PERKARA
Fakta Terkait Penganiayaan Terhadap Perawat Christina Ramauli Simatupang

DETAIL.ID, Sumatera Selatan – Pelaku penganiayaan terhadap perawat Christina Ramauli Simatupang (28) sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat kepolisian setempat. Sebelumnya, JT sudah ditahan pihak kepolisian.
“Sudah tersangka dan ditahan,” ujar Kabid Humas Polda Sumatera Selatan Kombes Supriadi saat mengutip merdeka.com, Senin 19 April 2021.
Mengiyakan, Kapolrestabes Palembang Kombes Irvan Prawira pun menyebut, pria yang melakukan pemukulan perawat tersebut sudah ditahan sejak beberapa hari yang lalu.
“Sudah ditahan sejak kemarin,” ujar Irvan.
Sementara itu, Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) juga turut mendampingi kasus penganiayaan yang dialami perawat bernama Christina itu.
Saat mengetahui adanya kasus penganiayaan terhadap korban, DPW PPNI Sumsel dan Komite Keperawatan RS Siloam Sriwijaya Palembang langsung melakukan investigasi kinerja korban sebelum penganiayaan.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical” newsticker_background=”#c90808″ newsticker_text_color=”#000000″]
“Setelah dilakukan investigasi, korban sudah bekerja sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO),” ujar Ketua DPW PPNI Sumsel Subhan dikutip dari Liputan6.com, Minggu, 18 April 2021.
JT, pelaku penganiayaan Christina Ramauli Simatupang (28), perawat Rumah Sakit (RS) Siloam Sriwijaya Palembang Sumatera Selatan (Sumsel), sudah ditahan di tahanan Polrestabes Palembang, pada hari Sabtu, 17 April 2021.
Christina, korban kekerasan JT yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, juga sudah dirawat di RS Siloam Sriwijaya Palembang, untuk mengobati luka fisik dan psikisnya. Insiden ini menyorot perhatian tidak hanya di Sumsel saja, namun mendapat perhatian warga Indonesia.
Gubernur Sumsel Herman Deru turut prihatin dengan penganiayaan tersebut. Dia pun berharap, insiden serupa tidak terjadi lagi kemudian hari.
Pada hari Sabtu siang, Herman Deru menyempatkan berkomunikasi dengan Christina, melalui video call (VC) WhatsApp.
Dia menanyakan bagaimana kondisi korban, pasca-dianiaya oleh JT, orangtua pasien anak, yang dirawat di RS Siloam Sriwijaya Palembang. Termasuk kondisi korban, setelah rambutnya dijambak kuat oleh tersangka.
“Rambut kena jambak, masih sakit. Bekas lukanya masih ada di kepala,” ucap Christina, kepada Gubernur Sumsel.
Di akhir perbincangan, Gubernur Sumsel menyemangati Christina agar sabar, cepat sembuh dan terus bersemangat menjadi garda terdepan pelayanan kesehatan Sumsel.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical” newsticker_background=”#c90808″ newsticker_text_color=”#000000″]
Saat diwawancarai awak media, Herman Deru sangat menyayangkan insiden tersebut terjadi oleh tenaga kesehatan (nakes), tanpa mau mendengarkan dulu penjelasan dari nakes.
“(Penganiayaan korban) sangat buruk dampaknya bagi citra daerah. Paramedis manusia biasa juga, harusnya didengarkan dulu penjelasannya dari atasannya,” katanya, Minggu, 18 April 2021 melansir liputan6.
Herman Deru juga akan terus mengawal proses hukumnya dan menyerahkan kasus penganiayaan perawat RS Siloam Sriwijaya Palembang tersebut ke pihak kepolisian. Untuk ditindaklanjuti berdasarkan pasal dan Undang-Undang (UU) yang berlaku.
Di sisi lain, istri pelaku penganiayaan terhadap perawat Christina justru menuduh perawat telah menganiaya anaknya. Melalui media sosialnya ia mengambil foto perawat Christina tanpa izin dan mempostingnya dengan keterangan “Pelaku penganiayaan terhadap anak saya.”
PERKARA
Diduga Jejaring Narkoba dari Lapas Jambi, Dua Pengedar Ditangkap Polisi

DETAIL.ID, Jambi – Dua pria terduga pelaku tindak pidana narkotika ditangkap oleh tim Satreskrim Polresta Jambi dalam sebuah penggerebekan di Jl Depati Parbo RT 17, Kelurahan Pematang Sulur, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi pada Senin, 14 Juli sekira pukul 03.00 WIB.
Kedua pelaku yang diamankan berinisial AS (23) warga Kecamatan Jambi Timur, dan RP (23) warga Kecamatan Jelutung, Kota Jambi.
Dalam penangkapan tersebut, tim berhasil menyita sejumlah barang bukti narkotika dari kedua pelaku. Dari tangan AS ditemukan satu paket sedang dan dua paket kecil sabu dengan berat bruto total 5,23 gram, serta 5,5 butir pil ekstasi berbentuk kepala cicak seberat 2,12 gram. Kemudian tim juga mengamankan alat isap sabu-sabu, timbangan digital, buku catatan penjualan, dan satu unit ponsel Oppo F7.
Sementara itu, dari RP disita 5 paket kecil sabu dengan berat bruto 4,98 gram, satu wadah permen bekas, timbangan digital, dan satu unit ponsel Oppo A77S. Total barang bukti narkotika yang diamankan dari kedua tersangka mencapai 12,33 gram bruto, terdiri dari sabu-sabu dan pil ekstasi.
“Pengungkapan ini disebut berawal dari informasi masyarakat. Saat dilakukan penggeledahan oleh tim, A mengaku mendapatkan sabu dari seorang narapidana berinisial IGA dan pil ekstasi dari narapidana lain Y, yang keduanya diduga berada di Lapas Jambi. Transaksi dilakukan melalui sistem transfer, dengan harga sabu sebesar Rp 4,3 juta dan ekstasi Rp 220 ribu per butir,” kata Kasi Humas Polresta Jambi, Ipda Dedy, dalam keterangan tertulis, Rabu 16 Juli 2025.
AS kemudian membagi sabu-sabu tersebut kepada RP untuk dijual kembali. RP diberi setengah dari jumlah sabu-sabu dengan sistem setor, di mana ia diwajibkan menyetor hasil penjualan sebesar Rp 3 juta kepada AS, sementara keuntungan lebih menjadi milik RP.
Saat ini, kedua pelaku beserta barang bukti telah diamankan di Mapolresta Jambi untuk penyelidikan dan pengembangan lebih lanjut. Keduanya dijerat dengan Pasal 114 ayat (2) dan/atau Pasal 112 ayat (2) Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan ancaman hukuman penjara maksimal seumur hidup atau pidana mati.
Sementara penyidik masih melakukan pengembangan terhadap jaringan peredaran narkotika yang melibatkan narapidana di dalam Lapas.
Reporter: Juan Ambarita
PERKARA
Jaksa Tuntut Didin 12 Tahun Penjara dan Denda Rp 1 Miliar

DETAIL.ID, Jambi – Setelah sempat tertunda selama dua minggu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) akhirnya membacakan tuntutan terhadap terdakwa kasus narkotika jaringan Helen, yakni Didin alias Diding bin Tember. Dalam sidang yang digelar pada Selasa, 15 Juli 2025, Didin dituntut hukuman 12 tahun penjara.
Selain pidana penjara, Didin juga dituntut membayar denda sebesar Rp 1 miliar dengan subsider 8 bulan kurungan penjara. Berdasarkan fakta persidangan, JPU menilai Didin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana narkotika sebagaimana dalam dakwaan.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Didin alias Diding Bin Tember berupa pidana penjara 12 tahun dan denda sejumlah Rp 1 miliar subsider 8 bulan penjara,” ujar JPU saat membacakan tuntutan.
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa, Ilham Kurniawan, usai sidang menekankan bahwa kliennya bersikap kooperatif dan turut membantu mengungkap jaringan narkotika yang lebih besar, termasuk peran pengendali jaringan yakni Helen.
“Selama proses persidangan, terdakwa telah membantu JPU dalam mengungkap fakta-fakta terkait jaringan Helen,” kata Ilham.
Menanggapi tuntutan tersebut, tim kuasa hukum terdakwa berencana mengajukan pledoi atau nota pembelaan. Sidang lanjutan dijadwalkan berlangsung pada Selasa, 22 Juli 2025.
Reporter: Juan Ambarita
PERKARA
Diduga Dizolimi Ketua Yayasan, Institut Islam Maarif Jambi Digugat PHI di PN Jambi

DETAIL.ID, Jambi – Dua orang mantan dosen Institut Islam Maarif Jambi yakni Sukri Nasution, MM bersama Dr Alfia Apriani, M. E.Sy mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) setelah diduga mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak tanpa prosedur yang sah oleh pihak Yayasan Pendidikan Bintang Sembilan Jambi.
Kronologi bermula pada Juli 2023, ketika keempat pengelola kampus termasuk dua dosen yang kini menggugat dituduh melakukan pencurian oleh Ketua Yayasan. Tuduhan tersebut muncul saat berlangsungnya proses ujian komprehensif mahasiswa. Tuduhan ini disampaikan secara terbuka dalam grup internal pengelola.
Namun, menurut para dosen tuduhan tersebut tidak berdasar karena selama ini pengelolaan keuangan dan akses ke rekening bank sepenuhnya berada di bawah kendali Ketua Yayasan. Para pengelola kampus hanya bertanggung jawab atas administrasi berkas dan tidak pernah diberi akses keuangan langsung.
“Nominal dak terlalu banyak, cuma ratusan ribu dan itupun sudah kami diaudit dua kali oleh pengurus yayasan dan tidak terbukti. Satu lagi kami usulkan audit eksternal supaya objektif, tapi Yayasan tidak bersedia. Alasannya mahal,” kata Alfia Apriani pada Senin, 14 Juli 2025.
Akibat situasi kampus yang dinilai tidak kondusif, keempat tenaga pendidik memilih mengundurkan diri dari jabatan struktural pada 6 September 2023 dengan harapan kondisi kampus bisa membaik. Namun kenyataannya, setelah pengunduran diri, mereka mengaku justru mendapat intimidasi, dibatasi aktivitas akademiknya, bahkan aktivitas mengajar pun dibatasi.
Puncaknya terjadi pada semester ganjil tahun akademik 2024, saat dua dosen dinonaktifkan secara sepihak tanpa proses yang jelas. Mereka menerima surat yang meminta pengunduran diri dari status dosen tetap.
Pada 12 Februari 2024, kedua dosen resmi mengajukan permintaan penyelesaian hak normatif ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jambi. Proses mediasi dilakukan empat kali, di mana pihak yayasan hanya hadir pada mediasi keempat. Namun dalam mediasi itu pun, kedua dosen tetap dianggap bersalah oleh Yayasan, walau tanpa pembuktian yang jelas.
Disnaker akhirnya mengeluarkan anjuran untuk menyelesaikan persoalan pemutusan kerja serta kekurangan pembayaran upah yang mereka alami. Namun hal ini juga tak lepas dari permasalahan lain, salah satu poin konflik adalah pemotongan tunjangan sertifikasi sebesar Rp1.200.000 dari total Rp 1.400.000 yang harusnya mereka terima.
Alasannya, pemotongan tersebut dinilai oleh yayasan sebagai kontribusi mereka terhadap kampus lantaran sertifikasi dosen diusulkan oleh kampus pada kementerian. Kedua dosen tersebut lantas menggugat PHI ke PN Jambi atas dasar PHK sepihak, pelanggaran hak normatif, serta pembayaran upah di bawah standar UMK dan pemotongan tunjangan tanpa dasar.
“Kami sudah empat kali menyampaikan surat dan mencoba jalan kekeluargaan. Tapi tidak ada iktikad baik dari yayasan. Maka kami menggugat ke PHI,” ujar Alfia.
Reporter: Juan Ambarita