PENGHUJUNG ABAD pertama hijriah, dinasti Bani Umayyah mengalami pembusukan internal. Seorang ulama yang telah menguasai seluruh ilmu-ilmu agama dari segenap ulama Madinah, sebagai syarat mutlak untuk menjadi seorang mujtahid, yang menjadi bagian dari dinasti tersebut, tampil sebagai sang penyelamat. Ulama yang namanya terukir abadi karena kesuksesannya memimpin tersebut adalah Umar bin Abdul Aziz.
Setelah Abdul Malik bin Marwan sebagai pemegang kekuasaan Umayyah tutup usia, Umar bin Abdul Aziz terpilih secara aklamasi untuk menduduki jabatan khalifah. Hal tersebut membuat dirinya galau. Ia tak percaya diri untuk memimpin. Walaupun beliau memiliki track record yang baik, namun bagaimanapun dirinya adalah bagian dari keluarga istana yang memiliki perilaku korup, mewah dan boros.
Sesaat setelah dilantik, Umar berkata kepada Az-Zuhri, seorang ulama besar, “Aku benar-benar takut pada neraka.” Ia sadar, tidak mungkin baginya melakukan perbaikan dalam tataran negara kecuali jika ia berani memulai dari dirinya sendiri dan keluarga. Umar benar-benar mengamalkan hadis Nabi, “Ibda binafsik” (mulailah dari dirimu). Reformasi pun bergulir. Tak berapa lama setelah dilantik, Umar memerintahkan mengembalikan seluruh harta pribadinya ke kas negara. Bahkan Umar menolak untuk tinggal di istana dan tetap menempati rumah pribadinya.
Setelah selesai dengan dirinya, proses bersih-bersih berlanjut kepada keluarganya. Ia berikan dua pilihan pada istrinya, “Kembalikan seluruh perhiasan dan harta pribadimu ke kas negara atau kita cerai.” Sang istri, Fatimah binti Abdul Malik memilih taat pada suaminya. Adapun anak-anaknya, Umar menangis dan memberikan dua pilihan kepada anaknya, “Saya sediakan kalian makanan yang enak lagi lezat tapi kalian harus rela menjebloskan ayahmu ke neraka atau kalian bersabar dengan makanan sederhana ini dan kita akan masuk surga bersama.” Anak-anaknya pun memilih yang kedua.
Untuk menjaga keadilan dan kelancaran administrasi negara, Umar bin Abdul Aziz melarang para gubernur dan pejabat berdagang untuk kepentingan pribadi, keluarga maupun familinya. Umar berpendapat bahwa seorang Imam (pemimpin negara) tidak pantas untuk berdagang. Begitu pula tidak halal bagi seorang gubernur untuk berdagang di dalam wilayah kekuasaannya. Karena seorang Amir bila ia berdagang maka ia akan mudah melakukan monopoli dan membenarkan perbuatan yang merusak negara, sekalipun ia berusaha keras untuk tidak berbuat demikian.
Langkah yang diambil Umar bin Abdul Aziz dalam pembersihan diri, keluarga dan istana telah meyakinkan publik untuk melakukan reformasi dalam skala yang lebih luas, khususnya dalam pembersihan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Beliau juga bukan sosok yang suka menebar pencitraan. Sang ulama sekaligus umara itu telah menunjukkan tekadnya dalam memberikan keteladanan yang begitu memukau dalam masa pemerintahan selama dua setengah tahun (717-720 M).
Diskursus tentang ulama menjadi umara kembali bergulir. Suatu dinamika dan proses politik yang terjadi di Indonesia terutama menjelang ajang Pilkada, Pileg, Pilgub sampai dengan Pilpres. Kehadiran ulama dalam bidang politik seharusnya memiliki dampak positif dalam pengertian memberikan sumbangan bagi terciptanya bangunan struktur politik yang bermoral, karena ulama adalah simbol moral.
Namun demikian, tidak bisa dinafikan bahwa dunia politik kita dewasa ini masih sarat dengan berbagai problem multidimensi, mulai dari hulu hingga ke hilir. Dunia politik kita masih disetir oleh birahi kepentingan pragmatis. Sehingga praktik-praktik politik yang jauh dari nilai-nilai idealisme, etika dan kesantunan menjadi fenomena yang tak terhindarkan. Di hilir, dunia politik kita dikangkangi oleh keserakahan dan kepentingan pragmatis sehingga kebijakan-kebijakan yang kemudian dilahirkan tidak kunjung berpihak pada kebaikan dan perbaikan bangsa, agama dan umat.
Kehadiran ulama dalam dunia politik, baik secara struktural maupun kultural, tidak dibarengi dengan nilai tawar politik yang cukup kuat. Sehingga pemain-pemain politik (elite politik maupun partai politik) kerap hanya menerima kehadiran ulama sebatas sebagai pelengkap semua unsur dan kepentingan stabilitas politik semata, tanpa ada keseriusan menampung aspirasi keulamaannya. Penulis mengutip pernyataan Benyamin Disraeli, Perdana Menteri Inggris (1868), “Tidak ada sikap dan aksi yang jahat atau khianat yang partai politik tidak mampu lakukan. Karena dalam politik tidak ada kehormatan.”
Hal ini berdampak pada terseretnya ulama pada ranah politik praktis. Ulama tidak lagi memainkan peran di balik layar para aktor politik, tetapi ulama telah menjadi aktor politik praktis itu sendiri, terseret menjadi pemain dalam kompetisi lima tahunan. Ulama akhirnya harus bergelut dengan politik keseharian yang sering kali penuh kritik dan tipu daya. Tak jarang ulama terpaksa ikut menjadi juru bicara pada aktor politik lainnya dan disadari atau tidak, perlahan kehilangan muruahnya di mata umat.
Wahai Umar, apa yang dapat kami pelajari dari cerita tentangmu yang luar biasa itu? Cerita yang tak cuma satu dua, menggambarkan pemimpin yang berjiwa halus, teramat sederhana dan begitu prihatinnya pada nasib keseluruhan rakyat. Saat bersamaan, ia begitu tegas, keras dan tak pandang bulu saat menghadapi musuh agama dan negara atau ketika menerapkan hukuman pada tiap pelanggaran. Kita pun ikut prihatin sedalam-dalamnya saat menyadari betapa kita tidak berhasil menemukan pemimpin formal kita, dari tingkat terendah hingga tingkat tertinggi, yang walau tidak harus berlaku sama dengan khalifah Umar.
Memimpin itu sebuah keprihatinan, bukan sekedar sukses apalagi kegembiraan. Satu kesadaran yang bertentangan dengan setiap “pesta” miliaran-triliunan rupiah semasa pemilihan atau pasca terpilihnya seorang pemimpin. Renungilah dan amatilah petikan daripada kata-kata Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali, “Sesungguhnya rakyat rusak karena pemerintah, dan pemerintah rusak karena ulama. Sementara ulama pula rusak karena tamak akan harta dan pangkat. Maka siapa yang dikuasai oleh kecintaan kepada dunia, dia tidak akan mampu memberi nasihat walaupun kepada orang bawahan, apalagi kepada pemerintah dan pembesar.”
Di mana Nahi Mungkarmu, Yang Mulia?
*Akademisi UIN STS Jambi
Discussion about this post