DETAIL.ID, Tanjung Jabung Timur – Pasangan suami istri buruh tani, Endang (55) dan istrinya Sarikah (50) yang tinggal di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi hingga kini tak punya tanah apalagi rumah.
Mereka kerap berpindah-pindah. Misalnya, mereka empat tahun menumpang di Desa Rantau Karya kemudian sejak dua tahun terakhir, mereka menumpang di tanah seluas 10 meter persegi milik Roni, warga RT 10, Desa Rantau Karya, Kecamatan Geragai, Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
“Saya ini tak punya tanah. Rumah ini saja, saya bangun di atas tanah orang dan sebagian dana pembangunannya merupakan bantuan COVID-19 dari pemerintah,” kata Endang kepada detail, Rabu, 19 Agustus 2020.
Rumah itu hanya berdinding papan dan beratap seng, tanpa cat sama sekali. Ia bangun sendiri dengan kemampuan seadanya. “Katanya petani mau diberi tanah, mana buktinya? Sampai saat ini saya tak punya tanah. Makanya saya menagih janji Pak Jokowi,” ujarnya mengeluh.
Endang dan istrinya hidup pas-pasan sebagai buruh sadap karet. Penghasilannya paling gede hanya Rp50 ribu sehari, bila harga karet sedang mahal. Sebaliknya, jika harga karet turun, penghasilannya paling banter hanya Rp30 ribu per hari.
“Pendapatan saya cuma segitu. Lantas bagaimana saya bisa punya tanah jika tak dibantu pemerintah,” ucapnya lirih.
Endang adalah salah satu contoh dari sekian banyak masyarakat yang tak beruntung. Ironsnya, dia hidup di tengah lahan yang dikelola korporasi yang tak mengantongi HGU dan izin lingkungan selama bertahun-tahun.
Padahal, Perpres Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria disebutkan bahwa, tanah-tanah bermasalah termasuk dalam tanah objek reforma agraria. Mungkinkah Perpres itu hanya sebuah secarik kertas yang tak mampu direalisasikan?
Discussion about this post