OPINI
Perda untuk Pesantren: Membangun Generasi Bersinar (Bersih Narkoba)

GUBERNUR Jambi, Al Haris, menunjukkan perhatian dan kepedulian yang nyata terhadap pembangunan pondok pesantren di Provinsi Jambi. Bukti komitmennya terlihat melalui terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jambi Nomor 09 Tahun 2022 yang mengatur tentang Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren.
Perda ini merupakan langkah strategis untuk memberikan dukungan hukum dan anggaran yang diperlukan dalam pengembangan pesantren, yang dikenal sebagai lembaga pendidikan yang berperan penting dalam pembentukan karakter dan penguatan akhlak generasi muda.
Dari 38 provinsi yang ada di Indonesia, 13 provinsi di antaranya memiliki regulasi untuk pendanaan dalam penyelenggaraan pembangunan pesantren. Namun, dari 13 provinsi tersebut, hanya menetapkan peraturan daerah (Perda) tanpa mengalokasikan biaya anggaran yang jelas untuk pembangunan pondok pesantren. Berbeda dengan Provinsi Jambi, yang tidak hanya berhasil menetapkan Perda, tetapi juga secara komprehensif menentukan anggaran pendanaannya.
Perda ini tidak hanya menjadi regulasi di atas kertas, tetapi juga didukung oleh pengalokasian anggaran yang jelas dan terarah. Gubernur Jambi Al Haris memastikan bahwa Perda tersebut diimplementasikan secara nyata dengan dukungan dana yang signifikan, menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mendukung pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan.
Selama tiga tahun kepemimpinan Gubernur Jambi Al Haris, Pemerintah Provinsi Jambi telah menunjukkan komitmen yang nyata dalam mendukung lembaga pendidikan keagamaan, khususnya pondok pesantren (Ponpes). Melalui alokasi anggaran yang signifikan, Pemprov Jambi telah menganggarkan total Rp 77,5 miliar pada tahun 2022, 2023, dan 2024 untuk mendukung berbagai kebutuhan Ponpes dan lembaga pendidikan keagamaan di provinsi tersebut.
Rincian anggaran ini mencakup beberapa komponen utama, yaitu hibah langsung kepada pondok pesantren sesuai dengan kebutuhan santri dan asrama, program tahfidz Al Qur’an, serta bantuan untuk sarana dan prasarana (Sapras) asrama, ruang belajar, dan masjid atau musholla. Selain memberikan hibah langsung kepada pesantren, Pemprov Jambi juga menaruh perhatian khusus pada pengembangan program-program unggulan di lingkungan pesantren.
Salah satu program yang menjadi fokus adalah Tahfidz Al Qur’an, yang bertujuan untuk mencetak generasi penghafal Al-Qur’an yang berakhlak mulia. Secara detail, alokasi hibah kepada Ponpes mencapai Rp 8,6 miliar setiap tahunnya selama tiga tahun, sehingga totalnya mencapai Rp 25,8 miliar. Selain itu, dalam upaya mendukung program tahfidz Al Qur’an, pemerintah juga mengalokasikan dana sebesar Rp 300 juta pada tahun 2022 dan meningkat menjadi Rp 3,2 miliar pada tahun 2023 dan 2024, sehingga total anggaran untuk program ini mencapai Rp 6,7 miliar.
Komponen penting lainnya adalah dukungan untuk pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana di Ponpes dan lembaga keagamaan, yang dialokasikan sebesar Rp 15 miliar setiap tahun selama tiga tahun berturut-turut, dengan total Rp 45 miliar. Anggaran ini bertujuan untuk memastikan kualitas fasilitas yang memadai bagi para santri dan staf pengajar, menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih kondusif.
Dari total anggaran Rp 77,5 miliar tersebut, terlihat bagaimana Pemprov Jambi tidak hanya memberikan perhatian pada kesejahteraan santri, tetapi juga mendorong pengembangan lembaga pendidikan keagamaan secara keseluruhan. Gubernur Al Haris dengan tegas menempatkan pondok pesantren sebagai salah satu prioritas pembangunan, mengingat perannya yang vital dalam membina generasi muda dan menjaga nilai-nilai agama di tengah masyarakat Jambi.
Dengan adanya dukungan finansial ini, diharapkan Ponpes dan lembaga pendidikan keagamaan di Provinsi Jambi mampu berkembang lebih pesat, meningkatkan kualitas pendidikan, serta memberikan kontribusi yang lebih besar dalam membentuk generasi penerus yang berakhlak mulia dan berdaya saing tinggi di masa depan.
Total anggaran Rp 77,5 miliar yang dialokasikan selama tiga tahun merupakan bukti konkret komitmen Pemprov Jambi di bawah kepemimpinan Al Haris dalam mendukung sektor pendidikan keagamaan, sebagai bagian dari visi besar untuk mewujudkan Jambi yang lebih sejahtera dan religius.
Kepedulian Provinsi Jambi dalam memberikan anggaran untuk pembangunan pesantren mencerminkan komitmen yang kuat terhadap pengembangan pendidikan agama dan kualitas sumber daya manusia. Dengan adanya anggaran tersebut, diharapkan pondok pesantren dapat beroperasi secara maksimal, meningkatkan fasilitas, dan memberikan pendidikan yang lebih baik bagi santri. Ini juga menjadi langkah strategis dalam mendukung visi pembangunan daerah yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan lokal.
Selain itu, kebijakan ini diharapkan dapat menarik perhatian masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan pesantren. Dengan adanya dukungan anggaran yang jelas, masyarakat akan lebih termotivasi untuk berkontribusi baik dalam bentuk dana maupun sumber daya lainnya. Oleh karena itu, langkah yang diambil oleh Gubernur Al Haris dapat menjadi contoh bagi provinsi lain dalam mengelola dan memprioritaskan pendidikan pesantren sebagai bagian integral dari pembangunan daerah.
Gubernur Al Haris menyadari bahwa pesantren bukan hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai pusat pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, dukungan terhadap pesantren diharapkan dapat berkontribusi pada pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama di daerah-daerah terpencil. Dalam hal ini, pondok pesantren berfungsi sebagai pilar penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi di Provinsi Jambi.
Dengan adanya regulasi ini, diharapkan pesantren-pesantren di Jambi dapat menjadi lebih mandiri dan berdaya saing, serta mampu mencetak generasi ‘Bersinar’ (Bersih dari Narkoba) yang tidak hanya unggul dalam bidang akademik, tetapi juga memiliki jiwa kepemimpinan dan keterampilan yang relevan dengan tuntutan era modern. Gubernur Al Haris menyadari bahwa pesantren memiliki peran strategis, tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai pusat pembentukan karakter dan pemberdayaan masyarakat.
Peran pesantren yang begitu penting dalam pembentukan karakter dan pemberdayaan masyarakat menjadikan regulasi ini sebagai langkah yang sangat strategis. Kebijakan ini tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari visi besar Pemerintah Provinsi Jambi untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan religius. Dengan memberikan perhatian khusus pada pengembangan lembaga pendidikan keagamaan, Gubernur Al Haris berkomitmen untuk menjaga agar nilai-nilai agama dan budaya lokal tetap menjadi landasan kuat dalam membangun masa depan Provinsi Jambi yang lebih baik. Langkah ini merupakan cerminan dari kepedulian nyata terhadap pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas, bermoral, dan berdaya saing. Mantap, lanjutkan. (***)
*Akademisi UIN STS Jambi

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah cerminan tata kelola keuangan dan prioritas pembangunan suatu daerah. APBD Provinsi Jambi selama beberapa tahun terakhir menunjukkan tren defisit anggaran yang menimbulkan berbagai pertanyaan : mengapa defisit terus terjadi? Bagaimana peran dana transfer pusat? Bagaimana kontribusi penerimaan sendiri Pendapatan Asli Daerah (PAD)? Dan apakah potensi PAD belum digarap optimal? Tulisan ini akan mengulas akar permasalahan APBD Jambi dari sisi indikator defisit, ketergantungan terhadap dana transfer, kinerja PAD, serta peluang belum termanfaatkan.
Memahami Defisit APBD Jambi.
Apa itu defisit..? Secara sederhana, defisit terjadi ketika total belanja daerah lebih besar daripada total pendapatan yang diterima. Jadi saat bisa jadi Provinsi Jambi membelanjakan lebih banyak daripada yang diperoleh, maka muncullah selisih negatif atau defisit. Lalu Mengapa terjadinya deficit..? Peningkatan beban belanja operasional, infrastruktur, gaji pegawai, maupun program sosial, tanpa diimbangi peningkatan pendapatan dan kemudian Struktur penerimaan yang tidak seimbang, pendapatan daerah belum cukup kuat menutupi kebutuhan. Jika ada defisit berulang, maka harus dibiayai melalui pinjaman, penerbitan obligasi daerah, atau dana perimbangan yang sifatnya khusus. Ini memperlihatkan ketidakmandirian fiskal daerah dan berisiko pada masa depan.
Ketergantungan Tinggi pada Dana Transfer.
Provinsi Jambi, sebagaimana banyak daerah lain di Indonesia, memiliki ketergantungan kuat terhadap dana dari pemerintah pusat melalui mekanisme : Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH). Mengapa hal ini menjadi indikator penting..? hal ini dikarenakan Ketidakmandirian Fiskal : Jika sebagian besar pengeluaran daerah bergantung pada transfer, maka daerah belum mandiri secara ekonomi tergantung musim dan mekanisme transfer pusat. Lalu kemudian Volatilitas : Alokasi DAU/DAK/DBH bisa berubah berdasarkan kebijakan nasional, kondisi ekonomi, bahkan isu politik yang menyebabkan APBD daerah menjadi tidak stabil. Dan yang terakhir adalah Konsekuensi Kebijakan : Jika pusat mengubah alokasinya, daerah akan kesulitan memenuhi belanja rutin maupun prioritas pembangunan. Contoh sederhana = Jika transfer pusat menurun 10%, Provinsi Jambi harus melakukan penghematan tajam atau menunda Pembangunan, dan ini berdampak langsung pada pelayanan publik.
Kinerja Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Apa itu PAD..? PAD adalah pendapatan yang diperoleh langsung oleh pemerintah daerah sendiri, seperti : Pajak daerah (reklame, hotel, restoran, parkir, air permukaan), Retribusi daerah (pelayanan publik, izin usaha, pasar, terminal), Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan (P3D), Lain-lain PAD yang sah sesuai dengan perundangan yang berlaku (misalnya denda administrasi, bunga). Lalu kemudian Kenapa kinerja PAD penting..? hal ini menjadi penanda efisiensi dan kreativitas pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan, tanpa tergantung pusat, Memperkuat posisi keuangan (PAD) yang besar dan stabil bisa menutup sebagian besar belanja rutin. Namun biasanya terdapat banyak tantangan signifikan yang terjadi diantaranya adalah :
1. Dasar Hukum Dan Tarif Belum Optimal.
Tarif pajak dan retribusi mungkin masih relatif rendah dibanding potensi. Penyesuaian tarif yang cermat bisa meningkat PAD.
2. Sistem Administrasi Dan Pemungutan Yang Lemah.
Jika administrasi retribusi dan pajak tidak terkendali, menyebabkan kebocoran contohnya salah hitung, tidak tertagih, atau prosedur terlalu rumit dan lain sebagainya.
3. Ekonomi Lokal Yang Terbatas.
Jika basis ekonomi (jumlah perusahaan, aktivitas pariwisata, jumlah hotel/restoran) masih terbatas, maka saja potensi pajak pun terbatas.
4. SDM Dan Infrastruktur Pengelolaan Pajak Dan Retribusi.
Apabila aparat daerah kurang terampil dalam sistem elektronik, audit, verifikasi padahal teknologi bisa memperkuat pemungutan PAD.
Potensi PAD Belum Tergaraf Dengan Baik.
Masih terbuka RUANG BESAR bagi Provinsi Jambi untuk menggali potensi PAD lebih dalam : Potensi Ekonomi Sektor Tertentu Belum Optimal seperti : PARIWISATA LOKAL Jambi memiliki beberapa destinasi menarik—baik alam, budaya, dan festival seperti pesta rakyat daerah. Peningkatan promosi, pengelolaan tiket, dan pengaturan wisata bisa meningkatkan retribusi. SEKTOR PERTAMBANGAN DAN KELAPA SAWIT, Jika ada izin pertambangan atau perkebunan (sawit, karet, kayu), potensi PAD lewat retribusi izin, P3D, royalti, bisa ditingkatkan. EKONOMI KREATIF DAN UMKM Dengan pemberdayaan penjualan kerajinan, kuliner khas Jambi melalui pajak minim dan insentif online dapat memperluas basis PAD. OPTIMALISASI TEKNOLOGI INFORMASI, Platform digital, Aplikasi pembayaran pajak dan retribusi digital bisa menumbuhkan kesadaran wajib pajak (misalnya lewat reminder, notifikasi, integrasi e-wallet). DATA–DRIVEN : Analisis data untuk menarget sektor yang berpotensi tinggi, deteksi wajib pajak belum terdaftar, atau tagihan pajak yang belum dibayar. PENYESUAIAN TARIF DAN KEBIJAKAN INSENTIF, Evaluasi tarif pajak daerah, jika terlalu rendah, bisa menaikkan secara bertahap disertai dengan komunikasi ke masyarakat bahwa dana digunakan untuk perbaikan layanan lalu Insentif bagi pelaku usaha yang taat pajak, misalnya prioritas perizinan atau promosi. Dan KOLABORASI DENGAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA, Karena banyak sektor tumpang tindih, koordinasi antara Provinsi dan Kabupaten/Kota penting agar perizinan dan pungutan tidak saling menginjak—ini bisa menggarap potensi yang selama ini kabur di batas administratif.
Rangkaian Akar Masalah APBD Jambi (Ringkasan)
Secara garis besar, akar defisit APBD Provinsi Jambi meliputi : Beban belanja melebihi kemampuan pendapatan, terutama belanja rutin, infrastruktur, program sosial. Ketergantungan tinggi terhadap dana transfer pusat, menyebabkan ketidakpastian dan ketidakmandirian fiskal. PAD masih rendah dan belum maksimal, akibat tarif belum optimal, sistem administrasi lemah, basis ekonomi masih terbatas. Potensi PAD belum tergarap, seperti pariwisata, UMKM, digitalisasi, sektor pertambangan/kelapa sawit, serta integrasi kebijakan antara tingkatan pemerintah.
SOLUSI Menghadapi Defisit APBD Provinsi Jambi.
1. Mengendalikan Defisit Dengan Perencanaan Anggaran Yang Realistis.
Mengutamakan belanja produktif Fokus pada belanja yang memberi dampak langsung pada perekonomian daerah (infrastruktur konektivitas, pemberdayaan UMKM, peningkatan SDM). Zero-based budgeting; Setiap tahun, program dan belanja dinilai dari awal (bukan sekadar copy-paste tahun sebelumnya), sehingga hanya kegiatan yang benar-benar relevan yang didanai. Early warning system anggaran ; Menggunakan dashboard keuangan daerah untuk memantau realisasi pendapatan dan belanja setiap bulan. Jika ada deviasi besar, segera dilakukan penyesuaian.
2. Mengurangi Ketergantungan pada Dana Transfer Pusat
Diversifikasi sumber pendapatan daerah, Mengembangkan sumber pendapatan di luar DAU/DAK/DBH, seperti jasa layanan publik, kerja sama dengan swasta, dan pengelolaan aset daerah. BUMD sebagai motor pendapatan, Mendorong BUMD yang bergerak di sektor strategis seperti energi, air bersih, pariwisata, dan perdagangan untuk memberi dividen signifikan ke kas daerah. Kemitraan investasi ; Mengundang investasi swasta untuk proyek infrastruktur atau pariwisata melalui skema KPBU (Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha) sehingga tidak sepenuhnya dibiayai APBD.
3. Meningkatkan Kinerja Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Digitalisasi pemungutan pajak dan retribusi, Membangun aplikasi terintegrasi untuk pajak kendaraan, pajak hotel/restoran, dan retribusi izin. Pembayaran bisa melalui e-wallet, bank, atau minimarket. Penertiban dan perluasan wajib pajak Pendataan ulang (revaluasi) terhadap usaha, properti, dan lahan untuk memastikan semua yang wajib pajak terdaftar dan membayar sesuai aturan. Insentif dan sanksi ; Memberikan potongan tarif bagi wajib pajak taat, dan denda progresif bagi yang menunggak.
4. Mengoptimalkan Potensi PAD yang Belum Tergaraf.
Pariwisata berbasis ekonomi local ; Membentuk badan pengelola terpadu untuk destinasi wisata unggulan (Danau Kerinci, Candi Muaro Jambi, Danau Sipin) dengan sistem tiket, parkir, dan souvenir resmi yang masuk kas daerah. Optimalisasi sektor perkebunan dan tambang ; Mengawasi realisasi kewajiban perusahaan (royalti, izin, CSR) agar tidak ada kebocoran penerimaan. Pengelolaan aset idle ; Menyewakan atau memanfaatkan tanah, bangunan, dan fasilitas milik daerah yang selama ini tidak digunakan produktif.
5. Reformasi Tata Kelola dan Transparansi.
Audit kinerja berkala : Melibatkan inspektorat dan pihak independen untuk memeriksa efisiensi belanja dan kebenaran data PAD. Pelibatan Masyarakat ; Publikasi laporan realisasi APBD setiap triwulan di situs resmi pemerintah provinsi, agar masyarakat bisa memantau dan memberi masukan. Penguatan kapasitas aparatur ; Pelatihan SDM di bidang perencanaan, pemungutan pajak, dan manajemen proyek agar pengelolaan keuangan daerah semakin profesional.
6. Langkah Jangka Panjang Menuju Kemandirian Fiskal.
Menetapkan target rasio PAD terhadap total pendapatan minimal 25% dalam 5 tahun; Membangun ekosistem ekonomi daerah yang kuat melalui industrialisasi berbasis potensi lokal (hilirisasi karet, kopi, sawit, dan mineral). Mendorong ekonomi digital untuk memperluas basis pajak tanpa membebani pelaku usaha kecil.
Menelisik akar defisit APBD Provinsi Jambi bukan hanya soal angka dan defisit belaka. Ini tentang transformasi ekonomi daerah, dari bergantung pada transfer pusat menjadi tumbuh dari dalam, dari defisit menjadi surplus, dari ketidakmandirian menjadi kemandirian fiskal. Untuk itu, masyarakatpun harus memahami pentingnya hal ini, bahwa sebenarnya kita haru paham bahwa pajak yang kita bayar, retribusi yang masuk, seharusnya kembali dalam bentuk pelayanan, jalan yang lebih baik, sekolah yang layak, dan pembangunan yang inklusif. Jika PAD meningkat sehat, maka pembangunan bisa lebih cepat dan berkualitas, tanpa beban defisit yang membayang. Melalui evaluasi menyeluruh dan perbaikan sistem, Provinsi Jambi berpeluang membalik situasi ini dari daerah “BERGANTUNG” menjadi daerah yang “MANDIRI”, dari defisit menjadi anggaran seimbang dan pro-pertumbuhan. Mari bersama mendukung upaya perbaikan demi Jambi yang lebih kuat dan MANTAP BERDAYA SAING DAN BERKELANJUTAN 2030.
OPINI
Ternyata : “REFORMASI BIROKRASI” Masuk Dalam R.P.J.M.D 2025-2029 “Netral Dalam Sikap, Profesional Dalam Kerja, Adil Dalam Pelayanan” (Max Weber)
Oleh : Dr. Fahmi Rasid
Di balik setiap wajah masyarakat yang berharap, tersimpan harapan akan negara yang hadir bukan hanya sebagai pengatur, tapi sebagai pelayan yang tulus. Banyak dari kita mungkin pernah kecewa, pernah merasa tidak dilayani dengan baik dalam mengurus administrasi yang berbelit, wajah petugas yang dingin, atau sistem yang tidak berpihak. Maka wajar, reformasi birokrasi menjadi harapan utama rakyat. Sebagaimana ditegaskan oleh Denhardt & Denhardt (2000) dalam teori New Public Service, dalam uraiannya “Pemerintah Tidak Lagi Sekadar Menjalankan Kekuasaan, Tapi Hadir Untuk Mendengarkan, Memahami, Dan Melayani Masyarakat”.
Reformasi Birokrasi bukan sekadar agenda teknokratis yang dipenuhi regulasi dan manual prosedur, akan tetapi Ia adalah jalan panjang menuju wajah pemerintahan yang lebih bersih, melayani, dan berdampak nyata bagi rakyat. Dalam konteks ini Pemerintah Provinsi Jambi dengan Visi-nya yakni “Jambi Mantap Berdaya Saing dan Berkelanjutan 2025–2029” lalu dikuatkan pada Misi yang pertama yaitu : Memantapkan Tata Kelola Pemerintahan yang Efektif dan Efisien, tidak akan bermakna tanpa keberanian membongkar dan membenahi sistem birokrasi yang lamban, berbelit, dan jauh dari nilai-nilai akuntabilitas. Oleh karena itu, dalam beberapa penjelasan dan banyak teori yang memberikan penjelasan terkait dengan hal ini, Namun dapat disampaikan ada dua belas (12) Program Prioritas Reformasi Birokrasi yang ditawarkan dan ini merupakan fondasi yang amat sangat kokoh untuk menuju Tata Kelola Pemerintahan yang berkelas dunia, efisien, transparan, dan humanis.
Birokrasi yang Lincah, Melayani, dan Progresif;
Menurut Dwight Waldo (1948), teori lama yang menjelaskan bahwa : “birokrasi haruslah menjadi pelayan masyarakat, bukan sekadar pelaksana administrasi”. Teori ini menjadi pengingat bahwa esensi birokrasi adalah public service, bukan kekuasaan administratif. (12) Dua belas program prioritas reformasi birokrasi yang dirumuskan oleh Pemerintah Provinsi Jambi sejatinya merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai tersebut. Mulai dari digitalisasi layanan publik, peningkatan kapasitas ASN, penyederhanaan regulasi, hingga penguatan pengawasan internal adalah bentuk nyata dari keberanian untuk berubah. Visi yang telah dijelaskan diatas memiliki semangat utama membangun good governance yang berpihak pada rakyat. “MANTAP” di sini tidak hanya bermakna stabil dan kuat, tapi juga mengandung makna integritas, ketegasan, dan percepatan, dan reformasi birokrasi menjadi jantung perubahan.
Teori lain mengatakan yang disampaikan oleh Fritz Morstein Marx tentang administrasi publik modern banyak dikenal melalui bukunya Elements of Public Administration yang terbit pertama kali pada 1946, yang merumuskan bahwa : “Keberhasilan Pembangunan Tidak Hanya Ditentukan Oleh Kebijakan Yang Baik, Melainkan Juga Oleh Birokrasi Yang Mampu Menerjemahkannya Secara Efektif”. Inilah pentingnya reformasi birokrasi dimasukkan sebagai PRIORITAS UTAMA dalam R.P.J.M.D Provinsi Jambi Tahun 2025-2029. Lalu kemudian apa saja yang masuk dalam (12) Dua Belas Program Prioritas untuk Menjawab Kebutuhan Zaman, yang tengah disiapkan mencakup area-area krusial adalah sebagai berikut :
1. Digitalisasi Layanan Publik Berbasis Aplikasi Terpadu.
2. Reformasi Manajemen A.S.N Berbasis Merit System.
3. Peningkatan Integritas Melalui Sistem Pengawasan Terpadu.
4. Penguatan Peran Inspektorat Sebagai Garda Antikorupsi.
5. Reformasi Struktur Organisasi Perangkat Daerah Yang Efisien.
6. Evaluasi Regulasi Yang Tumpang Tindih Dan Memberatkan.
7. Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Melalui Survei Kepuasan Masyarakat.
8. Revitalisasi Budaya Kerja Berbasis Core Values A.S.N Berakhlak.
9. Peningkatan Partisipasi Publik Dalam Pengambilan Keputusan.
10. Sinergi Lintas Sektor Dan Kolaborasi Pembangunan.
11. Penguatan Sistem Reward And Punishment Secara Adil.
12. Pengembangan Sistem Pengendalian Internal Yang Adaptif.
Jika dirangkaikan, (12) dua belas program tersebut menjadi roadmap bagi transformasi kelembagaan, menciptakan birokrasi yang cepat dalam pelayanan, tepat dalam kebijakan, dan tanggap terhadap kebutuhan zaman.
Harapan Baru bagi Rakyat Jambi
Dalam pandangan lain, teori lama juga memberikan pemahaman yang disampaikan oleh : Osborne & Gaebler (1992), ahli tersebut mengatakan bahwa : “Pemerintahan Modern Harus Berperan Sebagai “Steering Government” Mengarahkan Bukan Mengendalikan. Dan Inilah yang sedang dibangun oleh Pemerintah Provinsi Jambi, maupun Pemerintah Kota dan Kabupaten dalam Provinsi Jambi, PEMERINTAH tidak lagi duduk di balik meja, tapi turun ke lapangan, mendengar keluh rakyat, dan hadir memberikan solusi. Reformasi birokrasi harus memberi wajah baru bagi rakyat : urusan cepat, layanan mudah, petugas ramah, dan keputusan yang transparan. Ini bukan mimpi. Ini adalah harapan yang bisa diraih bila semua pihak bersatu padu mengawal visi besar ini.
Pandangan lain dari seorang Ahli Klasik yang Bernama lengkap Maximilian Karl Emil Weber yang viral dipanggil dengan panggilan “MAX WEBER”, seorang sosiolog dari kebangsaan Jerman yang terkenal dengan teori birokrasi modern, punya pandangan yang sangat relevan ketika kita bicara tentang ASN (Aparatur Sipil Negara) yang baik. Menurut Max Weber, birokrasi adalah sistem organisasi yang rasional, terstruktur, dan didasarkan pada aturan yang jelas demi efisiensi dan keadilan. Jika diterapkan pada A.S.N yang ada di Pemerintahan Provinsi Jambi, maupun juga yang ada di Pemerintahan Kabupaten/Kota dalam Provinsi jambi, maka pandangannya mengarah pada beberapa ciri dan ketentuan adalah sebagai berikut :
1. Bekerja Berdasarkan Aturan (Rule-Based);
ASN yang baik harus menjalankan tugasnya mengikuti hukum, peraturan, dan prosedur resmi. Tidak boleh bekerja hanya karena perintah lisan atau kepentingan pribadi. Hal ini menjamin kepastian hukum dan mencegah penyalahgunaan wewenang.
2. Profesional dan Berbasis Kompetensi;
Max Weber menekankan bahwa jabatan harus diisi berdasarkan kualifikasi teknis dan kemampuan, ASN yang baik berarti kompetensinya sesuai dengan pekerjaannya.
3. Netralitas Politik;
Bagi Max Weber, birokrasi ideal itu netral. ASN yang baik melayani semua masyarakat tanpa memandang partai, suku, atau agama, dan tidak terlibat politik praktis. Ia fokus pada pelayanan publik, bukan kepentingan kelompok.
4. Karier yang Jelas dan Merit System;
Max Weber menggambarkan birokrasi modern dengan jalur karier yang transparan, promosi berdasarkan prestasi, dan adanya sistem evaluasi. ASN yang baik bekerja dengan motivasi dedikasi jangka panjang, bukan sekadar mengejar jabatan.
5. Impersonal dan Objektif;
Keputusan dibuat berdasarkan data, fakta, dan aturan, ASN yang baik memandang semua warga negara setara di mata pelayanan publik.
Intinya menurut Weber : ASN yang baik adalah profesional, taat aturan, netral, kompeten, dan berorientasi pada kepentingan publik. Kalau mau singkatnya, ASN ala Max Weber itu seperti mesin yang dioperasikan dengan hati, efisien, teratur, tapi tetap melayani manusia dengan adil.
Mari kita kawal bersama PROGRAM PRIORITAS REFORMASI BIROKRASI ini dengan hati yang jernih dan niat yang lurus. Kita butuh dukungan semua pihak untuk memastikan bahwa Jambi benar-benar “MANTAP” dalam pelayanan publik, kepercayaan masyarakat, dan kesejahteraan bersama. Karena pada akhirnya, Jambi Mantap bukanlah milik pemerintah semata. Ia adalah MILIK SELURUH RAKYAT JAMBI.
OPINI
Warisan Alam dan Budaya Jambi Butuh Ekosistem, Bukan Sekadar Event
Oleh: Yulfi Alfikri Noer S. IP., M. AP

Akademisi UIN STS Jambi
Pariwisata tidak lagi dapat dipandang sebagai sektor pelengkap dalam pembangunan daerah, melainkan telah bertransformasi menjadi salah satu pengungkit utama pertumbuhan ekonomi, pelestarian budaya, dan penciptaan lapangan kerja. Secara nasional, arah kebijakan pembangunan pariwisata Indonesia menekankan pentingnya experience-based economy, ekonomi berbasis pengalaman dengan menjadikan kekayaan budaya dan alam sebagai fondasi utama pengembangan sektor unggulan. Namun, pertanyaannya, sejauh mana Provinsi Jambi, dengan segala kekayaan sejarah, keunikan budaya, dan pesona alamnya, telah mengelola potensi pariwisata secara strategis, terencana, dan berkelanjutan?
Potensi Wisata Jambi: Alam, Budaya, dan Identitas Lokal
Potensi pariwisata Jambi sesungguhnya luar biasa. Dari situs purbakala Candi Muaro Jambi yang disebut sebagai kompleks percandian Buddha terluas di Asia Tenggara dan telah masuk daftar tentatif warisan dunia UNESCO hingga kawasan ekowisata seperti Danau Kerinci dan Gunung Kerinci yang menjadi primadona wisata alam Sumatra, Jambi memiliki kekayaan destinasi yang khas dan autentik.
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), yang merupakan habitat Harimau Sumatra dan bagian dari kawasan konservasi dunia, turut memperkuat posisi Jambi sebagai destinasi ekowisata berkelas internasional. Fenomena alam Bukit Khayangan yang menyajikan panorama “negeri di atas awan”, serta Desa Wisata Lempur yang berhasil memadukan kekayaan budaya lokal dengan ekowisata berbasis masyarakat, merupakan contoh konkret bagaimana kearifan lokal dapat menjadi kekuatan pariwisata berkelanjutan.
Jambi juga memiliki Geopark Merangin, yang menyimpan jejak fosil tertua di Asia Tenggara dan menyajikan potensi geowisata bernilai tinggi. Tak kalah penting, terdapat Taman Nasional Bukit Duabelas, kawasan seluas 605 km² yang menjadi benteng terakhir hutan hujan tropis dataran rendah di Jambi sekaligus wilayah hidup komunitas adat Orang Rimba. Kawasan ini bukan hanya penting bagi konservasi biodiversitas, tetapi juga menyimpan nilai sosial dan budaya yang tak ternilai suatu daya tarik otentik yang langka dalam peta wisata nasional.
Namun demikian, seluruh potensi tersebut belum sepenuhnya diterjemahkan menjadi kekuatan ekonomi yang inklusif maupun sebagai instrumen diplomasi budaya yang strategis. Persoalannya bukan semata pada minimnya promosi atau keterbatasan infrastruktur, tetapi justru lebih mendasar, menyangkut lemahnya ekosistem pariwisata dari hulu hingga hilir. Mulai dari aspek perencanaan, kapasitas SDM, sinergi antar pemangku kepentingan, hingga integrasi pengalaman wisata yang utuh dan bermakna semuanya masih memerlukan pembenahan serius dan terstruktur.
Hingga tahun 2023, jumlah tenaga kerja pariwisata di Jambi yang telah tersertifikasi baru mencapai 1.075 orang. Sementara itu, program pelatihan peningkatan kapasitas hanya menjangkau sekitar 3.033 peserta per tahun (Bapperida Provinsi Jambi, dikutip dari Antara Jambi, 2023). Angka ini tentu belum sebanding dengan ragam dan luasnya destinasi wisata yang tersebar di provinsi ini. Yang menjadi catatan, Jambi hingga kini belum memiliki perguruan tinggi khusus kepariwisataan, meski Gubernur Al Haris sempat mengusulkan pendirian Akademi Pariwisata sebagai langkah penguatan ekosistem pendidikan lokal (Pemerintah Provinsi Jambi). Akibatnya, kualitas pemandu wisata dan pelaku industri pariwisata masih rendah. Bahkan hanya 29–30 pemandu wisata yang tersertifikasi resmi secara nasional hingga 2023 (Antara News). Tanpa peningkatan literasi budaya dan kompetensi profesional, promosi wisata hanya akan menjadi aktivitas spasial yang dangkal dan mudah terlupakan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Thamrin Bachri, mantan Dirjen Pemasaran Pariwisata dan Kerjasama Luar Negeri, terdapat sejumlah isu strategis yang harus menjadi perhatian serius. Ketika dikaitkan dengan realitas Jambi, isu-isu ini menggambarkan tantangan mendasar dari sisi hulu hingga hilir:
1. Mengutamakan peran dan kepemilikan masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata (Community First Philosophy)
Desa wisata seperti Lempur (Kerinci) dan Lubuk Beringin (Bungo) menjadi contoh keberhasilan berbasis masyarakat. Namun, jika SDM lokal tak dibekali kecakapan, partisipasi mereka hanya simbolik. “Tanpa SDM lokal yang berdaya, pariwisata akan menjadi asing di tanah sendiri,” tegas Thamrin. Maka, community-based tourism bukan sekadar melibatkan warga, tapi memastikan mereka memiliki kecakapan dan kendali atas ruang hidup dan warisan budaya mereka sendiri.
2. Pendapatan meningkat tapi objek wisata rusak atau terabaikan (Healthy Revenues vs Dying Object)
Jumlah kunjungan meningkat, tetapi objek rusak. Candi Muaro Jambi kerap mengalami degradasi: kerusakan akses, minim pengamanan, dan tak ada pembatasan kunjungan. Danau Kerinci mengalami sedimentasi, sementara TNKS menghadapi tekanan dari ekspansi wisata alam yang tidak dilandasi kajian lingkungan yang ketat.Menurut Laporan IDSPD Kemenparekraf 2022, Jambi unggul dalam atraksi, tapi lemah dalam sustainability management dan konservasi destinasi. Ini menunjukkan bahwa pendapatan jangka pendek dari wisatawan bisa jadi justru mempercepat kerusakan jika tidak diimbangi perlindungan dari hulu, baik dalam tata kelola ruang, peraturan pengunjung, maupun edukasi pelaku wisata. Objek wisata yang tidak dilindungi dari akarnya, hanya akan jadi latar foto, bukan warisan untuk generasi.
3. Fokus pada keuntungan materi jangka pendek (Materialism + Short-termism)
Pariwisata Jambi sering terjebak dalam pola “gebrakan tanpa pondasi” menggelar event besar, membangun spot foto viral, atau menggandeng selebgram demi angka kunjungan sesaat. Namun di balik gemerlap itu, identitas budaya tidak dibina, dan SDM lokal tidak disiapkan. Akibatnya, promosi hanya menjadi kosmetik digital, sementara nilai otentik daerah memudar, maka daya saing akan selalu bergantung pada impresi jangka pendek, bukan kualitas layanan. Pernyataan ini sejalan dengan pandangan Thamrin Bachri, yang menegaskan bahwa, Pariwisata bukan soal kejar tayang, tapi membangun makna dan kapasitas yang bertahan puluhan tahun. Tanpa investasi jangka panjang di sektor pendidikan pariwisata, Jambi hanya akan jadi penonton di panggung pariwisata nasional ramai sesaat, redup selamanya. Promosi instan tanpa membina SDM dan identitas budaya hanya akan memicu pariwisata putih-benang-putus. Investasi pendidikan profesional lebih abadi daripada event semata.
4. Membedakan antara fasilitas estetika dengan kebutuhan dasar (Nice to Have vs Need to Have)
Pembangunan pariwisata di Jambi kerap terjebak pada estetika semu: taman swafoto, panggung tanpa pertunjukan, atau landmark tanpa narasi budaya. Padahal yang paling dibutuhkan wisatawan justru sering diabaikan: akses jalan memadai, toilet bersih, air bersih, serta pemandu yang kompeten dan jujur. Laporan Indeks Daya Saing Pariwisata Daerah (IDSPD) 2022 dari Kemenparekraf RI mencatat bahwa Jambi masih lemah dalam aspek infrastruktur dasar dan kualitas layanan dibandingkan provinsi lain di Sumatera. Tanpa pemetaan kebutuhan nyata di lapangan, investasi pariwisata justru rawan mubazir menghasilkan fasilitas yang indah di proposal, sunyi di lapangan.
5. Kerusakan akibat kelebihan beban penggunaan (Wear and Tear)
Banyak destinasi wisata di Jambi mengalami kelelahan fisik dan sosial akibat pengelolaan yang tidak berbasis kapasitas tampung. Candi Muaro Jambi, Danau Kaco, Air Terjun Telun Berasap, dan Bukit Khayangan menjadi contoh lokasi yang mulai terdampak oleh keramaian tanpa kontrol. Minimnya sistem zonasi, tidak adanya batasan kunjungan harian, serta kurangnya edukasi wisatawan membuat ekosistem lokal terancam rusak. Hal ini sejalan dengan peringatan UNESCO yang mendorong agar kawasan situs sejarah dan konservasi seperti Muaro Jambi dan TNKS dikelola dengan prinsip carrying capacity dan konservasi berkelanjutan. Tanpa regulasi ketat, destinasi justru bisa “mati karena terlalu laku”.
6. Ketergantungan ekonomi yang berlebihan pada sektor pariwisata. (Overdependence on Tourism)
Pariwisata Jambi terlalu disandarkan sebagai single engine of growth, padahal sektor ini rawan terhadap fluktuasi tren, bencana, bahkan gejolak ekonomi global. Ketika pandemi melanda, hampir seluruh desa wisata dan pelaku UMKM wisata mengalami stagnasi total.
Alih-alih fokus pada kuantitas pengunjung, pendekatan yang lebih resilien adalah mengintegrasikan pariwisata dengan sektor ekonomi kreatif, pertanian berkelanjutan, dan pendidikan budaya lokal. Desa seperti Lempur dan Rantau Kermas telah menunjukkan potensi ini menyatukan wisata dengan konservasi alam dan budaya. Thamrin Bachri menegaskan, pariwisata yang berdiri sendiri itu rapuh. Ia harus menopang dan ditopang oleh sektor lain agar bertahan dalam segala cuaca.
7. Kebersihan, ketertiban, dan kejujuran sebagai standar pelayanan wisata (Clean, Order & Honest)
Bukan sekadar slogan kebersihan dan keramahan, prinsip ini mencerminkan integritas pelayanan yang harus dirasakan langsung oleh wisatawan. Faktanya, di Jambi saat ini hanya tersedia sekitar 29–30 pemandu wisata bersertifikat, sementara wisatawan terutama mancanegara semakin selektif terhadap kualitas informasi dan pelayanan. Pertanyaan yang kerap muncul dari wisatawan asing tentang kredibilitas pemandu menjadi cermin bahwa kita belum sepenuhnya siap secara profesional. Ini bukan hanya soal jumlah, tapi soal urgensi meningkatkan standar etik, komunikasi, dan kompetensi SDM lokal agar Jambi tidak sekadar jadi tujuan, tapi benar-benar berkesan.
8. Mengemas potensi lokal (budaya, kuliner, seni, alam) menjadi pengalaman wisata yang utuh dan menarik (Opportunity Packaging & Collaboration)
Jambi memiliki kekayaan budaya yang luar biasa, mulai dari tradisi lisan Orang Rimba, irama khas musik melayu, ragam tarian daerah, hingga kuliner berbasis rempah yang otentik. Sayangnya, seluruh elemen ini masih berdiri sendiri terpisah antara satu dengan lainnya, tanpa alur naratif yang kuat maupun koneksi dengan pengalaman wisata yang terintegrasi.
Belum ada paket wisata tematik yang mampu menggabungkan pengalaman lintas indrawi menyentuh rasa, suara, visual, dan cerita ke dalam satu kesatuan yang menggugah. Jambi butuh pendekatan story-driven tourism, di mana setiap destinasi bukan hanya menjadi tempat singgah, melainkan ruang yang menghidupkan kisah, karakter, dan nilai-nilai lokal.
9. Desentralisasi dan pemberdayaan pengelolaan ke tingkat komunitas (Subvision)
Pengelolaan pariwisata tak bisa sentralistik. Desa seperti Rantau Kermas berhasil karena diberi kewenangan dan rasa memiliki. Namun, ini harus dibarengi pelatihan, pembiayaan, dan regulasi berpihak agar komunitas bukan sekadar pelengkap administratif.
10. Sinergi Lintas Pihak (Collaboration)
Pariwisata adalah ekosistem, bukan program sektoral. Kolaborasi multipihak bukan sekadar pelengkap, melainkan jantung dari keberhasilan pembangunan wisata. Kegagalan proyek-proyek pariwisata kerap terjadi karena pendekatan silo dan top-down. Sukses Kajanglako Art Center (KAC), misalnya, lahir dari dialog berkelanjutan antara seniman, pemerintah, akademisi, dan masyarakat. Model semacam ini perlu direplikasi dalam skala lebih luas, mulai dari perencanaan, hingga pengelolaan destinasi berbasis komitmen kolektif.
Pariwisata berkelanjutan di Jambi tidak cukup dimaknai sebagai upaya menambah angka kunjungan semata, melainkan sebagai proses penataan ulang ekosistem secara menyeluruh dari hulu yang masih rapuh menuju hilir yang kokoh dan berdaya saing. Data dan dinamika yang telah dipaparkan memperlihatkan secara gamblang bahwa ketimpangan antara investasi infrastruktur fisik dan pembangunan kapasitas manusia merupakan tantangan mendasar yang belum tertangani secara sistemik. Untuk itu, diperlukan tata kelola yang kolaboratif berbasis data, penguatan institusi pendidikan vokasional pariwisata, serta desentralisasi pengelolaan kepada komunitas lokal yang telah terbukti mampu menjaga warisan budaya sekaligus merawat daya tarik destinasi.
Kini saatnya Jambi meninggalkan strategi sektoral yang serba instan dan beralih ke arah transformasi struktural yang membangun ketahanan sosial, ekonomi, dan budaya secara simultan. Dengan identitas dan integritas sebagai fondasi, pariwisata Jambi tak hanya bisa bertahan di tengah dinamika zaman, tetapi tumbuh menjadi sektor unggulan yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Dan sebelum kita terus menggemakan promosi dan memburu pasar, pertanyaan mendasar yang harus kita ajukan adalah, sudahkah hulu pariwisata kita benar-benar siap?