DETAIL.ID, Teknologi – Momentum setahun pemerintah Joko Widodo-Ma’ruf Amin digunakan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) untuk membeberkan fakta bahwa hak kebebasan berekspresi masyarakat di ruang digital semakin memburuk di Indonesia.
SAFEnet mencatat adanya peningkatan tajam pemidanaan warganet terkait aktivitas di media sosial dengan pidana UU ITE. Pada tahun 2020, SAFEnet mencatat ada 59 kasus pemidanaan warganet, meningkat dari 24 kasus pada 2019.
“Kami menilai bahwa situasi di tengah pandemi ini semakin buruk bagi demokrasi kita,” ujar Kepala Divisi Freedom of Expression SAFEnet, Ika Ningtyas seperti dilansir CNNIndonesia.com, Selasa 20 oktober 2020.
Ika mengatakan peningkatan jumlah kasus UU ITE disebabkan oleh pandemi COVID-19. Ia mengatakan pada 2019, kasus UU ITE didominasi oleh pelaporan terhadap aktivis, jurnalis, atau profesional seperti dosen dan pengacara.
Sementara pada 2020, pihak terlapor UU ITE didominasi oleh warga awam yang berprofesi sebagai pegawai swasta, ibu rumah tangga, buruh, tukang tambal ban hingga nelayan. Dari 59 kasus, 44 orang merupakan warga awam biasa.
Warga ini dilaporkan karena mengunggah konten-konten yang tidak akurat terkait COVID-19. Sayangnya, Ika mengatakan polisi memukul semua kasus UU ITE sebagai hoaks atau berita bohong.
Padahal SAFEnet mengatakan hoaks terbagi menjadi dua jenis, yaitu misinformasi dan disinformasi. Misinformasi adalah informasi salah dan tak akurat yang yang disebarkan oleh warga, tapi ia tidak tahu bahwa informasi itu salah atau tidak akurat.
“Artinya mereka tidak ada kesengajaan untuk memposting atau menyebar informasi tersebut di medsos. Karena mereka mendapat informasi itu misalnya dari warga atau omongan keluarga atau omongan tetangga atau yang sudah beredar di media sosial kita,” ujar Ika.
Ika mengatakan latar belakang warga membuat mereka tidak
memiliki kemampuan untuk membedakan informasi yang benar atau salah, mereka langsung bagikan itu tanpa verifikasi
Lebih lanjut, ada jenis hoaks bernama disinformasi. Ini adalah informasi yang sengaja disebarkan di media sosial dan pelakunya tahu informasi itu salah atau keliru.
Informasi ini sengaja mereka ciptakan untuk mungkin mencari kepentingan tertentu misalnya keuntungan ekonomi atau membuat provokasi. Ada tujuan-tujuan seperti itu,” kata Ika.
SAFEnet mengatakan kasus UU ITE sepanjang 2020 ini merupakan kasus misinformasi, bukan disinformasi. Terlapor tidak tahu kalau informasi yang mereka sebarkan itu keliru.
Belum lagi mengingat pandemi COVID-19 merupakan informasi baru yang bahkan peneliti masih mempelajari penyakit itu.
“Itu bisa dilihat dari profil mereka, figur mereka yang kebanyakan ibu rumah tangga, ada juga nelayan di mana literasi mereka kurang oke,” tutur Ika.
Kurangnya literasi terkait informasi COVID-19 juga membuat misinformasi marak terjadi. Ika menyinggung pada awal pandemi, pemerintah masih sangat tertutup dan membatasi informasi COVID-19.
Ika menyatakan literasi dan edukasi warga itu tidak berjalan dengan baik. di awal pandemi. Oleh karena itu, masyarakat masih belum mengerti apa yang dimaksud dengan COVID-19.
“Warga tidak tahu apa sebenarnya Covid itu, bagaimana penularannya dan apakah informasi yang beredar di medsos itu memang benar. Mereka tidak memiliki kapasitas yang oke untuk memahami atau mengetahui bagaimana cara memverifikasinya,” kata Ika.
Terlapor UU ITE Tak layak dipidana
Oleh karena itu, Ika menjelaskan terlapor UU ITE ini seharusnya tidak layak dipidana. Warga tidak memiliki unsur kesengajaan, tidak memiliki niatan untuk memperkaya diri atau menciptakan provokasi untuk menimbulkan keonaran.
Terkait keonaran, terlapor UU ITE ini juga terjerat aturan keonaran dalam Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-undang No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Ika mengatakan seharusnya keonaran ini dilihat secara objektif
“Batasan keonaran di sini itu seharusnya dilihat lebih objektif , keonaran di masyarakat secara offline tak bisa disamakan dengan keonaran yang terjadi di medsos,” ujar Ika.
Menurut Ika keonaran yang terjadi di medsos itu mungkin hanya kehebohan sesaat dan tidak secara langsung memengaruhi kehidupan masyarakat sehari-hari.
Berbeda dengan keonaran yang terjadi langsung di masyarakat hingga akhirnya terjadi konflik, pertikaian darah, atau menciptakan konflik horizontal serius.
“Itu hal-hal yang sebenarnya tidak terjadi di kasus ini sehingga tidak dapat kemudian dikategorikan [berbuat onar] untuk mereka [terlapor kasus ITE,” kata Ika.
Ika sekali lagi menegaskan langkah pemidanaan itu bukan solusi tepat bagi orang-orang yang menyebarkan misinformasi. Pasalnya akar masalah ini terkait literasi, edukasi yang tak memadai bagi mereka.
Ika menyarankan pemerintah itu seharusnya lebih menggalakkan edukasi, literasi COVID-19 dengan cara-cara berdialog dengan masyarakat atau sosialisasi dengan posting artikel-artikel bantahan yang lebih banyak.
“Ini solusi yang cukup mengena dibandingkan melakukan pemidanaan yang justru itu mencederai hak warga untuk memperoleh hak lain seperti informasi yang memadai tadi,” ujar Ika.
Narasi Omnibus Law Kontra Narasi Pemerintah Dipukul Rata Hoaks
Kontroversi pengesahan RUU Cipta Kerja dan Omnibus Law juga ikut mendorong peningkatan kasus ITE.
Narasi Omnibus Law yang berlawanan dengan narasi pemerintah bisa didefinisikan sebagai hoaks meski konten itu hanya bermaksud untuk berpendapat atau sekadar mengkritik.
“Kemudian kita lihat saat Omnibus Law ini diikuti dengan tren peningkatan pemidanaan terhadap warganet juga. Trennya adalah kritik, pendapat dan sebagainya itu dilabeli dengan hoaks,” ujar Ika.
Terbaru, sejumlah aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ditangkap aparat kepolisian lantaran diduga melanggar UU ITE setelah mengkritik Omnibus Law di media sosial.
Padahal, SAFEnet menilai konten di medsos anggota KAMI itu mengandung kritik terhadap proses pengesahan Omnibus Law, bukan hoaks.
“Nah ada juga pemidanaan terhadap warga yang dia misalnya reply konten berisi 12 butir Omnibus Law yang kemudian di stempel hoaks oleh pemerintah dan polisi. Mereka juga di kriminalisasi,” ujar Ika.
Ika menjelaskan kondisi ini menunjukkan situasi kebebasan hak berekspresi di indonesia yang semakin buruk setelah Indonesia dihadapkan oleh dampak pandemi Covid-19 yang begitu besar.
Di saat pandemi ini juga, pemerintah lebih memilih untuk menindak para ‘pelanggar’ UU ITE serta menerbitkan atau mengesahkan Omnibus Law yang dianggap prosesnya tak transparan hingga dianggap kilat dibandingkan UU lain yang lebih genting.
“Dari proses yang tak transparan ini juga kemudian warga tidak tahu mana versi final dari UU Ciptaker yang disahkan. Kemudian lantas bagaimana kemudian kritik dari masyarakat, konten yang diunggah masyarakat itu di stempel hoaks,” kata Ika.
Dari situ, Ika mengatakan pemerintah itu lebih menggunakan cara-cara ke pendekatan keamanan ke warga dibandingkan melakukan edukasi dan literasi yang masif ke masyarakat.
Ika kemudian mengingat ucapan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) yang menyatakan apabila pemerintah menyebut hoaks, berarti konten itu hoaks, tak perlu dipertanyakan lagi.
“Artinya pemerintah memiliki perspektif bahwa narasi yang berbeda dengan pemerintah adalah hoaks mengenai Omnibus Law padahal banyak sekali kajian yang dilakukan masyarakat terhadap draf RUU sebelumnya,” kata Ika.
Discussion about this post