungan dana yang signifikan, menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mendukung pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan.

Selama tiga tahun kepemimpinan Gubernur Jambi Al Haris, Pemerintah Provinsi Jambi telah menunjukkan komitmen yang nyata dalam mendukung lembaga pendidikan keagamaan, khususnya pondok pesantren (Ponpes). Melalui alokasi anggaran yang signifikan, Pemprov Jambi telah menganggarkan total Rp 77,5 miliar pada tahun 2022, 2023, dan 2024 untuk mendukung berbagai kebutuhan Ponpes dan lembaga pendidikan keagamaan di provinsi tersebut.

Rincian anggaran ini mencakup beberapa komponen utama, yaitu hibah langsung kepada pondok pesantren sesuai dengan kebutuhan santri dan asrama, program tahfidz Al Qur’an, serta bantuan untuk sarana dan prasarana (Sapras) asrama, ruang belajar, dan masjid atau musholla. Selain memberikan hibah langsung kepada pesantren, Pemprov Jambi juga menaruh perhatian khusus pada pengembangan program-program unggulan di lingkungan pesantren.

Salah satu program yang menjadi fokus adalah Tahfidz Al Qur’an, yang bertujuan untuk mencetak generasi penghafal Al-Qur’an yang berakhlak mulia. Secara detail, alokasi hibah kepada Ponpes mencapai Rp 8,6 miliar setiap tahunnya selama tiga tahun, sehingga totalnya mencapai Rp 25,8 miliar. Selain itu, dalam upaya mendukung program tahfidz Al Qur’an, pemerintah juga mengalokasikan dana sebesar Rp 300 juta pada tahun 2022 dan meningkat menjadi Rp 3,2 miliar pada tahun 2023 dan 2024, sehingga total anggaran untuk program ini mencapai Rp 6,7 miliar.

Komponen penting lainnya adalah dukungan untuk pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana di Ponpes dan lembaga keagamaan, yang dialokasikan sebesar Rp 15 miliar setiap tahun selama tiga tahun berturut-turut, dengan total Rp 45 miliar. Anggaran ini bertujuan untuk memastikan kualitas fasilitas yang memadai bagi para santri dan staf pengajar, menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih kondusif.

Dari total anggaran Rp 77,5 miliar tersebut, terlihat bagaimana Pemprov Jambi tidak hanya memberikan perhatian pada kesejahteraan santri, tetapi juga mendorong pengembangan lembaga pendidikan keagamaan secara keseluruhan. Gubernur Al Haris dengan tegas menempatkan pondok pesantren sebagai salah satu prioritas pembangunan, mengingat perannya yang vital dalam membina generasi muda dan menjaga nilai-nilai agama di tengah masyarakat Jambi.

Dengan adanya dukungan finansial ini, diharapkan Ponpes dan lembaga pendidikan keagamaan di Provinsi Jambi mampu berkembang lebih pesat, meningkatkan kualitas pendidikan, serta memberikan kontribusi yang lebih besar dalam membentuk generasi penerus yang berakhlak mulia dan berdaya saing tinggi di masa depan.

Total anggaran Rp 77,5 miliar yang dialokasikan selama tiga tahun merupakan bukti konkret komitmen Pemprov Jambi di bawah kepemimpinan Al Haris dalam mendukung sektor pendidikan keagamaan, sebagai bagian dari visi besar untuk mewujudkan Jambi yang lebih sejahtera dan religius.

Kepedulian Provinsi Jambi dalam memberikan anggaran untuk pembangunan pesantren mencerminkan komitmen yang kuat terhadap pengembangan pendidikan agama dan kualitas sumber daya manusia. Dengan adanya anggaran tersebut, diharapkan pondok pesantren dapat beroperasi secara maksimal, meningkatkan fasilitas, dan memberikan pendidikan yang lebih baik bagi santri. Ini juga menjadi langkah strategis dalam mendukung visi pembangunan daerah yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan lokal.

Selain itu, kebijakan ini diharapkan dapat menarik perhatian masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan pesantren. Dengan adanya dukungan anggaran yang jelas, masyarakat akan lebih termotivasi untuk berkontribusi baik dalam bentuk dana maupun sumber daya lainnya. Oleh karena itu, langkah yang diambil oleh Gubernur Al Haris dapat menjadi contoh bagi provinsi lain dalam mengelola dan memprioritaskan pendidikan pesantren sebagai bagian integral dari pembangunan daerah.

Gubernur Al Haris menyadari bahwa pesantren bukan hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai pusat pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, dukungan terhadap pesantren diharapkan dapat berkontribusi pada pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama di daerah-daerah terpencil. Dalam hal ini, pondok pesantren berfungsi sebagai pilar penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi di Provinsi Jambi.

Dengan adanya regulasi ini, diharapkan pesantren-pesantren di Jambi dapat menjadi lebih mandiri dan berdaya saing, serta mampu mencetak generasi ‘Bersinar’ (Bersih dari Narkoba) yang tidak hanya unggul dalam bidang akademik, tetapi juga memiliki jiwa kepemimpinan dan keterampilan yang relevan dengan tuntutan era modern. Gubernur Al Haris menyadari bahwa pesantren memiliki peran strategis, tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai pusat pembentukan karakter dan pemberdayaan masyarakat.

Peran pesantren yang begitu penting dalam pembentukan karakter dan pemberdayaan masyarakat menjadikan regulasi ini sebagai langkah yang sangat strategis. Kebijakan ini tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari visi besar Pemerintah Provinsi Jambi untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan religius. Dengan memberikan perhatian khusus pada pengembangan lembaga pendidikan keagamaan, Gubernur Al Haris berkomitmen untuk menjaga agar nilai-nilai agama dan budaya lokal tetap menjadi landasan kuat dalam membangun masa depan Provinsi Jambi yang lebih baik. Langkah ini merupakan cerminan dari kepedulian nyata terhadap pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas, bermoral, dan berdaya saing. Mantap, lanjutkan. (***)

*Akademisi UIN STS Jambi

Advertisement Advertisement

OPINI

Politik Hukum dalam Pembentukan Undang-Undang: Meneguhkan Prinsip Negara Hukum atau Menegaskan Dominasi Kekuasaan?

Oleh: Juwika Pasaribu (P2B125067)*

DETAIL.ID

Published

on

DALAM idealitas konstitusi, hukum berada di atas kekuasaan. Namun dalam praktik politik hukum Indonesia, garis itu kerap kabur. Legislasi yang seharusnya menjadi wujud kehendak rakyat justru sering berubah menjadi instrumen politik kekuasaan. Pertanyaan mendasarnya pun muncul: apakah politik hukum Indonesia hari ini meneguhkan prinsip negara hukum atau justru menegaskan dominasi kekuasaan?

Secara konseptual, politik hukum adalah arah kebijakan hukum nasional yang menentukan bagaimana hukum dibentuk, diterapkan, dan ditegakkan dalam suatu negara. Mahfud MD (2009) mendefinisikannya sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan untuk mencapai citacita bangsa. Dengan kata lain, politik hukum adalah kompas yang seharusnya menuntun pembentukan undang-undang agar selaras dengan nilai-nilai konstitusi, bukan sekadar kepentingan penguasa.

Namun, praktik politik hukum Indonesia belakangan menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Contoh konkretnya dalam Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), pengesahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja hingga pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara memperlihatkan kecenderungan kuat bahwa politik hukum lebih banyak diarahkan untuk memperkuat struktur kekuasaan ketimbang mewujudkan keadilan sosial dan aspirasi masyarakat.

Revisi Undang-Undang KPK pada penerapannya dinilai akan melemahkan independensi lembaga antikorupsi, Undang-Undang Cipta Kerja disahkan secara tergesa tanpa partisipasi publik yang memadai dan bahkan dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, sementara UU IKN dinilai terburu-buru dan lebih mencerminkan kehendak politik pemerintah pusat daripada aspirasi rakyat.

Asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 hanya dijalankan sebatas formalitas administratif tanpa makna substantif. Publik memang diundang dalam forum konsultasi, tetapi ruang partisipasinya terbatas dan tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil akhir. Proses legislasi seperti ini menggeser makna hukum dari instrumen keadilan menjadi alat legitimasi kebijakan yang pada akhirnya rakyat hanya menjadi penonton dalam drama hukum yang disutradarai oleh kekuasaan.

Kondisi ini mengikis prinsip dasar negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Negara hukum mensyaratkan supremasi hukum atas kekuasaan, perlindungan hak asasi, serta adanya partisipasi publik dalam proses legislasi. Ketika proses pembentukan undangundang lebih menonjolkan kepentingan politik jangka pendek, maka prinsip negara hukum terdegradasi menjadi sekadar slogan konstitusional. Pemerintah dan DPR kerap berdalih bahwa percepatan legislasi dibutuhkan untuk kepastian hukum dan efisiensi kebijakan.

Namun, kepastian hukum yang tidak dilandasi legitimasi publik justru menimbulkan ketidakpastian sosial. Kepastian hukum yang dibangun di atas dominasi politik adalah kepastian semu, stabil di permukaan tetapi rapuh di dasar. Padahal, menurut Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya mengandung dimensi moral dan sosial yang berpihak pada keadilan, bukan sekadar mengabdi pada logika kekuasaan formal.

Dalam pandangan teori responsive law yang dikemukakan oleh Philip Nonet dan Philip Selznick, hukum ideal adalah hukum yang peka terhadap nilai-nilai masyarakat dan mampu beradaptasi terhadap tuntutan keadilan sosial. Artinya, pembentukan hukum harus partisipatif dan terbuka agar produk hukum tidak hanya sah secara formal, tetapi juga sah secara moral dan sosial. Karena itu, tantangan politik hukum Indonesia ke depan bukan hanya soal memperbanyak produk legislasi, tetapi menata kembali orientasinya. Hukum harus kembali menjadi instrumen moral untuk menegakkan keadilan, bukan alat taktis kekuasaan. Pemerintah dan DPR perlu mengembalikan fungsi legislasi sebagai ruang deliberatif yang mengutamakan dialog, transparansi, dan akuntabilitas.

Partisipasi publik harus dihidupkan kembali secara bermakna, bukan sekadar diundang dalam dengar pendapat, tetapi benar-benar dilibatkan dalam penyusunan kebijakan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi. Asas keterbukaan tidak boleh berhenti di meja administratif, melainkan menjadi ukuran kualitas demokrasi hukum. Tanpa pembenahan arah politik hukum, Indonesia berisiko terus melahirkan undang-undang yang sah secara formal namun kehilangan legitimasi sosial.

Ketika legitimasi publik hilang, hukum tidak lagi menjadi pemandu kehidupan bernegara, melainkan hanya pelengkap formal dari kehendak kekuasaan. Pada akhirnya, ukuran kemajuan negara hukum bukan terletak pada banyaknya undang-undang yang dihasilkan, melainkan pada sejauh mana hukum benarbenar menjadi penuntun bagi kekuasaan, bukan pelayannya

*Penulis merupakan mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.

Continue Reading

OPINI

Politik Hukum dalam UU Cipta Kerja: Ekonomi dan Keadilan Konstitusional

Oleh: Okto Simangunsong, S.H*

DETAIL.ID

Published

on

POLITIK hukum pada hakikatnya merupakan kebijakan dasar yang menentukan arah pembentukan dan penegakan hukum suatu negara. Mahfud MD mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku untuk mencapai tujuan negara.

Definisi tersebut menegaskan bahwa hukum tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan merupakan hasil interaksi antara nilai, kekuasaan, dan kepentingan sosial-politik.

Dalam konteks Indonesia, politik hukum sering kali menjadi arena tarik-menarik antara tujuan pembangunan ekonomi dan prinsip keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. UU Cipta Kerja menjadi contoh konkret bagaimana arah politik hukum dapat bergeser menuju orientasi efisiensi ekonomi dengan mengorbankan partisipasi publik serta kualitas legislasi.

Metode omnibus law yang digunakan dalam pembentukan UU Cipta Kerja memang dimaksudkan untuk merapikan tumpang tindih regulasi dan mempercepat investasi. Namun, cara dan hasilnya menimbulkan kritik luas karena dinilai mengabaikan asas keterbukaan dan partisipasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Dasar Teoretis dan Kerangka Regulasi

Secara teoretis, politik hukum merupakan wujud nyata dari policy oriented law making, di mana pembentukan hukum diarahkan oleh agenda politik negara. Menurut Padmo Wahyono (1986), politik hukum adalah kebijakan dasar dalam bidang hukum yang menjadi pedoman bagi pembentukan hukum untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Dengan demikian, politik hukum memiliki dua dimensi yakni normatif dan politis.

Dalam kerangka konstitusional, pengawasan terhadap produk politik hukum dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui kewenangan judicial review sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Mekanisme ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa setiap undang-undang selaras dengan prinsip konstitusi, terutama dalam hal keadilan, keterbukaan, dan penghormatan terhadap hak-hak warga negara.

UU Cipta Kerja dan revisinya melalui UU Nomor 6 Tahun 2023 menjadi ujian nyata bagi kedua aspek tersebut, apakah politik hukum pembentukannya masih berada dalam koridor konstitusi, dan sejauh mana MK berperan menjaga keseimbangan antara kekuasaan politik dan supremasi hukum.

Analisis Politik Hukum dalam UU Cipta Kerja

UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa politik hukum Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif. Pemerintah, dengan dukungan mayoritas politik di DPR, berhasil mendorong lahirnya undang-undang yang mengubah lebih dari 70 undang-undang sektoral sekaligus. Proses legislasi yang cepat, tertutup, dan minim partisipasi publik memperlihatkan bahwa hukum telah dijadikan instrumen kebijakan pembangunan ekonomi.

Kondisi ini memperlihatkan gejala instrumentalization of law  hukum tidak lagi menjadi alat kontrol terhadap kekuasaan, melainkan alat legitimasi kekuasaan itu sendiri. Dalam konteks ini, efisiensi prosedural digunakan sebagai alasan untuk mengesampingkan nilai-nilai demokrasi substantif.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat merupakan wujud dari pengawasan konstitusional yang efektif. MK menegaskan bahwa pembentukan undang-undang harus memenuhi asas partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) sebagai bagian dari prinsip negara hukum.

Namun, tindak lanjut pemerintah melalui penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023, memperlihatkan kecenderungan resistensi terhadap koreksi yudisial. Alih-alih memperbaiki proses legislasi, pemerintah justru mengulangi pendekatan serupa dengan dalih mendesak kebutuhan ekonomi nasional. Fenomena ini memperlihatkan bahwa politik hukum di Indonesia masih belum sepenuhnya menghormati prinsip checks and balances.

Secara filosofis, politik hukum seharusnya berorientasi pada rule of law, yakni menempatkan hukum di atas kekuasaan. Namun praktik dalam pembentukan dan perubahan UU Cipta Kerja justru mencerminkan rule by law, yaitu penggunaan hukum sebagai instrumen legitimasi kebijakan politik.
Ketika hukum dikendalikan oleh kekuasaan politik, maka fungsi normatifnya sebagai pelindung keadilan sosial dan lingkungan hidup melemah. Akibatnya, hukum kehilangan legitimasi moral di mata publik.

Politik hukum pembentukan UU Cipta Kerja menunjukkan dua wajah. Di satu sisi, hukum berfungsi sebagai sarana untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan investasi. Namun di sisi lain, hukum kehilangan fungsi sosialnya sebagai instrumen keadilan. Keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan substantif menjadi terdistorsi.

Partisipasi publik yang minim dan pengabaian terhadap asas keterbukaan telah menimbulkan defisit legitimasi dalam politik hukum nasional. Ketika hukum tidak lagi dipersepsikan sebagai milik bersama, melainkan sebagai produk elit politik, maka kepercayaan publik terhadap negara hukum pun melemah.

Penutup

UU Cipta Kerja menjadi cermin nyata bagaimana politik hukum dapat bergeser dari orientasi keadilan menuju pragmatisme ekonomi. Dominasi eksekutif, lemahnya partisipasi publik, dan resistensi terhadap pengawasan yudisial menandakan bahwa sistem hukum Indonesia masih rentan terhadap politisasi.

Untuk membangun politik hukum yang konstitusional, dibutuhkan komitmen pada tiga hal pokok; (1). Menegakkan asas partisipasi publik yang bermakna dalam setiap proses legislasi. (2). Menghormati putusan Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk kontrol konstitusional, bukan sekadar formalitas hukum. (3). Menempatkan hukum sebagai sarana keadilan sosial, bukan alat legitimasi kebijakan ekonomi.

Hukum yang baik bukanlah hukum yang paling efisien, tetapi hukum yang paling adil. Politik hukum yang berorientasi pada keadilan konstitusional akan memastikan bahwa pembangunan ekonomi tidak mengorbankan hak rakyat dan prinsip negara hukum.

*Penulis merupakan Advokad dan mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.

Continue Reading

OPINI

Pesan Tegas Prabowo dan Cermin Buram Penegakan Hukum Kita

Oleh: Nazli*

DETAIL.ID

Published

on

PERNYATAAN Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini layak diapresiasi tinggi oleh rakyat. Dalam arahannya, Presiden menegaskan agar aparat penegak hukum tidak berbuat dzalim terhadap rakyat kecil dan tidak menjadikan hukum sebagai alat penindasan.

“Saya ingatkan terus kejaksaan, kepolisian, jangan kriminalisasi sesuatu yang tidak ada. Hukum jangan tumpul ke atas, tajam ke bawah,” ujar Prabowo di kantor Kejaksaan Agung usai menyaksikan penyerahan uang pengganti kerugian kasus CPO di Jakarta pada Senin, 20 Oktober 2025.

Pernyataan tersebut bukanlah basa-basi politik, melainkan tamparan moral bagi institusi penegak hukum yang selama ini dinilai gagal menjaga rasa keadilan publik. Kalimat Prabowo menyentuh inti luka sosial bangsa dan “ketimpangan penegakan hukum”.

Kita tidak menutup mata: hukum di Indonesia masih sering berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan. Rakyat kecil bisa dijerat karena perkara sepele, ada seorang ibu rumah tangga ditahan karena mencuri kayu bakar, seorang petani dipenjara karena bersengketa dengan perusahaan besar, seorang anak sekolah diseret ke pengadilan karena mencuri ayam.

Namun di sisi lain, pelanggaran besar oleh korporasi perusak lingkungan, pengemplang pajak, atau pelaku korupsi kerap “diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan”.
Inilah wajah hukum yang menakutkan bagi yang lemah, tapi lembek terhadap yang kuat.
Hukum yang tidak lagi menjadi pelindung keadilan, melainkan alat kekuasaan.

Kriminalisasi rakyat kecil bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah kemanusiaan. Banyak kasus bukan lahir dari niat jahat, tetapi dari kemiskinan yang sistemik. Petani yang menggarap tanah turun-temurun dianggap menyerobot lahan perusahaan; nelayan kecil yang mencari ikan dianggap melanggar izin laut; warga miskin kota yang berdagang di trotoar ditertibkan tanpa solusi.

Inilah bentuk nyata kriminalisasi kemiskinan, ketika hidup sederhana dianggap pelanggaran, dan perjuangan bertahan hidup dianggap kejahatan.

Pesan Presiden Prabowo seharusnya membuka mata para penegak hukum bahwa keadilan tidak bisa diukur dari seberapa banyak orang ditangkap, tetapi diukur seberapa adil hukum ditegakkan.

Kini saatnya aparat hukum membuktikan diri: apakah pesan Presiden hanya akan menjadi hiasan berita, atau benar-benar dijalankan di lapangan. Polisi, jaksa, dan hakim harus mulai bekerja dengan nurani. Karena hukum tanpa empati adalah kezaliman yang dilegalkan.

Bila rakyat kecil bisa diproses cepat, maka pelaku besar juga harus diproses lebih cepat. Bila rakyat miskin bisa diseret ke pengadilan, maka pengusaha dan pejabat yang korup juga harus diseret, tanpa pandang bulu.

Rakyat kecil kini menaruh harapan baru pada Presiden Prabowo. Namun harapan itu hanya akan hidup bila aparat hukum menindaklanjuti pesan beliau dengan tindakan nyata. Karena rakyat sudah terlalu sering mendengar janji keadilan, tapi jarang merasakannya.

Bila hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka rakyat akan terus kehilangan kepercayaan. Dan bila kepercayaan rakyat telah hilang, maka hukum kehilangan wibawa, dan negara kehilangan jiwanya.

*Humas DPD Gerindra Jambi

Continue Reading
Advertisement Advertisement
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs