Raung buldozer gemuruh pohon tumbang
Berpadu dengan jerit isi rimba raya
Tawa kelakar badut-badut serakah
Tanpa HPH berbuat semaunya
Lestarikan alam hanya celoteh belaka
Lestarikan alam mengapa tidak dari dulu,
Oh mengapa…
Iwan Fals – Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi (Lirik)
MENGAPA ilegal logging begitu marak terjadi di tengah gencarnya kesadaran masyarakat internasional menggaungkan dan melakukan berbagai macam aksi yang bertujuan pada upaya peningkatan kesadaran dan pentingnya hutan bagi kelangsungan hidup manusia sendiri. Seperti yang ditulis Halim Malik (Kompasiana 22/04/2011), pada dasarnya masalah ilegal logging tidak terlepas dari masalah kajian publik, yang sebenarnya berintikan masalah kebijakan (policy problem), sehingga pemecahan masalahnya (problem solving) juga harus dimulai dengan kebijakan publik (public policy) itu sendiri.
Perlu kita kaji akar permasalahan ilegal loggging tersebut secara saksama berdasarkan konsep kajian publik. Dari kajian ini kita bisa mengetahui dan memahami bahwa akar permasalahan ilegal logging sebenarnya adalah masalah kebijakan dan pemecahan masalah. Masalah kebijakan dalam menangani ilegal logging sangat kompleks, mencakup masalah kebijakan internal (kehutanan) dan masalah kebijakan eksternal (di luar kehutanan). Kedua sumber masalah ini berinteraksi satu sama lain.
Akibatnya, hasil dari keduanya membuat suatu vector permasalahan. Makin kuat vector permasalahan; maka makin sulit pula ilegal logging diatasi. Indikator tersebut tampak dari semakin maraknya ilegal logging, baik dalam skala nasional maupun regional atau provinsi, sehingga apabila kondisi ini tidak segera diatasi dengan “komitmen” bersama, maka dapat dipastikan “pintu gerbang” kehancuran hutan telah dekat di hadapan kita. Tidak berlebihan kiranya apabila dalam waktu 10-20 tahun mendatang hutan tropis akan punah, sementara hutan tanaman belum menampakkan hasil yang signifikan.
Buruknya pola penanganan konvensional oleh pemerintah sangat mempengaruhi efektivitas penegakan hukum. Pola penanganan yang hanya mengandalkan 18 instansi sesuai ketentuan dalam Inpres Nomor 4 tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah republik Republik Indonesia, dalam satu mata rantai pemberantasan illegal logging turut menentukan proses penegakan hukum, di samping adanya indikasi masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang korup.
Kekebalan para dalang/mastermind/aktor intelektual/backing/pemodal/pelaku utama terhadap hukum disebabkan adanya keterlibatan oknum aparat penegak hukum menjadi dinamisator maupun supervisor dan sebagian bahkan menjadi ‘backing’ bisnis haram ini.
Contoh lemahnya reformasi pemerintah adalah pengabaian penegakan hukum terhadap hak-hak masyarakat atas tanah dan hutan. Sistem verifikasi legalitas kayu terbaru tak memberi cukup perlindungan bagi masyarakat dari pelanggaran dalam sektor kehutanan. Berikutnya, kurangnya transparansi terus menghalangi efektivitas reformasi. Kendati masyarakat sipil memiliki mandat hukum untuk mengawasi sistem verifikasi kayu Kementerian Kehutanan, minimnya pemenuhan pemerintah atas transparansi peraturan itu menggerogoti peran tersebut.
Dua tahun setelah Undang-Undang Kebebasan Informasi berlaku, pelaksanaannya oleh lembaga-lembaga pemerintah tetaplah lemah, dan kepolisian Indonesia seringkali gagal menegakkan putusan pengadilan yang memerintahkan dibukanya akses informasi. Sebagai tambahan, Undang-Undang Intelijen Negara yang diloloskan Dewan Perwakilan Rakyat pada Oktober 2011 telah mengecualikan informasi yang tergolong penting mengenai sektor sumberdaya alam sebagai informasi yang boleh dibuka atas nama melindungi “kepentingan ekonomi nasional”.
Pengawasan oleh warga negara berada dalam ancaman pasal-pasal pencemaran nama baik dan pasal-pasal dalam sebuah undang-undang baru yang dapat dipakai untuk membatasi pendanaan dan kegiatan masyarakat sipil. Aturan-aturan ini menerapkan hukuman pidana untuk “penyalahgunaan” informasi publik yang rumusannya tak jelas, dan memberi wewenang yang luas pada pemerintah untuk mencampuri kelompok-kelompok sipil yang dianggap membahayakan “kepentingan nasional”.
Pemerintah Indonesia menerapkan pembatasan terhadap masyarakat sipil dan kebebasan berserikat, yang jelas-jelas melanggar hukum internasional. Aturan itu juga mengancam kebebasan berpendapat karena memungkinkan pemerintah untuk mengintimidasi dan membungkam individu-individu atau organisasi yang berupaya mengawasi para pejabat pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang mendapat keuntungan dari aset sumberdaya alam negara.
“Ini hutan kami, jangan anda rusak, ini sumber kehidupan kami. Anak istri kami hidup dari hutan tersebut”. Masalahnya adalah sesederhana itukah retorika yang digunakan?
*Akademisi UIN STS Jambi
Discussion about this post