DETAIL.ID, Surabaya – Seorang Pasien Dalam Pengawasan (PDP) corona COVID-19 berinisial T (72) meninggal dunia. Namun pemulasaran jenazah warga Kelurahan Kebraon, Karangpilang, Surabaya tersebut diduga dilakukan secara tak layak. Kasus ini memicu polemik di kalangan warga.
Hal itu diungkap oleh Ketua RW Kebraon, Supriyo. Ia mengatakan bahwa jenazah T, yang meninggal pada Minggu (7/6/2020) lalu, hanya dibalut dengan kain popok tanpa kain kafan oleh pihak rumah sakit.
“Ya benar [hanya dibalut popok] sesuai yang beredar, tidak ditambahi dan tidak dikurangi,” ujar Supriyo, seperti dilansir CNNIndonesia.com Minggu (14/6/2020).
Supriyo menceritakan, kejadian ini bermula saat T dirujuk ke Rumah Sakit (RS) Wiyung Sejahtera, Jumat (5/6) lalu. T saat itu mengeluh sakit, namun Supriyo mengaku tak bisa menjelaskan apa sakitnya.
Usai dua hari dirawat, T meninggal dunia, dan almarhum ditetapkan sebagai PDP. Jenazahnya pun dimasukkan ke dalam peti dan diantar mobil ambulans rumah sakit ke tempat pemakaman yang sudah disepakati kekuarga.
Namun, oleh pihak RS peti berisi jenazah itu hanya diletakkan di depan pintu gerbang Tempat Pemakaman Umum (TPU) kawasan Kebraon, dan ditinggal begitu saja. Tak ada petugas RS yang bersedia memakamkannya.
Melihat hal itu, keluarga T dan warga setempat kemudian berinisiatif memakamkannya. Untuk antisipasi risiko penularan, mereka pun memakai jas hujan plastik.
Namun di tengah proses pemakaman peti itu disebut tak sengaja terbuka. Keluarga dan para warga pun terkejut lantaran jenazah hanya dibalut kain popok dan dimasukkan ke dalam kantong. Tak ada kain kafan yang membungkus.
“Saat prosesi pemakaman, peti terbuka. Kemudian memperlihatkan jenazah T hanya dibungkus kantong jenazah dan memakai popok, tapi tidak dikafani,” ujarnya.
Lebih lanjutnya pihak RW berencana akan melaporkan hal ini ke Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Kota Surabaya. Namun hingga kini, Supriyo masih menunggu konfirmasi pihak rumah sakit terlebih dahulu.
“Belum lapor ke Gugus Tugas Surabaya. Kalau rumah sakit seperti itu [konfirmasi], saya konfirmasikan seperti itu [lapor ke Gugus Tugas Surabaya],” ucap dia.
Saat dikonfirmasi, Humas RS Wiyung Sejahtera, Angelia Merry mengatakan bahwa berdasarkan hasil laboratorium dan foto toraks pasien berinisial T menunjukkan indikasi COVID-19. Maka itu kemudian disematkanlah status PDP.
“Diagnosa dokter [pasien T] terduga PDP. Yang saya sampaikan di sini diagnosa itu ada beberapa kriteria. Misal hasil rapid non reaktif tetapi laboratorium dan toraksnya terindikasi PDP, bisa dinyatakan PDP,” katanya dikonfirmasi terpisah.
Merry menambahkan bahwa pihak keluarga menolak tes swab polymerase chain reaction (PCR) kepada pasien T. Ia menuturkan saat itu keluarga mengaku keberatan dengan biaya.
Biaya yang dipatok pihaknya, kata Merry juga merupakan hal yang wajar, mengingat RS Wiyung Sejahtera bukanlah merupakan RS rujukan COVID-19 yang ditunjuk oleh pemerintah.
“Dan keluarga saat itu menolak swab, karena keberatan biaya,” ujarnya.
Merry menegaskan bahwa RS Wiyung Sejahtera juga telah melakukan perawatan jenazah T sesuai protokol COVID-19. Pihaknya bahkan sudah menawarkan agar pemakamannya dilakukan Babat Jerawat dan Keputih.
Dua tempat itu merupakan lokasi resmi yang ditunjuk Pemerintah Kota Surabaya, untuk pemakaman pasien COVID-19. Namun ternyata, pihak keluarga menolaknya.
“RS Wiyung Sejahtera sudah menjalankan sesuai prosedur meskipun pemakaman dilakukan secara mandiri atas permintaan keluarga, karena mereka menolak TPU Keputih atau Babat Jerawat yang sudah ditentukan oleh Pemkot untuk pemakaman jenazah COVID-19,” ucapnya.
Menurutnya, RS Wiyung Sejahtera juga sudah melakukan kewajibannya sesuai SOP. Yakni memandikan serta menyolati jenazah karena muslim, kemudian memasukkan ke kantong dan peti jenazah. Ditambah lagi menyerahkannya ke keluarga, tepatnya di TPU.
Merry tegas membantah jika RS Wiyung Sejahtera dituding telah memperlakukan jenazah pasien tak sesuai dengan protokol pemakaman COVID-19.
“Tidak benar. Kami menjalankan panduan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam. Dan Kami menggantikan kafan dengan kantong jenazah dari bahan plastik yang tidak tembus air,” ujarnya.
Panduan itu berbunyi bahwa “Jenazah [COVID-19] ditutup dengan kain kafan/bahan dari plastik (tidak dapat tembus air). Dapat juga jenazah ditutup dengan bahan kayu atau bahan lain yang tidak mudah tercemar.”
Berdasarkan pedoman itu, ia mengatakan bahwa kantong jenazah bisa digunakan sebagai pengganti kain kafan. Meski begitu pihaknya juga membalutkan kain popok kepada jenazah, untuk mencegah keluarnya cairan dari tubuh bagian bawah
“Kenapa dikasih popok, karena untuk mencegah cairan yang masih kemungkinan keluar dari dalam tubuh bagian bawah. Kalau jenazah normal, ketika dikafankan dalam keadaan bugil kan, nah khusus COVID-19 Karena fungsi kafan diganti kantong jenazah berarti juga dalam keadaan bugil kan,” kata dia.
Tak hanya itu, ia juga menampik pernyataan RW setempat yang menuding pihak RS sengaja menelantarkan jenazah di depan TPU. Menurutnya petugas RS tetap melakukan pendampingan.
Merry lalu mempermasalahkan kenapa pihak keluarga dan warga setempat malah membuka peti jenazah. Padahal peti tersebut telah ditutup rapat dan dikunci dengan sekrup.
Menurutnya, warga sengaja membuka peti untuk memasukkan tanah, sebagaimana adat masyarakat setempat. Namun hal itu, kata Merry, adalah perbuatan yang justru membahayakan dan bisa mengakibatkan munculnya risiko penularan COVID-19.
“Peti ditutup dengan delapan sekrup, apa bisa terbuka sendiri? Peti sengaja dibuka [oleh warga] untuk memasukkan tanah ke dalam kantong jenazah, karena adat, tanpa memperhatikan risiko dan juga melanggar UU Wabah,” ujarnya.
Ia ingin masyarakat mengerti bahwa membuka peti saat memakamkan jenazah dalam konteks COVID-19, bisa menimbulkan dampak yang berbahaya. Merry berharap kejadian ini tak terulang ke depannya.
Discussion about this post