Connect with us
Advertisement

OPINI

Membungkam Jubir HTI, Hizbut Tahrir di Pengadilan

DETAIL.ID

Published

on

Kesaksian dan Catatan HM Guntur Romli di Sidang Pengadilan Pembubaran HTI, Hizbut Tahrir yang Ingin Tegakkan Negara Khilafah

Kamis, 8 Maret 2018 adalah hari bersejarah bagi saya, karena saya berhasil membungkam Juru Bicara (Jubir) Hizbut Tahrir (HTI), Sdr Ismail Yusanto di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta Timur terkait gugatan HTI terhadap keputusan Pemerintah yang membubarkan HTI.

Saya dihadirkan sebagai “saksi fakta”, dan saya sebut kesaksian saya sebagai palu godam bagi Hizbut Tahrir sebuah partai politik internasional yang tujuannya ingin mendirikan Negara Khilafah, menghapus NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika, Hizbut Tahrir, partai politik yang mengkafirkan semua negara di dunia ini, meski penduduknya mayoritas muslim atau meskipun negara itu sudah mengklaim mempraktikkan hukum Islam. Tapi bagi Hizbut Tahrir tidak ada satu negara Islam pun di dunia saat ini, semuanya masuk negara kafir (biladul kufr).

Kesaksian saya yang menohok mereka, yang menelanjangi mereka dari buku-buku utama mereka yang disebut “al-kutub al-mutabannniyah” (buku-buku yang yang diadopsi) sebagai sumber utama doktrin Negara Khilafah ala Hizbut Tahrir.

Kesaksian saya menjadi hadiah yang buruk bagi Partai Politik Internasional, Hizbut Tahrir yang akan merayakan ulang tahunnya tanggal 14 Maret ini. Hizbut Tahrir berdiri 14 Maret 1953, tapi tepat 6 hari sebelum Ultah Hizbut Tahrir, saya sudah memberikan kado yang membuat mereka marah dan panik sehingga setelah kesaksian saya mereka menyebarkan sebuah tulisan yang menuduh saya berbohong. Andai saya benar berbohong maka, Majelis Hakim pasti akan mengatakan hal itu, tapi karena saya berhasil membungkam Jubir Hizbut Tahrir di Pengadilan, mereka tak kuasa membela diri dari kesaksian saya di Pengadilan, maka mereka pun menyebarkan fitnah terhadap diri saya setelah Persidangan.

Mengapa Hizbut Tahrir (HTI) marah dan menyebarkan fitnah? Karena saya berhasil membungkam Jubirnya di Persidangan.

Berikut catatan saya:

Saya dihadirkan di Pengadilan ini sebagai “saksi fakta” karena saat awal-awal saya studi di Al-Azhar Cairo Mesir, tahun 1998-1999 saya pernah ikut halaqoh/liqo’/pertemuan Hizbut Tahrir yang diselenggarakan di rumah kontrakan orang Indonesia di Cairo, inisialnya A selama 5 bulan. Saya bersama kawan yang satu almamater Pesantren dengan saya inisialnya N. Saat itu kami diajak oleh “mentor” A mengkaji buku karya Taqiyudin An-Nabhani yang pertama “Nidzamul Islam”.

Mentor “A” seperti halnya saya baru juga sampai di Mesir, saya masuk Fakultas Ushuludin, Al Azhar, sedangkan “A” tidak bisa masuk kuliah karena tidak bisa bahasa Arab dia terdaftar di Ma’had untuk Kursus Bahasa Arab.

Saat kajian buku Hizbut Tahrir, “A” menggunakan terjemahan bahasa Indonesia, sementara saya bersama kawan saya, langsung membaca dari buku aslinya yang berbahasa Arab.

Selain buku “Nidzamul Islam” karya utama Pendiri Hizbut Tahrir, Taqiyudin, yang di dalamnya sudah dimuat UUD Negara Khilafah versi Hizbut Tahrir yang berisi 191 Pasal, kami juga membaca buku-buku “mutabanni” Hizbut Tahrir seperti Nidzamul Hukmi fil Islam (Syarah/Penjelasan atas buku Nidzamul Islam, oleh Abd Qadim Zallum, Amir Hizbut Tahrir kedua pengganti Taqiyudin), buku-buku Hizbut Tahrir yang lain juga: As-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Mafahim Siyasiyah dll Buku-buku yang mudah dibaca karena tipis-tipis sekali (Nidzamul Islam, karya utama Taqiyudin hanya 142 halaman! Tapi ada Penulis yang memfitnah saya, dia membutuhkan waktu 1,5 tahun untuk memahaminya! Saya yakin dia baca buku ini dia tidak bisa bahasa Arab dan sambil kursus bahasa Arab makanya butuh waktu 1,5 tahun atau dia sampai sekarang tidak paham juga makanya masih ikut HTI, seperti halnya tokoh-tokoh HTI yang rata-rata tidak bisa bahasa Arab dan lemah bahasa Arabnya, misalnya Jubirnya: Ismail Yusanto).

Selain pernah mengikuti Liqo Hizbut Tahrir, membaca buku-buku mereka, saya juga mengikuti Hizbut Tahrir di milis-milis, website mereka, pernah bertemu beberapa kali dengan tokoh-tokoh mereka dalam diskusi di beberapa kota di Indonesia, di televisi, mengamati media online dan media sosial mereka.

Penasihat Hukum dari Pemerintah, Ahmad Budi Yoga yang saya tahu juga aktif di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) GP Ansor, bertanya kepada saya, “Mengapa hanya 5 bulan ikut Hizbut Tahrir?”

Saya jawab, “Karena saya ikut Opaba (Orientasi Penerimaan Mahasiswa Baru) yang diadakan oleh NU Mesir, saat itu masih bernama Keluarga Mahasiswa Nadlatul Ulama (KMNU) Mesir di paroh pertama tahun 1999, meskipun saya lahir dari keluarga NU, ayah saya punya pesantren NU di Situbondo, tapi inilah pengaderan NU yang pernah saya ikuti. Dari pengaderan itu saya pun sadar bahwa ide Negara Khilafah Hizbut Tahrir bertentangan dengan sikap kebangsaan dan kenegaraan yang diputuskan oleh para alim-ulama dan Muktamar NU. Bahwa NU setiap pada Pancasila, UUD 1945 dan NKRI, tidak pernah terlibat dalam pemberontakan, karena ulama-ulama NU ikut mendirikan Negara ini, ‘Indonesia adalah warisan ulama NU’. Dalam konteks saat itu juga saya juga seorang “pengembara intelektual” yang membaca semua buku-buku kelompok Islam, dari Hizbut Tahrir, Ikhwan Muslimin (dengan tokohnya Muhammad Al-Ghazali dan Yusuf Al-Qaradlawi), reformis modernis (Muhammad Abduh), karya-karya Hasan Hanafi, Abid Al-Jabari, Ahmad Khalafullah, Bint Syathi’, Qasim Amin, Thaha Husain dll.

(Tapi yang pasti saya mulai tidak tertarik ide Khilafah Hizbut Tahrir karena isinya hanya dogma, bukan diskusi, isinya propaganda bukan kajian kritis, untuk semua persoalan yang dibahas, jawabannya cuma satu: Khilafah. Apa pun masalahnya, jawabannya Khilafah. Saya masih ingat buletin-buletin HTI era SBY yang membahas kenaikan listrik dan BBM, proyek yang mangkrak dan investasi asing, semua solusinya: Khilafah.

Dalam pertemuan Hizbut Tahrir tidak boleh membaca kitab-kitab lain, semuanya harus membaca buku-buku mutabanni/adopsi/standar yang dikeluarkan Hizbut Tahrir, jadi yang ikut Hizbut Tahrir tidak akan dapat perbandingan, padahal di NU Mesir saat itu sedang maraknya pembahasan kebangkitan pemikiran Islam dan Arab di Timur Tengah)

Kembali ke pengadilan:

Kemudian saya ditanya, “Menurut anda apa itu Hizbut Tahrir?”

Saya jawab ta’rif (definisi/tentang) Hizbut Tahrir yang mereka tulis sendiri di buku “Ta’rif” yang masuk dalam list buku-buku utama mereka, saya kutipkan teks aslinya dalam bahasa Arab (karena bahasa resmi dan buku asli Hizbut Tahrir adalah Arab), kutipan Arab ini saya hafal dan saya lafalkan di Pengadilan di depan Majelis Hakim:

Hizbut Tahrir, hizbun siyasiun mabda’uhu al-islam, as-siyasah amaluhu wal islamu mabda’uhu, wa huwa ya’malu baynal ummah wa ma’aha li tattakhidal islam qadliyatan laha, wa liyuquduha li i’adatil khilafah wal hukmi bima anzallahu ilal wujud.

Hizbut Tahrir takattulun siyasiyun, wa laysa takattulan ruhiyan, wa laya takattulan ilmiyah, wa laysa takattulan ta’limiyah wa laysa takattulan khairiyah….

Hizbut Tahrir adalah partai politik yang ideologinya adalah Islam. Politik aktivitasnya, Islam ideologinya, dan ia beraktivitas di antara umat dan bersamanya untuk menjadikan Islam sebagai topik utama, serta memimpin umat untuk mengembalikan Khilafah dan hukum yang diturunkan oleh Allah.

Hizbut Tahrir adalah organisasi politik, bukan organisasi spiritual (seperti tarekat), bukan organisasi ilmiah/akademik (seperti lembaga riset), bukan organisasi pengajaran (seperti madrasah, universitas, sekolah), bukan organisasi sosial kemasyarakatan (yang melayani sosial, ekonomi, pendidikan dan kemaslahatan masyarakat).

Ini halaman 4 dari buku Ta’rif (Definisi Hizbut Tahriri) yang dikeluarkan resmi oleh Hizbut Tahrir internasional, 29 Naisan (April) 2010.

Hizbut Tahrir juga mempolitisir ayat 104 Surat Ali Imron yang bunyinya:

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”

yang maknanya dimutlakkan pendirian partai politik (hizbun siyasiyun) yakni: Hizbut Tahrir.

Ini halaman 7 dari buku Ta’rif Hizbut Tahrir.

Padahal selama saya membaca buku-buku tafsir, baik yang klasik hingga kontemporer tidak ada penafsir yang memaknai ayat 104 Ali Imron untuk mendirikan partai politik!

Ayat ini malah menginspirasi komunitas muslim untuk berlomba-lomba melakukan kebaikan dan mencegah kemungkaran melalu pendirian lembaga-lembaga sosial dan pelayanan masyarakat, seperti pendidikan, santunan, ekonomi, kesejahteraan, dan lain-lain.

Tapi, Hizbut Tahrir dalam buku Ta’rif halaman 13 malah meremehkan organisasi layanan masyarakat dengan mengatakan:

“mereka memandang untuk mengembalikan Islam dengan membangun masjid-masjid, menerbitkan karya-karya, mendirikan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, dengan pendidikan akhlaq, mereformasi individu…”

(Dari apa yang ditulis oleh Hizbut Tahrir jelas-jelas sekali Hizbut Tahrir BUKAN ORMAS tapi PARTAI POLITIK, bukan ormas yang melayani kemaslahatan masyarakat, karena Hizbut Tahrir nyinyir pada ormas-ormas yang melayani masyarakat, seperti NU, Muhammadiyah dll karena aktivitas Hizbut Tahrir adalah POLITIK. Oleh karena itu:

Hizbut Tahrir (HTI) di Indonesia, TIDAK PERNAH MEMBANGUN MASJID, MADRASAH, PESANTREN, UNIVERSITAS, RUMAH SAKIT, LAYANAN SOSIAL, dll, karena bagi Hizbut Tahrir, HTI ini TIDAK PENTING!)

Saya juga ditanya “Bagaimana dengan Hizbut Tahrir di Mesir?”

Saya jawab “Saya tidak tahu, tidak pernah bertemu dengan orang Mesir yang anggota Hizbut Tahrir, karena saya tahu Hizbut Tahrir dilarang di Mesir, kalau saya ketahuan ikut Hizbut Tahrir saya bisa ditangkap Amn Daulah/State Security dan ditarhil/dideportasi”, dan saya lihat di Mesir Hizbut Tahrir juga tidak laku, tidak seperti di Indonesia yang saya lihat, di Mesir yang banyak adalah Ikhwan Muslimin, tapi waktu itu mereka masih Ormas, yang punya lembaga sosial kemasyarakatan, santunan dan lain-lain”.

Saya juga ditanya “Apa selama ikut pengajian Hizbut Tahrir ada pengajian Al-Quran atau Hadits-hadits?”

Saya jawab “Tidak, karena yang dikaji hanyalah buku-buku “mutabanni” (buku adopsian) Hizbut Tahrir.”

Saya juga ditanya “Dalam pengamatan anda, adakah ormas-ormas yang menolak Hizbut Tahrir?”

Saya jawab “Ada, seperti Banser Ansor NU, Pemuda Pancasila dan Ormas-ormas yang lain.”

Hizbut Tahrir dan Pengkafiran

Hizbut Tahrir dalam buku Ta’rif, mengkafirkan semua negara saat ini yang ada di dunia, meskipun mayoritas penduduknya muslim. Bagi Hizbut Tahrir jenis negara cuma dua, Negara Islam (Darul Islam) dan Darul Kufr (Negara Kafir).

Di halaman 14, ditulis:

Negara yang kita hidup saat ini, meskipun mayoritas penduduknya muslim, tapi tetap disebut NEGARA KAFIR menurut istilah syariat, karena negara ini menjalankan HUKUM KAFIR.”

Istilah Negara Kafir (Darul Kufr) ini mendominasi di buku-buku Hizbut Tahrir.

Di halaman 95 buku Ta’rif, Hizbut Tahrir menegaskan:

“Dan di negeri muslim saat ini TIDAK ADA negeri atau negara yang menjalankan hukum Islam dalam pemerintahan dan urusan kehidupan lainnya, oleh karena itu disebut sebagai NEGARA KAFIR meskipun penduduknya terbanyak muslim”.

Indonesia, Malaysia, Pakistan, Bangladesh, Iran, Brunei, Arab Saudi, Emirat, Qatar, Kuwait, Oman, Tunisia, Maroko semuanya NEGARA KAFIR bagi Hizbut Tahrir. Sampai Makkah dan Madinah pun tetap masuk Negeri Kafir bagi Hizbut Tahrir, karena tidak ada satu pun negeri dan negara yang menjalankan hukum Islam menurut Hizbut Tahrir!

Membungkam Jubir Hizbut Tahrir, HTI

Setelah mengutip dari buku-buku Hizbut Tahrir, saya mau ceritakan bagaimana saya membungkam Jubir HTI.

Jubir HTI bertanya kepada saya “Kata anda, dalam pertemuan di Hizbut Tahrir tidak dibahas Al-Quran?”

Kemudian Jubir HTI tergopoh-gopoh mencari buku Nidzamul Islam yang ternyata terjemahan bahasa Indonesia ke Majelis Hakim ingin menunjukkan permulaan pembahasan buku itu dari ayat 11 Surat Ar-Ra’d (Guntur).

إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah dengan diri mereka sendiri.

Jubir HTI tampak gusar, sampai mengingatkan soal ancaman kesaksian palsu kepada saya.

Saya hanya tersenyum, Jubir HTI ini gagal paham, saya sampaikan klarifikasi ke Majelis Hakim.

“Yang saya maksud pengkajian Al-Quran adalah membaca al-Quran dengan tafsirnya, apa itu Tafsir Jalalayn, Tafsir Thabari, Ibn Katsir dll kalau Hadits ya mengkaji Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Turmudzi, Buluqhul Maram dll kaji kitab-kitab Fiqih, seperti di Pesantren, ini yang tidak ada di Hizbut Tahrir! Hizbut Tahrir hanya mengkaji buku-buku mereka sendiri.”

Jubir HTI pun bungkam!

Jubir HTI mau membela diri soal pembagian Negara Kafir dan Nrgara Muslim, dia mengutip pendapat Abdul Wahhab Khallaf, dalam buku “As-Siyasah As-Syar’iyyah” (saya yakin itu buku terjemahannya, saya sudah khatam versi Arabnya saat di Mesir).

Kata Jubir HTI, “Ini Abd Wahab Khallaf menulis juga pembagian Negara Islam dan Negara Kafir”.

Saya tanggapi, “Mohon izin Yang Mulia Majelis Hakim boleh saya tanggapi?”

Hakim mengangguk.

“Syaikh Abd Wahhab Khallaf adalah ulama Mesir, saya membaca kitab-kitab beliau, dalam kitab “As-Siyasah As-Syar’iyyah” perbedaan Negara Kafir dan Negara Islam itu penjelasan teoritis dan akademis dalam perdebatan ilmu politik Islam, ushul fiqih dan syariat Islam, tapi Syaikh Abd Wahhab Khallaf sebagai orang Mesir sangat mencintai negaranya, Mesir, tidak pernah mengkafirkan negaranya, tidak seperti Hizbut Tahrir yang mengkafirkan negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim saat ini.”

Jubir HTI bungkam. Tidak bisa melanjutkan debat.

Kemudian Jubir HTI ngeles, “Apakah Anda pernah mendengar orang HTI mengkafirkan muslim yang lain?”

Saya jawab “Yang dikafirkan oleh Hizbut Tahrir itu negara-negara, di mana jutaan dan milyaran muslim hidup, apa ini tidak lebih parah?”

Lagi-lagi Jubir HTI bungkam.

Jubir HTI: “Anda tadi bilang, selain Banser, ada Pemuda Pancasila yang menolak HTI, ada punya bukti? Saya ketemu Pak Yapto enggak ada masalah.”

Saya jawab “Saya punya bukti, yang saya baca di media online dan penolakan Pemuda Pancasila terhadap HTI.”

Karena dalam pengadilan saya tidak membawa capture berita-berita selain Banser, Ansor, dan Pemuda Pancasila yang menolak HTI, saya buktikan di sini:

Pemuda Pancasila Mendukung Pemerintah Membubarkan HTI

http://www.seputarbanten.com/2017/05/pemuda-pancasila-mendukung-pemerintah.html?m=1

MUI dan 21 Organisasi Tolak Ideologi HTI

Ormas-ormas itu di antaranya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Malut, Muhammadiyah Kota Ternate, KBPP Polri, GP Ansor Kota Ternate, FKPPI, Pemuda Pancasila, KNPI, GMNI, HMI, KAMMI, IMM Ternate dan Ormas, OKP serta LSM lainnya.

https://m.jpnn.com/news/mui-dan-21-organisasi-tolak-ideologi-hti

Pemuda Pancasila Banten Tolah HTI

https://m.youtube.com/watch?v=NVuHmv_d478(video)

dan silakan cari sendiri jejak-jejak digital penolakan Pemuda Pancasila terhadap HTI.

Kemudian Jubir HTI tanya lagi “Apa saudara tahu Pengurus Pusat NU….”

Saya potong “Pengurus Besar, bukan Pusat, PBNU…”

Jubir HTI “Iya Pengurus Besar NU, KH Said Aqil, Bendara Umum, dalam pertemuan dengan saya mendukung HTI?”

Pertanyaan Jubir HTI ini diprotes oleh Penasihat Hukum dari LBH Ansor “Anda kalau berbicara harus berdasarkan bukti, jangan klaim sudah bertemu dengan KH Said Aqil Ketua Umum PBNU, mengklaim-klaim gitu.”

Jubir HTI bungkam.

Saya malah komentar “Tidak ada dukungan KH Said Aqil atau PBNU, atau NU kepada HTI, Kiai Said mendukung pembubaran HTI, karena NU setia pada Republik ini, PBNU itu: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945!”.

Dan Jubir HTI pun tetap bungkam.

Demikian catatan dan kesaksian dari saya, semoga Allah Swt mencatatnya sebagai amal jariyah untuk pembelaan negeri ini yang kemerdekaannya dibela dengan perjuangan rakyat Indonesia, khususnya kaum muslimin, para santri, alim-ulama yang mengorbankan sampai nyawa mereka untuk Kemerdekaan Republik Indonesia.

Setelah sidang telinga saya berdengung Lagu Ya Lal Wathan yang dikarang oleh KH Wahab Chasbullah sebagai bentuk cinta negeri dan patriotisme yang bersumber dari iman Islami:

ياَ لَلْوَطَنْ ياَ لَلْوَطَن ياَ لَلْوَطَنْ

Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon

حُبُّ الْوَطَنْ مِنَ اْلإِيمَانْ

Hubbul Wathon minal Iman

وَلاَتَكُنْ مِنَ الْحِرْماَنْ

Wala Takun minal Hirman

اِنْهَضوُا أَهْلَ الْوَطَنْ

Inhadlu Ahlal Wathan

اِندُونيْسِياَ بِلاَدى

Indonesia Biladi

أَنْتَ عُنْواَنُ الْفَخَاماَ

Anta ‘Unwanul Fakhoma

كُلُّ مَنْ يَأْتِيْكَ يَوْماَ

Kullu May Ya’tika Yauma

طَامِحاً يَلْقَ حِماَمًا

Thomihay Yalqo Himama

Pusaka Hati Wahai Tanah Airku

Cintamu dalam Imanku

Jangan Halangkan Nasibmu

Bangkitlah Hai Bangsaku

Pusaka Hati Wahai Tanah Airku

Cintamu dalam Imanku

Jangan Halangkan Nasibmu

Bangkitlah Hai Bangsaku

Indonesia Negeriku

Engkau Panji Martabatku

Siapa Datang Mengancammu

Kan Binasa di bawah durimu

Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamit Thariq

 

*)Penulis dan Aktivis (gunromli.com)

OPINI

Penegakan Hukum Lingkungan di Tengah Bencana Ekologis Sumatera: Analisis Dampak terhadap Hak Keberlanjutan

Oleh: Noly Wijaya*

DETAIL.ID

Published

on

BENCANA ekologis yang melanda Pulau Sumatera sepanjang akhir 2025, khususnya di Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar), bukan hanya menuntut respons darurat, tetapi juga evaluasi mendalam terhadap penegakan hukum lingkungan.

Curah hujan ekstrem yang dipicu Siklon Tropis Senyar pada 24–30 November 2025 telah memicu banjir bandang dan tanah longsor yang menewaskan 969 jiwa—391 di Aceh, 340 di Sumut, dan 238 di Sumbar—serta menyebabkan 212 orang hilang hingga 11 Desember, menurut data terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Tragedi ini, yang menjadi korban terbesar sejak tsunami Palu 2018, merupakan akibat langsung dari deforestasi seluas 1,4 juta hektare antara 2016–2025 akibat pertambangan ilegal dan illegal logging, yang melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Dampaknya tidak hanya ekologis, tetapi juga menggerus hak keberlanjutan generasi mendatang, sebagaimana dijamin Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945.

Kegagalan Penegakan Hukum sebagai Pemicu Bencana Ekologis

Penegakan hukum lingkungan di Sumatera masih terhambat oleh lemahnya pengawasan dan prioritas ekonomi di atas kelestarian alam. Aktivitas pertambangan emas ilegal dan pembukaan lahan sawit tanpa izin lingkungan sah telah merusak hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), mempercepat erosi tanah dan banjir. Pasal 98 UUPPLH secara eksplisit mengatur sanksi pidana hingga 10 tahun penjara bagi pelaku perusakan lingkungan yang mengakibatkan kerugian ekologis, sementara Pasal 50 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengancam pidana bagi illegal logging.

Namun, realitasnya, praktik ini berlangsung tanpa penindakan tegas, seperti yang terlihat dari penyegelan 11 subjek hukum oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru-baru ini atas dugaan perusakan hutan di Sumatera. Respons seperti pengumpulan bahan keterangan oleh Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kehutanan terhadap 12 entitas di Tapanuli terasa reaktif, bukan preventif, dan sering kali terhambat oleh indikasi korupsi dalam pemberian izin usaha pertambangan (IUP).

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut fenomena ini sebagai “legalisasi bencana ekologis,” di mana negara membiarkan deforestasi dan tambang ilegal sebagai bentuk kelalaian struktural. Kejaksaan Agung telah menerjunkan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) untuk mengusut pembukaan lahan tambang ilegal di Sumatera, tetapi kritik muncul karena kurangnya audit independen dan moratorium izin baru. Kasus serupa pada 2023 di Sihotang dan Simangulampe, yang menewaskan puluhan jiwa, menunjukkan pola berulang tanpa pembelajaran hukum yang signifikan.

Referensi Kasus Internasional: Pembelajaran dari Pengadilan Regional dan Global

Pengalaman internasional menunjukkan bahwa penegakan hukum lingkungan yang tegas dapat menjadi alat efektif untuk melindungi hak keberlanjutan. Di tingkat regional, European Court of Human Rights (ECtHR) dalam kasus Verein KlimaSeniorinnen Schweiz and Others v. Switzerland (2024) memutuskan bahwa kelalaian negara dalam mitigasi perubahan iklim melanggar hak atas kehidupan pribadi dan keluarga (Pasal 8 ECHR), karena dampak iklim seperti gelombang panas mengancam kesehatan dan kesejahteraan.

Putusan ini menetapkan kewajiban positif negara untuk mengadopsi langkah mitigasi ambisius, mirip dengan tuntutan citizen lawsuit di Sumbar terhadap kelalaian pencegahan bencana.
Sementara itu, Inter-American Court of Human Rights (IACtHR) dalam kasus Lhaka Honhat Indigenous Communities v. Argentina (2020) untuk pertama kalinya mengakui hak atas lingkungan sehat secara otonom berdasarkan Pasal 26 American Convention on Human Rights, terkait deforestasi yang melanggar hak masyarakat adat atas makanan, air, dan identitas budaya.

Pengadilan memerintahkan restorasi hutan dan akses sumber daya, menekankan interdependensi hak lingkungan dengan hak adat—relevan dengan kerusakan tanah ulayat di Sumatera akibat tambang ilegal.
Di tingkat global, International Court of Justice (ICJ) dalam Advisory Opinion on Obligations of States in respect of Climate Change (2025) menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban hukum untuk mencegah kerusakan lingkungan signifikan, termasuk dari emisi antropogenik, dan bahwa kegagalan ini dapat melanggar hak asasi manusia generasi mendatang.

Prinsip strict liability juga terlihat dalam kasus historis seperti Trail Smelter Arbitration (1938–1941), di mana Kanada bertanggung jawab mutlak atas kerusakan transboundary akibat polusi smelter, tanpa perlu bukti kesalahan.

Kasus-kasus ini memperkuat argumen bahwa bencana Sumatera merupakan pelanggaran HAM struktural, sebagaimana ditegaskan Yayasan TIFA. Korban tidak hanya kehilangan nyawa dan harta, tetapi juga hak atas remedy komprehensif—ekonomi, sosial, dan budaya—sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Dampak terhadap Hak Keberlanjutan: Pelanggaran HAM Struktural dan Ancaman Generasi Mendatang

Bencana ini bukan sekadar force majeure, melainkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) struktural atas lingkungan sehat dan keberlanjutan. Di Sumbar, misalnya, warga telah mengajukan Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit) terhadap Presiden Prabowo Subianto dan 11 pejabat pusat-daerah atas kelalaian pencegahan bencana, dengan dasar Pasal 90 UUPPLH yang mewajibkan restorasi lingkungan rusak. Gugatan ini menyoroti bagaimana kerusakan ekologis akibat illegal mining dan logging mengancam hak konsumen atas lingkungan aman, sebagaimana dianalisis Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Dampak keberlanjutan semakin parah: degradasi hutan primer melepaskan karbon masif, memperburuk perubahan iklim global dan mengancam biodiversitas seperti habitat harimau Sumatera. Secara ekonomi, kerugian mencapai triliunan rupiah dari rusaknya infrastruktur dan hilangnya produktivitas pertanian, sementara sosialnya, masyarakat adat kehilangan tanah ulayat, memicu konflik dan migrasi paksa. Pendekatan green victimology memandang korban sebagai korban viktimisasi ekologis akibat kapitalisme ekstraktif, yang menuntut reformasi hukum untuk melindungi hak generasi mendatang atas sumber daya alam berkelanjutan.

Menuju Reformasi: Moratorium, Nature-Based Solutions, dan Taubat Ekologis

Untuk mengatasi ini, diperlukan moratorium evaluasi seluruh IUP tambang di kawasan rentan, sebagaimana didesak kelompok masyarakat sipil. Nature-based solutions berbasis hak adat, seperti restorasi hutan oleh komunitas lokal, harus menjadi prioritas untuk menyelamatkan “jantung ekologis” Asia Tenggara. Reformasi Undang-Undang Kehutanan diperlukan untuk mengintegrasikan prinsip strict liability dan penguatan peran masyarakat sipil dalam pengawasan.

Pemerintah harus menetapkan status darurat nasional untuk membuka akses kompensasi bagi korban, termasuk ganti rugi dan identifikasi kerugian ekologis.
Bencana Sumatera 2025 adalah panggilan untuk taubat ekologis kolektif: merefleksikan ulang politik hukum yang mengorbankan alam demi pertumbuhan. Tanpa penegakan hukum yang transformatif, hak keberlanjutan akan terus dirampas, meninggalkan warisan kehancuran bagi anak cucu kita. Saatnya bertindak, sebelum tragedi berulang.

*Mahasiswa Program Doktoral Fakultas Ilmu Hukum, Universitas Jambi

Continue Reading

OPINI

Krisis Ekologis di Aceh, Sumut, dan Sumbar: Bencana yang Kita Ciptakan Sendiri

Oleh: Nazli (Budak Dusun)

DETAIL.ID

Published

on

BANJIR bandang, longsor, dan meluapnya sungai di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kembali memperlihatkan kenyataan yang selama ini dihindari: sebagian besar bencana hidrometeorologis di negeri ini bukanlah peristiwa alamiah yang datang tiba-tiba, melainkan buah dari kerusakan ekologis yang dibiarkan berlangsung selama puluhan tahun. Ketika hulu dieksploitasi, DAS dirusak, dan kawasan lindung diubah menjadi area produksi, maka bencana hanyalah konsekuensi logis.

Selama ini, kita terlalu nyaman berlindung di balik narasi “cuaca ekstrem” atau “ini musibah”. Padahal penyebab strukturalnya sudah jelas: deforestasi masif, tata ruang yang longgar, serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Bencana ini bukan sekadar fenomena alam, tetapi refleksi dari tata kelola lingkungan yang gagal.

Tutupan Hutan yang Menyusut dan Fungsi Lindung yang Hilang
Aceh, Sumut, dan Sumbar merupakan kawasan dengan topografi sensitif yang sangat bergantung pada stabilitas hutan alam. Namun dalam 5 – 10 tahun terakhir, tutupan hutan di tiga provinsi itu menurun drastis akibat ekspansi perkebunan dan kegiatan pertambangan. Hilangnya vegetasi penahan air memperbesar limpasan permukaan, mempercepat sedimentasi sungai, dan membuat lereng semakin rentan longsor.
Ketika fungsi lindung menghilang, tanah kehilangan kemampuan menahan air. Sungai kehilangan ruang alirnya. Pada akhirnya masyarakat di hilir menjadi korban keputusan yang tidak mereka buat.

Tumpang Tindih Perizinan dan Pengawasan yang Terlambat
Salah satu sumber masalah terbesar adalah tumpang tindihnya izin lahan. Banyak konsesi diberikan tanpa pertimbangan matang terhadap bentang alam dan kapasitas ekosistem. Lebih parah lagi, mekanisme pengawasan pada banyak kasus tidak berjalan efektif. Pemerintah sering kali baru hadir setelah rumah-rumah hanyut atau korban berjatuhan.
Pendekatan reaktif semacam ini tidak lagi relevan. Dengan frekuensi bencana yang semakin meningkat, negara harus bergerak sebagai pengelola risiko, bukan sekadar responsor darurat.

Ketika Kepentingan Ekonomi Mengalahkan Kepentingan Ekologis
Dalam sejumlah kasus, kebijakan tata ruang dan perlindungan lingkungan tergerus oleh kepentingan ekonomi jangka pendek. Hubungan yang terlalu dekat antara pengambil kebijakan dan pemilik modal membuat banyak keputusan strategis kehilangan perspektif ekologis. Akibatnya, kawasan rawan tetap dieksploitasi dan risiko bencana terus meningkat.
Selama kebijakan lingkungan dapat dinegosiasikan, selama itu pula masyarakat akan tetap berada dalam ancaman bencana yang sebenarnya bisa dicegah.

Apa yang Harus Dilakukan?

1. Moratorium Izin di Kawasan Rawan
Pemerintah perlu memberlakukan moratorium total terhadap izin baru di hulu DAS, lereng curam, dan kawasan rawan bencana. Moratorium harus diikuti audit menyeluruh terhadap konsesi yang sudah berjalan.
2. Audit Lingkungan yang Transparan dan Dapat Diakses Publik
Semua hasil audit harus dipublikasikan, termasuk siapa yang melanggar, apa pelanggarannya, dan bagaimana tindak lanjut penegakannya. Transparansi adalah fondasi akuntabilitas.
3. Penegakan Hukum Tanpa Kompromi
Pelanggaran lingkungan harus diperlakukan sebagai kejahatan serius. Penegakan hukum yang konsisten dan tidak tebang pilih adalah langkah penting untuk menghentikan budaya pembiaran.
4. Rehabilitasi DAS dan Reforestasi Berbasis Sains
Restorasi lingkungan harus dilakukan secara terukur, bukan sekadar seremonial. Prioritasnya meliputi stabilisasi lereng, pemulihan resapan, penguatan bantaran sungai, dan peningkatan tutupan vegetasi.
5. Penataan Ulang Tata Ruang
Tata ruang di ketiga provinsi itu perlu dikaji ulang secara ilmiah dengan mempertimbangkan faktor geologi, hidrologi, dan proyeksi risiko bencana. Kebijakan tata ruang tidak boleh lagi tunduk pada tekanan ekonomi jangka pendek.

Penutup
Bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar bukanlah kejadian yang tak terelakkan. Ia adalah akumulasi dari kebijakan yang mengabaikan keseimbangan ekologis. Setiap musim hujan kini menjadi pengingat bahwa kita sedang membayar mahal keputusan yang keliru.

Sudah saatnya negara mengembalikan keberpihakan pada keselamatan warganya dan keberlanjutan lingkungan hidup. Jika tidak, tragedi yang kita saksikan hari ini akan terus berulang dan sejarah akan mencatat bahwa bencana itu sebenarnya bisa dicegah.

Continue Reading

OPINI

Politik Hukum dalam Pembentukan Undang-Undang: Meneguhkan Prinsip Negara Hukum atau Menegaskan Dominasi Kekuasaan?

Oleh: Juwika Pasaribu (P2B125067)*

DETAIL.ID

Published

on

DALAM idealitas konstitusi, hukum berada di atas kekuasaan. Namun dalam praktik politik hukum Indonesia, garis itu kerap kabur. Legislasi yang seharusnya menjadi wujud kehendak rakyat justru sering berubah menjadi instrumen politik kekuasaan. Pertanyaan mendasarnya pun muncul: apakah politik hukum Indonesia hari ini meneguhkan prinsip negara hukum atau justru menegaskan dominasi kekuasaan?

Secara konseptual, politik hukum adalah arah kebijakan hukum nasional yang menentukan bagaimana hukum dibentuk, diterapkan, dan ditegakkan dalam suatu negara. Mahfud MD (2009) mendefinisikannya sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan untuk mencapai citacita bangsa. Dengan kata lain, politik hukum adalah kompas yang seharusnya menuntun pembentukan undang-undang agar selaras dengan nilai-nilai konstitusi, bukan sekadar kepentingan penguasa.

Namun, praktik politik hukum Indonesia belakangan menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Contoh konkretnya dalam Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), pengesahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja hingga pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara memperlihatkan kecenderungan kuat bahwa politik hukum lebih banyak diarahkan untuk memperkuat struktur kekuasaan ketimbang mewujudkan keadilan sosial dan aspirasi masyarakat.

Revisi Undang-Undang KPK pada penerapannya dinilai akan melemahkan independensi lembaga antikorupsi, Undang-Undang Cipta Kerja disahkan secara tergesa tanpa partisipasi publik yang memadai dan bahkan dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, sementara UU IKN dinilai terburu-buru dan lebih mencerminkan kehendak politik pemerintah pusat daripada aspirasi rakyat.

Asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 hanya dijalankan sebatas formalitas administratif tanpa makna substantif. Publik memang diundang dalam forum konsultasi, tetapi ruang partisipasinya terbatas dan tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil akhir. Proses legislasi seperti ini menggeser makna hukum dari instrumen keadilan menjadi alat legitimasi kebijakan yang pada akhirnya rakyat hanya menjadi penonton dalam drama hukum yang disutradarai oleh kekuasaan.

Kondisi ini mengikis prinsip dasar negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Negara hukum mensyaratkan supremasi hukum atas kekuasaan, perlindungan hak asasi, serta adanya partisipasi publik dalam proses legislasi. Ketika proses pembentukan undangundang lebih menonjolkan kepentingan politik jangka pendek, maka prinsip negara hukum terdegradasi menjadi sekadar slogan konstitusional. Pemerintah dan DPR kerap berdalih bahwa percepatan legislasi dibutuhkan untuk kepastian hukum dan efisiensi kebijakan.

Namun, kepastian hukum yang tidak dilandasi legitimasi publik justru menimbulkan ketidakpastian sosial. Kepastian hukum yang dibangun di atas dominasi politik adalah kepastian semu, stabil di permukaan tetapi rapuh di dasar. Padahal, menurut Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya mengandung dimensi moral dan sosial yang berpihak pada keadilan, bukan sekadar mengabdi pada logika kekuasaan formal.

Dalam pandangan teori responsive law yang dikemukakan oleh Philip Nonet dan Philip Selznick, hukum ideal adalah hukum yang peka terhadap nilai-nilai masyarakat dan mampu beradaptasi terhadap tuntutan keadilan sosial. Artinya, pembentukan hukum harus partisipatif dan terbuka agar produk hukum tidak hanya sah secara formal, tetapi juga sah secara moral dan sosial. Karena itu, tantangan politik hukum Indonesia ke depan bukan hanya soal memperbanyak produk legislasi, tetapi menata kembali orientasinya. Hukum harus kembali menjadi instrumen moral untuk menegakkan keadilan, bukan alat taktis kekuasaan. Pemerintah dan DPR perlu mengembalikan fungsi legislasi sebagai ruang deliberatif yang mengutamakan dialog, transparansi, dan akuntabilitas.

Partisipasi publik harus dihidupkan kembali secara bermakna, bukan sekadar diundang dalam dengar pendapat, tetapi benar-benar dilibatkan dalam penyusunan kebijakan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi. Asas keterbukaan tidak boleh berhenti di meja administratif, melainkan menjadi ukuran kualitas demokrasi hukum. Tanpa pembenahan arah politik hukum, Indonesia berisiko terus melahirkan undang-undang yang sah secara formal namun kehilangan legitimasi sosial.

Ketika legitimasi publik hilang, hukum tidak lagi menjadi pemandu kehidupan bernegara, melainkan hanya pelengkap formal dari kehendak kekuasaan. Pada akhirnya, ukuran kemajuan negara hukum bukan terletak pada banyaknya undang-undang yang dihasilkan, melainkan pada sejauh mana hukum benarbenar menjadi penuntun bagi kekuasaan, bukan pelayannya

*Penulis merupakan mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.

Continue Reading
Advertisement Advertisement
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs