DETAIL.ID, Jakarta – Suku Anak Dalam (SAD) dan Petani Jambi jalan kaki ke Jakarta mencari keadilan dan hak atas tanah. Setibanya di Jakarta mereka langsung melakukan aksi di seberang Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (9/7/2020).
Pada hari yang sama, jauh di Surabaya, Jawa Timur, seorang perempuan berkaca-kaca mendatangi Mapolda Jawa Timur. Perempuan itu adalah Tijah, Istri Salim Kancil, petani sekaligus aktivis tambang yang tewas dibunuh secara sadis oleh sekelompok preman bayaran pada 26 September 2015.
Dua peristiwa berbeda pada waktu yang sama itu dipicu satu masalah: konflik lahan antara petani dan pengusaha.
SAD dan Petani Jambi terlibat konflik lahan dengan perusahaan sawit di Jambi, sementara Tijah, terlibat konflik lahan milik mendiang suaminya, dengan pengusaha tambak.
Kedatangan SAD dan Petani Jambi ke Jakarta adalah untuk menuntut Presiden Jokowi menyelesaikan konflik lahan yang mereka alami dengan perusahaan sawit.
Diketahui pada April 2019 lalu SAD dan petani Jambi juga pernah melakukan aksi serupa. Mereka berjalan kaki dari Jambi ke Istana Negara juga dengan tuntutan yang sama, menyelesaikan konflik lahan dengan korporasi tersebut.
Dalam keterangan tertulis seperti dilansir CNNIndonesia.com, Koordinator Aksi Abun Yani mengatakan pihaknya meminta Jokowi dan Kementerian ATR/BPN segera mengembalikan lahan seluas 3.550 hektare milik Suku Anak Dalam berdasarkan surat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 1373/020/III/2016 tanggal 29 Maret 2016.
Tak hanya itu, mereka juga meminta pengembalian lahan milik Suku Anak Dalam dan Petani Simpang Macan Desa Bungku yang di klaim perusahaan.
“Kurang lebih lahan itu seluas 600 ha,” kata dia, Kamis (9/7/2020).
Suku Anak Dalam dan para petani ini juga meminta agar perpanjangan Hak Guna Usaha perusahaan dibatalkan.
Pada aksi itu, SAD dan petani Jambi yang didampingi YLBHI dan PRANA diterima untuk beraudiensi dengan Deputi II Kantor Staf Kepresidenan RI.
“Dalam pertemuan tersebut pihak KSP dalam waktu dekat akan melakukan pertemuan dengan Kementrian ATR, Pemda dan pihak-pihak terkait lainnya, terkait penyelesaian konflik yang dituntut oleh SAD dan Petani Jambi,” demikian dalam keterangan pers mereka.
Hari ini, sejumlah perwakilan masyarakat adat mereka mengadu ke Ombudsman RI perihal ribuan hektare lahan mereka yang dikuasai korporasi sawit.
Mereka menuntut penindakan terhadap Pemerintah Provinsi Jambi dan Kabupaten Batanghari yang diklaim tidak menindaklanjuti arahan pemerintah pusat terkait konflik agraria.
Salim Kancil
Di Surabaya, Tijah menceritakan bagaimana mula konflik lahan yang melibatkan dirinya terjadi. Saat itu, sekitar akhir 2019, ia mendapati sawahnya yang terletak di Selok Awar Awar Lumajang, diserobot oleh pengusaha tambak, lantaran menolak untuk menjualnya.
“Aku itu meskipun orang enggak punya, dari pada aku nerima uang jual sawah, lebih cari [uang sendiri] sendiri, nguli ta, aku bisa usaha. Aku bisa makan meski enggak jual sawah itu,” kata Tijah.
Tijah mengatakan dari total enam petak sawah peninggalan Salim Kancil, dua di antaranya telah diserobot oleh pengusaha tersebut. Meski begitu ia mengaku tak rela.
“Sebagian masih ada, sebagian yang empat petak, yang dua petak tidak bisa karena sudah keuruk,” ujarnya.
Ia mengatakan sawah itu merupakan peninggalan yang berharga dari mendiang Salim Kancil. Dalam keadaan sesulit apapun ia bertekad tak akan menjualnya.
“Karena sawah itu kenang-kenangan yang indah buatku, di hati saya, soalnya meskipun Pak Salim sudah wafat, kalau keadaan aku susah dia datang di mimpi. Ya itu jadi sawah itu jadi kenang-kenangan bagi kami,” kata Tijah, sembari terbata.
Namun, kini sawahnya tersebut diuruk secara sepihak. Padahal secara tegas ia menolak sawahnya itu dijual ke pengusaha. Tijah pun mengadukan hal itu ke Bupati Lumajang Thoriqul Haq.
“Iya sudah lapor ke pak bupati. Aku sendiri sama anakku datang ke kantornya pak bupati. Kepolisian belum [lapor]. Cuma ke pak bupati. Nanti dipertimbangkan,” ujarnya.
Kedatangan Tijah di Polda Jatim Kamis lalu itu terkait dengan pemeriksaan Bupati Lumajang Thoriqul Haq. Thoriq diperiksa selama lima jam terkait dengan konflik ini.
Pemeriksaan tersebut terkait dugaan pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh pengusaha tambak udang itu.
Usai dicecar sebanyak 18 pertanyaan, Thoriq mengatakan kasus ini bermula saat dirinya mendapatkan aduan dari Tijah, yang mengaku sawahnya diserobot.
Thoriq pun langsung meninjau lokasi, dan ia menemukan adanya dugaan penyerobotan sebagian tanah milik Tijah, oleh pengusaha tersebut. Thoriq pun membela Tijah. Kejadian itu juga terekam di kanal YouTube Lumajang Tv.
“Saya tindaklanjuti atas laporan Bu Tijah yang menyampaikan tanahnya diserobot, saya kemudian menjadi bagian dari orang yang harus melihat kondisi di lapangan. Ternyata betul atas sawahnya Bu Tijah yang ada itu diuruk,” katanya.
Konflik Agraria di Era Jokowi
Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi mengatakan selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), konflik agraria masih terus terjadi di Indonesia.
“Konflik agraria di masa Jokowi tidak mengalami penurunan,” kata dia seperti dilansir CNNIndonesia.com, Jumat (10/7/2020)
Selain itu, selama ini, ia menilai komitmen Jokowi terhadap percepatan penyelesaian konflik agraria juga masih jauh dari harapan.
Lebih jauh, ia justru khawatir konflik agraria akan terus terjadi dan semakin meluas dalam beberapa tahun ke depan. Menurut dia, hal itu sudah tercermin dari regulasi-regulasi yang akan dikeluarkan oleh pemerintah.
Ia lalu menyinggung soal UU Minerba dan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang disebutnya pro terhadap pemilik-pemilik modal besar.
“Di regulasi sebelumnya, walau proinvestasi, kanal untuk rakyat melakukan koreksi itu ada. Nah omnibus ini membredel, artinya dalam konteks regulasi di sektor sumber daya alam lingkungan dan agraria, Jokowi sedang menyokong kebijakan yang otoriter ke depan,” kata dia.
Discussion about this post