DI DUNIA maya, Metode pembelajaran jarak jauh dengan belajar di rumah selama pandemik COVID-19 rupanya membuat anak-anak stres dan lelah. Meski di rumah, mereka juga merasa kurang istirahat. Ada banyak tugas-tugas yang diberikan guru dinilai berat dan pemberian tugas kerap tanpa interaksi. (Liputan6)
Sedang di dunia nyata, hasil riset Prapancha Research (PR) mengungkapkan fakta bahwa sekolah, yang seharusnya menjadi wahana pengayaan wawasan dan pengetahuan, ternyata tidak dipandang demikian oleh sebagian peserta didiknya. Sekolah merupakan tempat yang ditujukan untuk mendidik dan membentuk karakter anak-anak. Namun, diketahui bahwa sekolah menjadi sebuah tempat yang tidak menyenangkan. Riset ini memantau 113.000 perbincangan tentang pendidikan di jejaring sosial Twitter yang dilakukan oleh siswa. Dan salah satunya adalah “kicauan” dari akun @salam_jakarta. Akun ini menyampaikan pesan: “Di sekolah itu hal yang paling menyenangkan ialah kelas kosong, gurunya sakit dan rapat.” (Kompas)
Kenapa hal ini bisa terjadi? Ada apa dengan kita? Padahal dalam Permendiknas Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru yang menyatakan guru ‘wajib’ menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan intelektual. Tentu saja ini merupakan akumulasi dari ‘kekesalan’ selama proses pembelajaran dan menunjukkan semakin kronisnya permasalahan pembelajaran di Indonesia.
Di hipotesis ada dua penyebab penyakit kronis ini: ‘komunikasi’ guru dan manajemen sekolah. Pertama, guru adalah orang yang terlibat langsung dengan siswa selama proses pembelajaran. Dan yang pertama dilihat oleh siswa adalah ‘wajah’ guru. Wajah guru berhubungan dengan ‘emosional’ guru: senyum, keramahtamahan, fleksibel, kepedulian, keakraban, sifat humoris, dan ‘ilmu’ guru. Kalau guru tidak bisa ‘mengatur’ emosionalnya, bisa dipastikan kelas akan terasa tegang, komunikasi guru akan berlangsung sangat formal, tidak ada dialog santai, dan sebagainya.
Cara guru mengajar yang tidak komunikatif juga menciptakan ketidaknyamanan: (1) tidak mengenal potensi siswa secara komprehensif; (2) tidak membelajarkan siswa dengan potensi siswa; (3) belajar tidak ‘melulu’ dalam kelas, tidak menggunakan alam sebagai media belajar; (4) tidak peduli dengan kesulitan siswa dalam belajar. Intinya, guru belum mampu membuat siswa ‘kasmaran’ belajar.
Ketidaknyamanan juga muncul apa bila kebijakan pendidikan lebih berorientasi menghasilkan konsep tertulis (baca- kurikulum, UU, PP, Permen, dll) dan sedikit perhatian pada ‘orang’ yang menjalankan konsep itu. Mungkin ada anggapan ‘orang-orang’ (baca-guru) akan belajar dengan sendirinya karena tuntutan zaman. Begitu banyak pelatihan guru, tapi prinsipnya ‘pokoknya terselenggara’, perihal apakah materinya relevan atau guru mengerti atau tidak, itu urusan lain. Apalagi tidak ada ‘monitor’ apakah guru yang sudah ikut pelatihan itu ‘benar-benar’ melaksanakan konsep yang didapatkan dalam pelatihan itu.
Indikasinya, pembelajaran menjebak siswa ke dalam sebuah kompetisi yang tak berkesudahan dengan semangat belajar ‘ala kadarnya’ sekaligus mengikis kreativitas mereka. Efeknya, orang tua ‘berlomba-lomba’ mengursuskan anak mereka untuk mendapatkan nilai dan rangking. Pendidikan tidak membelajarkan siswa, yaitu mengondisikan siswa agar belajar aktif sehingga potensi dirinya (kognitif, afektif, dan konatif) dapat berkembang dengan maksimal.
Karena siswa menghadapi suasana belajar yang ‘tidak nyaman’ maka siswa mengambil langkah sendiri, mereka sendiri membuat suasana yang menyenangkan hati mereka. Kita mendengar berita bahwa ada prostitusi pelajar, konsumsi narkoba, mabuk, main-main di jam belajar, dan lain-lain.
Peran guru dalam pendidikan sangat menentukan. Guru tidak sekadar dituntut memiliki kemampuan mentransformasikan pengetahuan dan pengalamannya, tetapi harus mampu menginspirasi anak didiknya agar mereka dapat mengembangkan potensi diri dan memiliki akhlak yang baik.
Guru inspiratif tidak hanya berkompeten dengan akademiknya, tapi harus memiliki karakter yang menarik untuk merangsang siswa mengembangkan potensi diri, menumbuhkan kesadaran belajar dan menciptakan komunikasi hangat antara guru-siswa sehingga guru tidak lagi dianggap sebagai ‘sosok angker’, tetapi menjadi mitra belajar yang menyenangkan.
Ini bisa dilakukan dengan melakukan ‘contact hours’. Guru secara aktif menjalin komunikasi di luat jam pelajaran secara informal. Ini dilakukan untuk menciptakan komunikasi dua orang untuk ‘menginvestigasi perasaan siswa’ selama proses pembelajaran sekali mencari solusi jika siswa memiliki kesulitan dalam belajar.
Kedua, manajemen sekolah berhubungan dengan upaya sekolah dalam ‘menggerakkan’ potensi sekolah khususnya guru untuk melaksanakan tugasnya dan mengajar yang ‘sebenarnya’ (truly teaching).
Ini bisa dilakukan sekolah dengan: (1) menempatkan guru sesuai dengan potensi yang dimiliki; (2) memberdayakan guru secara total; (3) melibatkan semua elemen sekolah dalam mengambil kebijakan; (4) ‘merekam’ semua kegiatan guru secara holistik untuk mengetahui kualitas kinerja guru; (5) mengaktifkan ‘focus group discussion’ untuk guru berbagi; (6) reward and punishment bagi elemen sekolah; (7) pembinaan guru secara berkala dengan memanfaat potensi yang ada disekolah dan jangan terlalu berharap ‘panggilan’ untuk diklat dari provinsi lain atau instansi lain; (8) menganggap semua guru itu ‘penting dan berperan’ dalam setiap kebijakan sekolah; (9) jangan terlalu banyak ‘mendengar’ apa kata ‘orang’, sekolah sudah diberi ‘kuasa’ untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
Kepada pihak, instansi yang diberi tugas mengurus pendidikan, ‘bantulah’ guru meningkatkan kualitas pembelajaran secara total!
Â
*) Penulis adalah seorang pendidik di Madrasah
Discussion about this post