DETAIL.ID, Jakarta – Kepala daerah terancam dicopot dari jabatan bila melanggar aturan protokol kesehatan. Sanksi tegas itu tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan.
Aturan tersebut menjadi polemik. Mendagri Tito Karnavian menyebut aturan ini dibentuk dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.
Antara lain, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda, UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-6 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Penanganan Covid-19 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2020 tentang Percepatan Penanganan Covid-19 di Lingkungan Pemda.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Bandung, Mei Susanto mengatakan, secara hukum UU Kerantinaan dan UU Penyakit Menular bisa dijadikan dasar Instruksi Mendagri. Namun untuk sanksi tidak bisa diterapkan dengan UU tersebut. “Kalau sanksi menurunkan kepala daerah itu sanksi yang sifatnya menurunkan itu harus diatur di dalam UU, bukan di dalam instruksi. Jadi secara konsep hukum, demikian teoritiknya,” kata Mei Susanto, melansir Merdeka.com.
Mendagri memang punya wewenang menerbitkan Instruksi lantaran tugasnya menjalankan utusan dalam negeri yang membawahi daerah-daerah. Hanya saja tidak bisa melakukan pencopotan kepala daerah. Untuk itu Instruksi Mendagri dirasa tidak tepat untuk dijadikan ancaman mencopot kepala daerah. Semua tetap harus melihat koridor konstitusional. Ini dikarenakan kepala daerah dipilih rakyat secara langsung.
Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Safrizal, menjelaskan bahwa Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Jokowi pada rapat terbatas kabinet Senin, 16 November 2020 lalu di Istana Merdeka Jakarta. Seperti diketahui dalam rapat kabinet itu, kepala negara menegaskan tentang pentingnya konsistensi kepatuhan protokol kesehatan Covid-19 dan mengutamakan keselamatan rakyat.
“Seperti diketahui pandemi Covid-19 ini merupakan bencana nonalam yang bersifat global dan nasional sehingga untuk dapat mengendalikan pandemi dan dampak sosial, ekonomi, di mana selama lebih kurang 8 bulan Pemerintah Pusat, 34 Pemerintah Provinsi, 315 Pemerintah Daerah Kabupaten, 93 Pemerintah Daerah Kota serta seluruh elemen nonpemerintah dan masyarakat telah bersama-sama bekerja keras mengatasi persoalan bangsa ini,” kata Safrizal.
Untuk menangani Covid-19 dan dampaknya, kata Safrizal, pemerintah pusat dan daerah telah mengeluarkan sejumlah peraturan, baik itu berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, dan Peraturan Kepala Daerah. Berbagai langkah juga telah dilakukan secara sistematis dan masif dengan mengeluarkan biaya yang besar, termasuk dari pajak rakyat, di antaranya upaya sosialisasi memakai masker, pengaturan jaga jarak, penyediaan sarana cuci tangan dan upaya untuk mencegah terjadinya kerumunan.
Tidak hanya itu, beberapa daerah juga telah menetapkan strategi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mencakup pencegahan terjadinya kerumunan berskala besar. Sehingga dalam beleid itu Mendagri mengingatkan para kepala daerah untuk menghargai kerja keras dan dedikasi bahkan nyawa para pejuang kesehatan yang selama ini bekerja keras bertaruh nyawa menanggulangi Covid-19.
Menurut Safrizal, ketentuan sanksi diatur dalam UU Pemda. Seperti pada Pasal 67 huruf b, UU Pemda menyatakan menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian dalam Pasal 78 ditegaskan, ayat (1), kepala daerah dan atau wakil kepala daerah berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri atau diberhentikan.
Ayat (2) Pasal 78 menyatakan, kepala daerah dan atau wakil kepala daerah diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena, berakhir masa jabatannya, tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan, dinyatakan melanggar sumpah atau janji jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah.
“Tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b. Melanggar larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), kecuali huruf c, huruf i, dan huruf j. Melakukan perbuatan tercela. Diberi tugas dalam jabatan tertentu oleh Presiden yang dilarang untuk dirangkap oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. Menggunakan dokumen dan atau keterangan palsu sebagai persyaratan pada saat pencalonan kepala daerah atau wakil kepala daerah berdasarkan pembuktian dari lembaga yang berwenang menerbitkan dokumen,” urai Safrizal.
Maka, kata Safrizal, berdasarkan instruksi pada diktum keempat, kepala daerah yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dikenakan sanksi pemberhentian. Sebagai contoh kasus pemberhentian kepala daerah, yaitu Irwandi Yusuf yang diberhentikan sebagai Gubernur Aceh periode 2017-2022 karena terjerat kasus hukum di KPK. Proses pemberhentian itu sudah sesuai dengan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Irwandi Yusuf diberhentikan Keppres Pemberhentian yang diterbitkan oleh Jokowi. Irwandi Yusuf diberhentikan dari jabatannya, karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi dana otonomi khusus Aceh (DOKA) tahun anggaran 2018. Mahkamah Agung pada putusan kasasi menjatuhkan hukuman tujuh tahun penjara dengan denda Rp300 juta, serta subsider tiga bulan kurungan terhadap mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu.
Keppres tersebut kemudian disampaikan kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk kemudian ditindaklanjuti melalui rapat paripurna mengumumkan pemberhentian serta mengangkat wakilnya Nova Iriansyah menjadi Gubernur Aceh definitif.
Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil angkat bicara terkait instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mengenai penegakan protokol kesehatan yang bisa membuat kepala daerah dicopot jika melanggar. Menurut dia, kebijakan pencopotan harus dilihat secara komprehensif.
“Karena begini, harus dilihat secara komprehensif adakah perilaku tercela dari kepala daerah yang melanggar hukum,” ujar Ridwan Kamil.
Dia mengatakan, pemberhentian itu dalam definisi pelanggaran hukum jika secara pribadi melakukan perbuatan tercela yang melanggar hukum. Jika dikaitkan dengan dinamika kerumunan yang terjadi akhir-akhir ini, menurut dia, maka perlu ada pembahasan lebih lanjut agar dirinya hingga masyarakat umum mengerti mengenai aturan ini.
“Contoh demo, itu kerumunan. Masa setiap ada demo kalikan semua, terus kepala daerah yang harus bertanggungjawab secara teknis?” kata dia.
Di sisi lain, dia menyatakan bahwa kebijakan ini tidak terlepas dari polemik kerumunan orang dalam kegiatan yang dihadiri pimpinan FPI Muhammad Rizieq Syihab dari mulai di Bandara, kegiatan di Jakarta hingga Kabupaten Bogor. Padahal, dalam pandangannya, dinamika mengenai kerumunan ini terjadi pula sebelum momen kepulangan Rizieq Syihab.
Selain itu, Wali Kota Bogor, Bima Arya Sugiarto melihat aturan Instruksi Mendagri memang dikaitkan dengan fenomena Habib Rizieq Syihab yang menimbulkan kerumunan belakangan ini. Meski begitu, tidak bisa menjadi alasan satu-satunya untuk pemerintah pusat memberhentikan kepala daerah.
“Tidak begitu saja diberhentikan. Tetapi memang undang-undang mengatur apabila kepala daerah memang tidak bisa melaksanakan kewajibannya, atau melanggar undang-undang ada jalan untuk memberhentikan. Tapi itu prosesnya panjang dan harus ada pembuktian,” kata Bima di Balai Kota Bogor.
Senada, Wakil Bupati Bogor, Iwan Setiawan menilai, jika kepala daerah diberhentikan melalui mekanisme yang panjang termasuk persetujuan DPRD di setiap daerah. Sebab, DPRD merupakan representasi dari suara masyarakat. “Kan kami dipilih masyarakat dan DPRD adalah representasi dari rakyat itu sendiri. Intinya kami siap menaati seluruh peraturan perundang-undangan, tetapi kan banyak langkah yang harus ditempuh,” kata Iwan.
Discussion about this post