PADA DASARNYA ziarah merupakan hal lumrah yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Namun, jika hal ini dilakukan di tahun politik dan dilakukan oleh para aktor politik, hal ini menjadi suatu fenomena yang disorot dan perlu ditelaah apa motif terselubung di baliknya.
Menurut Henri Chambert-Loir dan Claude Gillot, dalam tulisannya “The Potent Dead: Ancestor, Saint and Heroes in Contemporary Indonesia”, bahwa bagi masyarakat Indonesia tokoh-tokoh penting dan suci yang telah meninggal seolah-olah memiliki kekuatan untuk membimbing dan tidak ada pemimpin yang aman jika berjalan tanpa restunya. Para tokoh keramat yang diziarahi diyakini dapat memberi restu ke para aktor politik yang akan bertarung pada tahun politik ini.
Baca Juga: Tuntas di Ujung Jabatan
Hal serupa diungkapkan dalam tesis milik Daniel C.Harris dari Northern Illinois University. Dalam tesis tersebut disebutkan bahwa tradisi ziarah menjadi bagian dari praktik kooptasi politik dengan tujuan untuk mendapatkan legitimasi politik dan membentuk identitas nasional. Makam para ulama dan tokoh-tokoh yang dihormati, sering menjadi sasaran kunjungan ziarah para politisi. Sudah menjadi hal umum jika para calon pemimpin daerah dan negara yang bertarung dalam Pemilu sering datang ke makam para ulama dan datang ke pesantren-pesantren.
Fenomena ziarah dan ngalab berkah (meraih berkah) yang dilakukan oleh para politisi setiap menjelang pemilihan dan perlu dipertanyakan apakah tujuan utama mereka adalah murni untuk “berkomunikasi” dengan yang diziarahi atau untuk memperoleh dukungan dari pengikut tokoh yang diziarahi? Rasionalitas bergumul mesra dengan nilai-nila irasional. Motifnya, apalagi kalau bukan memenangkan atau melanggengkan kekuasaan.
Baca Juga: Selayang Pandang Memahami Studi Pemerintahan Sebagai Ilmu dan Seni di UIN STS Jambi
Mungkin hanya di Indonesia bahwa fenomena kontestasi politik seperti Pilkada atau Pilpres, para kontestan selalu menyempatkan diri untuk melakukan ziarah ke makam-makam pahlawan, tokoh agama dan politik atau tokoh masyarakat. Entah untuk sekadar simbol budaya, mistik/perdukunan, pencitraan atau sekadar memperoleh pengakuan masyarakat. Kegiatan yang dilakukan elite-elite politik ini sudah dilakukan sejak dulu.
Ziarah kubur seakan mampu membawa dampak legitimasi politik. Seakan ada sebuah kekuatan supranatural yang kemudian diperoleh para kontestan politik setelah mereka melakukan ziarah kubur, sehingga mereka bertambah yakin bahwa kekuatan dirinya akan semakin diperhitungkan pihak lawan politik.
Padahal, ziarah kubur sendiri dalam Islam, tidak harus dilakukan pada saat-saat seseorang dalam keadaan mengikuti kontestasi saja, tetapi bisa dilakukan kapan pun tanpa harus terikat oleh suatu peristiwa tertentu. Bisa jadi, lawatan ke kuburan bagi para kontestan ini justru karena ada bisikan gaib dari orang-orang dekatnya (dukun/paranormal) agar meminta restu kepada para tokoh dan pejuang terdahulu supaya dirinya dimuluskan dalam segala jalan dalam menghadapi sebuah kontestasi politik dan mampu menciptakan kekuatan karismatik kepada dirinya.
Baca Juga: Putra Daerah, Bentuk Identitas Musiman Jelang Pilkada
Selain itu, alasan lain yang umum dilontarkan oleh mereka adalah untuk mengenang, meneladani dan menghormati para ulama, pejuang dan tokoh-tokoh masyarakat. Sulit dibedakan, mana tradisi keagamaan dan mana bentuk pencitraan politik, karena keduanya lebur dan masing-masing muatan ada dalam fenomena keduanya. Ziarah harus dimaknai sebagai upaya mendoakan dan bagian penghormatan atas jasa-jasa seseorang selama hidupnya. Namun, jika ziarah ini maknanya direduksi untuk tujuan lain, tentu akan menjadi masalah. Apalagi jika digunakan untuk sekadar upaya membentuk citra diri.
Panggung politik adalah ajang terbuka bagi para politisi untuk bertarung mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan serta jabatan, maka kerja politik adalah kerja yang berorientasi mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan dan jabatan. Demi mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan serta jabatan, seseorang dapat menempuh berbagai macam cara. Baik yang rasional maupun yang irasional.
Benedict Anderson (1972) dalam tulisannya “The Idea of Power in Javanese Culture”. Anderson mengatakan, politik Indonesia sangat dipengaruhi kultur Jawa yang memang dekat dengan hal-hal mistis dan metafisik. Spiritualitas politik kita kerap berkait dengan dukun/paranormal dan kalau sedang dirundung ambisi untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan, cocoknya (mungkin) cari makam Anusopati yang dulu sanggup menikam Ken Arok, bapak sambungnya yang sakti dan dalam jangka waktu yang panjang sanggup menjalankan strategi Kebo Ijo dan Keris Empu Gandring atau justru ziarah ke makam Ken Arok sekalian, agar dapat mentransfer energi untuk men- Tunggul Ametung-kan entah siapa lawan-lawan politik yang ia pusingkan.
Selamat berburu BERKAH di makam keramat.
*Akademisi UIN STS Jambi
Discussion about this post