Connect with us

LINGKUNGAN

Warga Pemayungan Resah Digusur Paksa Tiga Perusahaan

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Tebo – Ratusan warga Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi telah resah akibat aktivitas tiga perusahaan. Tiga perusahaan itu secara masif telah menggusur paksa dengan cara intimidasi melalui surat serta melibatkan aparat keamanan, baik tentara, polisi dan polisi kehutanan.

Tiga perusahaan itu adalah PT Lestari Asri Jaya (LAJ), PT Wana Mukti Wisesa (WMW) — keduanya adalah perusahaan konsensi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan PT Alam Bukit Tiga Puluh (ABT) — perusahaan restorasi ekosistem.

Menurut Kepala Desa Pemayungan, Syaharudin (36), intimidasi dan penggusuran paksa ini mulai masif sejak Juni 2018 lalu. Persisnya sejak PT LAJ dan WMW menjadi anak perusahaan PT Royal Lestari Utama (RLU) — joint ventura antara Barito Pasific Group (Indonesia) dan Michelin Group, salah satu perusahaan ban terbesar di dunia asal Perancis. Tahun ini PT RLU menerima obligasi keberlanjutan sebesar 95 juta dollar Amerika dari Tropical Landscape Finance Facility (TLFF).

Syaharudin menjelaskan sampai 27 Agustus 2018 kemarin, penggusuran paksa masih terus terjadi. Kebun milik masyarakat totalnya mencapai 300 hektar lebih, berupa tanaman sawit, karet, jengkol, bahkan sialang habis digusur tiga perusahaan tersebut.

“Kebun saya seluas 30 hektar juga telah habis digusur masyarakat,” kata salah satu tokoh Suku Anak Dalam, Tumenggung Bujang Kabut. Padahal, kebun itu, kata Bujang, hasilnya untuk memenuhi kebutuhan kami sekeluarga sehari-hari. “Sekarang kami tak tahu mau makan apa dan tinggal di mana,” keluhnya kepada detail pada Selasa (28/8/2018).

Bujang sempat dijanjikan untuk menerima “tali asih” sebesar Rp80 juta. Kenyataannya, yang baru diberikan perusahaan hanya Rp15 juta. Sisanya, kata perusahaan telah diberikan kepada Kepala Desa Melako Intan. “Aneh, lahan saya berada di Desa Pemayungan kok uangnya diberikan kepada kades lain,” ujarnya.

Syaharudin menjelaskan lahan yang digusur perusahaan sebagian besar adalah lahan milik Suku Anak Dalam. Salah satunya milik keluarga Tumenggung Bujang Kabut.

Salah satu pendamping masyarakat, Abdul Azis menjelaskan bahwa PT LAJ mengantongi SK Menteri Kehutanan untuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman Industri (IUPHHK – HTI) dengan nomor SK.141/MENHUT-II/2010 tanggal 31 Mei 2010 seluas 61.495 hektar di Kabupaten Tebo.

“Anehnya, tidak dijelaskan konsesi itu tepatnya berada di kecamatan mana,” kata Abdul Azis kepada detail pada Selasa (28/8/2018).

Sementara PT WMW memperoleh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman Industri (IUPHHK – HTI) pola transmigrasi Nomor 275/kpts-II/1998 tanggal 27 Februari 1998 seluas 9.263,77 hektar.

PT ABT memperoleh izin berdasarkan Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nomor 7/1/IUPHHK-HA/PMDN/2015 tanggal 24 Juli 2015 seluas 38.665 hektar. Seluas 24.915 hektar di Hutan Produksi Tetap dan sisanya 13.750 hektar di Hutan Produksi Terbatas.

Azis menjelaskan luasan konsesi badan usaha milik swasta atau asing sebenarnya dibatasi oleh Kepmenhut 101/kpts-II/2000 tanggal 6 November 2000 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Tanaman pasal 4 ayat 1 poin e menyebutkan bahwa luasan maksimal hanya 50.000 hektar. “Artinya luasan PT LAJ berlebih 11.495 hektar,” kata Azis.

Lagi pula, izin PT ABT berada dalam dua blok. Anehnya, blok pertama berada dalam areal yang tutupan hutan yang masih alami. Padahal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2008 pasal 36 ayat 1 disebutkan bahwa kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem hanya dilakukan dengan ketentuan diutamakan pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif.

Peraturan Menteri Kehutanan juga menyebutkan bahwa dalam hal permohonan IUPHHK-RE, pendanaan kegiatan tidak dibenarkan diperoleh dari pinjaman atau hibah negara asing. Kenyataannya, PT ABT justru didanai asing yaitu KFW serta dikawal dua NGO yaitu World Wide Fund (WWF) dan Frankfurt Zoological Society (FZS).

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2011 tentang Penataan Batas Area Kerja Izin Pemanfaatan Hutan bahwa penataan batas paling lambat dilakukan setahun setelah mendapat izin dari Menteri Kehutanan.

Apabila dalam konsesi itu terdapat lahan yang telah menjadi tanah milik, perkampungan, tegalan, persawahan atau telah digarap pihak ketiga secara sah maka lahan itu wajib dikeluarkan dari konsesi izin.

Dalam UU Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan pasal 15 ayat 1 disebutkan pengukuhan kawasan hutan harus dilakukan lewat empat tahap. Tahap pertama penunjukan kawasan hutan. Kedua, penataan batas kawasan hutan. Ketiga, pemetaan. Dan keempat, penetapan kawasan hutan.

“Di mana sekarang Berita Acara Tata Batas (BATB) itu? Mereka tak bisa buktikan,” tanya Azis. (DE 01)

LINGKUNGAN

Walhi Jambi Laporkan Jamtos, JBC, dan Roma Estate ke Polda Terkait Dugaan Perusakan Sungai

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi melaporkan tiga proyek pembangunan besar di Kota Jambi ke Kepolisian Daerah (Polda) Jambi atas dugaan pelanggaran lingkungan hidup pada Jumat, 30 Mei 2025.

Ketiga proyek tersebut adalah Jambi Town Square (Jamtos), Jambi Business Center (JBC), dan Perumahan Roma Estate. Walhi menilai, pembangunan ketiganya telah mengubah bentang alam sempadan Sungai Kambang dan menyebabkan kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Fokus utama laporan tertuju pada pembangunan Jamtos yang diduga menutup aliran Sub Sungai Payo Sigadung atau Sungai Kambang dan menggantinya dengan saluran tertutup (gorong-gorong). Kondisi ini dinilai melanggar tata ruang dan aturan lingkungan serta meningkatkan risiko banjir di kawasan Mayang.

Berdasarkan overlay citra historis Google Earth tahun 2002 hingga 2025, kawasan Jamtos sebelumnya merupakan hutan dan sempadan sungai alami. Kini, jalur sungai tersebut tertutup bangunan beton, menghilangkan fungsi alaminya sebagai saluran limpasan air.

Walhi menilai pembangunan itu melanggar sejumlah peraturan, antara lain Undang-Undang No 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, PP No 38 Tahun 2011 tentang Sungai, Permen PUPR No 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai, serta Perda Kota Jambi No 9 Tahun 2013 dan No 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.

Selain Jamtos, pembangunan JBC dan Roma Estate juga diduga turut mengubah alur sungai dan menutup wilayah resapan air yang penting bagi kestabilan ekologis kota Jambi.

Direktur Walhi Jambi, Oscar Anugrah, menyatakan bahwa pembangunan yang tidak memperhatikan aturan lingkungan dan tata ruang merupakan bentuk kelalaian serius.

“Kami meminta dan mendesak Kapolda Jambi melalui Direktorat Kriminal Khusus untuk segera memeriksa pihak pengembang JBC, Jamtos, dan Roma Estate, serta pihak pemerintah yang memberikan izin atas pembangunan tersebut. Kami tidak akan berdamai bagi siapa saja yang merusak alam dan lingkungan yang berpotensi terhadap kerusakan ekologi,” ujar Oscar.

Hingga berita ini ditulis, belum diperoleh tanggapan resmi dari pihak pengembang maupun instansi terkait laporan tersebut. (*)

Continue Reading

LINGKUNGAN

Perkumpulan Hijau Bakal Laporkan Tambang Batu Bara PT GAL di Tebo Atas Pencemaran Lingkungan

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Setelah PT Bumi Bara Makmur Mandiri (BBMM) yang sampai saat ini masih dalam proses penyelidikan Polda Jambi, Perkumpulan Hijau (PH) kembali menemukan indikasi kejahatan lingkungan akibat aktivitas industri ekstraktif batu bara yaitu PT Globalindo Alam Lestari (GAL).

Perusahaan tambang batu bara yang berada di kawasan Desa Suo Suo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo tersebut menjadi ancaman serius untuk lingkungan dan masyarakat, akibat aktivitas tambang batu bara yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari permukiman warga.

Direktur Perkumpulan Hijau, Feri Irawan menyoroti dampak yang ditimbulkan dari tambang batu bara yang sangat dekat permukiman warga tersebut, mulai dari ketimpangan sosial hingga ancaman terhadap lingkungan dan ketahanan pangan.

“Risiko hadirnya tambang batu bara pasti akan mengintimidasi ruang hidup masyarakat karena di mana ada tambang, pasti ada kesengsaraan,” ujar Feri dalam pernyataannya.

Ia menegaskan bahwa situasi di Desa Suo Suo mencerminkan bagaimana masyarakat dikorbankan atas nama eksploitasi sumber daya alam. Menurut Feri, ketidakpatuhan perusahaan tambang terhadap aturan jarak minimal dari permukiman merupakan bentuk kejahatan pertambangan yang nyata.

“Ketidakpatuhan perusahaan pada aturan tentang jarak minimal pun menjadi salah satu tolak ukur kejahatan pertambangan,” katanya.

Selain ancaman terhadap lingkungan dan pertanian, aktivitas tambang yang begitu dekat juga meningkatkan risiko kesehatan bagi warga sekitar. Polusi udara dari debu tambang, pencemaran air, serta potensi longsor akibat pengerukan tanah menjadi kekhawatiran utama yang dihadapi masyarakat.

Bukan hanya itu, Perkumpulan Hijau melihat PT Globalindo Alam Lestari (GAL) dituding telah menyebabkan pencemaran dan membunuh sejumlah ekosistem sungai di sekitar konsesinya.

Hasil investigasi Perkumpulan Hijau menemukan pembuangan atau pengeringan air dari bekas tambang baru yang sedang beroperasi melalui selang mengarah dan mengalir ke Sungai Batanghari, air bekas tambang yang seharusnya dialiri ke settling pond untuk mengurai zat atau bahan kimia bekas tambang yang terkandung dari air bekas tambang baru.

Dalam hal ini jelas ungkap Feri, sanksi pelanggaran UU Lingkungan terkait settling pond, dapat berupa sanksi pidana maupun sanksi administratif, tergantung pada jenis pelanggaran dan tingkat keparahannya. Sanksi pidana meliputi penjara dan denda, sedangkan sanksi administratif meliputi teguran tertulis, pembekuan izin, atau pencabutan izin.

Feri menambahkan, dalam izin PT GAL ini terlihat jelas lobang bekas galian tambang yang menganga luas, tidak ada bentuk tanggung jawab terhadap dampak akibat dari ekploitasi tambang yang dilakukan secara masif.

“Berdasarkan analisis Tim GIS ‘Perkumpulan Hijau mencatat luasan lobang tambang yang tidak direklamasi oleh PT Globalindo Alam Lestari (GAL) ialah luas lobang tambang 7,64 hektare dan luas lahan yang terbuka 10,97 hektare.

Feri menegaskan, jika tindakan kejahatan lingkungan ini tidak segera dihentikan, maka kehancuran dan bencana tinggal menunggu waktu. Perkumpulan Hijau mendesak pemerintah, Polda Jambi, Mabes Polri, khususnya inspektorat tambang, menteri lingkungan hidup untuk segera mengevaluasi praktik tambang yang berlangsung di Desa Suo Suo. Feri menekankan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi warga dari dampak buruk pertambangan dan memastikan keselamatan mereka.

“Perkumpulan Hijau juga mendesak pemerintah selaku pemberi izin, untuk mengevaluasi praktik tambang yang ada dan membebaskan area masyarakat dari wilayah tambang agar dapat memberikan jaminan pada keselamatan masyarakat sekitar,” katanya.

Terkait kemungkinan sanksi, Feri menyebut bahwa pencabutan izin merupakan bentuk hukuman tertinggi yang bisa diberikan terhadap perusahaan yang melanggar aturan. Namun, hingga saat ini, belum ada pencabutan izin yang terjadi di wilayah tersebut.

Dalam hal ini, Perkumpulan Hijau akan segera melaporkan temuan di lokasi PT GAL ini ke Polda Jambi untuk dilakukan tindakan.

“Kami akan laporkan PT GAL ini atas tindakan kejahatan pencemaran lingkungan,” katanya. (*)

Continue Reading

LINGKUNGAN

Walhi Bentang Spanduk di Seminar Pemkot Jambi: JBC, Jamtos, dan Roma Estate Dinilai Jadi Penyebab Banjir

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi mendesak pemerintah daerah segera menghentikan proyek-proyek pembangunan yang dinilai memperparah kerusakan lingkungan dan menyebabkan banjir di Kota Jambi. Tuntutan itu disampaikan dalam aksi protes saat forum Seminar Sehari “Pemkot Jambi Mendengar” di Rumah Dinas Wali Kota Jambi pada Rabu, 14 Mei 2025.

Direktur Walhi Jambi, Oscar Anugrah, menyebut tiga proyek utama yang menjadi penyebab terganggunya fungsi ekologis di kota ini, yakni Jambi Business Center (JBC), Jamtos, dan Perumahan Roma Estate. Ketiga proyek tersebut, kata Oscar, telah mengubah kawasan sepadan sungai menjadi beton dan menutup daerah tangkapan air.

“JBC dibangun di kawasan rawan banjir dan justru memperparah dampak lingkungan. Alih-alih memperhatikan daya dukung wilayah, pengembang malah merusaknya,” kata Oscar.

Menurut Walhi, banjir yang melanda kawasan Simpang Mayang dan sekitarnya pada April lalu merupakan dampak langsung dari buruknya tata ruang dan pembangunan tanpa pertimbangan lingkungan. Area JBC dan Jamtos disebut berada di dataran rendah atau cekungan, yang secara alami berfungsi sebagai tempat penampungan air dari drainase sekitar.

Pembangunan di kawasan tersebut dinilai bertentangan dengan UU Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air serta Perda Provinsi Jambi Nomor 7 Tahun 2024–2044, yang menetapkan kawasan JBC sebagai wilayah rawan bencana banjir.

“Kami tidak menolak pembangunan, tetapi menolak pembangunan yang menyengsarakan warga demi keuntungan pengusaha,” ujarnya.

Dalam aksinya, Walhi Jambi menyampaikan lima tuntutan kepada pemerintah;

  1.  Tinjau ulang kerja sama antara Pemprov Jambi dan pengelola JBC.
  2. Kembalikan fungsi ekologis kawasan JBC, Jamtos, dan Roma Estate.
  3. Putus kerja sama jika ditemukan pelanggaran lingkungan.
  4.  Cabut izin proyek yang terbukti merusak lingkungan.
  5. Hentikan seluruh pembangunan yang tak sesuai dengan daya dukung lingkungan.

Aksi ini bertepatan dilakukan dalam seminar bertema “Model Kolaborasi Penanganan Banjir” yang diselenggarakan Sahabat Alam Jambi dan dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan.

Reporter: Juan Ambarita

Continue Reading
Advertisement ads ads
Advertisement ads