DETAIL.ID, Jambi – Leni Haini (44) merupakan salah satu mantan atlet dayung asal Provinsi Jambi yang telah menorehkan banyak prestasi internasional. Beberapa waktu lalu, nama Leni kembali viral di sosial media. Namun, kali ini namanya terkenal bukan karena prestasi dalam lomba mendayung.
Dia hampir menjual semua medalinya, karena terbentur kondisi ekonomi keluarga dan anaknya yang sedang sakit. Ketika Leni Haini ditemui di kediamannya di Desa Legok, Kecamatan Danau Sipin, Kota Jambi.
Australia, medali dan kenangan indah Udara dingin membuat badan Leni Haini (44) menggigil ketika keluar dari pesawat yang baru mendarat di Australia pada Oktober 1997. Suhu udara minus nol derajat. Leni serta timnya tak menyangka udaranya bakal sedingin itu.
Salah satu rekannya dari Papua yang bernama Martinus sempat mimisan ketika berlatih. Sebab, saking dinginnya suhu udara dan Martinus juga tak memakai jaket waktu itu. Leni tersenyum saat mengingat masa-masa itu. Dia bersama rekannya membawa pulang emas untuk Indonesia.
Leni sudah bertanding di Hong Kong, Taipei, Singapura. Namun, yang paling berkesan tetap saat berkompetisi di Australia. Saat mereka memenangkan medali di Melbourne, Leni dan kawan-kawannya diundang ke sebuah universitas yang ada fakultas olahraganya.
Saat itu, dia merasa bangga pada diri sendiri, karena bisa membanggakan orangtua. Semenjak jadi atlet dayung, banyak medali yang digantung di rumah orang tuanya. Awalnya, orangtua Leni tidak mengizinkan. Tetapi, Leni nekat ingin membahagiakan orangtua melalui olahraga dayung.
Leni memiliki 10 orang saudara. Sejak kecil, dia sering ikut Ibunya ke kebun. Kondisi keuangan keluarganya sangat pas-pasan membuat Leni berinisiatif mendaftar sebagai atlet. Seperti mendapat jalan terang, Leni meraih banyak medali. Pada 1997, Leni bersama timnya meraih 3 emas di The World Dragon Boat Racing Championship di Taipei.
Dapat 2 Emas
Kemudian mendapat 2 emas pada kejuaraan dunia di Hong Kong, lalu kejuaraan Asia di Singapura. Selain itu, dia juga meraih 2 emas dan 1 perak pada Sea Games Indonesia pada 1997. Selanjutnya pada 1999, Leni meraih medali emas dan perak pada Sea Games di Brunei Darussalam. Kemampuan Leni dinilai bisa menyamai atlet senior dan langsung dikirim ke Jakarta.
Pada suatu ketika, Ibunya memaksanya pulang dari Jakarta. Sesampainya di rumah, banyak sekali hantaran di ruang tamu.
“Siapa yang mau kawin ni?” kata Leni saat bertanya kepada orang di rumahnya pada waktu itu.
Ternyata, dia dijodohkan dengan Ikhsan, pria yang sudah lama menyukainya dan kemudian juga ikut pelatnas dayung. Hanya saja, Ikhsan tak ikut sampai kejuaraan internasional.
“Bagi Bapak (Ikhsan), olahraga dayung itu untuk kesehatan fisik,” kata dia.
Sejak itu, Ibu dan suaminya mendukung pertandingan-pertandingan yang diikuti Leni. Titik terendah dalam hidup.
Pada satu waktu, Leni berencana menjual beberapa medali emasnya, termasuk medali emas yang diraihnya di Australia. Leni lelah dengan janji-janji yang diberikan pemerintah.
Setelah lama tidak begitu aktif jadi atlet, Leni mencari pendapatan sebagai buruh cuci di rumah-rumah tetangganya. Sesekali dia juga melatih dayung. Namun, pendapatannya bisa dibilang rendah.
Menderita Epidermolysis Bullosa
Apalagi saat Habibatul Pasehah, anak bungsunya lahir. Kebahagiaan dan kesedihan seperti larut dan bercampur tak menentu. Anak bungsunya yang kerap disapa Habibah atau Dedek itu menderita Epidermolysis bullosa (EB). Kulit Habibah rapuh dan mudah terluka.
“Kalau pakai baju tidak bisa lama-lama. Kulitnya menempel di baju dan luka,” kata Leni melansir Kompas.com.
Habibah sedang sibuk menonton YouTube dari layar ponsel. Di bawah televisi yang menyala, terlihat obat-obatan untuk Habibah. Beberapa bagian tubuh Habibah terlihat terluka, namun dia tetap fokus ke layar ponselnya. Leni mengeluarkan beberapa lukisan dan gambar karya Habibah.
“Ini gambar kebakaran hutan, waktu itu setelah Habibah melihat berita kebakaran hutan di televisi,” kata Leni. Leni membuka jendela di ruangan sebelah kamar Habibah.
Sementara itu, pendingin ruangan harus terus hidup untuk menjaga kondisi kulit anak bungsunya ini. Sebab kulitnya melepuh apabila terkena matahari.
Jari-jari tangannya pun menyatu oleh kulit yang tumbuh di sela-sela jarinya. Namun, doa dan upaya Leni bersama suaminya membuat Habibah menjalani hidup seperti biasa di kamarnya yang berada di lantai dua rumah yang beralamat di Kelurahan Legok itu.
Habibah sendiri selalu meyakinkan Ibunya bahwa dirinya tidak apa-apa. Dari postingan Instagram @Kemunitaspds5 yang merekam kegiatan-kegiatan komunitas peduli Danau Sipin, terselip beberapa foto Habibah. Salah satunya memegang foto Jokowi dengan caption, idola Dede.
Sempat Dibawa Berobat ke Jakarta
Leni mengatakan, kalau bukan karena kebaikan orang-orang yang datang padanya, dia tak tahu harus berbuat apa. Dalam catatan Kompas.com, Leni sempat membawa anaknya berobat di Jakarta pada 2012, setelah pemberitaan mengenai kondisi ekonominya yang terpuruk pada saat itu.
Rekan-rekan atlet dayung yang dulu ikut keliling dunia hadir di Jakarta waktu itu. Leni terharu mengingat hal itu. Mendirikan sekolah hingga membina UMKM Gerakan pendidikan Leni berawal dari keinginan Habibah untuk sekolah. Gagasan-gagasannya muncul dan segera diwujudkan menjadi Sekolah Dayung Habibah.
Sekolah ini bukan hanya mengajar olehraga dayung, tapi juga mencakup ke PKBM yang mengajar paket A, B dan C. Selain itu, ada pula Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Sekolah-sekolah ini khusus dibuat oleh Leni untuk mewadahi anak-anak sekitar yang ekonominya termasuk kategori menengah ke bawah. Leni membangun semuanya secara mandiri melalui bank sampah yang juga dikelolanya dan uang dari melatih atlet dayung di mana-mana.
Ada yang dari dalam negeri dan ada pula yang dari Malaysia. Namun, beberapa hal teknis masih menghalangi sekolah yang dibangunnya.
“Kami belum bisa memasukkan data anak ke dapodik (data pokok pendidikan) karena kami tidak punya komputer untuk memasukkan data tersebut,” kata Leni.
Alasannya tidak punya komputer, karena komputer yang sebelumnya rusak. Uang yang ada lebih diprioritaskan untuk membayar guru yang mau mengajar di tempatnya. Kondisi ini menjadi kendala bagi Leni. Meskipun begitu, dia tetap mengusahakannya.
Selain mewadahi anak-anak sekitar yang butuh pendidikan formal, Leni juga mengajak para ibu sekitar untuk membuat usaha kecil, mikro dan menengah (UMKM).
“Ada 20 UMKM binaan kami,” kata dia. Para pelaku UMKM ini juga berasal dari keluarga menengah ke bawah. Leni menyayangkan karena dari 20 UMKM binaannya ini, hanya satu, dua, yang mendapatkan bantuan pemerintah.
Tak Tahu Penyebabnya
Dia sendiri tidak tahu penyebabnya apa. Baginya, yang penting anak dan beberapa keluarga di Kampung Legok tempat dia tinggal punya kegiatan positif. Menurut Leni, gerakan pendidikan harus disertai gerakan ekonomi. Sebab, dua hal tersebut yang bisa membuat pendidikan terasa lebih berarti untuk warga sekitar. Selain itu, dia juga mengadakan pengajian-pengajian.
“Kita juga ada rumah tahfiz, tempatnya di sinilah, di rumah ni,” kata dia.
Bagi Leni, setiap kali dia mendengar lagu kebangsaan, hatinya bergetar dan Leni meneteskan air mata. Dia ingat bagaimana usaha-usaha mendapatkan medali dan bagaimana pentingnya kehidupan anak-anak di masa mendatang. Ada semacam nasionalisme pribadi yang menjadi prinsip Leni.
Prinsip ini lah yang membuatnya tak gentar menjalani kegiatannya. “Kalau saya belum dikehendaki mati, saya belum akan mati. Semua kehendak Allah,” kata Leni.
Discussion about this post