NIAGA
Rupiah Sempat Tertekan, Krisis Ekonomi 1998 Takkan Terulang

DETAIL.ID, Jakarta – Meskipun mata uang rupiah sempat tertekan oleh Dolar AS, krisis ekonomi seperti tahun 1998 diyakini tidak akan terjadi.
Penegasan itu disampaikan Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden, Denni Puspa Purbasari saat menjadi narasumber program ‘Rosi’ Kompas TV dipandu jurnalis senior Rosianna Silalahi, Kamis (6/9/2018).
Keyakinan Indonesia tak akan terpuruk seperti tahun 1998 ini juga diamini oleh para pembicara lain yakni mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie, mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu, politisi PDI Perjuangan Andreas Eddy Susetyo dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Ari Kuncoro.
“Semua pembicara sudah sama poinnya bahwa kondisi sekarang berbeda dengan tahun 1998. Kita tidak akan seperti 1998, tetapi memang kita semua harus melakukan penyesuaian dan pemerintah makin mawas diri. Pemerintah tidak pernah menganggap depresiasi rupiah tidak serius,” kata Denni.
Denni menyatakan, penjelasan dari pemerintah sudah cukup proporsional, bahwa kondisi ekonomi pada saat ini lebih disebabkan karena faktor eksternal yaitu kebijakan Bank Sentral AS yang menaikkan tingkat suku bunga ditambah dengan kebijakan fiskal Presiden Donald Trump yang sangat ekspansif yang menyebabkan defisit fiskal AS melebar, yang ditutup dengan penerbitan surat utang dengan suku bunga yang lebih tinggi. Akibat dari kebijakan moneter dan fiskal AS ini, modal mengalir dari emerging market termasuk Indonesia ke AS. Permintaan dolar pun naik, harga dolar naik.
Menurut doktor ekonomi lulusan University of Colorado itu, di samping sebab eksternal Pemerintah juga telah menyampaikan masalah ekonomi domestik kita yakni defisit neraca transaksi berjalan sebagai penyebab melemahnya Rupiah terhadap dolar AS. Namun ini bukanlah hal baru. Defisit neraca transaksi berjalan sudah terjadi sejak 2012, bahkan pernah mencapai lebih dari 4% di masa lalu.
“Penyebab dari defisit ini adalah produktivitas kita yang rendah, yang menyebabkan kita tidak memiliki daya saing untuk mengekspor,” ujarnya.
Kenapa kita bergantung pada dolar AS? Denni menjelaskan dalam perdagangan global, mata uang Dolar AS sering berperan sebagai ‘vehicle currency’. “Itu adalah mata uang yang disepakati oleh penjual dan pembeli ketika melakukan perdagangan atau pembayaran internasional,” ucap Denni menjawab pertanyaan Rosi.
Dampak Kurs Terhadap Inflasi Kecil
Jumat (7/9/2018) pagi tadi, Denni Purbasari juga tampil dalam dialog live Metro Pagi Prime Time bertema ‘Sudah Tepatkah Upaya Pemerintah Jaga Stabilitas Rupiah?’ bersama Wakil Kepala Bidang Penelitian Lembaga Penelitian Ekonomi Manajemen Universitas Indonesia, Kiki Verico.
Pada program berita yang dipandu presenter Kartika Octaviana ini, Denni menjawab pertanyaan terkait, adakah kemungkinan kondisi ekonomi saat ini membawa dampak kenaikan harga-harga barang dan menyebabkan naiknya inflasi.
“Studi Bank Indonesia menunjukkan bahwa dampak kenaikan kurs terhadap kenaikan harga barang dan jasa sangat kecil,” kata Denni.
Poin kedua, menurut hasil survei, perusahaan-perusahaan belum menaikkan harga terlebih dahulu karena juga melihat permintaan yang ada di pasar.
“Untuk merespons kenaikan kurs ini perusahaan cenderung melakukan efisiensi, memotong biaya-biaya, dan menahan harga,” ujar Denni.
Selain itu, ia memaparkan, kebijakan naiknya PPh Impor diharapkan memperlambat pertumbuhan impor barang konsumsi dan membuat masyarakat menggeser konsumsi pada produksi nasional.
Sebagai solusi cepat mengatasi pelemahan rupiah saat ini, Denni menekankan peran Bank Sentral. “Bank Indonesia sudah menaikkan tingkat suku bunga dan memastikan bahwa pergerakan rupiah smooth merefleksikan kondisi fundamentalnya,” kata Denni.
Sedangkan dari sisi pemerintah tentu saja kebijakan fiskal yang hati-hati dan langkah-langkah cepat seperti penerapan B20 dan menunda proyek-proyek infrastruktur yang belum memasuki tahap konstruksi menjadi solusi.
“Dalam RAPBN 2019, defisit fiskal ditargetkan menurun menjadi 1,8% terhadap PDB. Ini menunjukkan pada tahun politik, Pak Jokowi tidak main-main dengan fiskal,” ujar Denni yang pernah menjadi anggota Tim Asistensi Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk Kerja Sama Internasional, Tim Asistensi Menteri Perdagangan Mari Pangestu, serta Asisten Staf Khusus Wakil Presiden Boediono. (*)
NIAGA
DBH Sawit Bagi Provinsi Jambi Alami Tren Penurunan Sejak 2023

DETAIL.ID, Jambi – Alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit yang dikucurkan oleh Pemerintah Pusat bagi Provinsi Jambi tercatat mengalami tren penurunan sejak 2023 lalu.
Berdasarkan penjelasan Kadis Perkebunan Provinsi Jambi, Hendrizal, alokasi DBH Sawit untuk Provinsi Jambi senilai Rp 23 M untuk tahun 2025. Lebih kecil dari tahun sebelumnya yakni Rp 33 M. Padahal awalnya di 2023 alokasi dana mencapai Rp 38 M.
Menurut Hendrizal, pasca ditransfer ke kas daerah atau BPKPD duit DBH tersebut bakal diperuntukkan bagi pendataan, rencana aksi daerah tentang kelapa sawit berkelanjutan, hingga jaminan sosial bagi buruh tani sawit.
“Sejauh ini porsinya sesuai PMK 91, porsi maksimal 20% di bidang perkebunan. 80% untuk infrastruktur,” ujar Hendrizal, Selasa, 24 Juni 2025.
Dia pun menyoal porsi dana yang bersumber dari Pungutan Ekspor CPO yang ditetapkan oleh pusat tersebut. Sebab menurutnya jika peruntukan dana lebih difokuskan spesifik pada infratruktur semacam jalan usaha tani, tentu bakal lebih menopang produktivitas hasil perkebunan rakyat.
Sementara itu terkait program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), dimana insentif dana peremajaan sawit kini menjadi Rp 60 per hektar sejak September 2024 lalu. Kadis Perkebunan Provinsi Jambi tersebut menilai belum berdampak signifikan terhadap animo petani untuk ikut PSR.
“Kondisi di daerah beda-beda ya. Untuk petani yang lahannya cuman sedikit, misal cuman 2 ha dia ga akan mau. Karna ketika ditebang mau makan apa sampai 5 tahun. Beda dengan yang punya lahan luas,” katanya.
Adapun untuk tahun 2025, Disbun Provinsi Jambi menargetkan PSR seluas 14.100 hektar. Sebelumnya di tahun 2023 lalu, dari 10 ribu ha target PSR, terealisasi seluas 7800 ha atau sekitar 70% dari target.
“2025 target 14.100. Mestinya tercapai inikan masih proses. Yang lama itu tadi penyiapan status tanah. Itukan minimal 50 ha, anggota kelompok minimal 20. Kita optimislah, kalaupun tidak 100%, 70% mungkin terkejar,” katanya.
Reporter: Juan Ambarita
NIAGA
Harga TBS Sawit Periode 6 – 12 Juni Turun Tipis

DETAIL.ID, Jambi – Harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit di Provinsi Jambi untuk periode 6 – 12 Juni 2025 mengalami penurunan, Kamis, 5 Juni 2025.
Berdasarkan hasil rapat penetapan harga oleh Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, harga TBS untuk usia tanaman 10 – 20 tahun ditetapkan sebesar Rp 3.287,72 per kilogram, turun Rp 1,09 dari periode sebelumnya.
Penurunan harga juga tercatat secara rata-rata pada seluruh umur tanaman, yaitu sebesar Rp 0,68 per kilogram.
“Harga rata-rata minyak sawit mentah (CPO) pada periode ini tercatat sebesar Rp 13.026,14 per kilogram, sementara harga rata-rata inti sawit mencapai Rp 11.879,60 per kilogram,” kata Kadis Perkebunan Hendrizal, Kamis 5 Juni 2025.
Harga tersebut berdasarkan pada indeks K yang digunakan dalam penetapan harga adalah 94,56 persen.
Reporter: Juan Ambarita
NIAGA
Harga TBS Sawit Provinsi Jambi Turun Periode 16–22 Mei 2025, Berikut Harga CPO dan Kernel

DETAIL.ID, Jambi – Pemerintah Provinsi Jambi melalui Dinas Perkebunan (Disbun) Bidang PSPHP telah menetapkan harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit untuk periode 16 hingga 22 Mei 2025.
Hasil rapat yang digelar pada Kamis, 15 Mei 2025 mencatat adanya penurunan harga TBS dibandingkan periode sebelumnya.
“Harga TBS untuk umur tanaman 10–20 tahun ditetapkan sebesar Rp 3.292,77/kg, turun Rp 149,39/kg dari harga pekan lalu. Rata-rata penurunan harga TBS berdasarkan umur tanaman mencapai Rp 136,40/kg,” kata Kabid Sarpas Disbun Provinsi Jambi, Bukri pada Jumat, 16 Mei 2025.
Adapun harga rata-rata Crude Palm Oil (CPO) tercatat sebesar Rp 12.797,50 sementara harga rata-rata inti sawit atau kernel mencapai Rp 12.921,05 dengan indeks K yang digunakan dalam perhitungan harga berada pada angka 94,18%.
Menurut Bukri, penurunan harga TBS disebabkan oleh melemahnya permintaan pasar global serta turunnya harga minyak nabati lainnya, yang turut memengaruhi harga sawit.
“Penyebab harga turun, permintaan melemah. Minyak nabati lain juga turun,” katanya.
Reporter: Juan Ambarita