Lebih lanjut, Nazir menyampaikan pihaknya hanya menemukan lahan gambut budidaya seluas 100-125 ribu hektar. Sedangkan data Litbang PUPR mencapai 145 ribu hektar.
“Jadi kalau ada 300 ribu ini tampaknya dari kawan-kawan di pertanian di Kalteng. Memang kami ingin mengkaji lebih dalam di mana lagi ada 170 ribu-nya. Barangkali bukan di kawasan gambut, barangkali lho,” ujar Nazir.
“Jadi lahan gambut ada dua, satu rawa gambut dan non gambut. Bisa juga di situ atau tanah mineral yang tanah mineralnya hanya 30 centimeter,” ujarnya.
Meski ada perbedaan data area lahan gambut, Nazir meyakini seluruh lahan itu berada di luar kawasan hutan dan area penggunaan lain. Artinya, dia mengatakan lahan bukan berada di kubah gambut.
“Di gambut tipis dan sudah pernah dibuka atau terbuka dan pernah terbakar. Jadi bukan berupa hutan, berupa semak belukar yang sering terbakar,” ujar Nazir.
Di sisi lain, Nazir mengaku pihaknya sudah melapor soal lahan gambut kepada Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Sejumlah pertemuan teknis juga sempat membahas soal kekhawatiran Jokowi soal ancaman krisis pangan akibat pandemi COVID-19.
“Jadi kami sudah siapkan semacam business plan atau road map lahan-lahan gambut yang tepat untuk perikanan, peternakan, hortikultura, atau untuk sawah di mana atau berapa luasnya kira-kira,” ujarnya.
Terpisah, Manajer Kampanye Pangan, Air, & Ekosistem Esensial WALHI, Wahyu A. Perdana mengatakan meminta agar pemerintah tidak lagi mengulang kesalahan masa lalu dan berhenti menggunakan pandemi sebagai alasan untuk mengeksploitasi.
Wahyu berkata ada tiga argumentasi yang mendasari argumen itu. Pertama, hal sejenis sudah pernah dilakukan pemerintah Orde Baru. Saat itu, pemerintah memiliki proyek ‘lahan gambut sejuta hektar’ pada tahun 1995 dan diputuskan berakhir tahun 2001. Dia menilai kebijakan itu lahir akibat ketidakpahaman akan ekosistem gambut.
“Akibatnya pada masa akhir ‘proyek lahan gambut sejuta hektar’ setidaknya sudah menyedot APBN Rp1,6 triliun, yang tidak punya dampak signifikan pada ketersediaan pangan,” ujar Wahyu dalam keterangan tertulis.
Kedua, Wahyu menyebut ketidakpedulian dan ketidakpahaman akan ekosistem rawa gambut menyebabkan bencana ekologis yang makin meningkat. Merusak alam membuat rakyat yang menanggung akibatnya.
Wahyu menyebut rusaknya ekosistem gambut juga jadi biang Karhutla. Dalam catatan olah data WALHI sepanjang tahun 2019, 36.952 hotspot terekam berada pada KHG (Kesatuan Hidrologi Gambut).
“Ekosistem gambut memiliki fungsi hidrologis esensial, jika ekosistem ini kekeringan punya potensi kebakaran dan banjir pada musing penghujan. Belum lagi karbon yang terlepas dari ekosistem gambut yang rusak memperbesar resiko bencana ekologis, jangan lupa BNPB telah mencatat 98 persen bencana hidrometeorologi pada Januari-Oktober 2019,” ujarnya.
Terakhir, Wahyu meminta pemerintah mengembalikan urusan pangan pada petani, yakni dengan memberikan hak atas tanah. Dia mengingatkan Jokowi memiliki janji membuat perhutanan sosial dan TORA yang hingga kini tidak berbanding lurus dengan capaian di lapangan. Selain itu, terdapat pula program cetak sawah dengan TNI yang dikerjakan Kementan.
“Pada saat yang sama petani kesulitan lahan dan tidak jarang berhadapan dengan konflik agraria,” ujar Wahyu.
Discussion about this post